Semesta gemar sekali mempermainkan perasaanku. Dengan mudahnya aku melepas lalu dengan gampangnya aku kehilangan. Dicintai membuatku lelah, jatuh cinta sendirian membuatku lemah. Dan, dicampakkan membuatku benar-benar rapuh. Aku patah.
***
Hari ini hari terakhir ulangan semester, aku berhasil melewati ulangan walau beberapa masalah mengganggu pikiranku belakangan ini. Dengan langkah yang pelan aku berjalan menuju taman belakang sekolah, banyak anak-anak yang berkumpul di sini. Tak banyak juga pasangan-pasangan yang duduk berdua di gazebo yang tersedia di taman dekat kolam air mancur. Aku memilih duduk di kursi panjang dibawah pohon rindang saja, cuaca hari ini mendung, jadi terik matahari tidak terlalu menjadi pengganggu untukku menghabiskan waktu di sini.
Aku meletakkan ransel di pangkuan sambil membuka sepatuku, aku merasa kakiku benar-benar pegal entah kenapa. Lagian juga mata ulangan sudah habis dan waktu istirahat sebelum pulang akan sangat panjang hari ini. Aku ingin menghabiskan waktu di taman untuk hari ini, melihat air mancur yang tampak damai dan tenang walau dari kejauhan. Helaan napasku benar-benar berat, aku mengucek mata saat mataku terasa pedas. Aku membuka kaca dan melihat mataku memerah.
“Gue lupa bawa obat mata,” gumamku.
Mataku mengerjap-ngerjap, aku kaget saat ada seseorang duduk di sampingku. Aku menoleh, Kak Felix tengah menatapku dengan cengiran lebarnya.
Aku mendengus, setelah ucapan tanpa dosanya kala itu sekarang dia datang kepadaku dengan cengiran kudanya itu. Kak Felix ini sehat apa tidak sih?
“Ngapain di sini sendirian?” tanyanya sambil celingak-celinguk. “Nunggu seseorang?”
“Terus Kakak ngapain ke sini? Nyari seseorang?” balasku.
Kak Felix berdecak, “Kan orangnya udah ditemuin ini,” ujarnya.
Aku mengerling bosan, memangku tangan diatas ranselku. “Jadi mau ngomong apa sama aku? Masalah yang waktu itu lagi?”tebakku.
Great! Kak Felix diam sejenak namun tak mengalihkan pandangannya.
Sebelah alisku terangkat, menatapnya dengan sorot curiga—bingung lebih tepatnya.
Aku melihat Kak Felix menghela napasnya, itu berarti tebakanku tadi benar. Dia memang ingin membahas lagi ucapannya waktu itu.
“Gue beneran waktu ngomong itu sama lo, gak bercanda sama sekali, Li,” ucapnya. Serius.
Aku berbalik menghadap Kak Felix, berusaha bersikap seperti biasa kami berinteraksi. Hanya saja sepertinya Kak Felix merasa berbeda diantara kami. Aku melihat sorotnya yang penuh harap saat bola matanya kutatap lekat-lekat.
“Kak,” panggilku. Aku menghela napas, “suka aku sejak kapan? Kenapa?”
“Lama. Bahkan sebelum kita temenan. Gue tahu lo masih kecil, kelas satu SMA. Tapi disitu yang bikin gue gemes sama lo, tutur kata lo halus, sopan sama yang lebih tua. Cowok mana yang tahan kalo sering antar jemput cewek cantik dan lemah lembut kayak lo ini, apalagi Kakak lo sendiri yang nitipin lo ke gue,” ungkapnya.
Aku tersenyum miring, dasar lelaki. Aku tak selemah lembut itu sebenarnya.
“Tapi gue merasa terkalahkan saat pas MOS si Gilang ngaku-ngaku sebagai pacar lo,” tambahnya. Mataku membulat menatapnya kaget.
“Aku sama Gilang gak ada apa-apa, Kak,” elakku.
“Kalo emang bener kenyataannya begitu, berarti lo bisa doang nerima gue?” terka Kak Felix.
Kak Felix menatap mataku begitu dalam, lekat dan tak terelakkan. Bahkan aku sendiripun rasanya tak bisa memutuskan pandangan dengannya. Kenapa aku ini?
“Kak,” aku meringis. “jangan natap aku kayak gitu, gak enak.”
“Kenapa? Mungkin dengan menatap lo selekat ini bisa bikin lo ngerti sama apa yang gue rasain terhadap lo kalo emang hanya dengan kata-kata gak cukup bikin lo percaya,” tuturnya. Aku mengerang dalam hati. Aku berada dalam posisi sulit, saat hatiku masih belum terbiasa dengan kepergian Gilang yang secara tiba-tiba sekarang Kak Felix datang dengan segala pernyataannya yang mengejutkan.
