Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

Kita ini apa? Jika hanya teman, tolong jangan bersikap seakan aku dan kamu akan menjadi kita. 

 

***

 

Istirahat pertama sudah berlangsung dan sekarang waktunya belajar pelajaran ekonomi, kata Tata Bu Haina, guru yang mengajar pelajaran ekonomi tidak masuk hari ini. Aku mendesah senang, seenggaknya untuk hari ini saja aku tidak membuka buku dan di suruh mengerjakan tugas oleh Bu Haina di buku yang rumit itu.

 

Aku membenci pelajaran ekonomi, matematika dan sosiologi, menyukai pelajaran Bahasa Indonesia dan tidak terlalu suka dengan pelajaran Bahasa Inggris. Aku tak sepintar Yani si bintang kelas yang selalu dapat peringkat pertama setiap semesternya tetapi aku juga tidak bodoh seperti Dhanu. Ah, Dhanu tidak bodoh hanya saja dia yang terlalu malas belajar.

 

Banyak kegiatan yang di lakukan oleh teman-teman sekelasku meski pelajaran kosong hari ini, ada yang tidur di meja nya masing-masing, bolos, gosip dan bermain game. Dan Gilang salah satu peserta pada kegiatan terakhir.

 

Aku melirik Desi yang asik mengobrol dengan Meta, teman sekelasku. Tata dan Ririn juga asik, tetapi dengan kegiatan masing-masing yaitu mendengarkan musik lewat earphone miliknya. Aku merasa bosan dengan ponselku dan memutuskan menghampiri Gilang yang duduk sendiri di kursinya sambil bermain game.

 

Gilang masih asik dengan kegiatannya, sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku. Aku menyimpan tangan di atas meja dan menutupi wajahku dengan telapak tangan.

 

“Ngantuk?”

 

Refleks aku menoleh pada Gilang saat dia bersuara, aku mengangguk.

 

“Ya udah tidur,” ucapnya yang masih fokus pada ponsel.

 

“Gak mau.”

 

Gilang mengedikkan bahu acuh. “Terserah.”

 

“Ish... nyebelin! Udah kenapa Lang main game nya,” celetukku kesal melihatnya yang tanpa terganggu sedikitpun dan malah aku yang merasa terganggu.

 

“Katanya lo ngantuk, kenapa gak tidur?”

 

Aku memutar bola mata, dia masih fokus dengan ponselnya.

 

“Gue ngantuk gara-gara lihat lo asik sendiri.”

 

Gilang terkekeh dan dia menyimpan ponselnya dalam saku kemeja. Dari samping meja Gilang, Pandu berjalan mendekat ke arah kami dan duduk di kursi samping Gilang.

 

“Gak ada otaknya kau ni,” katanya langsung tanpa basa-basi.

 

Aku terbahak keras, Pandu memang begitu. Orangnya absurd banget, suka bercanda dan gak pernah serius. Kelakuan nya selalu nyeleneh, tapi dia akan diam seribu bahasa saat pelajaran Bahasa Inggris. Alasannya karena dia sering dikerjain sama Bu Sari, Bu guru cantik yang mengajar Bahasa Inggris.

 

“Ngapain lo ke sini, Ndu?”

 

Sekarang giliran Pandu yang terbahak lebih keras, dia bangkit dan menepuk pundak Gilang. “Jangan pacaran terus, bro! Ingat masih pake status temen itu,” ucapnya dan berlalu.

 

Aku menoleh pada Gilang dan dia juga begitu, tatapan kami beradu selama beberapa detik sebelum akhirnya Gilang yang terlebih dahulu memutuskan kontak mata.

 

Setiap melihat mata teduh Gilang, rasanya aku tak bisa bernapas dengan lancar. Saat setiap kali Gilang melontarkan kalimat sederhananya, ada saja bagian di dalam diriku yang menghangat. Aku takut perasaan yang dulu sempat sirna kembali lagi kepada orang yang sama.

 

“Gilang...,” panggilku.

 

“Ya?” jawabnya dan menoleh.

 

“Gue takut,” Aku berujar lirih, entah kenapa sekarang aku ingin menangis. Mood ku mudah sekali berubah setiap kali hal itu menyangkut aku dan Gilang.

 

Napasku tertahan saat tangan Gilang menggenggam erat tanganku. “Gak usah takut, gue selalu ada buat lo. Walaupun gue gak tahu hal apa yang bikin lo takut. Selagi rasa takut lo bukan karena gue, gue bisa nenangin lo, Lika.”

 

“Kita ini apa, Lang?”

 

“Teman,” jawabnya enteng.

 

***

 

Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, setelah menyimpan barang-barang ku ke dalam tas aku lalu keluar dari kelas dan menyalakan ponsel ku untuk menghubungi Kak Rigel, memintanya menjemputku sekarang.

 

“Kak, sekolah udah kelar. Aku tungguin di lapangan basket ya,” kataku setelah panggilan di terima.

 

“Sori, dek. Gue gak bisa jemput sekarang, lima menit lagi gue presentasi soalnya. Lo pulang nebeng sama temen lo aja atau sama Felix, oke?”

 

Aku mendesah kesal lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Langkahku berbelok ke koridor yang menjurus pada lapangan basket, di sana ada Kak Felix yang berjongkok mengikat tali sepatunya.

 

“Kak Felix!” panggilku sambil berjalan cepat. Dia mendongak dan menoleh ke arahku dengan wajah datar.

 

“Loh, kenapa belum pulang, Li?” tanya nya yang memperhatikan ku.

 

“Kak Felix mau latihan?” tanyaku dan memperhatikan anak-anak yang berkumpul di tengah lapangan.

 

“Yeee... ditanya malah balik nanya,” celetuk Kak Felix. Aku nyengir dengan rasa gelisah yang menguasai pikiranku.

 

Takut-takut kalau Kak Felix benar-benar mau latihan basket dan aku terancam pulang naik gojek.

 

“Gue kan kepo,” sahutku menutupi kegelisahan.

 

“Iya nih, pengen latihan bentar lagi.” Kak Felix membasahi rambutnya dengan air mineral dalam botol yang dia ambil dari dalam tas. “Lo pulang kapan? Rigel jemput kan?”

 

Aku diam beberapa saat dan beberapa kali juga Kak Felix memanggil namaku dan aku mengacuhkannya. Setelah berpikir lama, aku akhirnya angkat bicara.

 

“Oh iya dong!” seruku. “Ya udah gue pulang ya Kak, Kak Rigel udah di depan soalnya,” kataku bohong.

 

Kak Felix mengangguk kemudian aku berlalu dari hadapannya menuju parkiran. Aku membuang napas kasar sambil mengeluarkan ponsel berniat untuk memesan gojek.

 

“Ayo, gue anter.”

 

Suara serak itu membuatku menghentikan gerakan mengetik pada ponselku dan menoleh ke arahnya. Gilang dengan motor hitamnya berada di sampingku berdiri.

 

“Tapi beda jalur banget, Lang.” Aku kepanasan dan mengibaskan tangan di depan wajah. Wajahku juga sudah memerah sekarang karena kepanasan.

 

Tanpa ku duga Gilang melepas Hoodie nya dan mengeluarkan buku tipis dari dalam tasnya, dia menyerahkan dua benda itu padaku.

 

“Pake hoodie nya, kalo di jalan kepanasan jadiin aja buku itu kipas!” perintah Gilang. “Ayo gue anter,” ajaknya lagi.

 

Aku mengulum senyum dan memakai hoodie milik Gilang lalu naik ke atas motor besarnya di bantu dengan tangannya yang terulur. “Tapi kan di jalan banyak angin.”

 

“Iya, makanya gue kasih hoodie biar gak kepanasan dan masuk angin.”

 

Gilang menarik gasnya meninggalkan parkiran sekolah. Aku mencondongkan wajah ke depan agar sejajar dengan wajah Gilang walaupun aku harus membungkuk karena jok motor penumpangnya tinggi banget.

 

“Terus bukunya?”

 

Aku menyadari bahwa Gilang terkekeh dibalik helm full face nya. “Ya buat kipasan.”

 

Setelah itu aku dan Gilang sama-sama diam hingga akhirnya motor hilang berhenti di depan gerbang rumahku, aku turun dari motor Gilang dan dia melepas helm nya.

 

“Makasih ya Lang, udah repot-repot nganterin,” ucapku sambil tersenyum.

 

Gilang juga tersenyum. “Enggaklah. Apanya yang repot ketimbang nganterin doang.”

 

Aku mengangguk. Ini yang aku suka dari Gilang, dia yang tak pernah hitung-hitung jika berbuat baik sama orang. Saking baiknya Gilang sampai-sampai dia membuatku merasa di perlakukan spesial olehnya.

 

Ah, sial! Barusan saja aku sudah menyebut bahwa aku suka Gilang. Lagi.

 

“Gih, masuk. Besok pulang sekolah jalan sama gue ya.” Gilang mengacak rambutku membuat jantungku berdebar karenanya.

 

“Jalan ke mana?” tanya ku mengabaikan debaran gak jelas yang mendominasi jantungku.

 

“Rahasia lah! Buruan masuk,” suruhnya lagi. Aku tersenyum dan mengangguk. Sebelum benar-benar masuk ke dalam aku menyempatkan berjinjit untuk mengacak rambut Gilang.

 

“Dih, ngebales.”

 

Aku hanya menanggapi dengan tawa yang benar-benar bahagia dan hangat, aku menyempatkan menatap mata teduh Gilang.

 

“Jangan ditatap lama-lama, nanti kangen sama matanya.”

 

Mengabaikan itu aku lalu masuk ke dalam dengan pipi yang sudah bersemu merah karena interaksi dengan Gilang hari ini. Ini di luar dugaan ku.

 

Aku sudah ingkar dan aku mengakuinya. Bahwa aku kembali menyukai Gilang.

 

***

 

Pintu kamarku di ketuk dari luar membuatku yang tadinya duduk di balkon kamar berdiri dan berjalan menuju pintu untuk membukanya karena saat masuk ke dalam kamar tadi aku mengunci pintu.

 

“Kenapa, Kak?” Kak Rigel menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku kemudian masuk ke dalam. Aku menutup pintu dan menyusulnya yang berjalan ke balkon.

 

“Lo habis dari balkon ya? Kok pintunya kebuka?” Kak Rigel duduk lesehan di lantai.

 

Aku mengangguk dan duduk menyusul Kak Rigel. “Emang,” jawabku setelahnya.

 

Aku mendengar ponsel yang ada di atas kasurku berbunyi, saat aku ingin bangkit dan mengangkat telepon Kak Rigel menahan tanganku. Membuat aku terpaksa harus duduk kembali dan mengabaikan panggilan telepon itu.

 

“Apa Kak?” tanyaku jengah.

 

“Sini deketan sama gue,” suruhnya dan menepuk tempat di sampingnya.

 

Aku menurut mendekati Kak Rigel dan meletakkan tangan kananku di atas pahanya, keningku terangkat menatapnya bingung. Raut wajah Kak Rigel berbeda dari biasanya.

 

Kak Rigel menarik kepalaku dan membawa ke pundaknya, aku mencari posisi yang nyaman untuk bersandar di pundak Kak Rigel sementara dia mengalungkan tangan di bahuku.

 

“Lo tahu? Gue sayang lo, Li,” ucapnya pelan. Aku mengangguk.

 

“Gue gak akan biarin seorang pun nyakitin lo, kalo seandainya Handi gak bisa jagain lo sepenuhnya, gue bisa menjamin keselamatan lo tanpa ikut campur dia,” ucap Kak Rigel lagi. Aku mengangkat kepala dan menatapnya.

 

“Kenapa Kakak ngomong kayak gini? Ada masalah apa?”

 

Kak Rigel menarik napasnya dalam, dia membalikkan tubuh sehingga benar-benar menghadap ke arahku. Dia memegang erat kedua pundak ku.

 

“Aku bingung sama Kakak,” kataku.

 

Dia tersenyum tipis tetapi aku masih bisa melihat nya. “Gilang itu siapa, Li?”

 

“Dia temenku,” jawabku.

 

“Sejak kapan?”

 

“SMP.”

 

“Kamu suka dia?”

 

Aku menahan napas sejenak lalu menjauhkan tangan Kak Rigel dari pundak ku dan bangkit berjalan ke sisi lain balkon, sementara Kak Rigel masih berdiam di tempatnya.

 

“Aku gak tahu Kak, tapi aku rasa sikap Gilang ke aku terlalu manis.” Aku menoleh namun tidak menatap Kak Rigel, aku hanya menatap lantai yang sejurus dengan pijakanku.

 

“Apa aku salah kalo akhirnya aku terbawa perasaan dekat sama dia?” Lanjutku.

 

Aku tahu Kak Rigel sekarang berjalan ke arahku dan dia menumpukan tangannya pada pagar balkon. “Berarti dia suka kamu.”

 

Aku mehanan senyum dan menyembunyikannya dengan kekehan kecil. “Kenapa kita jadi bahas soal Gilang, sih?” tanyaku.

 

“Tapi bisa aja dia emang baik ke semua orang,” kata Kak Rigel tanpa menjawabku. Aku lalu diam mencerna ucapan Kak Rigel yang membuat aku bingung dan pembicaraan kami yang sulit aku pahami.

 

Kak Rigel menepuk bahuku pelan, “Jaga hati ya, Li. Jangan sampai patah,” ucapnya dan berlalu pergi meninggalkan aku yang berdiri mematung di balkon.

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • yourex

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Suara Kala
6951      2244     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...
Utha: Five Fairy Secret
1572      770     1     
Fantasy
Karya Pertama! Seorang pria berumur 25 tahun pulang dari tempat kerjanya dan membeli sebuah novel otome yang sedang hits saat ini. Novel ini berjudul Five Fairy and Secret (FFS) memiliki tema game otome. Buku ini adalah volume terakhir dimana penulis sudah menegaskan novel ini tamat di buku ini. Hidup di bawah tekanan mencari uang, akhirnya ia meninggal di tahun 2017 karena tertabrak s...
Angkara
1137      670     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
Dear Vienna
382      292     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
Forever Love
3562      1127     6     
Romance
Percayalah cinta selalu pulang pada rumahnya. Meskipun cinta itu terpisah jauh bermil-mil atau cinta itu telah terpisah lama. Percayalah CINTA akan kembali pada RUMAHNYA.
Kumpulan Quotes Random Ruth
2121      1117     0     
Romance
Hanya kumpulan quotes random yang terlintas begitu saja di pikiran Ruth dan kuputuskan untuk menulisnya... Happy Reading...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
276      225     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Rinai Hati
539      296     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
13417      2614     6     
Humor
Amira dan Gilang yang menyandang peran werewolf dan vampir di kelas 11 IPA 5 adalah ikon yang dibangga-banggakan kelasnya. Kelas yang murid-muridnya tidak jauh dari kata songong. Tidak, mereka tidak bodoh. Tetapi kreatif dengan cara mereka sendiri. Amira, Sekretaris kelas yang sering sibuk itu ternyata bodoh dalam urusan olahraga. Demi mendapatkan nilai B, ia rela melakukan apa saja. Dan entah...
Di Bawah Langit
3261      1028     1     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...