Unwanted happiness !
***
"Serupa tapi tak sama : Rasa."
***
Putus cinta, tadinya Dai kira dia akan baik-baik saja. Tapi mana Dai tahu rasanya bakal segini menyiksa.
Karena apa yang ditanyakan cowok itu, bahkan yang jadi pertanyaan Dai juga selama hampir satu setengah tahun ini. Dan dia juga belum tahu pasti apa jawabannya. Dai bukan tipe orang yang pandai mengekspresikan perasaannya. Sehingga terkesan cuek.
Yang Dai tahu, hatinya meletup-letup setiap kali bersama Bas dan letupan itu melukainya beberapa jam lalu saat cowok itu bilang good bye.
Dai paling nggak suka buang-buang. Tapi kenapa sekarang dia malah ngerasa dibuang?
Dai kesal, sedih, bingung, marah, kecewa, menyesal. Campur aduk jadi satu pokoknya.
Apa ini yang namanya galau?
Dai tiba-tiba saja menjadi melow, tiba-tiba dia teringat ibunya. Andai saja ibunya ada disini, Dai akan meminta pendapat beliau. Menceritakan semua yang terjadi. Menjelaskan apa yang dia rasa. Kalau perlu Dai ingin menangis sambil memeluk ibunya erat.
I miss you, Mom.
Tapi sesedih apapun Dai merindukan ibunya. Dai tidak akan menangis, dia harus tahan. Dai sudah berjanji akan tumbuh menjadi anak yang kuat. Dai tidak boleh cengeng, ini tidak seberapa. Karena masih banyak hal yang bisa membuatnya bahagia.
Masalahnya ayah Gatot alias Ganteng berotot-nya sedang ada peninjauan proyek di luar kota dan baru akan pulang lusa pagi nanti.
Kakak pertamanya sedang ada penyuluhan kesehatan ke desa-desa terpencil perihal wabah difteri. Sedangkan Kakak satunya lagi baru saja terbang ke Singapur, karena besok pagi ada meeting penting dengan perwakilan bisnis dari Prancis untuk rencana pembukaan fashion store.
Dipikir-pikir, kenapa di keluarga ini hanya Dai yang gabut?
Bersama Mbok Nah dan Bi Jum, juga Pak Wan yang masih berjaga di pos satpam depan. Secara harfiah Dia tidak sendirian.
Tapi tetap saja Dai merasa sepi. Biasanya di jam-jam segini. Dai sedang berkumpul di ruang keluarga. Kedua kakaknya yang usil, akan terus menerus menjahilinya. Sementara Ayahnya akan memesan beberapa cemilan sebagai aksi peleraian.
Huh, tapi berbeda dengan malam ini. Jika sudah begini, Dai akan melampiaskannya pada makanan. Seperti yang ia lakukan sekarang.
"Curut!"
Suara paling mengganggu itu, mengusik ketenangan Dai yang lagi semangat-semangatnya menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Mbok Nah. Piring ketiganya.
"Kesurupan, Na?"
Dai mendelik kearah cowok itu dengan pipi setengah mengembung, "Kalau gue kesurupan, berarti setannya lo ya." Sembur Dai susah payah, Ran malah tertawa menyebalkan.
Mie rebus, French fries, nasi goreng, ayam krispi, sate padang, beef burger. Mata Ran menelusuri meja makan yang dipenuhi beberapa mangkok, piring dan juga kardus makanan yang rata-rata sudah berpindah tempat ke perut Dai.
Bahkan ada martabak telur juga. Apalagi tuh... seblak?
"Astaga. Kalap kenapa, Curut? Badan kecil makannya banyak amat, jangan-jangan kalau di scan tuh perut isinya lambung semua deh. Curiga gue."
Biasanya mendengar gurauan receh Ran, Dai akan tertawa tanpa diminta. Tapi tidak ada mood sama sekali baginya untuk bisa melakukan hal itu kali ini.
"Berisik! Ngapain kesini?" Ketusnya.
"Buset, galak amat. Kayak yang abis diputusin aja."
Dasar kamvret emang si Ran.
Bikin Dai ngerasa sesak di dada lagi. Rasanya udah persis banget kayak lagi maksain pakai bra yang kekecilan.
Tapi serius. Sesak itu menghantarkan sensasi menyakitkan yang menjelar ke seluruh tubuhnya. Jadi ini yang namanya invisible pain yang kata orang-orang rasa perihnya setara sama kalau kita dilukai secara fisik.
Dai jadi ingin menangis lagi kan. Wajahnya berubah sendu menatap Ran yang kini telah duduk di depannya.
"Keliatan banget ya emang?" Ran membeo. Respon cewek itu benar-benar diluar dugaan Ran.
Otomatis cowok yang sedang mengunyah kentang goreng yang baru saja di comotnya itu menatap Dai bertanya.
"Seriously?"
“Hem…”Dai mengangguk-angguk.
Ran mematung, entahlah.
Sebagian dari hatinya bersorak, tapi sebagian laginya tidak. Ini kebahagiaan yang Ran inginkan sebenarnya. Tapi melihat kesedihan dimata Dai, Ran tidak bisa hanya berdiam.
Seketika raut Ran berubah merah padam, rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal kuat, "Brengsek! Biar gue kasih pelajaran tuh manusia!"
Melihat Ran yang berapi-api beranjak dari duduknya, Dai bangkit. Sesegera mungkin mencegah Ran, "Apaan sih? Jangan gila deh!"
"Alasannya apa coba dia mutusin lo? Selingkuh?"
Itu mulut emang sekali-sekali harus dicabein deh kayaknya, pikir Dai.
"Enggaklah!" Sangkal Dai.
"Masa?"
Dai berdecak jengkel, "duduk dulu deh mendingan." Tuntunnya, beralih kearah ruang keluarga.
"Jadi apa?" Tuntut Ran ketia dia sudah sama-sama duduk di kursi empuk itu.
"Ha?"
"Ha ho ha ho. Apa katanya? Alasan dia minta putus?"
Keluar kan tuh galaknya.
Tapi kenapa juga Dai harus bilang ke Ran.
"Oh." Cuek Dai seraya menyalakan televisi yang langsung menampilkan film Boboboy di layar 49 inch itu, "Just because."
"Apa tuh maksudnya?"
"Dia bilang katanya percuma kalau ini semua diterusin karena cuma dia yang punya rasa."
"Maksud dia, lo nggak pernah cinta sama dia, gitu?"
Bahu Dai menggedik sekali, "So-so."
"Kok gitu? Ya menurut lo sendiri gimana?"
Ditanya begitu Dai hanya bisa diam, dia pun justru masih bingung dengan perasaannya.
Karena pada dasarnya, saat Bas menyatakan perasaannya dulu. Dai tidak pernah memberikan jawaban apapun. Dai tidak pernah berpacaran dengan siapapun sebelumnya. Dia tidak bisa membedakan mana rasa tertarik, sekedar kagum, atau memang benar-benar cinta. Dai adalah remaja awam yang tak begitu paham dengan hal diluar logika seperti itu. Jadi Dai tidak mengerti harus bagaimana menanggapinya.
Tapi Bas meminta Dai untuk memberikannya kesempatan. Dia akan membuat Dai yakin akan perasaannya sedikit demi sedikit. Intinya jalani saja dulu, seperti satu kalimat klise itu. Cinta akan datang karena terbiasa. Jadi itulah yang Dai lakukan selama ini dengan Bas. Tanpa tahu jelas apakah rasa itu telah datang, tinggal atau bahkan sudah pergi begitu saja tanpa Dai sempat untuk bisa menyadarinya.
Pantas saja Bas menyerah. Pasti ia bosan, jenuh bahkan lelah pada gadis seperti Dai.
"Aw!"
"Si curut malah bengong." Gemas Ran yang menjitak ubun-ubun Dai.
"Ih, apaan sih? Sakit tauk!"
Ran malah nyengir, "Sorry sorry. Abis gue greget nungguin jawaban lo. Yeh lo nya malah bengong."
"Tapi kan nggak usah pakai jitak segala, Koko Ran!" Pekik Dai bersungut masih tak terima.
Jitakannya tadi memang agak sedikit kencang. Pantas saja Dai seperti ini. Tapi kemudian tangannya terulur untuk mengusap-usap bagian yang kena jitakannya lembut, "Iya gue minta maaf deh sama lo, tapi jangan ngambek, oke?"
"Bodo. Pokoknya tiga jam dari sekarang gue mau ngambek aja sama lo. Puasa ngomong." Ketus Dai.
Kumat lagi, pikir Ran.
Nggak usah heran. Dai memang seperti ini.
Pernah denger kalimat ini?
setiap manusia pasti memiliki paling tidak satu kebiasaan uniknya masing-masing.
Nah, beginilah kebiasaan unik Dai.
Ran terkekeh sejenak, mana ada orang ngambek di jam-in.
Dasar Dai!
"Yah janganlah, Na. Gimana kalau besok gue traktir lo Pop ice rasa taro di kantin sekolah? Mau kan? Pasti mau dong." Bujuk Ran pada akhirnya.
"Emangnya gue anak kecil apa!" Gumam Dai melirik kearah Ran, mencoba sinis tapi gagal.
"Emang lo kecil kayak anak curut. Anak curut yang gembil tapi."
"Nggak lucu!"
"Oh... serius nih nggak mau? Padahal rencananya gue bakal traktir lo satu bulan penuh loh. Tapi ya ngga-."
"Siapa bilang!" Potong Dai sigap, "Satu bulan penuh ya? Deal!"
Tangan kecil itu menyalami tangan Ran dengan gerakan cepat. Membuat Ran kembali terkekeh refleks mengacak rambut Dai, "Dasar curut!"
"Ish."
"Murahan banget kalau urusan lidah."
"Bodo." Ejek Dai, "Yang penting ditraktir."
"Idiot."
Mereka pun tertawa bersama cukup lama. Hingga Ran teringat pembicaraan sebelumnya.
"Jadi?"
"Apa?"
"Yang tadi itu jawabannya apa?"
Tawa Dai lenyap perlahan. Dasar Ran, perusak suasana!
"Ya intinya kita putus. Titik."
"Terus kalian berakhir gitu aja? Lo terima diputusin gini?" Dai tak tau harus jawab apa. Ingin mempertahankan pun bagaimana?
Alibi kuat macam apa memangnya yang akan dia gunakan. Sedangkan dirinya saja masih bingung dengan perasaannya sendiri.
This is completely complicated.
"Udahlah jangan diomongin sekarang." Kilah Dai, tangannya ikut mengibas tanda benar-benar tak ingin membahas lebih jauh lagi, "Males gue."
Kalau sudah begitu, Ran bisa apa?
Nelen ludah pahit aja akhirnya.
"Jadi, kenapa lo ada disini?" Tanya Dai kemudian.
Ran membenahi posisi duduknya yang asalnya menyamping menghadap Dai menjadi tegak lurus kedepan, lalu berdehem sekali sebelum menjawab. "Bokap lo nelpon nyokap gue, Nitipin lo katanya. Jadi gue disuruh kesini buat jemput lo, nginep di rumah gue malam ini."
Oh, come on! Untuk hal yang barusan Ran jelaskan sih Dai sudah hapal betul. Bagaimana tidak? Sejak kecil, setiap kali ayahnya itu harus pergi jauh pasti Dai selalu dititipkan di rumah Ran. Tapi biasanya Tante Ris langsung yang akan menjemputnya.
Maka dari itu Dai memutar bola matanya jengah, bukan itu yang Dai maksud.
Dan Dai tahu kalau Ran pun juga tahu kalau Dia tahu.
"Please deh. I'm preety sure you really know what I mean."
Ran tersenyum lebar, menampakkan sederetan gigi rapinya. Dai tahu jelas apa maksudnya.
"Let me guess." Seru Dai, "Jangan bilang lo putus lagi!”
"Ena Pintar"
Dai sempat memekik meski kemudian menatap Ran prihatin. Tangannya terlulur mengusap bahu Ran. Siapa yang tahu ternyata mereka senasib. Tapi kenapa rasanya ada yang aneh ya bagi Dai.
Ran mendengus geli melihat raut Dai, "It's okay, Na."
Dai menatap Ran intens, mencari dimana letak kebohongan sebagai bentuk benteng diri dari rasa kehilangan dan terbuang, tapi nihil.
Ternyata disini anehnya. Apa yang mereka alami itu sama, baru aja diputusin. Tapi kenapa efeknya beda? Ran malah kelihatan makin happy gitu, kebalikannya Dai.
Dan kalimat Ran setelahnya menyadarkan Dai akan ingatannya tentang cowok itu yang hilang sepersekian detik barusan. Tangan itu ditariknya menjauh dan posisinya duduk kembali seperti semula.
"Kan masih ada lo."
***