Cowok Cantik Part 7
Sudah dua hari berlalu sejak saat itu. Mukaku sudah tak berbeda lagi dengan mayat hidup sekarang. Pucat, kurus, lemas dan tak ada sedikit pun gairah di ronanya. Masalah di rumahku belum selesai. Ibuku ternyata pergi ke luar kota untuk menenangkan diri. Aku jadi merasa bersalah pada semua orang. Rama, mama, dan semua orang yang menyayangi mereka. Aku merasa bertanggung jawab atas apa yang mereka rasakan dan apa yang kerabat mereka rasakan setelah melihat keadaan mereka. Seperti mamaku misalnya. Aku juga merasa bertanggung jawab pada ayahku dan Putri karena sudah membuat orang yang mereka sayangi jadi terluka. Ya, meskipun aku tahu kalau aku juga tak sepenuhnya pantas disalahkan.
Kini, aku beranjak dari meja makan kami yang biasa, sedikit lemas dalam melangkah dan sedikit kaku dalam berbicara. Kubuka mulutku sedikit, hanya sedikit.
"Gue duluan," ucapku lesu dan dingin pada Putri. Selain karena pikiran yang menguras tenaga, aku memang masih menghindari percakapan dengan adikku ini. Sontak hal itu membuatnya nampak enggan padaku. Sementara aku, aku lanjut berangkat sekolah menggunakan taksi. Ya, bahkan meskipun jaraknya masih dekat untuk bersepeda dan ayahku juga punya mobil, aku cuma nyaman pakai Taksi. Itu karena kondisiku sekarang yang mirip ikan sekarat. Lemah, lesu, hilang semangat, dan gelisah. Aku juga tidak bertemu dengan Heri di sekolah. Akhirnya tak ada teman berbagi. Meskipun aku masih punya banyak teman lainnya, aku tetap tak bisa nyaman berbagi rasa dengan mereka.
Tak lama, mobil taksi yang kutumpangi berhenti di depan gerbang sekolah. Aku memberi uang ke pak supir dan memintanya menyimpan kembaliannya. Spontan beliau membalasku dengan berdo'a. Doa yang begitu menenangkan.
“Semoga adek dikasih umur panjang, sehat selalu, diberkati hartanya, dan dipermudah segala urusannya. Aamiin. Terima kasih ya, Dek!” lanjutnya berterima kasih.
Batinku mengaduh pilu dan terharu. Setelah melempar senyum simpul, barulah aku keluar dari mobil taksi itu. Dan keajaiban pun terjadi dalam sekejap.
"Sandi!" teriak Heri yang melihatku dari gerbang sekolah. Hanya 5 meter dari tempatku berdiri. Mendengar suaranya itu, hatiku merasa benar-benar gembira. Entah kenapa, kehadiran pria yang sedang tersenyum itu membuat aku bisa dengan mudah merasa semuanya baik-baik saja.
"Lo kenapa? Kok masih pucat aja sih?" ucapnya masih tak berhenti tersenyum.
Aku rasa aku sedang tidak mau menjawab pertanyaannya itu. Aku hanya bisa meninju pelan ke arah dadanya seperti seorang gadis manja yang sedang pura-pura kesal pada kekasihnya. Entah sejak kapan aku menjadi seperti ini. Yang lebih aneh lagi adalah jawaban yang sekarang sedang aku pendam sendirian.
"Lo darimana aja?" lanjutku mengabaikan tatapan anehnya. Dia pasti bertanya-tanya, apa yang sedang aku lakukan, kenapa aku bertingkah aneh seperti ini, dan kenapa mukaku masih pucat seperti ini. Tapi, dia itu pria penuh kejutan, teman.
"Kebiasaan lu, ngejawab pake pertanyaan," jawabnya sambil tetap tersenyum. Aku juga jadi ikut tersipu karenanya.
"Jadi lu masih belum ketemuan sama si Rama?" kata Heri seperti tak percaya setelah aku sedikit menjelaskan alasan di balik muka pucatku ini. Dia pasti tak habis pikir betapa bodohnya aku ini.
"Iya, soalnya dia gak pernah ngangkat telpon gue. Sms gue juga gak dibales. Chat gue gak pernah diread. Gue bingung, gue butuh saran lo lagi," jelasku berujung memelas. Wajah Heri kelihatan berpikir. Ia terlihat serius membantuku memikirkan solusi masalah ini. Dan akhirnya,
"Lu,,, udah ke rumahnya?" ucapnya terdengar ragu. Matanya menatap lekat-lekat mengamati ekspresiku. Mataku membulat penuh.
"Kenapa gue gak kepikiran yah?" rintihku dalam hati. Kelihatan banget begonya.
"Beneran belum?" tanya Heri memastikan hasil pengamatannya karena aku masih belum bersuara. Aku mengangguk pasrah.
"Hahahah,, kayaknya lu emang perlu dikasih les tambahan dari gue," ledeknya puas. Ia hampir tak bisa berhenti menertawaiku. Hingga aku menunjukkan ekspresi sebalku, baru dia berhenti.
"Idih,, bibirnya manyun-manyun. Mmm.. Gemesin banget sih.!!" katanya benar-benar gemas. Dia mencubit-cubit pipi tirusku sampai kelihatan bekas jarinya yang berwarna merah muda di pipiku yang putih pucat itu. Aku sendiri kepanasan, wajahku kepanasan. Aku tak mau terlihat malu dan akhirnya mengelurkan peringatanku.
"Heriii! Jangan bikin gue ngulangin kesalahan yang sama lagi deh!" teriakku menghentikan tingkahnya yang mirip Rama. Cuma, dia versi sweet-nya.
"Oke oke oke. Gue minta maaf. Jangan marah, oke? Gue cuma gak tahan aja," katanya polos.
"Hm!!" gumamku tanpa berniat mengeluarkan suara yang jelas. Kali ini aku benar-benar kesal.
"Yaudah, nanti kita sama-sama ke rumah Rama aja yah. Biar gue yang antar," usulnya menumpulkan semua kesebalanku.
Sekarang aku dan Heri sudah ada di depan rumah Rama. Sudah menekan bel rumahnya juga. Tinggal menunggu orang menyahut saja. Jujur, aku kepikiran kata-kata Rama waktu itu tentang menjauh dariku bahkan sampai meninggalkan sekolah. Apalagi dia tak ada kabar begini. Aku khawatir kalau itu benar. Aku takut. Sangat takut.
"Nyari siapa ya, Den?"
"Ramanya ada, Bi?"
"Den Rama? Masih di rumah sakit, Den."
Brug! Bagaimana bisa?!