Rion memarkirkan mobilnya di tepi sebuah danau. Mematikan lampu mobilnya agar tak ada yang bisa melihat-nya dari sini. Ia memegang lengannya. Darah masih menetes dari sana. Rion menyobek bajunya dan mengikatkannya pada lengannya agar darah tak terus keluar. Kepalanya pusing, preman-preman sinting itu terus menghajarnya sampai badannya penuh luka lebam.
Ia menarik nafas secara perlahan dan hati-hati. Satu tarikan nafas saja sudah cukup berat dan menyakitkan baginya. Ia tak menyangka mengambil beberapa dokumen yang tertinggal akan menjadi sesulit ini. Untung saja, ia sudah menyiapkan langkah pencegahan.
Sejak membeli rumah itu beberapa tahun silam. Rion sudah memasang bom di setiap sudut rumahnya. Saat para preman itu menghajarnya, ia masih sempat meraba sakunya untuk mengambil tombol itu dan meledakkan rumahnya. Runtuhan puing itu terlempar kesana kemari. Cukup untuk mengalahkan sejumlah preman itu. Mungkin mereka semua sudah mati tertimpa runtuhan bangunan dan ia sama sekali tak menyesal akan hal itu. Mereka pantas mendapatkannya setelah melakukan hal seperti ini padanya.
Posisi Rion yang saat itu sejajar dengan tanah membuatnya aman dari ledakan. Ia lalu meninggalkan tempat itu yang sudah hangus dan mengendarai mobilnya yang untung saja hanya penyot di beberapa tempat dan masih bisa hidup saat dijalankan. Karena memang mobil ini dirancang untuk menangkis peluru dan ledakan.
Rion membuka ponselnya, sudah malam. Mungkin ia akan membutuhkan waktu beberapa saat untuk memulihkan diri. Ia akan absen beberapa saat di kampusnya. Dan semoga saja guru itu tak menggubrisnya lagi. Rion teringat perkataan guru itu sesaat sebelum ia meninggalkan ruangan. “Hah, Orang tua. Jika aku punya mereka pasti sudah lama tewas karena memiliki anak sepertiku.” Rion tertawa. Tawa yang cukup menyakitkan.
***
Bella memandang seisi kelas. Rion, anak itu sudah tak masuk selama 3 hari tanpa ijin sejak terakhir kali ia bertemu dengannya. Huft, ia menambah daftar panjang anak-anak yang bermasalah miliknya. Saat hari ke-empat Bella akhirnya melihat anak itu. Lalu memutuskan saat sepulang sekolah nanti ia harus memanggilnya lagi.
“Rion,” panggilnya. Anak itu menoleh. “Ikut saya ke ruang BK sekarang.” Perintahnya. Anak itu menurut walau sempat mendengus kesal. Sesampainya di ruang BK, mereka duduk berhadap-hadapan seperti sebelumnya. “Kenapa kau tidak masuk kelas selama beberapa hari?” tanya Bella.
“Saya sakit.”jawab Rion santai. “Kanapa tak memberikan ijin.” Tanya Bella lagi. “Saya lupa.” Jawab Rion santai yang mengguncang emosi Bella. “Bagaimana dengan orang tuamu yang kusuruh datang kemari?”
“Saya tak punya orang tua.” Bella mendengus kesal kali ini. Anak ini tak bisa diajak kompromi sama sekali. Sangat menyebalkan tapi menantang di satu sisi. “Baiklah, kalau begitu mari kita selesaikan ini dengan permintaan maafmu.” Kata Bella.
“Saya tak akan meminta maaf. Saya tak melakukan kesalahan apapun.” Rion tetap bersikeras. “Baiklah, kita akan tetap disini. Sampai aku mendengar permintaan maafmu.” Jawab Bella sama keras kepalanya.
Dalam hati Rion marah-marah dan mengumpat. Seharusnya ia sudah berada di rumah saat ini. Mengistirahatkan semua otot-ototnya yang sakit. Tapi, malah harus meladeni guru yang menyebalkan ini. Tapi, egonya tak mengijinkan ia untuk meminta maaf. Ia akui ia memang kurang ajar pada guru yang satu ini. Tapi, ia tak akan pernah meminta maaf sampai kapan pun.
Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Bella mulai bosan. Tapi ia harus mendengar permintaan maaf anak ini. Tapi, Rion sama kerasnya ia sama sekali tak mau meminta maaf. Kepalanya sudah pusing saat ini, nafasnya juga semakin berat. Sudah jam sembilan malam. Berapa lama lagi wanita ini akan menahannya. This is bad day, guman Rion dalam hati.
Ia bangkit berdiri, “Mau kemana kau?” tanya Bella. “Saya mau ke kamar mandi.” Jawab Rion santai. “Tunggu, siapa yang menginjinkanmu ke kamar mandi. Tahan sampai aku mendengar permintaan maafmu dulu.” Tegas Bella. “Tapi saya ha- ’’ belum sempat Rion melanjutkan perkataannya. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuhnya ,pandangannya semakin kabur. Ia jatuh pingsan tapi sebelum tubuhnya menghantam lantai ia merasakan ada tangan yang menangkapnya dan setelah itu semuanya gelap, ia tak igat apa-apa lagi.
Bella diserang rasa panik dan takut. Anak ini pingsan. Apa aku terlalu keras menghukumnya. Bagaimana ini, untung saja Bella berhasil menangkapnya sebelum tubuhnya membentur lantai. “Rion, bangun.” kataya sambil menguncangkan tubuh anak itu. Namun, anak itu tak bergerak. Hal yang membuat Bella semakin panik. Ini bisa menjadi masalah besar. Bella menggendong Rion, anak ini harus segera diobati pikirnya.
Untug saja anak ini tak terlalu berat, Bella menyambar tasnya dan menggendong Rion di belakang badannya. Memasukkannya ke mobil. Memutuskan untuk membawa ke rumahnya. UKS sekolah pada jam segini pasti sudah tutup. Rumah sakit terlalu jauh. Jadi, jalan satu-satunya adalah dibawa ke rumahnya.
Bella meletakkan Rion di kursi penumpang. Dan ia menyetir dengan cepat. Begitu sampai di rumahnya, Bella menggendong Rion masuk dan membawanya ke kamarnya. Bella meletakkan Rion di kasurnya. Jean sedang kerja sekarang. Harusnya ia aman. Bellapun menutup kamarnya.
Bella mendekati Rion, mencopot kacamata anak itu dan dengan segera membuka kemeja pendek yang anak ini kenakan. Bella terkejut begitu meloloskan semua kancing baju Rion. Tubuh anak ini dibalut perban. Bella dengan hati-hati melepaskan bajunya sampai tak tersisa, kecuali celana panjangnya.
Bagaimana anak ini bisa terluka separah ini, itu berarti anak in tak berbohong kalau ia sakit. Tapi Bella kira jikapun benar. Sakitnya seharusnya tak separah ini. Dengan hati-hati Bella meraba badan Rion. Ia memiliki cukup pengalaman di bidang medis. Atau setidaknya ia tak cukup buta masalah kesehatan. Tampaknya beberapa tulang anak ini patah dan lengan kanannya terluka, perbannya harus segera diganti.
Bella melepas perban yang membungkus badan muridnya dan mendapati banyak lebam disana. Apa anak ini dikeroyok? Batinnya. Bella miris melihat tubuh Rion. Ia menyesal seharusnya ia tak menghukum Rion seperti itu, andai saja ia tahu masalah ini.
Bella mengambil kotak P3K, menggambil perban dan mengobati luka Rion. begitu selesai. Bella memakaikan kemeja Rion kembali tanpa mengancingkannya. Bella bersusah payah menahan matanya agar tak melihat-lihat tubuh Rion. Ingat Bella, anak ini muridmu. Batinnya.
Tapi, Bella tak menyangkal tubuh Rion memang menggoda. Mulus putih tanpa cacat jika saja tak ada lebam-lebam itu. Perutnya sixpack dan badannya kurus atletis. Benar-benar sangat menngoda dan menganggu benak Bella. Andai saja, ah...apa yang Bella pikirkan. Benar kata Jean ia harus segera mencari pasangan.
Bella menyelimuti Rion sebatas perut. Ia mendesah pelan lega, tapi masih menghawatirkan keadaan muridnya. Bella memandang wajah Rion lama, wajah ini begitu damai dan tenang. Pandangan Bella menelusur. Rion. Bulu matanya lentik, panjang sekali. Bibirnya tipis tapi penuh, hidungnya mancung tak ada sehelaipun bulu di wajahnya. Bella menyentuh wajah Rion untuk menuntaskan rasa penasraannya, wajahnya mulus semulus bayi. Bella terus membelai wajah itu terpana. Sampai Rion membuka mata.
Bella nampak sangat kagum. Mata itu begitu teduh, berwarna biru langit. Cerah, sangat indah. “Apa yang kau lakukan padaku?” tanya Rion ketus. Bella mengakhiri lamunannya dan buru-buru menarik tangannya. “Ah, maaf tadi kau pingsan.” Jawab Bella malu-malu karena ketahuan.
Rion mengusap rambutnya menggunakan tangan kirinya karena tangan kanannya masih sakit dan rasanya berdenyut-denyut. “Aku dimana?” tanyanya. “Kau ada di rumahku. Tepatnya di kamarku.” Jawab Bella santai sambil memandang memutar kamarnya. Untung Jean selalu rapi-rapi jadi kamarnya saat ini tidak terlalu memalukan.
Rion menelusuri kemejanya begitu melihat kancingnya terbuka ia menatap curiga pada Bella, “Anda tidak berbuat yang aneh-aneh, kan?” tanyanya dalam bahasa formal sambil memicingkan sebelah matanya. Mendengar hal itu Bella menjitak kepala Rion sebelum anak itu bisa menghindar. “Aduh,” jerit Rion.
“Apa yang kau pikirkan, aku gurumu. Apa yang bisa aku lakukan pada bocah kecil sepertimu.” Dengus Bella. Sepertinya sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya pada Rion mengenai lukanya. Ia belum sembuh benar. Berdebat hanya akan membuatnya semakin terluka. Apalagi luka itu sepertinya tak meninggalkan kenangan yang baik baginya.
“Ayo,” ajak Rion berusaha duduk di kasur yang langsung saja dibantu Bella. “Kemana?” tanya Bella. “Antar aku pulang sekarang.” Pinta Rion. “Tapi..” Belum sempat Bella melanjutkan kata-katanya ia sudah lebih dulu luluh melihat ekspresi memohon Rion yang baginya sangat menggemaskan yang sangat berkebalikan dengan sifat keras kepalanya.
Tak tahan, akhirnya Bella memilih mengalah. “Oke, aku antar.” Jawabnya beranjak. Ia menunggu Rion. Namun, anak itu masih saja sibuk berusaha mencoba mengancingkan bajunya menggunakan satu tangan. Antara tidak tega dan tidak sabar, Bella meraih kemeja Rion dan mengambil alih tugas mengancingkan baju. Sementara, Rion hanya memandangnya dengan ekspresi merenggut yang cute.
“Jangan tatap aku seperti itu.” Pinta Bella tanpa memandang wajah Rion dan sibuk dengan apa yang ia lakukan. “Selesai. Ayo aku bantu berdiri.” Kata Bella. Rionpun berdiri walau masih agak terhuyung-huyung. “Sebentar aku cari kuncinya dulu.” Kata Bella sambil membuka lacinya. Sementara, Rion mendahuluinya menuju pintu.
Rion membuka pintu, dan alangkah terkejutnya ia begitu melihat ada seorang lelaki paruh baya yang berdiri di hadapannya. Pria itu cukup tua, dengan tato naga di tangan kirinya. Rambutnya beruban sebagian. Badannya berotot, dan tentu saja lebih besar dan lebih tinggi ketimbang Rion. Dibelakang Rion Bella berteriak dengan menyebut kata, “Ayah!”
Wihh mantap
Comment on chapter RK