CHAPTER 1
Semangkuk Bakso
Udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, jam menunjukkan pukul 06.30. Kakiku sudah berjalan melewati lorong sekolah. Hanya ada beberapa murid rajin dengan bawaan buku seabrek yang terlihat lalu lalang. Aku menemukan sosok pemilik senyum manis nan khas yang aku temukan di ruang MOS siang itu. Aku berlalu di hadapnya dengan mata melirik karena jujur saja memang senyum khasnya membuatku merasa candu untuk melihatnya kembali. Sampai saat ini, sepuluh hari setelah MOS aku baru bertemu dengannya kembali.
Kakiku tiba-tiba berhenti dari langkah, aku membalik badan karena ada seseorang yang sepertinya menyapaku. Ku lihat di sekeliling lorong, tak ada satupun orang kecuali lelaki manis itu.
“Maaf, elo yang manggil gue ? ” tanyaku berhati-hati
“Iya.. buru-buru?” tanyanya
“Ha..? buru-buru ? enggak kok, emangnya kenapa ya ?” tanyaku sambil terus berdegup
“Kaos kakimu, warnanya nggak kompak hahaha” tawanya meledak-ledak
Aku hanya bisa menahan tawa dan rasa malu. Ku tinggalkan dia yang sedang tertawa menikmati kebodohanku karena warna kaos kaki yang katanya nggak kompak itu.
***
“Gue tadi ketemu sama pemilik senyum manis yang sering elo bayang-bayangkan itu, Rhe” kata Helena menyapa
“Iya.. gue juga ketemu tadi.. eh kenapa ya kita bisa sama-sama ketemu, kemarin-kemarin, itu anak nyelinap kemana ya, disaat kita kepo banget dia nggak nongol” kataku panjang lebar.
“Hahaha lupa kali kalau harus ke sekolah. Lagian apa sih yang elo harapkan dari cowok aneh itu”
“Please deh.. gue nggak berharap, Cuma aja gue suka sama senyumnya” jawabku sambil tertawa
“Hahaha apapun itu, gue tetep mau kok jadi mak comblang elo Rhe santai aja..”
Helena adalah teman sekelasku. Dari awal pertemuan aku sudah merasakan nyaman dengannya. Dia orang yang easy going, ramah dan dewasa. Keputusanku untuk bersahabat dengannya adalah suatu keputusan yang benar. Karena dia bisa menjadi seseorang yang bisa aku andalkan. Pertemananku dengan Helena memang belum terjalin begitu lama, kami mengenal saat pertama kali masuk sekolah sebagai siswa baru dalam acara MOS. Sejauh ini aku belum begitu paham dengan kehidupan pribadi Helena, karena ia cenderung tertutup tentang masalah pribadinya, termasuk masalah hati. Namun dengan tubuh tinggi semampai, kulit putih, bola mata hitam dan rentetan gigi putih yang rapi, menurutku membuat ia mudah menggait seorang laki-laki, namun hingga saat ini dia belum pernah bercerita padaku tentang siapa orang yang mampu membuatnya jatuh cinta.
***
Siang ini, aku pulang agak terlambat karena ada beberapa tugas yang harus diselesaikan untuk masuk sebagai anggota baru di salah satu ekstrakulikuler di sekolah. Aku da Helena sama-sama memilih Marching Band sebagai ekstrakulikuler pilihan. Beberapa anak sudah berkumpul di depan base camp Marching Band dengan membawa buku untuk mencatat hal penting yang diinstruksikan oleh kakak kelas untuk acara makrab nanti. Di antara puluhan siswa yang berkerumun, kudapati senyum yang selalu membuatku candu. Ya senyum lelaki itu, kulihat dia sedang bercanda dengan temannya, pembawaannya dewasa. Walaupun dia sedang bercanda namun aku rasa dia bisa menjaga sikapnya untuk tetap sopan.
“Len, gue lihat cowok itu lagi, haduh.. gimana ya, masak ya gue jatuh cinta, kayaknya takdir sering banget menemukan gue sama dia. Sekarang misalnya, nggak salah lagi dia pasti juga milih MB buat jadi ekskul pilihan..”
“Heyy… ingat elo itu masih anak-anak hahaha gaya-gayaan nogmong cinta. Itu juga kebetulan aja kok, bukan takdir yang mempertemukan elo sama dia. Lagian semua anak kan bebas mau pilih ekskul apa hahaha” katanya dengan tertawa meledek
“Ehh.. beneran deh, ini persis banget sama apa yang gue rasain waktu gue SMP dulu, gue juga ngerasain ini sama kak Boby, kakak kelas gue” jawabku menjelaskan, kulihat Helena hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya, tanda dia sudah tidak bisa mengatasi kegilaanku terhadap laki-laki itu.
