[ EVAN ]
"KAMU... DIKEMO?"
Aku langsung membanting tubuhku ke permukaan kasur begitu mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Astrid. Aku bisa saja berbohong dan berkata kalau aprepitant itu semacam vitamin atau apa, namun tentu saja Astrid nggak akan percaya. After all, definisi aprepitant menurut sebuah situs ternama terpapar dengan jelas di layar ponsel miliknya.
Oleh karena itu, aku cuma bisa kembali ke posisi duduk dan mengangguk pelan.
"Kok kamu selama ini nggak ngasih tahu aku?"
"Karena aku mau kita kayak orang pacaran biasa aja, gitu—tahu kan, yang jalan bareng tiap malam Minggu atau saling ngasih surprise pas ultah atau anniv? Aku mau hubungan kita sederajat. Aku nggak suka diperlakukan kayak orang sakit yang harus selalu kamu jaga." Aku menghela napas. Tahu kalau pemilihan kataku barusan mungkin nggak tepat, aku melanjutkan, "Aku cuma nggak mau kamu khawatir."
Perlahan-lahan, aku meletakkan tanganku di pundak Astrid, yang kini menatap kosong pada meja belajar yang terletak di depan tempat tidurku. Kayaknya dia masih berusaha mencerna semua hal yang baru dia ketahui barusan, dan aku paham betul perasaannya. Kalau misalnya peran kami dibalik dan Astrid tahu-tahu memberitahuku kalau dia sedang mengidap kanker mematikan, aku juga bakal sulit untuk percaya. (Yah, sebenarnya Astrid sudah cukup mengkhawatirkanku lantaran "cedera" yang nggak sembuh-sembuh, tapi tetap saja.)
Ingin sekali aku membenturkan kepalaku berkali-kali di tembok karena kebodohanku sendiri. Seharusnya aku sudah memberitahu Astrid dari awal tentang ini semua. Nggak usah merahasiakan apa-apa.
Saat aku hendak meminta maaf padanya, Astrid tahu-tahu membuka mulutnya lagi. "Udah berapa lama kamu... " Walaupun Astrid buru-buru memotong pertanyaannya, aku tahu betul apa yang dia maksud. Udah berapa lama kamu kena kanker? Udah berapa lama kamu menderita kayak gini tanpa memberitahu aku—tanpa memberitahu siapa pun—tentang ini semua?
Maka aku memutuskan untuk menceritakan semuanya, tanpa ada yang disembunyikan lagi. "Sejak kakiku patah waktu audisi sekolah bola itu," jawabku. "At least, waktu itu dokter-dokter nemuin hal yang aneh di kaki kiriku. Ternyata itu sel kanker. Osteosarkoma." Aku berhenti sebentar, berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberitahu Astrid semuanya.
"Jadi sekitar setahunan lebih?" tanya Astrid. Aku mengangguk. Kemudian aku menceritakan ke Astrid tentang operasi yang kemudian kuperoleh di Singapura waktu liburan Natal tahun lalu, yang ternyata nggak berhasil menghilangkan sel-sel kanker yang ada dalam tubuhku yang ternyata sudah menyebar. Aku bercerita mengenai segala macam obat-obatan yang harus kuminum berkali-kali sehari, tentang rasa kelelahan yang kurasakan bahkan jika aku nggak melakukan banyak hal, tentang bagaimana aku merasa sendirian dan kehilangan banyak teman gara-gara jarang masuk sekolah. Aku bercerita mengenai impian dan cita-citaku yang pupus begitu saja lantaran penyakitku dan prediksi dokter mengenai usiaku yang nggak akan bertahan sampai enam belas tahun—yang membuatku selama ini kerap menyebut kalau usiaku hampir enam belas alih-alih baru lima belas. Aku bahkan memberitahu Astrid tentang hubunganku dengan Maggie yang nggak baik lantaran biaya perawatanku mengharuskan Maggie untuk buru-buru lulus, dan bagaimana aku merasa bersalah karenanya.
Astrid terpaku, nggak mengatakan apa-apa setelah aku selesai menceritakan semuanya. Sekarang, dengan semua detail mengerikan yang sudah dia ketahui tentang penyakitku, dia bahkan lebih nge-blank dari sebelumnya. Aku sendiri nggak tahu bagaimana perasaanku setelah membagi beban yang selama ini kupendam sendirian ke orang lain—di satu sisi, mungkin seharusnya aku merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya, namun di sisi lain aku juga menyebabkan orang tersebut (atau, dalam kasus ini, Astrid) menanggung beban secara paksa. Mendadak aku langsung menyesal telah memberitahu ini semua kepadanya, karena toh selama ini aku nggak memberi tahu Astrid karena takut hal ini akan terjadi.
Aku menghela napas sebelum mendekat ke sisi Astrid, kemudian aku memeluk gadis itu. Sesuatu yang baru bagi kami berdua, apalagi mengingat kami agak jarang melakukan kontak fisik selama setahun lebih kami pacaran. Aku dapat merasakan air mata Astrid membasahi kaosku, dan aku membiarkan Astrid menangis di pelukanku. "I'm so sorry," ucapku lirih sambil mengusap-usap bahunya, berharap bahwa dia akan tenang.
"You don't have to be," jawab Astrid pelan setelah dia selesai terisak, sebelum dia berdiri untuk mengambil tasnya yang tergeletak di lantai dan keluar dan pamit untuk pulang.
Begitu Astrid keluar dari kamarku, aku kembali menghempaskan diriku di atas kasur. Agak lama aku hanya berbaring telentang di atasnya, memandang langit-langit kamarku sambil memikirkan betapa aku ini pacar terburuk yang pernah ada.
?×
Ironisnya, sebelum insiden itu terjadi, aku dan Astrid bisa pacaran lebih dari setahun lamanya justru karena kami saling percaya.
Kami sudah berpacaran sejak awal kelas sembilan. Sebenarnya, aku dan Astrid bukanlah tipe yang kamu duga bakal bisa dekat—sebagai anggota tim sepakbola sekolah, aku lebih sering bermain dengan anak-anak populer, sementara Astrid adalah ketua OSIS yang menggangap anak-anak sepertiku adalah hama yang harus disingkirkan. Klise, memang. Waktu itu, aku dan teman-temanku nggak terlalu menyukai dia, dan nggak jarang aku dan Astrid sering ribut gara-gara hal-hal remeh kayak bau badan kami setelah jam Penjaskes atau mengerjakan PR di sekolah.
That is, hingga aku mulai naksir pada sahabatnya, Sekayu, yang kutemui di tempat bimbelku. Sekayu merupakan anak sekolah lain. Aku mengenalnya dari tempat lesku dulu—anaknya manis, agak pendek, dan berkacamata. Terakhir aku melihat update-annya di Instagram, cewek itu sekarang sekolah di Jakarta. (Sampai sekarang, Astrid masih sering mengejekku tentang cinta bertepuk sebelah tanganku pada Sekayu waktu itu.) Begitu aku melihat Sekayu dan Astrid jalan bareng di mall pada suatu hari, aku tiba-tiba memiliki ide—yakni meminta Astrid untuk mendekatkan diriku dengan Sekayu.
Oleh karena itu, keesokan harinya aku sengaja datang ke rumah Astrid malam-malam sambil membawakannya terang bulan cokelat keju sebagai tanda perjanjian damai. Astrid, tentu saja, terheran-heran akan apa yang dilakukan musuh terbesarnya di depan pintunya pada jam delapan malam—namun tentu saja dia, kayak kebanyakan orang, nggak bisa menolak pesona terang bulan. (Cokelat yang dicampur sama keju itu kejahatan terhadap kemanusiaan, kata Astrid begitu membuka kotak terbul yang kubawakan, meski pada akhirnya dia menghabiskannya juga.) Sambil kami menghabiskan martabak sambil digigit nyamuk di teras Astrid—pertama kali kami melakukan sesuatu tanpa adanya rasa benci di antara kami, aku membuat perjanjian dengannya. Aku memberi tahu Astrid kalau aku nggak akan lagi melakukan hal-hal yang membuatnya kesal padaku, selama dia mau membantuku mendekatkanku pada Sekayu.
Itu adalah pertama kalinya aku meletakkan kepercayaanku pada Astrid.
Beberapa hari setelah itu, aku dan Astrid mulai sering ketemuan bareng, mostly untuk mendiskusikan cara-cara untuk mendekatkan diriku pada Sekayu. Astrid memberitahuku kalau Sekayu suka segala sesuatu yang berbau green tea, sehingga aku pun mulai sering membelikannya green tea botolan di jam istirahat bimbel. Astrid menemaniku membelikan Sekayu boneka Stitch raksasa untuk hadiah ulang tahunnya, karena Astrid pernah cerita kalau sahabatnya itu agak terobsesi pada alien berwarna biru itu. Kami mulai semakin dekat, dan teman-temanku mulai menggodaku tiap kali aku kelihatan bersama Astrid. "Cie," celetuk Bagas saat dia sedang menyalin PR-ku suatu hari. "Astrid pacarmu sekarang, toh?"
"Hush," balasku.
Nggak butuh waktu lama bagi pertemuanku dengan Astrid untuk berubah menjadi lebih dari sekedar pertemuan. Aku mulai sering mentraktir Astrid sepulang sekolah murni karena aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, dan bukan cuma karena aku ingin dia mendekatkanku dengan Sekayu. Astrid mulai mempercayaiku dengan rahasia-rahasianya, kayak orang tuanya yang sudah bercerai dan bagaimana dia takut ditinggalkan oleh orang-orang yang dia cintai karenanya.
Pertama kali aku memeluk Astrid, aku sedang menenangkannya saat dia menangis di sebuah gerai KFC setelah menceritakan semuanya. Sejak itu, aku mulai melihat Astrid sebagai teman alih-alih cuma sekedar mak comblang. Kemudian aku mulai memperhatikan hal-hal yang tadinya nggak kuperhatikan dari diri Astrid sebelumnya—kayak bagaimana Astrid mempunyai kebiasaan menutup mulutnya saat tertawa atau bagaimana mata kanan Astrid berkelopak ganda sementara mata kirinya ber-monolid. Tanpa sadar, aku nggak lagi berusaha untuk mendekati Sekayu. Aku malah mulai merasa suka pada Astrid. Rasa suka ini bukan cuma sekedar kamu-cantik-dan-aku-pengen-jadi-pacar-kamu, namun aku benar-benar ingin selalu bersamanya dan menerima dirinya apa adanya.
Hingga pada hari di mana aku direncanakan akan "menembak" Sekayu, aku nggak melakukannya. Instead, aku datang menghampiri Astrid di tengah-tengah lapangan saat dia hendak ke kantin dan memberitahunya kalau selama ini aku menyukainya.
Astrid, tentu saja, pada awalnya kaget, namun ternyata dia merasakan hal yang sama denganku. Semudah itu kami berubah status dari teman ke pacaran—ini semua karena rasa percaya kami terhadap satu sama lain yang besar. Kami nggak pernah ragu untuk memberitahu satu sama lain segala sesuatu dengan jujur, sehingga kami nyaris nggak pernah bertengkar karena hal-hal nggak penting. (Aku masih ingat bagaimana James pernah diam-diaman dengan pacarnya selama seminggu penuh lantaran dia ketahuan nge-chat cewek lain untuk tugas kelompok.)
That is, hingga cedera dan diagnosis kanker itu terjadi. Pasca diagnosis, aku jadi lebih sering menyembunyikan segala sesuatu dari Astrid karena aku nggak ingin hubungan kita berubah, saat secara nggak sadar apa yang kulakukan itu justru merupakan hal yang mengubah hubungan kami. Saat Astrid mulai khawatir padaku, aku justru menjauh. Entah sadar atau nggak, aku telah merusak rasa percaya yang membuat kami bisa jadian in the first place.
Kini, pada jam setengah sembilan malam, aku tengah berbaring telentang di atas kasur dengan ponselku terangkat di depan wajahku. Perasaanku masih berkecamuk. Aku membuka daftar kontak ponselku, berniat mencari-cari nama Astrid untuk meminta maaf. Kemudian aku kembali teringat betapa kacaunya Astrid begitu dia mendengar pengakuanku tadi, dan aku buru-buru mengurungkan niat itu.
Saat itulah, aku melihat nama "Giana" terpampang di daftar kontakku.
a/n; i've kind of abandoned this story hiks mengapa dirimu sangat kejam wahai tugas kuliah