Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

Aku senang menceritakan semua tentangmu. Baik buruknya kamu. Di mataku tetap sama, kamu selalu yang terindah.

 

***

 

11 Juni 2017

Jam sudah menunjukan pukul 06.30 dan aku sudah siap dengan seragam putih biru yang melekat di tubuhku, pakaian sekolah ini sudah agak kekecilan di tubuhku mungilku. Di atas meja makan, selain makanan yang terhidang di sana ada juga topi yang terbuat dari kertas karton berwarna pink dan bentuknya seperti topi orang yang mau wisuda. Topi ini Kakak ku yang membuatkan. 

 

Hari ini adalah hari pertamaku sebagai calon siswi baru di SMA Tunas Harapan dan aku akan menjalani MOS pertamaku di sekolah pada pukul 07.30 nanti. Senyum di bibirku mengembang saat otakku membayangkan bagaimana keren nya aku saat menggunakan pakaian putih abu-abu dan dasi yang menggantung di leher bajuku nanti. 

 

Namaku Lika Andrea Hirata, umurku 16 tahun tanggal 20 juni nanti. Sembilan hari lagi. Aku punya dua kakak laki-laki kalau mau tahu, singkatnya aku ini anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di keluarga ku.

 

Dari arah tangga, Kakak laki-laki ku yang bertubuh tinggi berjalan sambil menyandang tas ranselnya. Dia tersenyum manis kepadaku dan aku membalasnya. 

 

“Hai, Kak!” sapaku girang. Dia berjalan mendekat dan mengacak gemas rambutku lalu kami duduk di kursi untuk menyantap sarapan yang sudah di sediakan oleh Mama pagi ini. 

 

“Adek mau bernagkab sendiri apa sama Kakak?” tanya Mama yang tengah sibuk menyeduh teh.

Aku menggeleng, “Aku berangkat sama Desi, Ma,”

 

Mama mengangguk bersamaan dengan Papa yang mengambil alih gelas teh di tangan Mama. Mungkin sekarang aku terlalu bahagia sehingga senyum di bibirku selalu saja mengembang pagi ini. 

 

“Pasti nanti di sekolah banyak yang nanya siapa nama Kakak kamu,” kata Kak Rigel.

 

Aku meliriknya dengan ekor mata tanpa minat, “Kenapa emang?” tanyaku.

 

“Kakak kan terkenal di sana, Li,” katanya menyombongkan diri. Aku meneguk gigitan roti terkahir ku dan mengambil tisu.

 

Aku tak lagi menghiraukan celotehan Kak Rigel dan Kakak ku yang lain yang baru saja bergabung di meja makan, yang aku lakukan adalah melirik arloji yang terpasang di pergelangan tanganku lalu menyalami punggung tangan Mama dan Papa. 

 

“Berangkat,” pamitku setelahnya.

 

Di depan pagar rumahku, sudah ada Desi yang menunggu dengan sepedanya. Aku melambaikan tangan dengan bersemangat dan membuka pintu garasi mengeluarkan sepedaku dari sana. 

 

Aku dan Desi memang berangkat sekolah menggunakan sepeda karena jarak sekolah dengan rumahku terbilang cukup dekat, bahkan berjalan kaki pun bisa untuk sampai ke sekolah.

 

Pernak-pernik MOS aku letakkan di keranjang sepeda dan ransel tetap tergantung di kedua bahuku, setelah merasa semuanya sudah siap barulah aku dan Desi berangkat.

 

Kami sampai ke sekolah sebelum 20 menit lagi MOS akan dimulai, setelah memarkirkan sepeda pada tempatnya aku dan Desi langsung berjalan menuju lapangan di ambang banyak sekali yang memakai atribut tidak jelas di sana.

 

Seperti ikat yang terbuat dari tali rapia, topi yang berbentuk kerucut dan dan topi ala-ala orang yang mau wisuda sama seperti punyaku dan banyak lagi jenis lainnya. 

 

“Hai, Tata!” aku berlari kecil menuju tepi laoangan, di sana berdiri tiga orang cewek yang aku kenali, yaitu temanku sewaktu SMP.

 

“Hai, Lika!” balasnya. Aku tersenyum lalu mengambil topi milik Tata.

 

“Ish... topi lo jelek banget sih, Ta,” kataku sambil terbahak melihat bentuk topinya yang sudah lecek.

 

“Justru gue yang harusnya nanya kenapa topi lo bentuknya kayak gitu?” Secara refleks tangan kananku terangkat memegangi topi di atas kepalaku.

 

“Keren kan? Kalian-kalian ini mana ada yang topinya kayak bentuk punya gue,” kataku. Aku menoleh ke samping, “kecuali punya Dani itu,” lanjutku setelahnya.

 

“Hahaha... iya ajalah. Betewe unik juga sih, ucul gitu.” Tata mengambil alih topinya dariku. Di samping Tata berdiri temanku sekaligus sahabatku, namanya Retna. Selviana Retna. Aku tersenyum kepadanya.

 

“Hai, Retna!” sapaku.

 

Dia balas tersenyum dan pamit untuk pergi ke toilet bersama temannya yang lain. Sementara aku, Desi dan tata duduk lesehan di tepi lapangan tanpa perduli kotor pun.

 

MOS kali ini kami para peserta di suruh OSIS untuk memakai seragam SMP kami, tas yang terbuat dari kantung plastik jika perempuan berwarna pink dan lakilalak berwarna hijau. Semuanya begitu detail sampai-sampai warna tali rapia untuk kantung plastik pun di atur sedemikian rupa. Tidak cukup sampai disitu, kami juga di suruh memakai kaus kaki yang berbeda kanan kirinya. 

 

Kami memakai papan nama, di bagian depan terdapat format; nama, asal sekolah, tempat lahir dan anehnya di sana juga terdapat nama pacar. Memang OSIS nya kurang kerjaan membuat papan nama dengan format seperti itu. 

 

Pada papan nama bagian belakang, di isi dengan format kesalahan yang mencakup kesalahan apa saja dari barang yang di bawa nanti.

 

Aku tersentak kaget saat seseorang menepuk pundak ku keras dan duduk di sampingku.

 

“Gue kaget,” kataku. Dia tersenyum tanpa dosa dan melepas topi kerucut nya. 

 

“Tumben sendirian, yang lain mana?” tanyanya.

 

Aku mengangkat kedua alis dan berucap, “Mana ada sendiri orang gue... eh? Mereka ke mana?” lalu aku berdiri dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Tata dan Desi. Tetapi aku tidak menemukannya. 

 

“Desi sama Tata kan yang lo cari?” tanya cowok yang duduk di samping tempatku duduk tadi, dia mendonggakan kepalanya berbicara denganku yang tengah berdiri.

 

Aku mengangguk. Namanya Arkan Gilang Samudra. Salah satu teman SMP ku juga. Saat kelas 7 dan 8 aku dan Gilang belajar di kelas yang sama, tetapi saat kelas 9 kami dipisahkan, Gilang di kelas B dan aku di kelas A.

 

Awalnya, aku membenci Gilang saat kelas 7. Bukan tanpa alasan, tetapi karena Adia yang menurutku kurang ajar karena mulutnya berucap tanpa di filter. Saat itu aku salah satu haters seorang Arkan Gilang Samudra.

 

Tetapi kebencian ku terhadap Gilang mulai hilang dan surut saat kamu duduk di kelas 8. Ternyata Gilang orang yang baik dan perduli kepada teman-teman nya. Pikiran jelekku terhadap Gilang dulu ternyata salah besar, yang berpikir Gilang jahat dan akan menindas orang yang lemah seperti aku ini. 

 

Saat kelas 8, aku dan Gilang terlalu akrab sampai tanpa aku dan Gilang sadari ada rasa yang menyelinap tumbuh di antara pertemanan kami. Dan akulah yang memiliki perasaan itu. Tapi itu dulu, saat kelas 8. Itu juga perasaan yang masih perasaan monyet yang suka loncat-loncat, aku suka Gilang gak bertahan lama hanya berjangka tidak lebih dari satu tahun. Buktinya saat kelas 9 aku berpacaran dengan tenang Gilang, Jerry namanya.

Gilang menarik tanganku memberi isyarat untuk duduk kembali di sampingnya, aku pun menurut karena berpikir Desi dan Tata akan kembali ke sini sebentar lagi.

 

“Kenapa topi lo bentuknya begitu?” tanya Gilang yang menunjuk topi di tanganku.

 

“Gak apa-apa. Biar unik aja dan beda dari kalian,” jawabku santai.

 

Gilang mengangguk-angguk dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Yaitu ponsel. Jemari besar Gilang menari lincah di atas benda pipih berwarna hitam itu, karena kepo aku pun akhirnya menengok untuk bisa melihat apa yang sedang di lakukannya.

 

Gilang memberikan ponselnya kepadaku membuat aku bertanya bingung. “Apa?”

 

“Baca,” suruhnya menunjukan room-chat dia dengan seseorang.

 

“Ih! Enggaklah gue gak se-kepo itu buat baca-baca chat lo sama cewek lo,” tolakku mengembalikan secara paksa ponsel Gilang.

 

“Enggak. Ngapain juga gue kasih lihat chat gue ke elo kali itu bukan hal yang penting. Udah, baca aja.”

 

Akhirnya aku membaca chat antara Gilang dengan Bu guru yang diberi nama Bu Caca pada chatnya.

 

Arkan Gilang

??????bentuk pastinya apa ya, Bu?

 

Bu Caca

Kerucut dong.

 

Arkan Gilang

Loh? Katanya waktu itu bebas kan Bu?

 

Bu Caca

Kapan ibu bilang begitu?

 

Arkan Gilang

Ada pokoknya Bu, saya dengar sendiri kok

 

Bu Caca

Enggak ada. Topinya bentuk kerucut.

 

Arkan Gilang

Yah! Tapi saya udah bikin topi bentuk coboy yang keren Bu. Masa harus bikin ulang?

 

Bu Caca

Ya itu urusanmu.

 

“Kok dia ketus, Lang?”

 

Gilang menoleh sambil menjilat bibirnya, “Emang begitu dia, jadi lo ngeri kan?”

 

Panik. Tentu saja saat aku tahu bahwa aku salah membuat bentuk topi. Dan apa yang apa yang terjadi nanti mengingat guru pembina OSIS nya se-ketus itu, aku pasti bakal kena hukum secara kejam hari ini.

 

“Mampus gue! Kenapa juga lo baru kasih tahu gue sekarang sih, Lang?!” sentakku panik. Kebiasaan ku setiap kali panik adalah berkeringat dingin, seperti sekarang.

 

Aku terus bergumam khawatir akan nasibku nanti, tetapi pergerakan ku terhenti saat Gilang mengusap dahiku dengan punggung tangannya. 

 

“Ke-kenapa Lang?” tanyaku gugup.

 

“Enggak,” jawab Gilang seraya menggeleng. Bel masuk berbunyi dan anakanaka mukai berhambur menuju lapangan. Aku mencek ulang barang-barang bawaan ku memastikan tak ada yang ketinggalan kecuali kesalahan bentuk topi milikku.

 

Tanganku ditarik oleh Gilang menuju barisan yang terdapat di tengah-tengah lapangan, banyak sekali anak-anak yang saling dorong dan rebutan barisan. Gilang menyembunyikan ku balik punggungnya saat ada seorang cowok yang berlari cepat dari arah depan.

 

“Banyak banget murid barunya, sesak,” keluhku berucap masih dengan posisi yang berdiri di belakang Gilang.

 

Dia tidak menjawab melainkan hanya diam, anakanaan berbaris tertib dan tak ada lagi yang saling dorong dan berbicara. Aku pun dapat bernapas lega saat aku tidak lagi merasa risih karena sesaknya lapangan yang luas ini sebab terlalu banyak murid baru yang masuk. 

 

Guru pembina MOS mulai masuk ke lapangan dan berbicara dengan mic, dia menyebutkan apa-apa saja persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa ikut MOS. Aku menggigit bibir bawah dan tanpa sadar meremas jemari Gilang yang berdiri di depanku saat Bu Caca berbicara masalah bentuk topi.

 

“Saya tekankan lagi, bahwa bentuk topi dari kertas karton itu kerucut, bukan bentuk lain. Sepertinya banyak yang lupa dengan yang saya sampaikan sehingga banyak diantara kalian yang bentuk topinya lain-lain,” kata Bu Caca.

 

“Baiklah, MOS akan segera dimulai. Dan pakai topi kalian masing-masing!” perintah Bu Caca kemudian.

 

Anak-anak yang ikut MOS pun memakai topinya masing-masing setelah di suruh oleh Bu Caca, aku menarik napas berat lalu memakai topiku.

 

Mataku membulat seketika saat Gilang memakaikan topi miliknya di kepalaku dan mengambil alih topi milikku lalu memakainya. Cari masalah Gilang ini!

 

“Gilang lo apa-apaan sih!”

 

“Sssttt... udah pakai aja itu,”

 

“Tapi lo bakal dihukum, Lang.”

 

Gilang mengusap dahiku yang berkeringat dengan punggung tangannya, “Gak apa-apa, sekali-kali berjemur di depan tiang bendera kayaknya asik,” ujar Gilang diiringi senyum di bibirnya. 

 

Aku memutar bola mata, “Aneh,” gumamku.

 

Apa maksudnya ini, Gilang?

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 1 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • yourex

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Kristalia
6804      1778     5     
Fantasy
Seorang dwarf bernama Melnar Blacksteel di kejar-kejar oleh beberapa pasukan kerajaan setelah ketahuan mencuri sebuah kristal dari bangsawan yang sedang mereka kawal. Melnar kemudian berlari ke dalam hutan Arcana, tempat dimana Rasiel Abraham sedang menikmati waktu luangnya. Di dalam hutan, mereka berdua saling bertemu. Melnar yang sedang dalam pelarian pun meminta bantuan Rasiel untuk menyembuny...
BELVANYA
350      242     1     
Romance
Vanya belum pernah merasakan jatuh cinta, semenjak ada Belva kehidupan Vanya berubah. Vanya sayang Belva, Belva sayang Vanya karna bisa membuatnya move on. Tapi terjadi suatu hal yang membuat Belva mengurungkan niatnya untuk menembak Vanya.
Camelia
600      339     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
seutas benang merah
2227      885     3     
Romance
Awalnya,hidupku seperti mobil yang lalu lalang dijalan.'Biasa' seperti yang dialami manusia dimuka bumi.Tetapi,setelah aku bertemu dengan sosoknya kehidupanku yang seperti mobil itu,mengalami perubahan.Kalau ditanya perubahan seperti apa?.Mungkin sekarang mobilnya bisa terbang atau kehabisan bensin tidak melulu berjalan saja.Pernah mendengar kalimat ini?'Jika kau mencarinya malah menjauh' nah ak...
Bukan kepribadian ganda
9712      1881     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Transformers
307      257     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?
Premium
Cheossarang (Complete)
22195      2015     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Come Rain, Come Shine
2049      951     0     
Inspirational
Meninggalkan sekolah adalah keputusan terbaik yang diambil Risa setelah sahabatnya pergi, tapi kemudian wali kelasnya datang dengan berbagai hadiah kekanakan yang membuat Risa berpikir ulang.
Mawar pun Akan Layu
1062      578     2     
Romance
Semua yang tumbuh, pasti akan gugur. Semua yang hidup pasti akan mati. Apa cintamu untukku pun begitu?
Taruhan
79      76     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...