Acara pembekalan anggota baru untuk Makrab Tim Marching Band kini telah usai. Satu persatu siswa pun berdiri hilir mudik meninggalkan base camp. Aku masih sibuk menulis beberapa hal yang belum sempat kutulis saat acara tadi. Helena masih setia duduk di sampingku. Tiba-tiba kurasakan seorang tengah duduk di depanku, aku mendongakkan wajah dan.. tenggorokanku seperti tersekat karena melihat sesosok laki-laki pemilik senyum termanis yang pernah aku temui berada tepat di depanku. Aku hanya mampu mendongak tanpa berkata apapun, mataku dan matanya beradu. Ku dengar Helena sedikit berdehem. Aku terbuyar dari lamunanku, begitupun laki-laki itu.
“Ehm… maaf ya, kakak mau ada urusan apa ?” tanya Helena
“Nggak ada apa-apa sih.. ikut nunggu temen kamu nulisnya selesai aja.” jawabnya dengan santai
“Ha ? ngapain… nggak salah, ” timpalku
“Nggak lah, mau sekalian pulang bareng kalian, gimana.. mau ?”
“Kalau saya sih nggak apa-apa kak, nggak tahu temen saya keberatan atau nggak” jawab Helena pura-pura, aku menghela nafas panjang dan mencoba membuka suara
“Boleh kak, sebentar aku beresin buku dulu.” jawabku dengan terbata-bata
***
Kurebahkan badanku diatas kasur, menghela nafas panjang, mencoba mengingat lagi apa yang telah terjadi sore ini. Hari ini berakhir dengan cerita manis, setelah aku memtuskan untuk pulang bersamanya, kini aku tahu bahwa dia memang laki-laki yang pantas untuk di kagumi. Dia benar-benar dewasa, dan satu hal yang selalu membuatku suka, senyumnya. Sore itu kami berjalan menyusuri trotoar dekat sekolah untuk mencari angkot, kami pun sempat berhenti untuk membeli es buah. Apa yang sudah terjadi tadi sore membuat otakku untuk tidak berhenti berfikir tentangnya. Hey… aku belum tahu siapa namanya.
Tiba-tiba pintu terketuk, tak lama kemudian sosok Helena muncul dibalik pintu.
”Hey.. tumben datang..” sapaku ramah
“Iya.. habis dirumah suntuk Rhe, dan.. rencana gue pengen ajak elo ke suatu tempat” jawabnya
“Aduh..males ah, mending disini aja, itu mama barusan beli singkong keju banyak. Terus gue mau curhat ke elo Len..”
“Males ah, palingan juga curhat tentang cowok itu lagi kan.. ahh bosen bosen..” katanya sambil meledek, dengan sigap kulemparkan bantal tepat diwajahnya.
“Eh kira-kira gue beneran jatuh cinta nggak ya menurut elo Len.. ”
“Gue belum pernah jatuh cinta Rhe jadi gue nggak ngerti gimana rasanya jatuh cinta..” jawabnya. Seperti yang aku katakan, bahwa sepanjang pertemuanku dengan Helena, dia belum pernah bercerita tentang kisah cintanya, akupun melongok mendengar pernyataan itu.
“Serius elo ? nggak normal elo berarti..” kataku dengan sedikit meledek
“Iya serius.. ya.. karena.. gue….” Tiba-tiba suaranya menjadi berat, kurangkul ia dari belakang mencoba mengerti, bahwa ada rasa kecamuk di dalam hatinya.
“Elo kenapa.. ? Len, gue udah anggap elo sebagai sahabat gue sendiri, walaupun kita belum lama kenal..” kataku hati-hati
“Gue takut jatuh cinta, gue takut kalau gue jatuh cinta gue bakal sakit sama kaya apa yang dirasain mama gue sekarang. ” jawabnya, aku melihat butiran bening muncul di sudut matanya, aku menyeka air mata yang pertama kali aku lihat jatuh dari mata seorang Helena. Mungkin alasannya untuk memutuskan tidak jatuh cinta dengan laki-laki adalah kisah cinta ayah dan ibunya. Mungkin ada trauma yang membuat ia tak pernah mau membuka hati dan merasakan indahnya jatuh cinta. Aku tahu bahwa apa yang sedang ia hadapi bukanlah hal mudah, namun hal ini bukan Helena saja yang mengalami, hal ini juga hampir umum dan merata dialami oleh anak-anak korban broken home. Tapi.. aku rasa tidak semua laki-laki mampu menyakiti wanita.
“Maaf ya Len, gue udah buat elo sedih, maaf banget untuk air mata yang jatuh karena pertanyaan gue.. hemm… gini deh, gue tahu elo pasti takut kalau semua laki-laki itu seperti papa lo kan ? tapi nggak semuanya kok, suatu saat elo pasti nemuin laki-laki yang tulus dan nggak akan mampu buat nyakitin elo, karena elo berhaga Len, gue aja nggak mampu buat nyakitin elo Len,” kataku sambil kupeluk erat tubuhnya, kurasakan ia sesegukan di dalam pelukanku, kuizinkan ia untuk menumpahkan segala kecamuk hatinya sore itu, hingga senja datang.
***
Pelaksanaan Makrab Anggota baru Marching Band satu minggu lagi, riuh anak-anak di depan base camp MB pun makin ramai setiap harinya, ada yang menyerahkan beberapa persyaratan untuk makrab MB ada pula yang hanya sekedar menjadi peramai di depan base camp. Aku melihat laki-laki manis itu sedang duduk sambil membaca sebuah komik. Satu hal yang aku suka darinya, senyum yang teramat manis dengan fariasi sedikit kumis tipis penambah kesan manis pada dirinya selalu mengembang. Aku belum begitu mengenalnya namun fikiranku terus menjerit untuk selalu memikirkannya. Aku belum tahu bagaimana sejatinya dia sebagai laki-laki, namun perjalanan pulang kemarin memberiku sebuah keyakinan bahwa dia memang pantas untuk di kagumi.
Dua hari setelah kebersamaanku dengannya waktu pulang sekolah, kini aku jarang melihatnya mondar mandir di lorong sekolah. Semenjak sore itu aku merasa bahwa datang ke sekolah adalah hal yang sangat menyenangkan. Dan tiba-tiba beberapa hari ini mataku tak lagi melihatnya. Resah tentu resah, karena salah satu alasanku untuk datang ke sekolah setiap hari adalah melihat senyumnya. Tiba-tiba rangkulan halus mendarat di tangan kananku, rangkulan Helena membuyarkan tatapan kosongku.
“Galauu pasti kan.. si aak enggak datang ke sekolah” rayunya
“Hahaha, apaan sih, eh gue belum tahu namanya Len, siapa ya kira-kira”
“Udah nggak usah mengalihkan pembicaraan, gue tahu elo nelangsa hari ini, dari kemarin udah kelihatan kok. Ehh jangan jangan dia sakit gara-gara es buah kemarin”
“Masak iya, eh kalau beneran, gue bener-bener merasa bersalah Len” jawabku dengan
wajah bingung
“Haha nggak tahu juga sih, gue punya tetnagga ganteng, manis, punya kumis tipis kayak gitu alergi sama es ” katanya dengan santai, lantas kutinggalkan dia sendiri di depan kelas, kudengar suara Helena memekik memanggil namaku, dalam hati aku tertawa dan semakin cepat aku berlalu meninggalkannya.
Saat mataku memandang ke seluruh sudut sekolah dari ujung lorong, ku lihat sosok yang kucari sedang duduk mematung di bangku kantin. Ku beranikan untuk menghampirinya. Ku putuskan untuk duduk tepat di depannya. Dia terlihat sedikit gelagapan.
“Haha, Kaget ? ngelamun kan?” tanyaku
“Ehh.. nggak lah, cuma nunggu bakso datang nih, kamu mau juga ? gue pesenin sekalian ya” tanyanya dengan senyum khas yang manisnya menggetarkan hati. Dengan sigap aku menganggukkan kepala. Tak lama kemudian dua mangkuk bakso panas dengan asap yang masih mengepul diatas mangkuknya datang ke meja kami. Kami menghabiskan semangkuk bakso dengan canda tawa. Siang ini, takdir menemukan aku dengannya, memberikanku kesempatan untuk lebih dekat dengannya dan mengenalnya melalui semangkuk bakso panas yang menemani canda tawa dan setiap tatapan mata yang saling beradu. Tatapan mata yang mampu membuat hatiku merasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya. Semangkuk bakso panas yang menemani siang ku bersamanya membantuku untuk mengetahui bahwa lelaki pemilik senyum manis dengan fariasi kumis tipis itu bernama Artura Narendra Mahardika.