Aku merasakan sesak napas saat kamu tertawa bersamanya. Tetapi kamu malah bernapas lega atas rasa sakitku yang penyebabnya adalah kamu sendiri.
***
“Tadi Retna ke rumah sama Tata, ngajak jalan gitulah awalnya. Ya kita udah setuju mau jalan, terus Retna cerita kalo dia sekarang udah punya pacar dan cowoknya itu mainannya di kampus. Hem... ya, aku seneng lah denger dia udah gak jomblo lagi kan, udah punya pacar dia gak ngenes lagi,” ujarku, tertawa pelan.
“Ya tapi ternyata gitu... pacarnya Retna ternyata Kakak aku sendiri. Ya aku kaget lah, nyes gitu gak sih pas tahu sahabat kita ternyata pacaran sama Kakak sendiri?” aku menoleh pada Kak Felix.
Sebelah alisnya menukik tajam menatapku. “Ya, biasa aja sih,” jawabnya.
Aku membuang napas kasar, “Iya kalo emang yang terjadi itu normal emang biasa aja, Kak, tapi ini enggak,” ujarku lagi.
“Gak normal gimana sih maksudnya?” tanya Kak Felix.
Kepalaku menunduk, entah kenapa napasku tiba-tiba terasa sesak. Sial. Aku lupa membawa inhaler.
“Temenku suka Retna, tapi Retna gak suka dia dan malah pacaran sama Kak Rigel. Padahal Gilang sama Retna udah deket banget, udah nembak malah si Gilang,” ungkap ku.
Kak Felix mengerutkan keningnya, “Gilang yang itu maksud lo?”
Aku mengangguk. “Iya,”
“Ya terus masalahnya sama lo apa? Toh, yang jalanin hubungan juga mereka kan? Yang suka Retna juga Gilang, bukan lo,” kata Kak Felix. Aku mengangguk pelan, yang suka Retna memang Gilang bukan aku. Tapi Gilang sakit maka aku akan sakit juga. Ah, aku memang terlalu memedulikan perasaan orang lain ketimbang perasaanku sendiri.
Bodoh.
“Aku tahu Gilang bakalan sakit hati nanti, Kak,” kataku.
“Lo suka Gilang?” Pertanyaan Kak Felix membuatku refleks menoleh padanya. “Oh iya gue lupa, Gilang kan emang pacar lo ya,” lanjut Kak Felix.
Aku memejamkan mata saat napasku terasa semakin sesak, pasokan oksigen semakin menipis di paru-paru ku. “Dia bukan pacar aku, Kak...” lirihku.
“Ya... tapi kayaknya lo mau sama dia.”
Aku mengangguk samar, tangan kiriku meremas pergelangan tangan Kak Felix saat napasku benar-benar sesak. Tanganku bergetar buku-buku jariku memutih. Kak Felix yang sadar dengan perubahanku langsung berdiri, memegangi bahuku dan bertanya ada apa. “I ... in ... inhal ... inhaler!” tandasku terbata.
“Di mana?!” seru Kak Felix panik. Aku semakin meremas pergelangannya kuat, ku mohon aku masih ingin bertahan. “Kamar!”
Kepalaku mendongak, berusaha menghirup sebanyak-banyaknya pasokan oksigen di sekitar untuk kelancaran pernapasanku. Aku bersandar di sandaran kursi dengan kepala yang masih mendongak, tangan kananku meremas dada sebelah kiri.
Asmaku kambuh dua kali sehari hari ini.
Semesta, ku mohon. Kuatkan aku. Aku tidak ingin mati secepat ini. Aku masih ingin bebas. Ku mohon...
“Ini, Li!” kepalaku menoleh ke samping dan langsung menyambar inhaler dengan tangan yang bergetar. Rasanya sistem sarafku begitu tegang hingga mati rasa. Aku memakai inhaler berulang-ulang hingga sedikit demi sedikit napasku sudah teratur.
Menyimpan inhaler, aku lalu memeluk tangkas Kak Felix. “Makasih udah jadi penyelamat aku...”
“Astaga! Lo asma?!” suara Kak Felix meninggi. Aku mengangguk samar. “Kenapa gue gak pernah tahu? Kenapa gue baru tahu sekarang?!”
“Maaf...”
“Li ... gue pengen jadi orang yang berarti di hidup lo. Itu aja. Gue pengen lo bergantung sama gue selepas sama Rigel dan Handi,” ucap Kak Felix pelan. Aku hanya mendengarkan, sambil memejamkan mata.
“Li...”
“Hm?”
“Lo tidur?”
“Enggak.”
Helaan napas kasar berasal dari Kak Felix. Mataku terbuka saat merasakan dia mendorong kepalaku dari bahunya. “Lo udah gak papa?” tanyanya. Raut khawatir jelas sekali terlihat di wajah Kak Felix.
“Napasku sempit, Kak,” jawabku.