Aku tersenyum sekilas sebelum memutuskan tatapan, pandanganku kufokuskan hanya ke arah lain, tak ingin menatap mata Kak Felix lagi. “Aku paham, Kak. Tapi aku gak bisa.”
“Jadi lo nolak gue, nih?”
“Menurut Kakak?” balasku. “Aku juga lagi suka sama seseorang sekarang, gak mungkin kan aku terima Kakak sementara hati aku masih mengharap orang lain? Kakak gak mau kan menjalin hubungan yang diawali dengan keterpaksaan?”
Kuharap dia mengerti, dan aku mau jangan sampai Kak Felix bertanya lagi siapa orang yang aku sukai. Karena kalaupun dia bertanya, aku tidak akan menjawabnya.
“Aku suka Kakak, suka dengan cara Kakak jagain aku. Cara Kakak yang gak jauh beda dengan cara Kakakku jagain aku, rasaku ke Kakak cuma sekedar itu. Tolong, jangan meminta rasa yang lebih dari itu sama aku.”
Taman tempat kami berada sudah mulai sunyi, mungkin anak-anak yang tadinya berada di sini memilih pindah ke kelas karena matahari mulai terik. Namun tidak dengan aku dan Kak Felix, kami seakan larut dengan obrolan yang saat ini sedang berlangsung.
“Oke, gue mengerti. Gak masalah lo nolak gue untuk saat ini, tapi gue gak akan berhenti berusaha buat bikin lo suka sama gue. Nope, gue gak maksa lo ngasih rasa yang lebih ya, ke gue. Gue cuma mau berjuang lagi, gak apa-apa kalo lo gak mau nganggep gue. Intinya gue sayang lo, jadi kalo ada apa-apa kalo lo butuh gue jangan sungkan buat hubungin gue. Jangan merasa canggung, bersikap aja seakan gak pernah terjadi apa-apa sama kita. Oke? Walaupun gue terganggu dengan kalimat terkahir gue, tapi gak apa-apa. It's ok.”
“Maaf, Kak,” aku menunduk sejenak kemudian kembali mengangkat kepala. “tenang aja. Kita tetap kayak dulu, kok. Masih bisa berangkat sekolah bareng, bisa ketemu lagi di rumah kalo Kakak lagi mabar sama Kak Rigel. Akses kita banyak,” terangku.
Kak Felix tersenyum sambil mengacak rambutku kemudian ia berdiri, “Adik kecil gue,” ujarnya. “gue ke temen-temen gue dulu, ya.”
Aku hanya tersenyum sebagai respon, kembali duduk seperti semula saat Kak Felix sudah tak lagi terlihat di sekitar. Mungkin satu masalah sudah bisa terselesaikan?
Namun tetap saja aku merasa masalah hatiku yang sesak melihat Gilang dengan cewek lain lebih besar daripada masalah yang lain. Aku baru saja menolak hati yang meminta hatiku untuk dicintai olehnya. Tapi aku baik-baik saja dengan keputusan ini, keputusan yang mungkin bodoh masih memilih mencintai orang yang sekarang justru menjauh secara tiba-tiba.
Kupikir, aku membutuhkan teman berbagi cerita ini. Aku membubuhkan teman yang bersedia mendengarkanku untuk kali ini, lagipula selama ini aku merasa sudah terlalu jauh menutup diri dari teman-temanku. Menganggap bahwa aku bisa mengatasi semuanya sendiri, namun pada kenyataannya aku tak bisa. Iya, kan?
Aku tersentak saat seseorang menepuk bahuku, refleks aku menoleh cepat dan mendapati Tata yang bergerak duduk di sampingku dengan cengiran lebarnya.
“Ngapain lo menyendiri di sini? Udah bosan sama keramaian lo?” sambarnya secara langsung.
“Gue mau cerita nih, sama lo,” ujarku. Langsung mengarah pada topik.
“Yuk, cerita aja, gue dengerin. Kalo bisa ngasih solusi lebih baik.”
Aku mengangguk dan mulai menceritakan semuanya. Tata pendengar yang baik, dia mendengarkan ceritaku dari awal sampai akhir tanpa memotong sekalipun. Selesai bercerita, aku menghela napas seakan membuang semua masalahku saat ini. Aku menatap Tata dengan sorot yang seakan mengatakan ‘menurut lo gimana?’.
“Masalah lo sama Kak Rigel yang sebenarnya atas dasar perbuatan Gilang itu, udah selesai. Coret. Lalu masalah, ah bukan masalah itu namanya. Keberuntungan lebih tepatnya. Itu juga udah selesai kan tadi lo bilang? Jadi apa lagi yang membebani pikiran lo? Gilang yang akhir-akhir ini menjauh dan lebih nempel sama Seli, kan lo sendiri udah tahu kalo Seli emang udah dari sononya suka caper sama bokapnya Gilang. Palingan si Selinya aja itu yang gencar deketin Gilang, si Gilangnya sih gak mungkin mulai duluan menurut gue,” tutur Tata.
Aku mengangguk membenarkan. Tapi tetap saja menurut apa yang aku lihat akhir-akhir ini hubungan mereka sepeti timbal balik. Seakan Gilang juga menginginkan hubungan mereka yang lebih dari sebelumnya. Tapi, bukankah saat itu Gilang sendiri yang mengatakan padaku bahwa dia tidak begitu menyukai Seli?
“Terus, gue harus kayak gimana, Ta?” tanyaku meminta pendapatnya.
“Ya udah ikut alur aja, Li. Gue yakin Gilang gak akan sejahat itu anaknya. Gue yakin apa yang dia lakukan sekarang punya alasan, gak mungkin Gilang bertindak seenaknya menjauh dari lo kayak gini tanpa sebab, kan?”
“Gimana kalo penyebab dia menjauh dari gue ini letak masalahnya di gue? Dia beku banget sekarang, Ta, gak keraih sama gue,” ujarku.
“Ck, iya, gue paham. Lo coba ngomong deh sama dia, pake alasan apa, kek. Kali aja ada barang dia yang masih lo simpen.”
Aku mengernyit mencoba mencari alasan yang bisa aku pakai untuk bertemu dan berbicara dengannya lagi. Bolpoin!
“Ada, Ta!” seruku.
“Anak pintar. Langsung gerak!” balasnya.
“Iya,” aku bangit berdiri sambil menyandang ranselku lalu menepuk bahu Tata beberapa kali. “gue ketemu Gilang dulu, ya,” pamitku kemudian berlari pergi kembali ke gedung sekolah.
Langkahku memelan saat sampai di koridor laboratorium, di kursi panjang depan ruangan itu aku melihat Gilang duduk sambil fokus memainkan ponsel di tangannya. Sebenarnya ada ragu yang menyelimuti pikiranku, takut Gilang berjalan menjauh lagi dariku. Aku menggeleng keras, hubungan kami tidak akan membaik jika aku tidak bergerak untuk memperbaikinya.
“Gilang,” panggilku seraya berjalan mendekat ke arahnya.
Tatapan kami bertemu selama beberapa saat sebelum akhirnya Gilang memutuskan tatapan dan memfokuskan pandangannya pada ponsel. Aku meringis diam menyadari cowok itu tidak menjawab panggilanku. Tapi, aku tak boleh menyerah sebelum Gilang mau berbicara padaku.
“Ini,” aku mengulurkan bolpoin yang waktu itu dia pinjamkan dihadapannya. “makasih waktu itu udah dipinjemin. Maaf balikinnya lama, gue lupa soalnya. Lo juga sih, gak nagih,” ucapku sambil mengusahakan sebuah tawa lolos dari bibirku saat Gilang tak juga menggubris.
Cowok itu seakan tak menganggap kehadiranku. Fokusnya masih pada ponsel di tangannya. Bahkan sedikit saja dia tidak melirikku walau hanya dengan ekor mata. Sekejam ini cara Gilang meninggalkanku. Perubahannya yang begitu dingin membuat dia benar-benar tidak terjangkau olehku. Juga tatapannya yang dulu sehangat mentari kini tak lagi aku jumpai.
Cowok itu berdiri sambil membenarkan ranselnya, aku ikut berdiri. “Gue udah gak make polpen itu. Sori, gue udah ditungguin,” ucapnya datar tak berekspresi, sebelum berlalu pergi dari hadapanku yang masih memegangi bolpoin miliknya yang sudah tak lagi terpakai. Katanya.
Aku menatap nanar punggung Gilang yang semakin jauh hingga hilang ditelan tembok pembatas sekat tangga dan pintu ruang UKS. Gilang benar-benar jauh, hangatnya kini berubah dingin. Baiknya kini berubah bimbang. Senyumnya yang dulunya hangat kini berubah wajah datar. Suaranya yang menenangkan kini berubah menyakitkan. Secepat ini Gilang pergi.
Aku benar-benar telah kehilangan sumber kebahagiaanku. Aku kehilangannya.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog