[ GIANA ]
DI ATAS MEJA terdapat selembar fotokopian halaman majalah Bobo edisi tahun 90-an dan sepucuk surat pendek yang ditulis di atas kertas binder yang sudah agak usang dan berjamur. Dahiku mengernyit. Sejujurnya, aku-dan juga hampir semua anak di kelas ini-sama sekali nggak tahu apa faedahnya. Ibu Paula, wali kelas sekaligus guru Bahasa Indonesia kami yang memang agak nyentrik, tahu-tahu saja memberikan ini semua pada kami.
"Generasi kalian ini sudah terlena dengan segala kenyamanan yang telah ditawarkan oleh teknologi zaman sekarang," beliau membuka pelajaran hari ini, yang merupakan pertemuan pertama sesudah perkenalan hari Selasa kemarin. Beliau terdengar seperti tipikal orang tua konservatif yang membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan "anak muda zaman sekarang"-agak out of character untuk seseorang seperti Bu Paula. Bu Paula, yang umurnya masih di kisaran 20-an akhir dan rambutnya dicat ombre merah, jelas jauh dari kata tua dan konservatif. "Kalian kalau mau saling menghubungi satu sama lain cuma tinggal lewat Line. Whatsapp. Kalau mau tahu kabar teman kalian yang tinggal di ujung dunia sana tinggal lihat foto baru apa yang baru mereka unggah di Instagram. Malahan, Ibu berani taruhan, salah satu dari kalian pasti lagi buka HP di balik kolong meja, kan? Hayolo, ngaku."
Bu Paula kemudian tersenyum licik, yang berhasil membuat Clara-cewek yang duduk di depanku dan sedang membalas pesan seseorang di Line-langsung kembali memasukkan ponselnya di dalam tempat pensilnya.
Bu Paula, yang sepertinya sadar akan apa yang baru saja Clara lakukan, tertawa kecil. "Tenang, untuk kali ini HP kalian nggak bakalan Ibu sita, kok," ucap guru yang mengenakan kacamata bulat ala Harry Potter itu. "Tetapi, lain kali jangan main HP di kelas, ya." Clara langsung menunduk malu.
Aku, sementara itu, masih memandangi fotokopian halaman Bobo dan surat di atas mejaku. Halaman majalah Bobo tersebut mengingatkanku akan kolom cari jodoh versi anak SD, dengan foto-foto anak-anak beserta dengan biodata mereka yang tertera di samping foto mereka. Kolom Sahabat Bobo. Teman sebangkuku, seorang cowok bernama kejepang-jepangan walaupun dia sama sekali nggak punya keturunan Jepang, menunjuk salah satu foto dan berkomentar, "Nih anak perasaan mukanya minta dibikinin meme banget, ya."
"Paansi."
Di depan, Bu Paula sedang bercerita tentang masa kecilnya, saat beliau menemukan sahabat penanya-seorang anak dari Makassar bernama Nur-melalui majalah Bobo. Barulah aku ngeh kalau surat yang kini tergeletak di atas mejaku dan cowok Jepang jadi-jadian ini adalah surat yang beliau pernah kirimkan ke si Nur-Nur ini.
"Dulu, Ibu itu paling senang kalau Pak Pos datang ke rumah," Bu Paula bercerita layaknya orang-orang tua kebanyakan yang sedang mengenang masa lalu mereka. Entah kenapa, orang-orang cenderung memandang zaman dulu sebagai masa yang sempurna dan lebih segalanya daripada zaman sekarang, padahal aku yakin segala sesuatu di zaman dulu sama nggak enaknya dengan zaman sekarang. Yah, se-enggaknya dengan teknologi yang belum berkembang. "Begitu melihat surat balasan dari Nur datang, Ibu bisa sampai loncat-loncat kegirangan walaupun balasannya cuma satu-dua paragraf.
"Coba kalian lihat-lihat surat yang Ibu bagi ke meja kalian masing-masing." Aku dan si cowok Jepang jadi-jadian tadi mengambil surat anak SD tadi dan membacanya sekilas, walaupun kami sudah melihat-lihatnya tadi.
Isinya, omong-omong, agak nggak berfaedah.
Makassar, 6 November 1996
Dear sahabat baruku,
Aku kemarin melihat biodata kamu di majalah Bobo dan mulai tertarik untuk berteman denganmu, jadi bolehkah aku kenalan denganmu? :)
Nama: Nur Izzatul
Tempat/tgl lahir: Makassar, 16 Januari 1987
Kelas: IV B SDN Mangkura 1
Hobi: membaca, menggambar
Cita-cita: dokter
Sekian ya biodataku, sudah lengkap kaan :) Ayo tulis juga biodatamu supaya kita bisa saling mengenal dengan baik...hehe. Semoga kita bisa berteman selamanya!
Salam,
sahabat barumu
Nur Izzatul
"Ibu sampai rela ngantri berjam-jam di kantor pos buat ngirim surat ke sahabat pena Ibu. Waktu itu, kantor pos masih rame, nggak kayak sekarang." Aku membatin, cuma buat beginian? "Memang, segala fasilitas yang ada di zaman sekarang ini sangat memudahkan kalian untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Tetapi nggak ada salahnya juga, kan, kalau kita juga mempertahankan tradisi lama yang sudah ada? Oleh karena itu, sepanjang semester ini, Ibu akan mengajari kalian berkorespondensi."
Aku nggak tahu apa artinya berkorespondensi sampai Bu Paula tahu-tahu memberikan selembar kertas yang serupa dengan kolom cari sahabat pena tadi ke Alex, cowok bertubuh kurus yang kemarin ditunjuk menjadi ketua kelas kami. "Di sini ada daftar teman-teman kalian-mereka murid di sekolah satu yayasan kita di Surabaya-yang nantinya akan menjadi sahabat pena kalian. Silahkan pilih salah satu dari mereka yang mau kalian ajak berkorespondensi." Kemudian, kepada Alex, beliau berpesan, "Yang ini kamu yang pegang. Nanti, kalau kamu sudah nentuin pilihan kamu, tolong oper ke anak-anak yang lain. Ibu mau keluar sebentar."
Begitu Bu Paula keluar, seperti biasa, kelas 10 IPA 4 langsung rusuh. Alex si ketua kelas langsung membuat pengumuman. Dia berdiri dari bangkunya, melingkarkan telapak tangannya di sekitar mulutnya layaknya toa, dan berteriak, "WOI, GUYS, POKOKNYA KALIAN JANGAN ADA YANG AMBIL AUDY RASYIKA, YA! AUDY RASYIKA PUNYA AING. TITIK!"
Aku memutar bola mataku.
"Biasa, si Alex mah," komentar si Jepang Jadi-Jadian. Aku memandang cowok itu dan mengernyit. "Kalo udah ada cewek cakep, aja, dia langsung gercep. Giliran aku suruh beliin siomay di kantin, tuh anak malah mager. Dulu waktu SMP juga gitu. Dasar, kelamaan jomblo."
Melihat wajahku yang kayaknya menyiratkan kalau aku bingung si Jepang Jadi-Jadian tahu ini semua dari mana, dia buru-buru menjelaskan, "Aku sama Alex dulu satu SMP. Pernah sekelas, malah, waktu kelas sembilan."
Di depan kami, cowok-cowok masih sibuk memperebutkan cewek tercantik dalam daftar sahabat pena itu. Menurutku, agak menyedihkan kalau cowok-cowok ini melihat fisik saat mencari teman-lagipula, bukanya itu agak melenceng dari tujuan bersahabat pena, yakni untuk dekat dengan seseorang tanpa peduli seperti apa tampang mereka?
"Eh, BTW, kamu Giana Si Kekar, kan?" tanya Jepang Jadi-Jadian tiba-tiba. Aku melongo. Dengan tinggi badanku yang hanya mencapai 155 sentimeter dan tubuhku yang mengandung lebih banyak lemak dari otot, aku jelas-jelas jauh dari kata kekar. "Pendekar gagah berani yang tanpa kenal lelah membela yang lemah." Kemudian, cowok bermata sipit itu tahu-tahu membungkuk sebagai tanda hormat yang dibuat-buat, hampir kayak orang Jepang betulan. "Saya Haruki Julian Prathama, dan Anda adalah panutan saya. Teach me your ways, Sensei."
Pada awalnya aku nggak terlalu mudheng akan apa yang barusan diucapkan cowok yang ternyata bernama Haruki itu, namun nggak lama kemudian aku mulai ngeh-insidenku dengan Malia Kamis lalu. Entah bagaimana, desas-desus tentang aku mencakar seorang kakak kelas telah tersebar sampai angkatanku. Mungkin itulah alasan kenapa sangat sulit bagiku untuk mencari teman.
Makanya, apa yang barusan dikatakan Haruki kuanggap sebagai ejekan.
Clara tahu-tahu mengoper kertas berisi daftar murid-murid Surabaya tadi ke kami. Hampir semua dari mereka sudah diklaim oleh teman-teman sekelas kami yang lain, yang berarti pilihan yang dimiliki aku dan Haruki lumayan terbatas. Hanya dua, lebih tepatnya. Aku melihat-lihat satu per satu foto beserta biodata singat mereka (isinya nama, kelas, tempat/tanggal lahir, dan minat), mencari-cari yang mana yang kira-kira bisa kutulisi surat nggak niat.
Dua orang yang tersisa itu sama-sama cowok, mungkin karena kebanyakan teman sekelas kami lebih memilih untuk bersahabat pena dengan cewek. Salah satu dari biodata itu entah kenapa nggak menulis apa-apa di kolom minat.
Nama panggilan: Evan
Kelas: 10 IPA-B
Tempat/tanggal lahir: Singapura, 28 April 2002
Aku suka
Di samping biodata tersebut terdapat foto seorang cowok yang kayaknya nggak suka difoto, karena matanya memicing begitu dia dijepret kamera. Raut wajahnya kaku dan agak membawa kesan dingin, walaupun itu mungkin karena foto yang dilampirkan adalah pas foto untuk kartu pelajar. Kebanyakan orang toh sama sekali nggak mirip dengan pas foto mereka.
Aku hampir melongkap si Evan F. Alamsyair ini dan memutuskan untuk menjadikan cowok yang satunya lagi, seorang anak botak berkulit gelap bernama Andi Soetomo, sebagai sahabat penaku. That is, sebelum Haruki tahu-tahu menunjuk foto Andi dan berkata, "Nah, aku suka nih anak."
Aku menghela napas. Untuk enam bulan kedepan, aku akan terjebak dengan seorang anak membosankan yang nggak suka membahas tentang apa-apa.
Ternyata, insiden dengan Malia kemarin dengan sangat mudah membuatku menjadi anak kelas sepuluh yang paling dibenci para kakak kelas. Kenapa aku bisa tahu, karena barusan aku dilabrak oleh sekelompok anak kelas sebelas waktu aku keluar dari kamar mandi.
Waktu itu sebenarnya sekolah sudah pulang, yang berarti aku mau nggak mau harus menghadapi Malia (lagi) karena hukuman membersihkan-taman-sekolah kami waktu itu. Karena kebelet, aku terpaksa ke kamar mandi seusai pelajaran Fisika-dan aku tadinya bermaksud untuk bersembunyi di sana karena aku akan kepergok guru BK kalau aku berusaha menyelinap pulang.
Selama sekitar lima belas menit aku tenang di bilik kamar mandiku-aku bahkan sempat membaca beberapa halaman komik yang kubawa diam-diam ke sekolah-sebelum aku mendengar segerombolan cewek masuk ke dalam kamar mandi. Awalnya kuabaikan saja keberadaan mereka, yang kayaknya sedang saling menunggu sambil menggosip nggak jelas tentang seorang kakak kelas yang nggak begitu kukenal.
Maka aku tetap terdiam di sana, larut dalam komik yang kubaca, hingga pembicaraan mereka beralih ke topik lain.
"Eh, kamu udah denger, nggak, tentang Malia yang dilabrak adek kelas kemarin?" salah satu dari mereka, seorang cewek dengan suara berat dan tegas, tahu-tahu bertanya dengan suara lantang.
"Oh, yang itu?" salah satu temannya yang lain, yang dari suaranya kayaknya sedang menderita flu atau radang tenggorokan ringan, menimpali. "He-eh. Gelo emang tuh anak. Sampai dicakar, anjir."
"Kalo nggak salah namanya Gita-Gita gitu kan? Atau Gayatri?" suara terakhir-dari perbedaan suara yang kudengar selama sesi bergosip tadi, aku menduga mereka ada tiga orang-ikutan nimbrung. "Nekat banget anjir dia. Aku ngelihat sendiri waktu tuh anak lewat di koridor kelas 11. Nggak ada hormat banget sama kakak kelas."
Pada saat itulah, telingaku mulai panas. Separuh dari diriku ingin sekali tetap duduk diam di dalam bilikku seperti yang akan dilakukan orang waras mana pun, namun aku tahu aku nggak bisa tinggal diam saat orang lain sedang merendahkanku.
"Kalian semua, kali, yang gila hormat," ucapku begitu aku membuka pintu bilikku. Ketiga kakak kelas itu, yang kini bisa kulihat dengan secara langsung, menoleh ke arahku. "Bukannya koridor sekolah itu milik bersama, ya? Harusnya semua murid punya hak, dong, buat lewat situ?"
"Heh, bocil ya, ngomongnya," ujar si suara serak-suara tersebut ternyata dimiliki oleh seorang cewek berkacamata yang mengenakan jaket varsity sekolah. Dia menatapku dengan tatapan tajam yang sejujurnya membuat nyaliku agak menciut-namun tentu saja aku nggak akan mengakui hal tersebut di depannya.
"Harus dikasih pelajaran nih, kayaknya, Dar," celetuk si suara berat, yang merupakan seorang cewek berwajah imut yang bahkan lebih kecil dariku. Suaranya sangat kontras dengan perawakannya. "Enaknya kita apain, nih?"
Ketiga kakak kelas tersebut mulai maju seakan mereka hendak menyerangku, namun sebelum mereka dapat melakukan apa-apa padaku, aku buru-buru membela diri. Tanpa pikir panjang, aku melayangkan tamparan pada pipi masing-masing dari mereka sebelum berlari keluar dari kamar mandi.
Sadar akan apa yang baru saja kulakukan, aku menangis begitu aku keluar dari kamar mandi.
Tapi sisi baiknya, sepulang sekolah aku jadi memiliki sesuatu untuk dituliskan kepada sahabat pena baruku yang nggak suka membahas apa-apa itu.
Bandung, 21 Juli 2017
Teruntuk Evan,
Aku sebenarnya n?g?g?a?k? ?tidak tahu kenapa tiap surat harus ada kata-kata "teruntuk" di depannya. Bagiku, kata "teruntuk" itu kesannya terlalu formal dan puitis, seakan-akan kita ini adalah dua orang yang diam-diam saling bertukar ide-ide radikal (i?n?i? ?n?g?g?a?k? ?s?a?l?a?h? ?p?e?n?g?g?u?n?a?k?a?n? ?k?a?t?a?,? ?k?a?n???)? ?di masa penjajahan atau orang pacaran yang saling s?u?r?a?t?-?s?u?r?a?t?a?n? surat-menyurat di kelas-padahal kita tidak saling kenal dan kamu aslinya k?a?y?a?k? ?seperti apa aku juga tidak tahu.
Aku rasa, mungkin surat pertama ini dimaksudkan sebagai semacam perkenalan karena a?k?u? ?b?a?k?a?l? ?t?e?r?p?a?k?s?a? ?n?g?i?r?i?m? ?s?u?r?a?t? ?p?e?n?u?h? ?o?m?o?n?g? ?k?o?s?o?n?g? ?k?e? ?k?a?m?u? ?s?e?l?a?m?a? ?6? ?b?u?l?a?n? ?k?e? ?d?e?p?a?n? kita akan menjadi sahabat pena. Omong-omong, namaku Giana Tampubolon, tapi aku biasa dipanggil Giana. Umurku 15 tahun, sama seperti kamu. Sama seperti kamu juga, aku sama sekali belum tahu apa yang aku benar-benar sukai-dalam satu waktu aku bisa emosional sampai membanting HP ponsel hanya gara-gara kalah di sebuah game, dan menangisi kematian seseorang di sebuah drama Korea setengah jam kemudian. Aku tidak suka susu (mungkin ini alasan kenapa tinggiku tidak bertambah dari kelas 1 SMP), tapi aku suka semua produk yang bahan dasarnya susu-seperti es krim, keju, bahkan yogurt yang menurut kebanyakan orang terlalu asam itu. Aku adalah salah satu dari segelintir orang yang lebih suka film adaptasi dari sebuah buku dari bukunya sendiri, karena melihat satu halaman buku saja sudah membuatku mengantuk. Bisa dibilang, aku ini manusia penuh kontradiksi.
Ibu Paula, guru Bahasa Indonesia-ku, memberitahu kami kalau dalam surat ini kami harus menulis tentang keseharian kami, y?a?n?g? ?s?a?m?a? ?s?e?k?a?l?i? ?t?i?d?a?k? ?a?k?u? ?m?e?n?g?e?r?t?i? ?k?a?r?e?n?a? ?b?u?a?t? ?a?p?a? ?n?g?a?s?i?h? ?t?a?h?u? ?s?e?m?u?a? ?d?e?t?a?i?l? ?n?g?g?a?k? ?p?e?n?t?i?n?g? ?t?e?n?t?a?n?g? ?h?i?d?u?p?m?u? ?k?e? ?o?r?a?n?g? ?y?a?n?g? ?b?a?h?k?a?n? ?n?g?g?a?k? ?k?a?m?u? ?k?e?n?a?l??? ?Dan aku masih tidak mengerti untuk apa punya sahabat pena di zaman sekarang, saat aku tinggal meminta ID Line kamu kalau aku mau berteman dengan seseorang yang tinggal 572 kilometer jauhnya dariku. Tapi mungkin itulah poin yang mau ditekankan Ibu Paula, guru Bahasa Indonesia-ku. Supaya pertemanan kita-y?a?h?,? ?k?a?l?a?u? ?d?a?r?i? ?s?u?r?a?t? ?i?n?i? ?k?i?t?a? ?m?e?m?a?n?g? ?b?i?s?a? ?j?a?d?i? ?t?e?m?a?n?-bisa lebih "?k?e?r?a?s?a?"? "terasa" lantaran perjuangan yang berat seperti harus membeli perangko, menunggu balasan, dan semacamnya.
Maka m?a?u? ?t?i?d?a?k? ?m?a?u? aku akan menceritakan keseharianku ke kamu. Saat aku menulis ini, pikiranku sedang campur aduk lantaran segala sesuatu yang terjadi di sekolah-yang n?g?g?a?k? tidak semuanya enak. Oke, lebih tepatnya semua hal yang terjadi di sekolah tidak enak, terutama saat secara tidak sengaja aku membuat semua orang membenciku. Aku tidak akan menjelaskan kejadiannya secara detail di sini, tapi keadaannya cukup buruk hingga beberapa hari yang lalu dilabrak oleh beberapa kakak kelas yang bahkan tidak kukenal. Dan walaupun aku tahu tidak seharusnya aku peduli-toh, kakak-kakak itu sendiri-lah yang salah, mereka terlalu gila hormat dan segalanya-tetap saja, aku merasa sakit.
Omong-omong, maaf kalau misalnya "cerita pribadi"-ku tadi malah terkesan curhat, padahal ini bahkan baru pertama kalinya kita s?u?r?a?t?-?s?u?r?a?t?a?n? b?e?r?k?o?r?e?s?p?o?d?e?s?i? berkorespondensi. Aku tahu yang Ibu Paula maksud dengan "cerita tentang keseharian" adalah hal-hal seperti "hari ini aku mencoba jus mangga Thailand untuk yang pertama kalinya" atau "besok sekolah kami akan mengadakan karyawisata ke Bali, lho!", namun aku rasa aku hanya butuh teman yang mungkin mau m?e?n?d?e?n?g?a?r?k?u? ?b?e?r?b?i?c?a?r?a? membaca tulisan tentang masalahku. Entahlah.
Maaf juga kalau surat ini nggak rapi dan banyak coretannya, ya, Van. Bu Paula nyuruh kami buat ngumpulin surat ini ke beliau untuk di-"revisi" supaya "sesuai dengan EBI[5]" dan segalanya. Padahal, bukannya itu namanya melanggar hak privasi?
(^yang ini aku tambahin sendiri diam-diam setelah tulisan ini di-"revisi" dan nggak kelihatan Ibu Paula.)
Dari sahabat pena barumu,
Giana
[5] Ejaan Bahasa Indonesia-nama baru untuk EYD (Ejaan yang Disempurnakan).