Mr. Right, Mrs. Always right
***
“Bitter truth is better than sweet lies.”
***
"Ngebut dong. Buruan! Ah, lelet banget sih kayak keong aja." Suara bossy itu begitu rusuhnya mengganggu konsentrasi sang pengendara motor sejak tadi.
"Berisik banget sih lo, ini juga udah cepet." Balasnya tak kalah berteriak.
"Segini doang mah nggak cepet. Gas lagi terus kalau perlu sampai pol. Kalau nggak buru-buru bisa telat kita nanti nih. Ayo dong gas, di gas buruan!" Kali ini tangan itu ikut ambil bagian menepuk berkali-kali di bahu Ran, membuat Ran meringis.
"Ayo cepetan, mumpung masih ijo lampunya itu didepan nanti kalau keburu merah lama lagi nunggunya."
Tahu betul watak penumpangnya, membuat Ran mendengus sebal. Jika tidak dituruti cewek dibelakangnya ini akan merengek terus-terusan seperti anak bayi yang minta susu. Dan jaraknya ke sekolah masih sekitar sepuluh menitan lagi. Oh yang benar saja, telinga Ran sekarang ini saja sudah mau copot rasanya saking panasnya.
Ran tidak mau ambil risiko budeg diusia mudanya yang sekinclong asset Mpok Eli Sugigi ini, "Cerewet ya, Na. Udah buruan pegangan!"
Dai menurut meski pegangannya hanya sebatas cengkraman di seragam Ran bagian pinggang. Motorpun melaju cepat, sesuai permintaannya. Menembus lampu lalu lintas yang sepersekian detik kemudian berubah warna menjadi merah. Menyalip beberapa kendaraan di depan. Ran tersenyum menyeringai saat dirasakannya pegangan Dai berpindah ke perutnya.
Dan saat Ran menyalip, memposisikan motornya dalam apitan truk besar bermuatan pasir di kanan-kiri mereka selama beberapa detik. Pegangan Dai berubah menjadi pelukan erat. Cewek itu menjerit kencang membuat telinga Ran sukses berdengung seketika sepanjang perjalanan.
Kalau sudah begini Ran rela-rela saja jadi budeg.
Sableng.
"Na, lo mau sampai kapan duduk disitu?" Suaranya menahan tawa seraya membuka helmnya dan melirik kearah kaca spion. Sebenarnya dia masih ingin berlama-lama menikmati adegan semacam ini. Apalagi melihat delikkan tajam dari seseorang yang beberapa waktu lalu baru saja memasuki area parkir sekolah.
Tapi kalau ketawan sama Bu Win guru agama super nyinyir itu kuping Ran bisa budeg beneran karena ceramah yang akan berlangsung sepanjang jalan kenangan nanti.
Dai membuka matanya yang sejak tadi terpejam karena ketakutan. Menatap wajah Ran yang terpantul di kaca spion dengan linglung. Saking menggemaskannya Ran hampir saja khilaf, ingin mendaratkan bibirnya di pipi gembil itu. Seperti yang biasa dia lakukan saat kecil dulu.
"Mau turun nggak? Gue tahu lo masih pengen peluk-peluk gue. Tapi jangan disini ah. Kita lanjut di rumah aja sih entar. Apa mau bolos aja buat lanjut?"
Setelah ngeh, tanpa pikir panjang Dai segera melepaskan tautan tangannya di perut Ran. Lalu sebelum turun dari sana dengan kesal tangannya menggeplak bagian belakang kepala Ran, "Wadaw."
"Sinting!" Dai mendelik seraya melemparkan helm yang dipakainya tanpa aba-aba.
"Hap." Gumam Ran yang berhasil menangkapnya.
"Ngapain sih lo ngebut gitu? Lo kira jalan raya tadi sirkuit balap apa!"
Ini nggak salah nanya? Dia nggak sadar apa kalau tadi dia yang minta Ran ngebut?
"Bukannya lo yang tadi minta gue ngebut?" Timpal Ran tak mau kalah, Dai mendengus sebal.
