Selama ini aku menunggu dengan perasaan yang terombang-ambing tanpa kepastian. Dulu, aku pikir kamu benar akan kembali. Namun yang benar adalah takdir, bahwa kamu tidak akan pernah akan kembali. Dan benar, aku dan kamu tidak diizinkan bersama apapun alasannya. Baik itu cinta sekalipun.
***
19 September 2025
Seharusnya aku sudah sampai di rumah pukul lima sore tadi, namun karena Bosku yang perfeksionis itu mengadakan meeting dadakan sehingga berakibat kami para karyawan harus menunda jam pulang ke rumah. Sekarang pukul setengah delapan malam, aku menghela napas lelah. Jalanan di ibu kota semakin macet dari tahun ke tahun, sebenarnya meeting dadakan yang Bosku adakan hanya berlangsung satu jam dan pukul enam aku sudah pulang dari kantor. Tapi kembali lagi dengan kondisi ibu kota yang semakin padat, rumahku bahkan tidak terlalu jauh dari kantor namun mampu menghabiskan waktu selama lebih dari satu jam di perjalanan.
Aku memberhentikan mobil tepat di depan supermarket dua puluh empat jam, tubuhku lelah tentu saja. Jika saja tidak merasa kering pada tenggorokan aku tidak akan mau bertele-tele pulang ke rumah karena harus ke supermarket dulu untuk membeli minuman.
Berada di depan lemari pendingin, aku memandangi jenis-jenis minuman yang tersedia. Menimbang-nimbang mau membeli minuman apa. Akhirnya pilihanku jatuh pada minuman pocari sweet.
Getaran di saku blezer membuat aku berhenti melangkah menuju kasir, penelpon nya adalah Mama.
“Ya, Ma?”
“Kamu kok belum pulang, Li? Masih di kantor?” tanyanya khawatir. Aku terkekeh pelan, Mama memang selalu begini jika saja aku pulang terlambat walau hanya setengah jam.
“Udah pulang, Ma. Tadi meeting jadi aku lupa ngabrin Mama. Ini lagi di supermarket beli minum, haus,” jelasku.
Helaan napas lega terdengar di seberang sana. “Mama kira kamu masih di kantor. Habis itu langsung pulang, ya, temenin Kakak kamu. Kasihan dia kesepian, Kak Rigel belum pulang kerja juga.”
“Jadi Kak Ira di rumah, Ma?” tanyaku.
“Iya. Kalo gitu Mama tutup, ya, Sayang.”
Panggilan berakhir.
Kak Ira adalah istri Kak Rigel yang sekarang sedang mengandung anak pertama mereka, Kak Rigel menikah tiga tahun yang lalu dan baru diberikan kesempatan memiliki calon bayi sekarang.
Retna dan Kak Rigel berakhir setelah kami lulus dari SMA Tunas Harapan karena Retna yang harus pindah ke luar negeri bersama dengan orang tuanya dan melanjutkan pendidikan di sana. Kurang lebih satu tahun Kak Rigel tidak terurus, dia tampak sangat mencintai Retna saat itu. Retna juga sama halnya dengan Kak Rigel. Tapi apalah daya jika takdir sudah berkata lain, sekuat apapun cinta mereka jika jalannya sudah berbeda maka akan tetap berpisah.
Sama halnya dengan kisah yang pernah aku lalui dulu.
Entah di mana dia sekarang, kami benar-benar lost-contact setelah sama-sama lulus.
Setelah selesai mencari minuman aku berjalan ke arah kasir untuk membayar, supermarket sangat ramai hari ini. Terbukti dengan antrean panjang yang berjejer di depan meja kasir. Pandangan mataku tertuju pada sepasang anak SMA yang berjalan sambil bergandengan dan satu tangan cowoknya memegang kepala sang cewek. Mereka tampak sangat bahagia dan saling mencintai. Aku tersenyum hambar, dulu aku juga pernah pada posisi dan perasaan yang sama seperti mereka.
Bedanya aku harus bertemu dengan akhir yang saling merelakan. Selama tujuh tahun berlalu ini selama itu juga aku sendiri, tak pernah lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Bukan karena trauma hanya saja rasanya aku belum bisa menemukan sosok yang sama seperti yang dulu aku cintai. Aku belum menemukan sosok yang bisa membuatku mencintai dengan begitu jatuh. Banyak yang mendekatiku dan aku mencoba menerima perasaan baru namun gagal. Semuanya terasa hambar dan datar, tak ada yang spesial.
Mungkin karena aku yang masih terlalu mencintai sosok yang dulu pernah ada.
Aku lebih memilih menjadi wanita karir yang hidup sendiri bahkan saat teman-teman satu angkatanku sudah banyak yang menikah dengan pasangan yang mereka cintai. Syukurlah mereka berakhir bersama dengan janji suci pernikahan, mungkin aku sedikit jera karena takut jika aku menjalin hubungan lagi maka akan berakhir sama. Berakhir harus merelakan.
Bahkan aku tak pernah lupa dengan tanggal hari ini. Di mana pada tanggal yang sama terjadi beberapa pengalaman yang tak terlupakan.
Sekarang giliranku membayar, aku menyerahkan selembar uang berwarna merah dan mengambil kembaliannya lalu keluar dari supermarket bersiap kembali ke mobil lalu segera pulang. Namun tepukan pelan dibahuku membuatku kembali menoleh ke belakang. Seketika tubuhku terasa beku dengan wajah yang konyol. Mata yang melebar dan mulut yang sedikit terbuka.
“Lika, kan?”
Aku mengangguk lemas, lututku terasa lemah seperti jeli saat melihat sepasang mata cokelat tenang itu. Sorotku menjelajahi bagian tubuh dan penampilannya dari atas kepala hingga ujung kaki. Rambutnya yang mencapai dahi dan kaos biru pudar disertai celana jeans selutut membalut tubuhnya yang sekarang kekar. Santai namun berkharisma.
“Gilang?”
Dia mengangguk.
Napasku berembus kencang, ya, aku mengerti bagaimana seharusnya aku bersikap sekarang. Kami bukan siapa-siapa lagi dan aku harus bersikap dewasa menghadapi pertemuan tak terduga ini.
“Ngapain di sini?” tanyaku seraya melihat tangannya yang bebas, tak ada apa-apa di sana. Seharusnya jika dia berbelanja setidaknya ada satu plastik yang dia tenteng.
“Belanja,” jawabnya singkat. Aku mengangguk saja, tidak bermaksud bertanya lebih.
Posisi kami sekarang adalah aku dan dia yang bersandar pada pintu mobil yang berbeda namun berhadapan.
“Baru pulang kerja?” tanya Gilang lagi.
Aku mengangguk, memainkan botol pocari ditanganku. “Iya, habis meeting tadi terus mampir dulu beli minum. Haus,” jawabku seraya terkekeh. Kami harus berbicara santai bukan?
“Oh, kerja apa sekarang?” tanyanya lagi.
“Arsitektur sejak lima tahun yang lalu,” jawabku.
“Udah lama banget ya. Betah kerja di sana? Setahuku kamu gak pernah suka sama yang namanya seni apalagi seni menggambar,” ujarnya.
“Iya, betah. Sebenarnya gitu, tapi gak tahu kenapa aku bisa awet sampai sekarang. Dulu pas kuliah sempat pindah jurusan gitu dari fakultas pendidikan ke arsitektur.” Aku menatap Gilang yang juga tengah menatapku, kemudian kami saling melempar senyum.
“Kamu cantik sekarang,” ujarnya tiba-tiba.
Aku tertawa, “Sekarang doang, nih? Jadi dulu jelek gitu? Makanya kamu gak mau?”
Shit!
Gilang menyugar rambutnya yang menutupi dahi. “Dulu juga cantik, tapi aku baru sekarang sadarnya kalo kamu cantik.”
Aku tertawa lagi, hanya tertawa dan terkekeh ekspresi yang aku miliki untuk menanggapinya sekarang. Walau jika boleh jujur, jantungku masih berdebar tak keruan saat bertatap mata langsung dengannya.
“Oh iya, kalo kamu kerja apa sekarang? Atau gak kerja tapi malah mempekerjakan karyawan?” kekehku. Gilang tertawa sedikit nyaring hingga kedua matanya menyipit. Tawanya tampak tulus di mataku.
“Aku kerja kok, di Kapolsek,” jawabnya.
Aku berdecak kagum, pantas saja badannya kekar seperti itu. Orang dia kerjanya di kepolisian.
“Udah sukses ya sekarang,” pujiku.
“Alhamdulillah, kamu juga udah hebat sekarang. Lebih dewasa juga. Sukses jadi wanita karir kamu,” balasnya.
Aku mengulum senyum, “Kalo istri kerja apa, Lang?” tanyaku kemudian menggigit bibir. Bilang kalo istri kamu gak kerja karena emang kamu gak punya istri.
“Belum punya istri,” ujarnya.
Aku menghela napas lega.
“Baru tunangan. Dia kerja di bank swasta,” sambungnya. Runtuh sudah semuanya Lika. Dia sudah bertunangan dan kamu masih bertahan dengan rasa yang berjuang sendirian terhadapnya.
“Kamu sama siapa sekarang? Wanita karir sekaligus ibu rumah tangga, ya?” balasnya. Apa itu yang tersungging di bibirnya? Senyum jahil? Sialan!
Aku berdecak, “Kalo aku udah jadi istri orang gak mungkin aku di sini sendirian, pasti suamiku udah jemput.”
Apa? Dia sedang tertawa sekarang. Mentang-mentang!
“Loh, Lang, aku nyariin kamu dari tadi. Aku kira kamu masih di dalam.”
Suara lembut itu mengalihkan perhatian Gilang, cowok itu berpaling ke arah kiri begitu juga aku. Untuk sesaat aku terpaku melihat perempuan yang berdiri dekat di samping Gilang dengan rambut hitam pekat yang terurai dan masih panjang. Kulitnya yang putih sangat manis dengan dress hitam simpel yang dia pakai sekarang.
“Udah belanjanya?” Gilang bersuara juga akhirnya. Perempuan itu mengangguk dan mengangkat kantong belanjaannya kemudian menyerahkan salah satunya kepada Gilang.
Aku melempar senyum saat Seli memandangku dengan kening yang berkerut. Tanganku terulur untuk bersalaman dengannya. “Aku Lika, Kak. Adik kelas Kakak dulu. Masih ingat, kan?”
“Oh ... haha kamu ya, Li. Aku sedikit gak ngeh sama kamu makanya tadi sempet cengo. Kamu banyak banget berubah,” ujarnya seraya menyambut uluran tanganku. Aku membalas dengan kekehan singkat.
“Enggah ah. Gini-gini aja aku,” balasku.
Seli balas tertawa. Perempuan itu mengapit lengan kekar Gilang dengan mesra dan penuh damba. Dalam hati aku meringis seraya tersenyum kecut dibibir, jadi Seli bekerja di bank swasta sekarang. Dan sudah jelas dia tunangan yang dimaksud oleh Gilang.
“Kamu sendiri? Gak diantar sama someone? Kayaknya baru pulang kerja kamu,” ujarnya.
“Iya, Kak. Aku sendiri aja di sini, cuma beli minum doang.”
Seli melepas tangannya dari tangan Gilang. Membuka tas tangannya dan mengeluarkan sesuatu berwarna hitam merah dari dalam sana kemudian menyerahkannnya padaku.
The wedding
Arselita Seli
&
Arkan Gilang Samudra
Begitu yang tertulis cantik di atas undangan yang tengah aku pegang. Rasanya ada bagian dalam diriku yang terasa remuk saat membaca satu demi satu huruf yang dirangkai cantik di sana. Undangan pernikahan yang tertuju untuk Lika Andrea Hirata & Partner. Padahal aku berharap yang menjadi partner-ku Gilang. Hah! Nyatanya Gilang menjadi pengantin pria untuk mempelai wanita yang bernama Arselita Seli ini.
“Aku sama Gilang udah ada rencana ngasih itu ke kamu, gak punya kontak dan alamat rumah kamu. Kayaknya kamu pindah rumah. Kebetulan kita ketemu sekarang jadi langsung aku masih aja. Datang, ya, Li,” simpul ucap Seli beserta senyuman bahagia yang merekah di wajahnya.
Aku mengangguk mantap tak kalah dengan senyum yang lebih bahagia wajahku. “Makasih, ya, Kak. Aku pasti datang kok. Selamat ya,” ucapku bergerak menjabat tangan Seli lalu Gilang.
“Ya udah kami duluan, Li,” pamit Gilang.
Anggukanku mewakili jawaban yang aku berikan padanya. Seli bergerak mundur mengitari mobil yang disandari Gilang tadi lalu masuk ke kursi penumpang, rupanya parkir mobilku dan mobil Gilang berdampingan.
“Tolong, temukan seseorang pengganti aku yang lebih baik buat kamu. Jangan takut bahagia buat sesuatu yang pernah kita perjuangankan kemudian kita relakan. Jemput kebahagiaan kamu di hati yang lain,” bisik Gilang ditelingaku kemudian masuk ke kursi kemudi dan membawa mobil putih miliknya meninggalkan parkiran supermarket.
Seketika tubuhku membeku lagi seperti respon pertama yang aku hadirkan untuk pertemuan tak terduga aku dengan Gilang tadi. Dengan ringkih aku mengangkat undangan yang ada di tanganku lalu kembali membawa tulisan yang tertera di saja.
The wedding
Arselita Seli
&
Arkan Gilang Samudra
Tak ada sesuatu yang luruh dari mataku sebagai respon dari yang aku lihat. Hanya saja pasokan oksigen di dalam paru-paruku terasa semakin menipis. Dengan tangan yang bergetar aku membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam, meletakkan undangan yang cantik itu di jok penumpang. Dengan kepala yang bersandar lelah, aku menarik napas dalam.
Lagi, tepat pada 19 September semuanya benar-benar berakhir tanpa ada lagi harapan sebagai penenang. Rasa cinta, pengorbanan, perjuangan dan rasa sakit tak pernah lagi berarti apa-apa. Semuanya berakhir hari ini.
Selamat ulang tahun yang ke 25 tahun Arkan Gilang Samudra. Berbahagialah sebagaimana mestinya kamu harus bahagia. Biar saja aku yang merasakan sakitnya sendirian. Pada kenyataannya perasaan yang sempat sama-sama kita miliki tak memiliki arti apa-apa. Aku pikir penantianku selama tujuh tahun ini akan berakhir dengan kamu yang datang kembali untuk menempati derajat tertinggi di dalam hatiku, namun nyatanya bahagiamu bukan pada hatiku. Tempatmu untuk pulang memang benar bukan pelukku. Tempat tinggalmu bukan pikiranku.
Kamu pergi, aku juga akan berusaha pergi. Meninggalkan perasaan yang masih sama kuatnya dengan perasaan yang dulu ada. Walau aku tahu ini tidak akan mudah. Berhenti mengusik bukan berarti melupakan, namun merelakan kebahagiaanmu yang bukan karena aku.
Aku salah, seharusnya aku tak perlu menyebut aku dan kamu sebagai kita dalam kisah ini jika pada akhirnya hanya berakhir hancur tanpa bisa diperbaiki. Tetapi setidaknya aku benar telah menyebut diriku sebagai prolog, kamu sebagai epilog dan dia sebagai isi. Isi dan epilog selalu berdampingan namun aku tahu takdirnya prolog hanya sebagai pembuka yang lambat laun akan ditinggalkan. Aku hanya ada sebagai pemula dan dia ditakdirkan untuk menjadi kisahmu sepenuhnya.
Di sini, 19 September 2025 aku dan kamu sama mengakhiri kisah yang sempat ada. Sekali lagi Gilang, bahagialah dengan takdirmu.
Aku juga akan bahagia namun sebelumnya semoga semesta memberiku waktu untuk menyembuhkan luka ini seorang diri.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog