“Kamu keluar dari sini sekarang. Aku ngak mau liat muka kamu lagi.” Kalimat itu terus saja terngingan dalam ingatan radit. 2 hari berlalu radit tidak berani lagi untuk sekedar datang menengok keadaan tiara, bukan karena ia merasa sakit hati tapi karna ia tidak sanggup lagi jika harus mendengar kalimat-kalimat kebencian yang akan dilontarkan tiara kepadanya, sungguh hal itu akan menjadi hal yang menyakitkan.
“Radit, hari ini tiara sudah boleh keluar dari rumah sakit papa sama mama menyambangi tiara. kamu mau ikut?.” Sang mama tiba-tiba memasuki kamar radit yang kemudian membuyarkan lamuman radit. Kamar itu sangat berantakan gumpalan kertas lesu bertebaran dimana-mana, suasana kamar yang biasanya diselimuti alunan musik pop kesukaan radit kali ini benar-benar senyap. Hanya dentingan jam yang sibuk bersenandung dan terdengar keseluruh penjuru ruangann. “Ngak ma, kalian aja yang pergi, biar radit jaga rumah.” Jawab radit dengan singkat sambil menunduk kebawah tanpa ada niatan menengok kearah sang mama yang sedang mengajaknya berbicara. Sang mama sangat memahami situasi yang tengah dihadapi oleh putranya tersebut, itu sebabnya sarah tidak akan memaksa putranya untuk ikut pergi bersama dengan dirinya. “Yaudah kalo emang kamu ngak mau pergi, mama pergi dulu ya.” Sarah berpamitan kepada radit sambil mengusap rambut radit.
Didalam mobil jazz berwarna hitam yang sedang melaju dengan kecepatan sedang sarah dan adam sama sekali tidak dapat menikmati perjalanan menembus teriknya mentari di Jakarta. Mereka sedang memikirkan hal yang sama yaitu mengenai putra semata wayangnya dan tiara gadis yang sangat putra mereka cintai. “Gimana ya pa, akhir dari kisah cinta putra kita. Apa iya harus berakhir tragis seperti ini pa.” Guman sarah sambil memandang padatnya jalan raya kota Jakarta yang tidak pernah sepi ini. “Papa juga ngak tau ma, rasanya papa tidak tega melihat radit sampai seperti ini. Padahal dulu mereka sangat akrab dan dekat sekali.” Sahut adam sambil tetap fokus menyetir kuda besi miliknya itu.
Setelah menempuh perjalanan hampir 30 menit lebih akhirnya mereka sampai didepan rumah tiara yang saat itu kebetulan sang ibunda sedang menyirami bunga-bunga mawar kegemarannya. Memang sejak dulu moza sangat menyukai hobinya berkebun apalagi menanam bunga mawar seperti ini, bahkan tak tanggung-tanggung semua bunga mawar yang tumbuh dihalamannya adalah berkat kasih sayang yang selalu ia curahkan kepada setiap tanaman yang ia tanam tersebut. Melihat sarah dan adam yang baru saja tiba langsung ia sambut denga ramah dan mempersilahkan mereka untuk masuk.
Tiara ditemani buku-buku kesukaanya masih terbarin diatas ranjang, sambil menyenderkan kepalanya diatas tumpukan bantal yang ditumpuk lebih tinggi membantu tiara agar bisa membaca. Meskipun sudah diperbolehkan pulang tiara belum sepenuhnya pulih dan masih terus dirawat. Setiap satu hari sekali seorang perawat akan datang memeriksa kesehatan tiara, karena masih sering kali tiara merasakan sakit dikepalanya sebagai akibat dari jahitan dikepalanya yang terluka akibat benturan saat itu.
“Sayang coba tebak siapa yang dateng kesini.” Sang bunda tiba-tiba membuka pintu dari luar dan lantas menghampiri tiara hendak memberikan kabar siapa yang telah datang menjenguk putrinya tersebut. Langsung saja kalimat sang ibu mendapat tanggapan dari tiara. “Emang siapa bun, kak vino ya?.” Tanya tiara. “Bukan sayang tapi tante sama om yang dateng kesini untuk jenguk kamu.” Tiba-tiba sarah dan adam masuk kedalam kamar tiara. tiara benar-benar terkejut dengan kedatangan mereka berdua, pasalnya tidak pernah terfikirkan sama sekali bahwa mereka akan datang menjenguk dirinya.
Setelah selesai menjenguk tiara moza menemani tamunya adam dan sarah duduk diruang tamu, sudah lama sekali mereka sudah tidak berbincang-bincang. Keadaan adam dan reza yang pekerjaannya pulang dan pergi ke luar negeri membuat mereka jarang sekali untuk mereka dapat berbincang-bincang. Waktu-waktu seperti inilah yang dapat mereka manfaatkan untuk sejenak menghibur diri, apalagi saat ini ditambah dengan peliknya permasalahan antara putra dan putri mereka yang seharusnya memang harus mereka bicarakan.
“Mbak atas nama radit kami minta maaf ya mbak, jika radit sudah melakukan kesalahan sehingga membuat tiara menjadi celaka.” Adam membuka pembicaraan dengan meminta maaf atas nama putranya radit. “Mas tidak perlu meminta maaf, ini bukan kesalahan radit. Lagipula kita semua tau kan jika radit itu sangat menyayangi tiara, saya masih bisa melihat itu dimata radit hingga sekarang. Dan kalaupun baik radit maupun tiara sama-sama beranggapan bahwa radit yang menyebabkan ini semua terjadi itu sama sekali tidak benar. Saya sangat yakin radit sama sekali tidak pernah sengaja menginginkan hal ini sampai terjadi.” Moza menjelaskan semua keyakinannnya bahwa radit tidaklah bersalah dalam hal ini.
“Iya mbak, apa yang mbak katakan itu memang benar, tetapi sekarang yang bagaimana caranya untuk memperbaiki hubungan kedua anak kita mbak. Jujur saja saya ngak tega melihat radit hari-harinya hanya dipenuhi rasa bersalah kepada tiara.” Sarah sangat resah dengan keadaan ini. “Untuk saat ini tidak ada yang bisa kita lakukan mbak, semua yang terjadi antara radit dan tiara adalah kesalahpahaman waktu.” Moza berhenti sejenak sebelum akhirnya melanjutkan penjelasaanya. “Saya yakin baik mbak ataupu mas pasti belum ada yang mengetahui jika selama ini sejak radit masuk ke sekolah tiara hubungan mereka sudah menjadi tidak baik.” Moza melanjutkan perkataannya.
“Maksud kamu za, apa yang terjadi sama mereka?.” Adam sangat terkejut dengan pernyataan moza dan lantas langsung mengajukan penjelasan meminta kebenaran dari pernyataan moza.
“Begini mas, mbak. Sebelum radit dan tiara berpisah beberapa tahun lalu radit pernah berjanji kepada tiara bahwa dia akan datang diulang tahun tiara yang ke 15.” Ucapan moza terpotong sejenak.
“Oh, iya saya ingat itu, radit pernah menceritakannya kepada saya.” Sahut adam menanggapi ucapan moza.
“Nah dijanji itulah prahara ini dimulai, tiara menganggap bahwa radit sudah melupakan dirinya dan telah mengingkari janji yang telah radit buat sendiri.” Wajah moza mendadak menjadi sedih.
“Tiara salah paham mbak bukan radit yang harus dipersalahkan disini tapi kami, kami yang bertanggung jawab saat radit tidak menepati janjinya kepada tiara.” Sarah memberikan pembelaan untuk radit, karena memang bukan radit yang bersalah disini.
Australia.
Saat itu radit baru saja pulang dari sekolah ia langsung terburu-buru mengemasi barangnya sendiri yang kemudian ia masukkan kedalam koper. Sarah yang baru saja pulang dari kantor hanya memperhatikan apa yang sedang radit lakukan. Tak lama sarah berdiri memperhatikan radit yang sedang berkemas, kemudian radit baru menyadari bahwa sarah sedang berdiri didepan pintu kamarnya lantas saja radit langsung menghampirinya.
“Ma, mama kog malah diem aja sih. Ayo ma kita siap-siap biar nanti ngak ketinggalan pesawat.” Ucap radit saat itu dengan semangat yang berapi-api. “Emang kita mau pergi kemana sih dit?.” Sarah kembali melontarkan pertanyaan.
“Lhoh ma, mama lupa ya kan hari ini kita mau ke Indonesia ma ke acara ulang tahunnya tiara, mama ngak lupa kan ma.” Sahut radit lagi.
“Radit mama ngak lupa kog sayang, tapi mama mau minta maaf kalau hari ini kita ngak bisa pergi ke Indonesia.” Penjelasan sang mama langsung membuat radit sangat terkejut, dan merasa sangat tidak percaya dengan apa yang telah ia dengar. “Ngak ma, aku udah janji sama tiara kalau dia ulang tahun aku pasti bakal dateng.” Radit sangat marah mendengar perkataan dari mamanya.
Setelah mendengar perkataan dari sarah yang mengatakan bahwa mereka tidak jadi pergi ke Jakarta radit sangat marah dan memilih mengunci diri didalam kamar ia tidak mau keluar ataupun sekedar untuk makan dan minum. Ia sangat kecewa dengan apa yang sudah mama dan papanya lakukan kepadanya, mereka sudah berjanji akan membawa radit kembali ke Jakarta. Tetapi ternyata ketika semua barang sudah dikemas, tiket sudah digenggam, tiba-tiba saja orang tuanya membatalkan penerbangan mereka tanpa ia tau alasannnya. Bagaimana mungkin radit dapat mengetahui alasan yang disimpan oleh kedua orang tuanya jika dirinya saja tidak mau memberikan kesempatan mereka untuk menjelaskan, padahal sejak dari tadi mereka mengetuk pintu kamar radit dan menunggu agar putra semata wayang mereka mau membukakan pintu dan mau mendengarkan penjelasan mereka.
Tiket pesawat yang sudah kadaluarsa sejak 6 jam yang lalu kini sudah tidak berbentuk lagi, sebagai akibat dari kekesalannya radit merobek-robek tiket yang ada ditangaannya. Selembar kertas yang harusnya dapat membawa dirinya kembali ke Jakarta kini hanya mampu membuatnya kesal saat melihatnya itulah sebabnya radit memilih untuk menghancurkan tiket tersebut sesuai dengan harapannya untuk kembali ke Indonesia yang sudah hancur.
Saat radit lengah pelan-pelan adam membuka pintu kamar radit dengan menggunakan kunci serep dan berhasil masuk kedalam kamar radit. Dengan sangat hati-hati adam dan sarah mendekati radit yang sedang duduk dibalkon dengan tatapan kosong. Sebenarnya adam dan sarah sangat memahami apa yang sedang radit rasakan, marah dan kesal yang dirasakan oleh radit adalah wajar sebagaimana biasa timbul pada remaja yang sudah berusia 16 tahun dimana emosi masih sangat labil-labilnya.
“Dit, papa bener-bener minta maaf papa ngak bisa penuhi permintaan kamu.” Ucap adam dengan nada sangat menyesal. Tidak ada respon apapun dari radit yang malah membuang muka enggan menatap mata sang ayah yang penuh penyesalan itu. “Kamu pantes kog marah sama papa karena papa udah kecewain kamu. Tapi kamu perlu tau papa ngak mungkin batalin penerbangan kita ke Indonesia tanpa alasan yang kuat, banyak pekerjaan yang harus papa selesaikan secepatnya dit dan ngak bisa papa tingga. Papa harap kamu bisa memahami posisi papa.”
Lagi-lagi masalah pekerjaan yang menjadi kambing hitam dari permasalahan ini. Memang semenjak mereka semua pindah ke Australia usaha yang adam rintis berkembang sangat pesat bahkan sarah pun sekarang menjelma menjadi sosok wanita karir yang setiap hari menghabiskan banyak waktu bersama sang suami di perusahaan mereka. Tetapi kesuksesan yang berhasil mereka raih selama berada diluar negeri sangat berbanding terbalik dengan kualitas kasih sayang yang radit dapatkan. Perlahan kasih sayang yang dulu hanya dilimpahkan kepada radit pelan-pelan lebih banyak mereka curahkan untuk perusahaan. Keadaan itulah yang bertahun-tahun radit rasakan selama tinggal dinegara orang.
Setelah menginjak kelas 3 SMA radit sudah tidak sanggup lagi melanjutkan hidup dengan tinggal di negara orang. Dengan susah payah radit akhirnya berhasil membujuk adam dan sarah untuk mengijinkan dirinya kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikannya disini. Serta kerinduannya yang sangat menggebu ingin bertemu dengan sahabat masa kecilnya itu membuat radit diam-diam sebelum resmi pindah ke Indonesia mencari kabar tentang tiara. dimana ia tinggal sekarang dan dimana ia menempuh pendidikan sekarang. Radit berhasil mendapatkan semua informasi tersebut dari media sosial dan dari beberapa teman yang radit kenal di Indonesia. dan ternyata menurut info yang ia dapat satu tahun setelah kepindahan radit keluar negeri tiara dan keluarganya juga pindah ke Jakarta.
“Kamu jaga diri baik-baik ya dit, sekolah yang bener, jangan bikin ulah ya.” Pesan dari sarah untuk radit ketika hendak melepaskan putra kesayangannya dibandara. “Pah, mah radit pergi dulu ya.” Radit berpamitan kepada sang ayah lantas mencium tangan adam dan sarah. Berat sekali sebenarnya untuk melepaskan radit pergi sendirian kembali ke Jakarta, tapi apa yang bisa mereka perbuat. Menahan radit untuk tetap tinggal di Australia bersama mereka hanya akan membuat radit merasa hidup didunia lain, karena hati dan jiwanya berada di Indonesia.