Tentu saja, Gilang harus kembali ke rumah sakit. Ia terus mendumel dan mengomel karena sungguh, Gilang lebih baik tidur di rumah saja dari pada tidur di rumah sakit. Bau ruangan rumah sakit yang didominasi obat membuatnya pusing dan berpikir kalau sakitnya parah. Padahal ia hanya terluka di bagian kaki dan muka bonyok ringan doang.
Dan, satu manusia yang keras kepala agar Gilang tetap di rawat adalah...
“Lang! Jangan bandel dong. Kaki lo tuh masih sakit, nurut napa?”
Iya, Amira kunyuk.
“Mamaaa.. Gilang pengen pulang,” rengeknya malam ini.
“Enggak. Kamu pulangnya kalau udah sembuh.”
Gilang mendecak sebal. “Gilang itu sehat, Ma. Cuma kaki doang yang sakit. Gilang nggak ada luka dalam kan?” tanyanya.
“Huss! Kamu kalau ngomong. Memang alhamdulillah Lang, kamu nggak ada luka dalam. Tapi dokter bilang kaki kamu cederanya serius, masih belum boleh banyak digerakin. Lah kamu tuh nakal banget, dibilangin orang tua nggak mau nurut,” omel Farah sambil menyuapi Gilang.
Gilang hanya menunduk diam sambil mengunyah makanannya. “Amira mana, Ma?”
Farah mendongak. “Ya udah pulang lah, sayang. Ini kan udah malem.”
“Kenapa nggak suruh tidur sini aja, Ma? Biar Gilang ada yang nemenin.”
Pletak
Farah menjitak pelan kepala putranya. “Kamu mau modusin Amira, ya?”
“Heheh, ya nggak lah ma. Cowok sejati itu nggak pake acara modus-modusan segala, haha udah mainstrem. Mereka harusnya to the point, jujur secara langsung.”
Farah meraup wajah Gilang sambil ketawa. “Halah, sok kamu. Emang kamu berani ngomong langsung?”
“Loh, ke siapa?” tanya Gilang bingung.
“Ya ke Amira lah. Keliatan banget kalau kamu suka sama dia.”
Gilang tersedak. Setelah Farah memberinya minum, Gilang menatap mamanya sepersekian detik lalu tiba-tiba ngakak.
“Mama ngelawak ya? hahaha.”
“Idiihh, emang ya.. kalau salting itu keliatan banget,” ucap Farah.
Gilang pun mengumpat lirih sambil ketawa.
***
Pagi harinya ialah saatnya babak final pertandingan basket. Gilang yang saat ini masih di ranjang rumah sakit, mencak-mencak pengen ikutan nonton. Mamanya sampai kewalahan meladeni Gilang yang terus merengek.
“Assalamualaikum, Tante, Gilang.”
Amira pagi-pagi sudah datang menjenguk Gilang sambil membawakan buah-buahan. Gilang yang melihat kehadiran Amira langsung sumringah dan tersenyum senang.
“Bu Seekk. Gue pengen nonton, ayo temenin.”
Amira melotot. “Enggak boleh. Kemaren lo tuh udah diingetin dokter juga, masih aja ngeyel.”
“Halah, Mir... gue pengen ngasih semangat mereka. Masa nggak boleh sih?”
Amira menghela napas. “Tapi lo nggak bisa, Lang. Jangan bandel deh.”
Farah yang melihat Gilang cemberut hanya bisa menghela napas. “Mir, sini deh.”
Amira menoleh dan mengangguk sopan pada Mama Gilang.
“APA TANTE?” pekik Amira langsung menutup mulutnya. “Maaf nggak sengaja teriak, Tan,” cengirnya.
“Iya nggak apa-apa. Ya? pokoknya kita awasi dia supaya nggak neko-neko,” jelas Tante Farah lagi.
“Yaudah deh, Tante.” Amira mengangguk kemudian berjalan menghampiri Gilang.
“Mirr...” rengek Gilang.
“Iya kita nonton mereka. Buruan ganti baju! Tapi inget ya! lo nggak boleh turun ke bangku pemain, lo nontonnya di tribun sama gue, Tante Farah dan temen yang lain.”
Gilang pun mengangguk pasrah. “Iya deh iyaa.”
Setelah semuanya siap, mobil pun melaju ke SMA Negeri Hijau. Mereka bersyukur karena jalanan tidak macet seperti kemarin. Karena hari ini pertandingan dimulai lebih siang yaitu pukul sembilan.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di sekolah. Gilang, masih dengan bantuan tongkatnya keluar dari dalam mobil dibantu oleh Amira. Om Vino tidak ikut menonton karena sibuk di kantor katanya ada meeting.
“Lang, jangan jauh-jauh.”
“Iya iya, jangan bawel.” Gilang mendecak.
Mereka pun masuk ke gedung olahraga. Di pintu utama mereka bertemu Fadia dan juga Mitha, akhirnya mereka masuk bersama-sama menuju tribun bagian utara karena paling dekat dengan bangku pemain juga.
“Fad, Mith. Gimana kabar kalian?”
“Yeh, seharusnya kita yang nanya. Kabar lo gimana Lang? Kita baik kok,” cengir Mitha.
“Gue juga baik, jangan lihat fisiknya. Yang baik-baik saja maksudnya hati gue, wkwkwk.”
Fadia dan Mitha pun tertawa heboh sambil meledek Gilang yang jadi bucin gini.
“Eh, udah mau mulai.”
Pertandingan babak final pun dimulai. Tim Green House kini mengeluarkan Noval, Andra, Yogi, Vero dan Dani. SMA Garuda terkenal dengan kepintarannya, dan SMA Negeri Hijau terkenal dengan kekompakannya. Mereka lawan yang imbang, tetapi namanya pertandingan pasti ada yang kalah dan ada yang menang nantinya.
Pertandingan telah berjalan lima belas menit. Saat ini sedang waktunya time out. Gilang geregetan sekali pengin turun ke bawah sana dan menyemangati teman-temannya. Tapi dayang-dayang disekitarnya ini seakan menjepit dirinya tidak memberi celah sama sakali untuk keluar dari tribun.
“Jangan kepikiran untuk kabur kesana,” bisik Amira yang dibalas tatapan tajam Gilang.
“Iya, gue tau,” balas Gilang jutek.
“Eh Lang. Mau nggak nih? enak,” tawar Mitha yang udah ngemil jajan.
“Mau dong, hehe.” Gilang menyomot satu keripik ketela dan mengunyahnya sambil memandang sinis Amira.
“Apa lo?” tanya Amira tak kalah judes.
“Apaan? yeh,” Gilang mencibir.
Pertandingan masih berlanjut dan skor saat ini 58-52. Green House tertinggal.
“Duh, mereka mulai panik.” Gilang menggerutu.
“Ya sabar Lang. Coach Joni pasti nasehatin mereka entar.”
Gilang menghela napas panjang. Melirik papan waktu disana. Kurang sepuluh menit pertandingan berakhir.
“Mir, lo mau nggak? Enak nih.” Mitha menyodorkan jajannya pada Amira yang dibalas gelengan gadis itu.
“Enggak nolak, hehe,” ucapnya sambil menyomot jajan Mitha.
Sorakan dari penonton tak pernah berhenti. Gilang sampai takjub melihat bahwa banyak sekali yang menyayangi dan mendukung SMA nya. Bahkan bukan cuma dari orang dalam, orang luar dan sekolah tetangga pun ikut hadir untuk mendukung Tim Green House.
“Lima menit lagi, njiirr.”
Gilang pun langsung berdiri dan berteriak karena sudah tak sabar. “AYO GREEN HOUSE! TUNJUKKAN WARNA HIJAUMU! TUNJUKAN SEMANGAT DAN KEKOMPAKANMU! I LOVE YOU!”
Amira menarik Gilang agar dia duduk lagi. “Lo kenapa teriak sih?!”
“Yaelah, Bu Sek. Nyemangatin doang. Lo cemburu?”
“Nggak nyambung sumpah. Lo tuh nggak boleh capek-capek, Lang. Nakal banget sih,” gerutu gadis itu.
Tante Farah yang ada di samping putranya itu ikut memarahi Gilang. Sedangkan cowok itu hanya bisa ngangguk pasrah.
Detik-detik pertandingan akan berakhir begitu menegangkan. Skor saat ini 72-68, Green House masih tertinggal. Gilang benar-benar geregetan di dua menit terakhir ini.
“Ayo woy!” pekiknya gemas.
Noval berhasil merebut bola, dengan cekatan ia melempar bola ke ring. Yes! Masuk. Selanjutnya bola ditangkap oleh tim lawan, namun dengan segera Andra merebut bolanya. Andra berlari dan mengoper bola itu pada Dani. Dani dihadang oleh pemain lawan.
“AHHH, GUE GEMESSS!” Gilang menggeram.
“Yog!” Dani meneriaki Yogi dan cowok itu langsung sigap menerima bola darinya.
Bola ada di tangan Yogi. Skor sama 72-72, Yogi berlari dengan fokus lalu melompat tinggi saat berada di dekat ring. Ia melemparkan bola itu ke sana dan dengan mulus masuk ke ring basket lawan.
Priiiitt!!
Dua menit yang menegangkan telah usai. Kemenangan di raih oleh Green House, tim tuan rumah.
“CONGRATULATIONS TO SMA NEGERI HIJAU!”
“HUAAAA!”
“AAAA, KITA MENANG!”
“YES! WOOOAAA....”
Pekikan kemenangan dan kebahagiaan pun menggema di gedung olahraga. Tangis bahagia ikut hadir dan semua saling berpelukan bangga.
“Tuh kan apa gue bilang. Kita pasti menang!” Gilang berucap heboh.
“Halah, apaan. Dari tadi lo ngedumel mulu, pesimis lagi,” cibir Amira.
“Hehehe, yang penting sekarang kan menang. Ahhh, seneng banget gue, Mir!” Gilang langsung memeluk Amira membuat gadis itu terkejut, lagi. Jantungnya berdetak cepat karena mendapat perlakuan dua kali seperti ini dari rivalnya, Gilang.
“Eh eh eh, Gilang! Modus ya lo,” omel Mitha membuat Gilang langsung melepas pelukannya sambil nyengir.
“Haha, lo juga pengen gue peluk?” tanya Gilang.
“Emang boleh? Fadia sekalian ya?” cengir Mitha.
“Haha, udah udah. Gilang lagi kumat modusnya emang. Maafin Gilang ya, Mir.” Tante Farah berucap.
“Eh iya Tante, nggak apa-apa,” balas Amira gugup.
“Ya nggak apa-apa lah Ma. Orang dia juga seneng Gilang peluk. Iya kan, anoa?”
“Huss, Gilang!”
Cowok itupun hanya nyengir membuat Amira menahan agar tidak mengumpati ini cowok.
Perhatian mereka pun teralih pada rombongan tim Green House yang berjalan ke tengah lapangan. Saatnya penyerahan piala rupanya.
“Permisi, boleh saya ngomong sebentar,” ucap Noval sebelum panitia menyerahkan piala.
“Iya, silahkan,” balas panitia tersenyum.
“Tes, tes.”
“WOOAAAA!!”
“Ehem, GREEN HOUSE!” teriak Noval.
“BERSAMA KITA BISA!! WOO,” sahut seluruh pendukung SMA Negeri Hijau di gedung olahraga ini.
“Ya... Kemenangan kami tak pernah lepas dari dukungan kalian semua. Untuk pelatih kami juga, yang begitu sabar dan menyayangi kami, terima kasih. Dan juga satu sahabat kami, yang tidak bisa ikut bertanding kemarin dan juga hari ini. Dia, sahabat kami yang paling norak, absurd dan ngeselin.” Penonton di tribun pun tertawa menanggapi pidato Elvan.
“Tetapi, dialah energi kami, yang tidak pernah lupa mengingatkan kami untuk selalu semangat. Thanks Gilang! Lo benar-benar teman kita! Cepat sembuh!” Noval berucap dengan air mata yang ditahannya. “Piala ini untuk SMA kita Lang! Kita menang! Alhamdulillah!”
Tepuk tangan riuh pun menggema. Perhatian penonton juga teralih ke tribun karena Noval seakan berbicara langsung pada Gilang yang ada disana.
Gilang tersenyum senang. Terharu teman-temannya begitu menyayanginya.
“Ciee, yang disayang banyak orang,” ucap Amira.
Gilang menoleh ke Amira. “Lo juga sayang gue nggak?”
“HAA??”
***
Saat ini Amira sedang merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Ia begitu senang. Senang sekali. Kemarin sekolahnya menang, dan hari ini ia ditraktir makan sama Mitha di Cafe dekat sekolah untuk merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Ia memang tidak suka acara ulang tahunnya dirayakan dengan mewah, ia lebih menyukai cara sederhana namun meninggalkan bekas indah untuk dikenang.
Ada Bu Rahayu juga tadi, wali kelas yang sangat mereka cintai. Dan tanpa Amira sangka, Gilang memberikan kado untuknya. IYA, AMIRA KAGET.
“Mir, dicariin Rama.” Sebuah panggilan menginterupsi gadis itu. Dira memanggil lirih menghampiri Amira.
“Ha? Iya, Ma.”
Rama masuk ke ruang keluarga lalu berdiri di samping Amira. Cowok itu terlihat berantakan membuat alis Amira berkerut.
“Ram? Lo kenapa? Wei, lo tadi nggak hadir di Ultah gue loh. Mana hadiahnya? Wkwkwk.”
Tiba-tiba Rama bersujud di hadapan Amira. Gadis itu langsung terperanjat melihatnya. “Ram?! He!!”
“Mir,” panggil sebuah suara mengagetkan Amira.
“Elvan?”
“Sori, Mir, gue sama Andra yang nyari tau,” ucap Elvan membuat Amira kebingungan.
“Maksudnya?”
“Dia udah ngaku. Cowok ini yang nyuruh anak-anak Tunas Bangsa buat ngeroyok Gilang. Gue pernah lihat dia di dekat gudang tua waktu itu, saat gue selesai bantuin Gilang buat ngantar ke RS. Gue langsung curigain dia karena gelagatnya aneh, tetapi gue kan pikun, jadi nggak inget kalau dia yang datang ke rumah sakit buat jemput lo waktu itu.”
Amira hanya bengong sambil membuka mulutnya. Ia tidak paham dengan semua ini. Rama? Yang melakukan ini? Sungguh, padahal baru aja Amira senang, sekarang dapat berita kayak gini?
“Iya, gue Mir pelakunya. Gue yang ngejebak Gilang dengan menggunakan nama lo. Gue yang nyuruh anak-anak basket Tunas Bangsa buat ngeroyok dia si sana. Maafin gue,” ucap Rama.
“Lo bohong kan Ram? Lo mau nge-prank karena gue ulang tahun kan?” tanya Amira masih belum percaya.
“Gue yang ngelakuin Mir. ITU GUE! Itu Gue. Sahabat lo ini...”
Air mata Amira lolos, ia terduduk lemas di hadapan Rama. “Kenapa lo lakuin itu Ram?”
“Gue suka sama lo Mir, gue udah sayang sama lo sejak kecil. Gue nggak mau lo ngejauhin gue! Gue tetep ingin sama-sama dengan lo!”
Amira menangis histeris. Tak pernah tau kalau Rama memiliki rasa lebih dari sahabat terhadapnya. Mengetahui kenyataan ini membuat dadanya sesak. “Tapi nggak gitu caranya, Ram. Hikss.. Lo kenapa tega banget sih... emang Gilang punya salah sama lo? hikss...” tanya Amira udah banjir air mata.
“Nggak ada Mir, gue hanya cemburu. Gue iri lihat dia tampak begitu berarti buat lo. Maafin gue....” Rama juga meneteskan air matanya. Cowok itu benar-benar menyesali perbuatannya. Yang ia inginkan sekarang hanyalah Amira memaafkannya. Ia mengerti kalau cinta tidak bisa dipaksakan, ia harus bisa membiarkan gadis itu bahagia. Walau bukan dengannya.
“Ramaa... hikss, hikss...”
“Gue waktu itu nggak mikir dua kali. Gue... gue udah minta maaf sama orang tua Gilang. Gue udah minta maaf juga sama Gilang,” ucap Rama.
Elvan berdehem. “Iya, Mir. Dia udah minta maaf tadi. Orang tua Gilang tidak menuntut dia. Mereka memaafkan sahabat lo ini dan membebaskannya dari hukuman apapun,” jelas Elvan.
Amira menghela napas panjang. Keluarga Gilang sungguhlah baik.
Ya Tuhan, terima kasih Kau telah melindungi Gilang. Terima kasih Kau telah melindungi Rama juga, Amira menahan agar ingusnya tidak beler. Ia membantu Rama berdiri.
“Lo tetep sahabat gue Ram. Gue sayang sama lo sebagai sahabat gue yang paling baik. Gue nggak mau ngelihat lo jadi monster kayak gini. Pliiss, jangan lakuin lagi...” Amira memeluk Rama dan cowok itu hanya bisa menangis di pelukan Amira.
“Maaf....”
“Gue udah maafin lo. Gue juga minta maaf karena nggak tau perasaan lo. Maaf juga nggak bisa balas rasa sayang lo lebih dari sahabat. Udah ada yang ngisi hati gue, Ram.” Amira berucap lirih.
Rama melepas pelukan Amira lalu tersenyum. “Gue tahu kok. Dan gue setuju. Dia memang baik, dan pantas buat lo Mir.”
Amira melotot. “Apaan deh. Sok tau.”
Mereka pun tertawa.