Memang benarkan?
"Ya tapi maksud gue lo ngebutnya yang aman aja gitu. Jangan kayak orang kesetanan kayak tadi." Ingin Ran berkata kasar, tapi dia lebih memilih memalingkan wajah saja kali ini. Tersenyum bodoh karena entah mengapa Dai yang galaknya macam singa betina minta kawin kalau lagi ngamuk gini tetap saja menarik baginya.
Mana ada coba ngebut yang aman. Dimana-mana juga yang namanya ngebut pasti nggak ada yang amanlah. Nenek sudah tua, giginya tinggal duapun tahu. Dasar Dai!
"Kalau kita kecelakaan gimana coba tadi?"
"Ya gampang, tinggal digotong ke rumah sakit."
"Nggak lucu!"
Ran terkekeh, toh nyatanya juga selamat kan?
"Iyalah! Kalau mau lucu. Tonton aja sule."
Dai kehabisan kata. Pipinya mengembung menatap Ran kesal. Kemudian tanpa pamit melangkah cepat kedalam sekolah.
Dasar nasib.
Manusia sumbernya salah dan dosa.
Ran menggeleng mengingat kalimat itu. Mungkin lebih spesifiknya jenis manusia bertestis kalik ya.
Huft~
***
Hari ini ada tes lisan Geografi, materinya nggak tanggung-tanggung, satu BAB merangkap lima belas lembar alias tigapuluh halaman.
Dai sudah menghapal semalaman. Nilai ulangan hariannya minggu lalu mengecewakan jadi dia bermaksud menebusnya hari ini.
Satu-persatu murid di kelasnya maju masing-masing dua orang sesuai absen. Dai masih menghapal dalam hati menunggu gilirannya. Begitupun Ran dan Kis. Bisa dilihat, yang apes disini adalah Sad. Baru aja sampai B absenannya, Pak Sugio memutuskan untuk beralih dari absenan paling bawah.
Disanalah Sad sekarang, berdiri di depan kelas sambil mengapit sapu ijuk diantara kakinya karena tidak ada satupun materi yang dihapalnya saat ditanya tadi.
"Duh Jon Jon. Makanya kalau udah dibilangin ada tes lisan itu ngapal di rumah bukannya malah ngurusin si Joninya mulu ampe pusing kan lu."
Dan setelah ejekan Pak Sugio yang nyeleneh itu Sad nggak sendirian lagi. Karena baru saja Salsa Qwisteenia dan Samudera Fakrian bergabung menemani Sad.
"Hai, Salsa." Cengir Sad lebar. Sedangkan Salsa cuma senyum aja kayak biasanya.
"Setia banget mau nemenin abang Dewa disini. Sini-sini deket abang aja."
"Najis."
Oke, itu suara Fakri saingan berat Sad yang sama genitnya ke Salsa, "Jangan, Cha. Disini aja, biar gue yang ditengah."
"Dih, ngapa lo yang ngebet pengen deket gue?" Cibir Sad, "Naksir lo?"
Tak lama ada suara panggilan dari TU untuk Pak Sugio. Alhasil tes lisan ini ditunda sebentar, selagi Pak Sugio pergi ke ruang guru. Seketika kelas yang menjadi riuh.
"Udah sini Salsa di pojokan bareng abang aja yuk. Jangan deket-deket Si FAK." Kata Sad menekankan kata terakhirnya.
"Kenapa emang kalau deket gue?" Sungut Fak – biasa dia disapa - tak terima.
"Nanti ketularan begonya." Celetuk Sad tak tahu malu, padahal lagi sama begonia. Kalau pinter mah nggak bakal dia dihukum juga.
"Sialan!"
TAK! TAK! TAK!
Dasar cowok!
Dan perkelahian pun tak terhindarkan. Sad dan Fakri benar-benar adu pedang sekarang. Memanfaatkan sapu masing-masing yang saling berbenturan menimbulkan keriuhan.
Anak sekelas bukannya melerai malah bersorak gembira. Mengambil bagian sebagai suporter meneriakan nama Sad dan Fakri.
"Kafka, pisahin bego. Kenapa lo malah bengong coba!" Teriak Farida yang masih duduk dibangkunya. Kafka sang KM malah berjengit masa bodo.
"Ogah! Gila aja, nanti gue yang kena sambit lo mau tanggung jawab?"
Farida mendengus sebal. Berbeda dengan beberapa siswa lain yang malah asik memvideo adegan tersebut.
Fix, ini kelas madesu abis.
Apa disini hanya Dai yang seketika punya firasat buruk?
***
Benar saja.
Ini namanya nggak ikut ngelempar, tapi tetep aja kena batunya.
Gara-gara kelas yang kacau dan terciduk pula sama Pak Sugio. Alhasil Kelas yang di ketuai oleh Kafka itu harus rela pulang telat. Mereka semua dihukum membereskan kekacauan itu hingga tuntas.
Pak Sugio bilang meski hanya ada tiga biang keladinya. Tapi Kesalahan anak satu kelas adalah membiarkan hal itu terjadi. Meski pada misuh-misuh nggak terima, ya jalani aja sih ya. Badai pasti berlalu kok. Apalagi badainya cuma badai kecil.
Iya dong badai kecil.
Bersihin satu ruangan sembilan kali sembilan meter, keroyokan mah kecil kan. Tapi kena hukuman karena kesalahan orang lain itu yang bikin gondoknya.
Apalagi Dai. Dua kali lipat kenanya.
Karena tiga inventaris kelas yang tadinya sehat walafiat sekarang sudah hancur lebur. Dai selaku bendahara kelas harus bertanggung jawab untuk membeli peralatan baru sekarang.
Pemborosan!
Buang-buang uang aja kan jadinya.
"Kenapa sih manyun aja?" Ran yang sejak tadi berjalan di samping Dai bertanya santai, "Minta dicium?"
Dai tidak menggubris, meladeni Ran bisa bikin moodnya tambah jelek sekarang.
Ran berjalan kearah motornya mendahului Dai. Tidak sulit menemukannya di keadan parkiran luas yang mulai sepi ini. Dia yang akan mengantar Dai. Sebelum memberikan helm kepada Dai, Ran memerhatikan Dai. Dan baru sadar dengan seragam yang dipakai gadis itu.
"Gue anterin lo pulang dulu ya. Baru kita caw." Ungkapnya kemudian.
"Nggak usah ah."
“Pulang dulu, Ena.”
“Kenapa sih?” Bingung Dai.
"Ganti baju lo dulu."
Dai seketika menggeleng tegas, "Kelamaan. Kalau udah di rumah suka males keluar laginya."
"Gue nggak mau boncengin lo kalau lo masih pakai rok gitu." Ran juga berkata tegas.
Dai yang tidak mengerti pun menjadi sebal. Padahal tadi pagi juga dia dibonceng Ran ke sekolah baik-baik aja tuh. Nggak protes apa-apa. Dai lagi nggak mau debat.
"Ya udah, gue minta anter Bang Kis aja kalau gitu." Tutur Dai kemudian saat melihat Kis yang baru muncul di parkiran. Dai sudah bersiap menghampiri Kis, tapi tangannya dicekal oleh Ran sigap.
"Jangan!" Tahan Ran, "Ya udah iya nggak usah ganti baju dulu." Akhirnya Ran mengalah, Dai tersenyum senang, "Asal lo pakai hoodie gue nih selama di perjalanan."
Mana rela Ran Dai di bonceng Calkis pakai motor gedenya. Ran emang posesif Dainya aja yang nggak peka malah selalu ngatain dia mesum bin alay.
Dai mengerjap saat tangan itu menyodorkan Hoodie putih yang pasti kebesaran ditubuhnya, "Alay ih. Buat apa? Nggak mau ahh, gerah nanti gue." Tolak Dai lagi.
Ran mendesah jengah, "Bukan dipakai di badan, lemot. Lilitin diperut buat nutupin aurat lo."
Meski sempat kesal karena disebut lemot, Dai akhirnya mengerti apa yang Ran maksud, "Oh." Gumamnya seraya menerima sodoran dari Ran.
Benar saja. Setelah dililitkan Hoodie itu bahkan lebih panjang dari pada rok yang dipakainya.
"Ngapain sih lo rok kecil gitu masih dipakek aja." Ran tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya.
"Ih, ini rok belum ada satu semester loh gue beli." Jawab Dai jujur, "Mubazir kan kalau nggak dipakek."
Ran menatap gadis itu dari bawah keatas. Dai memang masih dalam masa pertumbuhan. Meski nggak kelihatan banget tapi Ran yang paling tahu kalau Dai semakin tumbuh.
Dikit-dikit makin tinggi, dikit-dikit makin gede juga.
Siapa bilang deket-deket sama Dai itu bakal aman dan nggak bikin iman cepet runtuh. Itu mah Sadnya aja yang nggak nyimak.
"Mikir apa lo, Ran? Engas gitu liatin Dai?" Itu suara Kis yang baru datang menghampiri mereka berdua.
"Engas apaan, Bang Kis?"
Nah kan. Aslinya Dai itu masih polos. Sedikit-sedikit saja Ran kadang kasih denger bahasa ekslpisitnya. Cuma karena setahun terakhir ini nimbrung melulu bareng Bangsquad jadilah mau nggak mau Dai tahu istilah-istilah macam begitu.
"Mana Sadlan?" Itu upaya pengalihan Ran. Mumpung Dai lagi sibuk sama poninya.
Kis hanya tersenyum meledek sebelum menjawab, "Masih di sidang di BK."
Ran pun mengangguk, "Yaudah yuk, balik."
***
“Au.”
“Tahan.”
“Perih… Ssh.”
“Lagian kok bisa luka gini sih?”
Itu suara Sad dan Salsa. Saat teman-temannya sudah pulang. Mereka masih harus berada di sekolah untuk menjalankan hukuman setelah keributan yang mereka buat di jam pelajaran Pak Sugio tadi. Mereka harus rela dihukum membersihkan zona hijau untuk satu minggu ke depan, setiap pulang sekolah.
Zona hijau sekolah adalah sebutan lain untuk tempat lahan penuh tumbuhan yang letaknya di belakang lab komputer. Lahan itu di khususkan sekolah untuk menanam beberapa buah, sayur dan bunga.
Dan di sanalah Salsa terluka. Ketika Fak pamit pergi ke toilet. Telapak tangannya tergores duri dari bunga mawar yang sedang ia bersihkan sekitaran potnya. Tidak parah, hanya saja darah yang keluar dari sana membuat Salsa ngeri. Ternyata gadis itu takut darah. Tanpa pikir panjang, inisiatif Sad muncul.
“Biar gue obatin ya.”
Salsa sebelumnya tidak pernah mengenal Sad sedekat ini. Yang dia tahu, Sad hanyalah teman sekelas yang sering mengganggu dan menggodainya dengan kata-kata absurd.
“Udah kan, udah nggak kenapa-napa. Udah diobatin tuh. Nggak usah nangis lagi ya.”
Ucap Sad setelah menempelkan plester, menutup luka itu. Kemudian meniupnya sekilas, seperti seorang ayah yang menenangkan anak balitanya yang menangis.
“Ternyata beda ya.”
“Ha?”
“Lo gentle.” Salsa menjeda, “Gue kira bakalan omes terus.”
Dan Sad tak bisa berkata apa-apa lagi pada akhirnya, selain tertawa mendengar ungkapan polos Salsa tentang dirinya. Gadis itu mengerjap dua kali melihat Sad yang tidak bereaksi apapun. Dan menyadari sesuatu.
“Eh maaf. Ma- maksud gue…”
Sometimes, I think its true.
“Nggak masalah.”
Bitter truth is better than sweet lies.
***