[ GIANA ]
SEPULANG DARI KENCAN penuh drama tadi, aku langsung masuk ke dalam kamar dan menghempaskan diriku di atas kasur tanpa mengganti bajuku dulu—toh kaus Joger juga sudah biasa digunakan orang sebagai baju tidur. Aku hanya ingin tertidur, walaupun sebenarnya sekarang baru jam setengah sembilan malam, dan melupakan segala pengalaman nggak mengenakkan bersama Malia hari ini. Namun, saat aku baru saja mau memejamkan mataku, Genta tahu-tahu masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu.
"Asal kamu tahu, aku malu banget tadi gara-gara kamu pakai acara ngambekan nggak jelas, Gi."
Aku tetap berpura-pura tidur, berharap Genta akan cepat-cepat pergi. Sejujurnya, aku juga merasa agak kesal pada Genta walaupun dia sebenarnya nggak bersalah. Oke, sebenarnya ada satu salahnya. Dia memacari Malia—aku nggak mengerti kenapa cewek jelmaan iblis kayak dia bisa pacaran dengan seorang child prodigy yang memiliki image kalem macam kakakku—sendiri merupakan sebuah kesalahan. Entahlah. Mungkin justru itulah alasan mengapa aku marah pada Genta, tapi aku nggak sepenuhnya yakin.
Aku dapat merasakan Genta berjalan menghampiriku bahkan saat mataku terpejam. "Aku tahu kamu lagi pura-pura tidur, Gi. Ayolah. Dewasa dikit 'napa, kek?"
Aku menggeram, dan begitu aku membuka mataku, aku mendapat Genta sedang duduk di kursi meja belajarku sambil memainkan bubble wrap yang kudapat waktu membeli casing ponsel di toko online beberapa bulan lalu. Dahiku mengernyit. "Apa, sih, yang kamu mau?" tanyaku.
"Harusnya aku yang nanyain itu ke kamu," Genta malah membalikkan pertanyaan yang kulontarkan padaku. "Apa sih yang kamu mau, sampai-sampai kamu tadi bertingkah cuma gara-gara kamu nggak suka sama Malia? Dan kenapa kamu sampai sebenci itu sama dia?"
"Dia... " Aku kemudian teringat kalau sebenarnya aku yang menyebabkan permusuhan di antara diriku sendiri dengan Malia, sehingga aku buru-buru terdiam dan berusaha memikirkan pemilihan kata yang paling tepat. "Kita pernah ada masalah."
"Kalian nggak bisa baikan, gitu, atau apa?"
Sayangnya "baikan" nggak segampang itu, batinku. Aku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan dan bertanya, "Omong-omong, apa sih, yang kamu lihat dari orang kayak Malia?"
"Banyak hal," jawab Genta yakin. "Mungkin, selama ini yang kamu lihat dari Malia cuma yang jelek-jeleknya aja, karena kamu udah keburu menilai dia negatif. But really, she's way more than that." Genta kemudian bangkit dari kursi meja belajarku dan menambahkan, "Begitu kamu benar-benar mencintai seseorang, kamu akan melihat dia sebagai dirinya yang sebenarnya dan tetap mencintai dia apa adanya. Kamu mungkin belum pernah ngalamin, jadi kamu nggak tahu rasanya." Kemudian, Genta keluar dari kamarku.
Setelah Genta keluar dari kamar, aku berusaha untuk kembali tertidur, namun aku nggak bisa. Pada akhirnya aku memutuskan untuk membuka YouTube di ponselku dan menonton beberapa video ASMR agar aku mengantuk, meski sebenarnya aku nggak terlalu mengerti bagaimana bisikan dan ketukan jemari seseorang dapat menimbulkan rasa tenang. Saat itulah, tahu-tahu muncul notifikasi Line dari Evan—sahabat pena baruku itu.
Evan Alamsyair
giana, inget nggak waktu itu kita bikin perjanjian boleh curhat-curhatan di line selama itu nggak menyangkut hal-hal penting yang nanti bakal ditulis di surat?
Evan Alamsyair
well, aku butuh teman curhat atm
Aku menaikkan sebelah alisku. Evan bahkan belum mengirimiku surat balasan—karena surat balasan dari anak-anak Surabaya memang baru akan diberikan pada kami minggu depan—dan dia tahu-tahu sudah ingin curhat denganku. Aku, yang bahkan nggak mengetahui apa-apa tentang dia di luar asumsi-asumsi yang kubuat saat mengamati akun sosial medianya.
giana
knp?
Nggak butuh waktu lama bagi Evan untuk membaca dan langsung membalas pesanku, yang membuatku menarik kesimpulan kalau dia entah 1.) memang gerak cepat atau 2.) sedang nggak ada kerjaan.
Evan Alamsyair
aku rasa cuma kamu yang bisa kuajak bicara sekarang
Evan Alamsyair
*chatting maksudnya
Evan Alamsyair
kalo bicara kan harus verbal???
Kini, aku dapat menarik kesimpulan kalau selain fakta kalau dia orang Singapura yang ikut ekskul sekolahnya dan sudah punya pacar, Evan juga memiliki sifat yang awkward. Ini dapat terlihat dari cara dia chatting denganku, baik waktu itu maupun hari ini.
giana
well, aku sendiri lagi badmood
giana
takutnya aku nggak bisa ngasih saran yang baik nanti
Evan Alamsyair
nggak papa
Evan Alamsyair
nanti kamu juga bisa curhat ke aku kok
Evan Alamsyair
kan itu tujuannya sapen—saling berbagi tentang kehidupan satu sama lain
Evan Alamsyair
omong-omong, kamu punya pacar nggak?
Aku memutar mataku. Evan yang imut dan agak pemalu kini berubah lagi menjadi Evan yang kuketahui waktu dia pertama kali mengajakku bicara, yang memberi kesan bahwa dia player dan tukang modus karena dia tahu-tahu meminta ID Line-ku. Tentu saja aku nggak bisa menjawab pertanyaannya dengan jujur, karena aku jelas nggak mau jadi orang ketiga di antara dirinya dengan si Astrid-Astrid itu. Dan kalaupun Evan nggak punya pacar, aku tetap nggak tertarik untuk menjalin hubungan dengannya.
giana
penting banget emang sampai kamu harus tahu?
Jawaban yang Evan berikan sungguh di luar dugaanku.
Evan Alamsyair
atau se-enggaknya pernah jatuh cinta?
Evan Alamsyair
karena kalau kamu pernah jatuh cinta, kamu pasti ngerti gimana perasaanku sekarang.
Gara-gara kembali teringat akan apa yang dikatakan Genta barusan, aku menghela napas. Baru saja Genta menyinggungnku tentang bagaimana aku nggak mengerti perasaannya lantaran nggak pernah jatuh cinta, dan sekarang Evan tahu-tahu mengangkat topik yang sama.
giana
kenapa memang?
giana
kamu lagi ada masalah sama astrid?
Evan Alamsyair
iya
Evan Alamsyair
kok kamu tahu astrid?
giana
aku lihat-lihat ig kamu???
giana
omong-omong, aku nggak pernah pacaran
giana
nggak pernah suka sama cowok juga
giana
barusan aku dikasih tahu sama kakakku kalau aku nggak ngerti apa-apa tentang masalahnya gara-gara aku nggak pernah jatuh cinta
giana
jadi kayaknya aku nggak terlalu bisa nolongin kamu
Sial. Kenapa aku baru saja membeberkan masalah pribadiku ke dia? Kemudian aku teringat kalau justru itulah inti dari perjanjian kami—saling membuka diri pada satu sama lain. Meski demikian, aku tetap merasa malu akan apa yang baru saja kutulis. Kesannya kayak membuka aib.
Herannya, Evan menyikapinya dengan kelewat tenang.
Evan Alamsyair
enak ya bisa dekat sama kakak sendiri sampai bisa cerita-cerita gitu
Evan Alamsyair
aku sama kakakku nggak dekat sama sekali
giana
aku sama genta juga nggak dekat, kok
giana
genta kakakku btw
giana
tentang itu nanti aku ceritain di surat
giana
terlalu panjang kalau di sini takutnya ntar percakapan kita meleber
Dalam hati, aku bertanya-tanya kenapa bahan pembahasan kami menyimpang jauh dari benang merah. Buru-buru aku menggiring percakapan kami kembali ke topik awal.
giana
anyway
giana
memangnya kamu sama astrid kenapa?
Evan Alamsyair
rasa percaya dia ke aku itu gede banget
Evan Alamsyair
dan aku malah ngehancurin rasa percaya itu
Evan Alamsyair
intinya aku menyembunyikan sesuatu dari dia dan pada akhirnya dia tahu
Evan Alamsyair
sekarang dia kecewa sama aku dan aku merasa bersalah banget gara-gara itu
Evan Alamsyair
aku sayang banget sama astrid, tapi yang bisa aku lakuin cuma nyakitin dia
Evan Alamsyair
yah sebenarnya aku nggak terlalu perlu saran dari kamu atau apa sih
Evan Alamsyair
aku cuma butuh tempat cerita
Aku menghela napas begitu membaca cerita Evan mengenai pacarnya yang baru saja dia sakiti dengan nggak sengaja. Meskipun aku nggak pernah merasakan "cinta" yang dimaksud oleh orang-orang kayak Evan atau Genta, aku paham banget rasa bersalah yang dia rasakan. Sebagian kecil dari diriku merasa bersalah telah menyakiti Malia dan memulai permusuhan dengannya, meskipun aku nggak menyayangi Malia atau apa.
Pada akhirnya, aku mengetikkan saran untuk Evan, meskipun aku sendiri nggak tahu cara menyelesaikan masalahku sendiri.
giana
um, coba ngomong ke dia baik-baik deh
giana
kalo dia juga sayang sama kamu, dia bakal maafin kamu kok
Aku nggak percaya kemarin aku baru saja chatting sama cowok sampai tengah malam.
Pikiran ini terlintas di benakku selagi aku membaca surat balasan dari Evan yang baru diberikan Bu Paula di pelajaran Bahasa Indonesia tadi. Rasanya agak aneh, tahu-tahu membaca tulisan anak itu dalam kalimat yang ditulis dengan baik dan benar, saat aku sudah mulai agak membiasakan diri dengan ketikannya yang agak ngelantur dan mengabaikan kaidah-kaidah berbahasa Indonesia. Kini jam istirahat dan aku sedang duduk di bangku yang terletak di tepi lapangan sekolah—kebanyakan anak-anak cewek di kelasku masih terlalu takut untuk mengajakku makan bareng mereka di kantin, sehingga seringkali aku terpaksa makan sendirian sambil menonton cowok-cowok bermain bola di lapangan. Aku bertanya-tanya apakah image intimidatif memang sudah telanjur melekat pada diriku hanya karena aku berani membela diri di depan senior.
Suratnya Evan, omong-omong, membahas tentang rasa sendiri yang sedang kurasakan sekarang. Dan Harry Potter. In fact, hampir separuh dari surat itu isinya murni cowok itu memperkenalkan dirinya seakan-akan dia adalah tokoh di Harry Potter—dengan nama asrama, patronus, dan segalanya. Aku baru tahu tipikal anak atlet populer macam Evan ternyata punya sisi geeky.
Manusia, aku simpulkan, rupanya memiliki lebih banyak sisi di luar yang biasa kita lihat. Dan guru di sekolah Evan rupanya nggak seketat Bu Paula mengenai penggunaan bahasa informal—di surat Evan, nyaris nggak ada coretan hasil koreksi. But that's beside the point.
Tahu-tahu, sebuah bola jatuh mengenai wajahku dan membuyarkan lamunanku.
"Woi!" sebuah suara tahu-tahu memanggilku. "Kamu nggak papa?"
Begitu aku membuka mataku yang kayaknya lebam, aku setengah berekspektasi kalau aku akan berhadapan dengan seorang cowok ganteng yang menghampiriku kayak di webtoon. Sayangnya, aku hidup di dunia nyata dan kenyataannya nggak ada cowok ganteng di sekolahku, karena yang menghampiriku ternyata cuma Haruki. Ingat, kan, si Jepang Jadi-Jadian yang satu kelompok denganku di itu?
"Apanya yang nggak papa?" aku balik bertanya dengan nada ketus. Aku mengecek hidungku—untung nggak mimisan. Meski demikian, aku yakin pasti hidungku patah atau apa. Rasanya sakit sekali waktu kutekan.
"Oi, bolanya dong—eh, ada Giana." Alex, yang nampaknya sama nggak pekanya akan penderitaanku, tahu-tahu berjalan menghampiriku dan menarikku ke tengah lapangan. "Guys, hari ini Giana si Kekar bakal main bareng kita!" Cowok bertubuh kecil itu kemudian menepuk bahuku keras, yang membuatku takut kalau-kalau darah di hidungku bakal terdorong untuk keluar. "Semangat, Gi! Kerahkan seluruh tenaga kamu yang waktu itu kamu pake buat nabok kakak kelas!"
Bagus banget, pikirku. Bukannya diantar ke UKS, aku malah diajak main bola bareng. Alhasil, pada jam istirahat itu aku berakhir jadi bahan tontonan anak-anak satu sekolah, yang rata-rata penasaran ingin melihat Giana si Kekar bermain bola.
a/n; soo i decided to unpublish this book on wp after some reconsidering??? jadi cerita ini cuman ada di tinlit yaps. ehe.
also apparently batas tinlit x grasindo tinggal berapa hari lagi sobs ;-;