“Bodoh! Gue baru tahu,” umpatnya kesal. Kak Felix berdiri, “Gue mau pulang, udah malem. Ayo, gue anter lo istirahat,” ucapnya. Dia menarik tanganku masuk ke dalam rumah lalu menyuruhku langsung berisitirahat.
Aku menghela napas kasar, sekarang sudah pukul sembilan malam. Ponsel di genggamanku bergetar tanda pesan masuk.
Arkan Gilang
Li
Lika Hirata
Apa?
Arkan Gilang
Knp belum tidur?
Lika Hirata
Emg skrg jam brp? Masih jam 9 jg
Arkan Gilang
Ya udh... cepet tidur ya, jangan banyak begadang lgi
Lika Hirata
Hm
Hanya sampai disitu, setelahnya Gilang tak lagi memberikan pesan balasan. Gilang memang menghanyutkan, dia baik. Tetapi aku bodoh. Bodoh karena berpikir kebaikannya khusus, padahal dia baik tidak hanya kepadaku, tetapi kepada perempuan lain juga.
Aku berbaring miring dengan selimut yang menutupi tubuh sampai dengan leherku. Mataku memejam kemudian kembali membeliak, tak mudah menerima sebuah penolakan. Mencintai sendirian bukanlah sesuatu yang mudah dan ringan untuk dipikul. Sekuat apapun aku menahan rasa sakitnya, tetap saja aku harus menyerah pada akhirnya. Seegois apapun perasaanku ingin balas dicintai, aku tetap tak bisa memaksa keadaan dan takdir. Terkadang garis kehidupan seseorang memang cenderung lebih kejam, semesta pandai sekali bermain-main dengan harapan seseorang. Membuat nyaman dengan waktu dan kebersamaan yang tercipta, lalu pada saat yang berbeda dia memaksa berpisah dengan harus.
Berusaha ikhlas, tabah dan belajar sendirian tanpa ada yang mengajarkan perihal bagaimana aku harus merelakan perasaanku demi kebahagian nya teramat rumit. Pelik. Disaat perasaanku berjuang sendirian ada pihak lain yang menambah rasa sakit semakin nyata, saat aku tahu sahabatku yang dicintai oleh orang yang aku perjuangkan dalam doa ternyata tak pernah mempunyai niat untuk membalas perasaan Gilang. Bahkan, Retna mencintai Kakak kandungku sendiri. Kak Rigel.
Inginku sebenarnya sederhana, jika saja aku tak bisa bahagia dengan Gilang setidaknya Retna bisa menjadi alasan Gilang tertawa. Aku memang egois, berpikir dan ingin menjadi alasan Gilang menangis. Dasar. Tidak tahu diri.
Deritan pintu yang dibuka terdengar, suara langkah kaki terdengar jelas berjalan menghampiri ranjang ku. Aku memutuskan pura-pura tertidur saat tahu yang datang adalah Kak Rigel.
“Kamu belum tidur, Li,” ucapnya sebagai pernyataan.
Aku masih diam dengan posisi awal.
“Ayo bicara sama Kakak bentar,” ucap Kak Rigel lagi. Mataku terbuka dan aku menghembuskan napas. Berat. Aku menyibak selimut lalu bersandar di kepala ranjang, menatap Kak Rigel tanpa ekspresi.
“Kakak padahal tahu jam tidur aku,” kataku tanpa minat.
Memijat pelipisnya, Kak Rigel berujar, “Sebenarnya apa sih yang terjadi sama kalian? Kenapa tadi Retna nangis dan tiba-tiba asma kamu kambuh separah itu? Kakak gak ngerti, Li.”
Aku meremas jari-jariku ragu, “Tenang aja, bukan hal penting,” jawabku.
“Li...” desah Kak Rigel. Aku menoleh padanya. Wajahnya kusut dan rambutnya tak teratur. “Jangan bikin Kakak tambah pusing.”
Aku terkekeh janggal. Benar. Apa hakku membuat orang lain pusing dengan masalah hati dan perasaanku ini?
“Ya udah kalo gitu Kakak istirahat, gak usah berusaha pengen denger cerita aku. Nanti Kakak pusing siapa yang disalahin? Pasti aku kan? Kakak tahu sendiri aku gak suka disalahin orangnya,” ujarku. Tersenyum miring.
“Astaga, Li!” umpatnya.
“Udahlah Kak, aku gak mau bikin malamku berat dengan bahas-bahas hal yang gak faedah,” kataku cuek. Aku kembali berbaring membelakangi Kak Rigel.
“Berkaitan dengan Kakak dan Retna? Atau Gilang?”
“Tiga-tiganya,” jawabku.
“Kami kenapa?”
Aku menghela napas gusar menatapnya datar, “Penyakit cowok yang gak pernah bisa di obati itu adalah kadar kepekaan yang miskin, dan kadar PHP yang lebih kaya,” kataku ketus.
“Emangnya Kakak PHP-in kamu?” Kak Rigel duduk di sisi ranjang di sampingku.
Aku mengalihkan pandang ke arah lain, tak ada siapapun yang menyakiti di sini. Tak ada yang tidak peka apalagi pemberi harapan palsu. Tidak ada. Hanya saja aku yang menyakiti diri sendiri dan membuat rumit segalanya. Aku terkekeh hambar, lucu sekali aku ini. Hanya hal yang sepele, aku membesar-besarkan nya menjadi seperti ini. Kekanak-kanakan.
“Bukan Kakak, bukan Gilang atau Retna. Bukan,” aku menggeleng sambil menarik napas. Aku memejamkan mata, “Tapi aku cukup kaget Kak, dengan hubungan kalian. Kakak dan Retna. Kenapa Kakak seakan nyembunyiin hubungan kalian dari aku? Kenapa aku gak dikasih tahu dari awal?”
“Jadi kamu gak suka Kakak pacaran sama Retna?” Kak Rigel berucap dengan nada yang seakan memohon, agar aku menarik kembali ucapanku.
“Bukan. Tapi dia sahabatku Kak, dan tanpa Kakak sadari Kak Rigel udah ngerebut mood-booster orang lain,” terangku.
“Mood-booster?”
Aku mengangguk, “Gilang mood-booster ku Kak, dan Retna mood-booster nya Gilang. Kakak tahu gimana rasa sakitnya aku saat perasaanku gak berbalas Kakak, itu tandanya perasaan Gilang juga gak berbalas.”
“Kok kesannya kamu yang justru maksain perasaan orang sih? Jadi kamu mau Retna suka juga sama Gilang terus ninggalin Kakak? Kalo kayak gitu, Li, apa kabar dengan hati Kakak kamu sendiri? Kamu gak mikirin itu?”
Aku tertunduk diam, benar. Seegois apapun aku memaksa sebuah perasaan, aku tetap tidak akan bisa membuat semuanya berubah. Sekuat apapun aku memaksa agar mereka bertahan denganku, tetap saja mereka akan memilih pilihannya sendiri. Aku mengangguk mengerti, apalagi yang bisa aku paksa dan modal seperti apa yang bisa aku pakai untuk keegoisanku ini?
“Maaf Kak...,” lirihku.
Kak Rigel menghela napasnya, dia menepuk bahu ku beberapa kali. “Udah Kakak bilang kan, jangan sampai patah, Li. Jangan memaksa sesuatu yang emang gak bisa. Maaf, dari awal emang kamu yang salah. Kamu yang terlalu terbawa perasaan dengan lingkaran pertemanan kalian,” ucapnya pelan.
“Cewek mana yang tahan dengan perhatian yang setiap hari cowoknya kasih? Cewek mana yang tahan Kak? Cowok emang selalu begitu, hobinya memberi kami harapan, menerbangkan kami setinggi langit lalu kemudian menjatuhkan kamu ke dasar bumi. Setelah puas, kalian mematikan harapan kami, apa untungnya sih Kak berbuat kayak gitu terhadap hati kami?” aku menatap nyalang Kak Rigel yang mimiknya berubah pucat.
Aku tersenyum miring, “Kalian gak pernah paham dengan hati kami, kalian selalu nyalahin kami kalo kami terlalu sayang. Padahal kalian sadar gak? Akar permasalahannya ada di kalian, yang kadang terlalu lancang mengobrak-abrik hati kami.”
Aku melihat Kak Rigel yang menyugar rambutnya dengan jari, kemudian memijat pangkal hidungnya. “Pada dasarnya cowok gak pernah punya niat sama sekali buat nyakitin cewek. Kami juga punya hati. Kami tahu gimana rasanya cinta dengan jatuh dan kalian gak pernah tahu bahwa kami juga pernah menangis. Kalo kami sampai menangis, itu tandanya rasa sakit itu udah gak kebendung dan gak tertahan lagi. Kami memang terlihat kuat, tapi ketahuilah ada sisi lain dari kami yang butuh pondasi, yaitu kalian. Kami berhak memilih yang mana kami rasa baik, dan kalian berhak menolak dan menerima.”
Kak Rigel berucap tak kalah dalam dengan kalimatku barusan, aku menelan saliva menatap Kak Rigel. Jadi siapa yang salah di sini? Kami yang terlalu perasa atau mereka yang terlalu sering memberi harapan?
Kembali Kak Rigel berujar, “Kami gak pernah ngasih harapan, Li. Kalian punya hak menerima dan menolak, dan feeling kalian itu pasti kuat. Maksudnya... kalian bisa menolak kami kalo emang kalian rasa kami PHP, begitu juga sebaliknya.” dia menatapku dengan sebelah alis yang terangkat.
“Jadi...”
“Jadi berhenti men-judge kami dan menilai kami buruk. Berhenti menganggap kami suka main-main. Karena gak semua cowok itu sama. Kami berbeda.”
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog