Read More >>"> Sekretaris Kelas VS Atlet Basket (Rama Atau Gilang?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
MENU
About Us  

Hari ini SMA Negeri Hijau libur. Alasannya karena besok adalah hari pertandingan basket dimulai, tepatnya di hari Minggu. Hari-hari seperti inilah yang dicari banyak siswa. Ya iya, mana ada libur sekolah kagak seneng? Pasti happy lah.

Di sebuah toko dekat halte bis, seorang cowok dengan jaket biru dongker memakirkan motornya di parkiran toko itu. Cowok itupun berjalan masuk dan langsung menuju ke deretan paling belakang tempat pernak-pernik lucu dijual.

“Tuh anak mau beli apa, ya?” gumam seseorang dari balik etalase.

“Cantik nih, lucu.” Cowok itu mengambil gantungan kunci berbentuk bulu dan membawanya ke kasir. Mumpung lagi di toko unik ini, ia juga memutuskan untuk membeli beberapa pernak-pernik lucu lainnya untuk keluarga di rumah dan sebagian untuk di pajang di kamarnya.

“Eh dia mau keluar. Ayo-ayo.” Alan yang mengenakan topi dan jaket hitam itu segera menarik Amira keluar dari dalam toko.

“Buset, pelan-pelan. Sakit tau!” omel Amira begitu sampai di parkiran.

“Iya-iya maaf. Eh dia nongol, ayo pergi!” Alan lagi-lagi menarik tangan Amira.

Cowok yang mereka intai tak lain dan tak bukan adalah Gilang. Alan dan Amira memang telah mengadakan pertemuan sebelumnya dan mereka memutuskan untuk membuntuti Gilang keesokan harinya. Dan disinilah mereka sekarang.

“Ayo-ayo dia udah naik motor lagi.” Amira mengguncang bahu Alan menyuruhnya untuk segera membuntuti Gilang.

Alan segera naik ke atas motor dan Amira duduk di belakangnya sambil masih berusaha memasang helmetnya.

Brum brum!

“Woy buset! Ati-ati!” Amira memekik karena Alan mengegas motornya tiba-tiba.

Di sepanjang perjalanan mengikuti Gilang, Amira tak berhenti menggerutu dan mengomel. Alan sampai risih mendengar ocehannya. Namun, sebagai teman yang baik biarlah untuk saat ini ia merelakan kupingnya dirasuki ocehan-ocehan Amira.

“Alan, buruan! Dia mulai jauh noh!”

“Iya sabar Mir,” balas Alan tenang.

“Ihh, sabar gimana. Lah-lah, tuh-tuh dia udah lewatin lampu merah!” Amira berteriak kencang.

“Iya kita nunggu dulu ini.”

“Udah terobos aja! Nggak tau keadaan genting apa nih lampu pake nyala merah segala!” omel gadis itu sambil menepuk-nepuk punggung Alan.

“Iya sabar. Bentar lagi ijo.”

Setelah lampu berubah hijau Alan menancap gas motornya dan melaju dengan kecepatan lumayan tinggi.

“Alan, lebih cepet lagi!”

“YA ALLAH MIR, ENTAR KITA MALAH JATOH, BAHAYA!”

Amira mendecak sebal. Gilang sudah tak terlihat sama sekali di depan. Jarak mereka sangatlah jauh. Benar-benar ngeselin! Si Gilang mau kemana sih, bukannya pulang malah kelayapan!

“Terus gimana ini Lan? Kita kehilangan jejak,” rengeknya pada Alan. Cowok itupun hanya bisa menghela napas pasrah.

“Kita berhenti aja dulu.” Alan meminggirkan motornya dan Amira turun.

“Duh, nyebelin banget si Gilang. Mau kemana sih tuh anak?”

“Udah jauh dia. Nggak bisa dikejar. Lo telepon gih!”

Amira mengangguk dan mengeluarkan ponselnya. Ia pun mencoba menghubungi Gilang.

“Udah nyambung?” tanya Alan dan Amira mengangguk.

“Nggak diangkat-angkat. Gue coba lagi.”

Lima menit kemudian dan Amira sudah menghubungi Gilang sampai dua puluh kali tetepi belum juga diangkat.

“Dasar kudanil! Tuh anak kemana sih?” Amira frustasi.

Drrtt drrtt

Hape Amira bergetar dan wajahnya langsung cerah. Dengan segera ia mengangkat telepon itu tanpa melihat nama si penelepon.

“Haloo! Lang? Heh bocah lo dimana sih? Dihubungin dari tadi juga.”

Alan hanya menyaksikan Amira yang panik dan kesal itu.

Gue Rama Mir.

Amira kaget dan langsung melihat nama si pemanggil.

“Ahh, iya Ram. Ada apa?” tanya Amira merasa canggung.

Lo ada dimana? Gue di rumah lo sekarang.”

“HA? Ngapain lo disana? Eh, maksud gue ada perlu apa?” Amira kaget mengetahui Rama sedang berkunjung. Ya ini gimana? Gilang belum ketemu!

Emang nggak boleh gue main ke rumah lo?Lagian, katanya lo lagi libur sekolah.”

Iya emang. Tapi saat ini lagi penting. Dari semalam perasaan Amira tuh nggak enak terus. Ia khawatir sama Gilang. Apalagi setelah perdebatannya kemarin di lapangan basket, Amira merasa kalau sesuatu akan terjadi. Bukannya ngedoain, tapi gimana ya....

Nggak enak aja gitu perasaannya. Pengen lihat Gilang!

“Iya boleh. Y-yaudah gue pulang sekarang ya. Tungguin dulu.”

Ok, Bye.

Amira memutuskan sambungan telepon dan memandang Alan yang sudah mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lo mau pulang?”

“Terpaksa Lan.”

Alan menghela napas. “Lo nggak mau nyari Gilang lagi? Lo mau mengabaikan perasaan khawatir lo?”

“Bukannya gitu. Gue nggak enak sama Rama. Dia sahabat gue, dan udah lama nggak ketemu. Di Jakarta gue baru ketemu dia tiga kali doang,” jelas Amira merasa tidak enak.

“Dan ini mau yang keempat?” tanya Alan. Amira mengangguk lemah.

“Gue bingung banget sumpah.”

Alan menepuk bahu Amira pelan. “Mir, gue tahu lo itu baik. Lo hanya butuh keyakinan aja. Keyakinan hati lo.”

Amira mengernyit. “Gue nggak paham maksud lo.”

“Lo akan ngerti nantinya. Yaudah gue anterin balik.” Alan sudah naik di atas motornya dan disusul Amira.

***

Sesampainya Amira di rumah, gadis itu melihat Rama duduk di kursi tamu sendirian. Amira menghampirinya dengan wajah gelisah.

“Ram?”

“Eh, Mir. Lo dari mana? Gue dateng lo nya nggak ada.” Rama cemberut dan Amira hanya terkekeh singkat.

“Lo udah lama?” tanya Amira.

“Setengah jam yang lalu sih.”

Amira manggut-manggut. “Sori gue tadi ada urusan. Lo juga nggak kabarin gue dulu kalau mau kesini.” Amira langsung duduk dan meminum salah satu minuman yang ada di atas meja.

“Gue kan pengen ngasih kejutan. Kita berangkat malam ini ya?”

BUURR!

“Ati-ati dong Mir.” Rama mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan langsung mencondongkan tubuh mengelap air yang menyembur dari mulut Amira.

Berada dalam jarak sedekat ini membuat Amira gugup seketika. Wajahnya mungkin sudah memerah, tetapi... ah sudahlah.

“Muka lo merah,” ucap Rama dengan jahil.

“Kagak! Maksud lo berangkat malam ini apa?”

Rama menghela napas panjang. “Hmm, lupa pasti. Iya kan?”

Amira mencoba mengingat-ingat sesuatu.

Hah?

Walah!

“Iya, kita kan mau ke bukit tempat kita main dulu. Tuhkan lupa.” Rama menunjukan tampang sedihnya.

Amira nyengir. “Hehehe, nggak lupa kok. Cuma nggak inget.”

Rama pun mengacak puncak rambut Amira sambil tertawa. “Mau kan berangkat malam ini?”

“Oh iya, Mama mana?” tanya Amira mengalihkan pembicaraan.

“Lagi di dalem, katanya ngurusin berkas kantor,” jelas Rama dan Amira manggut-manggut.

“Gue...”

Rama yang menangkap raut wajah gelisah Amira jadi berdehem. “Lo nggak papa kan, Mir? Lo sakit? Kok resah gitu dari tadi?”

Amira menggigit bibir bawahnya menatap Rama. “Gue sehat kok.”

“Syukur deh. Jadi gimana? Mau prepare sekarang atau entar sore?” tanya Rama membuat Amira kaget lagi.

Bahkan dia nggak peka kalau gue lagi nggak tenang gini. Amira membatin sedih.

“Entar sore aja deh,” jawab Amira kemudian nyengir.

“Oh oke. Kalau gitu entar sore gue kesini lagi ya?”

Amira tersenyum dan mengangguk.

“Yaudah gue pulang dulu. Salam sama Mama lo,” ucap Rama bangkit berdiri.

“Oke.”

Amira mengantar Rama sampai depan pintu. Setelah Rama hilang dari pandangannya, Amira masuk ke rumah dan langsung berlari ke kamarnya.

“Mama! Mira pulang!” teriaknya.

“Iya, sayang. Mama di ruang kerja!”

“Oke,” balas Amira.

Amira duduk di sisi ranjang lalu mengecek hapenya. Masih belum ada kabar dari Gilang sampai saat ini. Ia bertanya di grup WhatsApp tetapi tidak ada yang tahu juga. Karena frustasi Amira melempar hapenya. Ke kasur.

“Gilang tai... kenapa gue bisa khawatir segini parahnya sih?” gerutunya menjambak rambutnya sendiri.

Gadis itu melirik jam dinding di kamarnya kemudian menghela napas. Masih jam sebelas.

“Gue nggak bisa diem aja gini. Gue harus nyari Gilang dan mastiin dia baik-baik aja.” Gadis itu beranjak dari kamar sambil membawa tas mini dan hapenya. “MA! Amira keluar bentar ke rumah temen. Naik ojek!”

“Mama anter ya?” tawar mamanya dari dalam ruang kerjanya.

“Nggak usah ma! Amira buru-buru. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam, hati-hati!”

Belum juga keluar dari pekarangan rumahnya alias baru membuka pagar, sosok Rama muncul disana.

“Loh Mir?”

“Ram, lo belum pulang?”

“Gue udah pulang tadi tapi balik lagi. Mau ngajak lo jalan aja, mumpung masih pagi.”

Amira melotot. “Gue...”

“Lo mau pergi lagi ya? Serius lo nggak bisa nemenin gue hari ini? Gue suntuk banget di rumah,” ucap Rama menampilkan wajah melasnya.

Amira tak enak hati menolak ajakan Rama. Tapi sungguh, Gilang masih belum ketemu!

“Kayaknya gue nggak bisa deh,” tolak Amira halus.

“Emang lo mau kemana sih, Mir? Lagi sibuk ya?”

Amira menghela napas panjang. “Nggak sibuk sih, Ram. Hah, gue mau nyari temen gue dulu. Gue khawatir dia kenapa-napa,” jelas Amira akhirnya.

“Cowok atau cewek temen lo?”

“Cowok. Namanya Gilang.”

Rama mencoba mengingat. “Oh iya. Gue pernah ketemu dia pas di rumah sakit.”

Amira mengangguk. “Nah gue mau nyari dia sekarang. Gue harus pastiin dia baik-baik aja,” ucap Amira yang dibalas dengan dehaman Rama.

“Lo khawatir banget ya?” tanyanya.

“Iya.”

Rama mengangguk pasrah dengan garis wajah yang berubah. Wajahnya jadi datar dan tak bersemangat.

“Lo suka sama dia, Mir?” tanya Rama tiba-tiba.

Amira menoleh kaget. “Hahaha, apaan? Dia rival gue,” balasnya.

Rama tersenyum tipis. “Tapi tebakan gue dia suka sama lo.”

Amira hanya tertawa canggung.

“Oke, lain kali aja jalannya. Tapi entar malam kita jadi berangkat loh. Sore gue jemput.”

Amira terpaksa mengangguk cepat. Sekarang ini, ia hanya ingin bertemu Gilang. Ia ingin melihat cowok itu baik-baik aja dan kalau bisa mereka debat lagi sampai heboh. Karena Amira akan sangat lega kalau Gilang masih mengganggu dirinya. Itu akan lebih lengkap. Oh ya, satu lagi. Mungkin Amira juga harus meminta maaf karena ia tidak bisa menonton pertandingannya besok.

Setelah Rama pergi dari sana, Amira hendak memesan ojek online. Namun, ia terkejut melihat nama Gilang terpampang di layar hapenya, sedang memanggil dirinya.

“Halo? Lang?”

“Mir! Ini gue Elvan! Cepet ke rumah sakit Bhakti. Gilang masuk UGD.”

“APA??”

Bagai petir yang menyambar dirinya di siang bolong. Amira terkejut dan refleks memegang jantungnya. Anjir aja tiba-tiba sakit gini rasanya.

“Iya Mir. Lo buruan kesini!”

Amira langsung memutuskan panggilan teleponnya. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menuju ke jalan raya dan menyetop taksi disana.

“Kemana mbak?” tanya sopir taksi.

“Rumah Sakit Bhakti Pak, agak cepet.” Suaranya sudah bergetar.

Amira terus mengecek hapenya kalau-kalau Elvan menghubungi lagi dan mengaku kalau ini cuma prank untuk menjahili dirinya. Tapi Elvan ataupun Gilang tidak meneleponnya lagi.

Gadis itu pun menyenderkan tubuhnya dan menutup matanya. “Kudanil,” bisiknya parau dan merasakan sesuatu yang basah mengalir di pipinya.

“Mbak! Maaf saya ngisi bensin dulu ya di pom. Sebentar kok.”

Amira menghela napas berusaha sabar. “Iya Pak. Jangan lama-lama ya, saya buru-buru banget.”

“Iya mbak.”

***

“Mir!”

Amira menoleh ke sumber suara dan mendapati Elvan, Andra, dan keluarga Gilang sedang menunggu di ruang tunggu.

“Om, Tante.” Amira menyalami kedua orang tua Gilang. Ini adalah pertama kalinya juga Amira bertemu langsung dengan mereka.

“Kamu Amira?” tanya Farah, Mama Gilang.

“Iya Tante.”

“Cantik Pa, Gilang kok suka banget jahilin dia ya?” tanya Farah pada suaminya yang hanya terkekeh.

Amira paham kalau Tante Farah hanyalah mengalihkan pikirannya sendiri agar tidak stress memikirkan putranya yang lagi dirawat. Sudah nampak jelas bahwa Tante Farah habis nangis histeris. Matanya agak merah soalnya.

“Gimana keadaan Gilang Tante?” tanya Amira.

“Masih diperiksa dokter.” Amira pun manggut-manggut.

Gadis itu melirik Elvan dan Andra dan mereka memberi isyarat ingin bicara bertiga. “Om, Tante sebentar ya.”

“Eh iya.”

Amira menghampiri Elvan. Dirinya sudah tidak sanggup mengucapkan kata-kata. Bahkan untuk sekedar bertanya, ‘apa yang sebenarnya terjadi?’ Mulut Amira seakan terkunci dan ia hanya bisa terisak.

“Mir, lo nangis?” tanya Elvan.

Pletak

Andra menjitak kepala Elvan. “Gilang dikeroyok Mir. Dia ditemukan oleh warga di dekat gudang tua dalam keadaan babak belur.”

Amira membekap mulutnya sendiri. Kata babak belur langsung berputar diotaknya dan gambaran-gambaran negatif terbayang seketika.

“Siapa pelakunya Van? Huaa.. hiks..hikss.”

“Eh Mir, jangan nangis. Kita juga nggak tahu siapa pelakunya.” Elvan bingung melihat temannya ini udah nangis tersengguk-sengguk.

“Lo gimana sih? Ya dia shock lah,” ucap Andra.

“Padahal masih kemaren.. hiks.. gue sama dia bertengkar... hiks.” Amira terus menangis sesenggukan sambil menceritakan kejadian sebelumnya. “Ini salah guee, hiks...hiks.”

Elvan dan Andra pun mengernyit bingung. “Salah lo gimana? Ini kan kecelakaan Mir.”

“Gue.. tahu kalau Gilang sedang diintai. Gue tau dari seminggu yang lalu. Gue juga udah ngasih tahu Gilang... hiks.. kalau dia harus hati-hati dan waspada.. hiks.. tapi dia nggak percaya dan nganggep gue bercanda.” Amira menarik napas yang bersamaan dengan itu terdengar bunyi lain di hidungnya. “Bahkan tadi pagi Van... gue sama Alan anak IPA 4 ngebuntutin Gilang mau tau dia kemana agar kita bisa jagain dia dari jauh.. hiks.. tapi kita kehilangan jejak dan akhirnya pulang..”

Elvan saling pandang dengan Andra. “Kenapa lo nggak ngasih tahu kita juga? Gilang juga temen gue.. temen Andra.. temen semuanya. Kenapa lo nggak cerita kalau dia dalam bahaya?” tanya Elvan yang ikut meneteskan air mata.

“Van lo nangis?” tanya Andra.

“Huuss, diem lo.” Elvan langsung mengusap air matanya. Ya nggak keren aja dia nangis dihadapan cewek.

“Maafin gue. Gue nggak seharusnya egois dan nyari tahu masalah ini sendiri. Seharusnya gue minta bantuan kalian juga. Tapi, gue bener-bener bingung saat itu.. karena udah berbagai sumber gue tanya satu-satu dan gue selidiki mereka tetapi nggak nemu juga titik terangnya. Alan yang ngebantuin gue dari awal. Maafin gue..”

Elvan menghela napas. “Nggak papa, gue juga minta maaf karena nggak peka sama lingkungan sekitar gue. Seharusnya sebagai kapten gue paham kalau anggota gue sedang ada masalah.” Cowok itu mengusap air matanya lagi, “Sori, gue nggak bisa lihat kepanikan lo saat itu.”

“Gue juga minta maaf Mir,” ucap Andra.

“Udah, nggak usah bahas itu. Sekarang yang penting Gilang.”

Elvan saling pandang lagi dengan Andra. “Iya, Gilang yang paling penting,” ucap mereka sambil terkekeh.

Beberapa menit kemudian, dokter keluar dan Tante Farah langsung melempari beliau dengan berbagai pertanyaan.

“Dok, gimana keadaan Gilang anak saya? Dia nggak cidera parah kan dok? Dia nggak papa kan?”

Dokter tersebut menghela napas. “Mari ikut saya ke ruangan. Akan saya jelaskan disana.”

Tante Farah dan Om Vino saling pandang. “Baiklah dok.”

Amira, Elvan dan Andra hanya bisa menunggu di ruang tunggu. Suster belum mengijinkan pasien untuk dijenguk.

“Gue pengen masuk njiiirrr, pelit amat sih susternya,” gerutu Elvan.

“Sabar Van. Lo mau protes ke suster dengan apa? Teriak-teriak? Lo mau dianggap sinting sama orang-orang?” tanya Andra dan  Elvan hanya mengumpat lirih.

Amira tak bersuara sama sekali. Ia masih sesenggukan dengan pandangan kosong. Elvan yang melihatnya menepuk pelan bahu gadis itu.

“Bu Sek, Gilang pasti kuat.”

Amira menoleh. “Gue pengen ngelihat dia,” ucapnya dengan suara parau dan serak.

“Kan belum boleh masuk, Mir.”

Gadis itu mengusap air matanya kemudian berdiri mendekat ke pintu ruangan Gilang yang ditutup. “Njiirr, nggak keliatan lagi.”

Elvan menoleh ke Andra. “Ndra, terus besok gimana?”

Andra memijit pelipisnya kemudian menghela napas. “Gue pesimis kalau Green House menang. Gilang itu maskotnya tim. Kalau dia nggak ada...”

“Maksud kalian Gilang nggak akan bisa main besok?” tanya Amira tiba-tiba sudah berdiri dihadapan Elvan dan Andra.

“Iya nggak bisa Mir. Akibat digebukin itu pasti meninggalkan bekas. Kalau dia tetep main malah bahaya,” jelas Andra.

Amira tak bisa membayangkan keadaan Gilang kalau cuma berdiri diam disini. Ia harus melihatnya sekarang.

“Gue mau lihat Gilang, sekarang.” Amira langsung berjalan ke pintu dan membukanya membuat Elvan melotot kaget.

“Mir, woy!”

Elvan dan Andra ikut berdiri berusaha mencegah Amira masuk. Tetapi terlambat karena gadis itu sudah berteriak histeris di dalam membuat Elvan dan Andra menghela napas bersamaan.

“Mbak! Mbak nggak boleh masuk! Pasien sedang dirawat! Mbak!”

Kedua suster yang ada disana berusaha menenangkan Amira yang menangis histeris. Tangisnya sudah tak bisa dibendung lagi, Amira sampai merosot ke bawah membuat kedua suster itu bingung.

Andra pun mengajak Elvan untuk masuk saja dan membawa segera Amira keluar.

“Mir, Ya Allah.”

“Bu Sek! Udah, kita tunggu di luar aja. Gilang pasti kuat, dia itu cowok kuat lo kan juga tahu. Ayo keluar.” Elvan menarik Amira sekuat tenaga dibantu Andra.

“Mas, tolong dibawa keluar Mbaknya,” ucap salah satu suster.

“Ya ini lagi dicoba sus. Masyaallah!” balas Elvan.

Amira terus menangis sambil menunjuk-nunjuk Gilang yang terbaring di ranjang rumah sakit. Karena tubuhnya sudah lemas akibat banyak menangis, Amira pun berhasil dibawa keluar oleh Elvan dan Andra.

“Gilang Van.. huaa.. hiks hiks.”

“Tenang Mir. Orang sakit memang begitu, banyak kabel-kabelnya,” ucap Elvan bingung juga menjelaskannya.

“Huuaa, tapi kasian Gilang... gue nggak tega ngelihatnya!!”

Alasan Amira begitu histeris melihat Gilang tadi karena ia langsung teringat pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Ibunya yang juga terbaring di ranjang dengan mata tertutup serta bantuan oksigen. Gilang mengingatkannya dengan keadaan saat ibunya koma dulu.

“Mir, lo sebaiknya pulang dulu. Tenangin diri lo,” ucap Andra menyarankan.

“Nggak mau! Kata mama gue, Gilang dulu pernah jagain gue di rumah sakit. Gue juga pengen jagain dia!”

“Tapi Mir, kondisi lo nggak memungkinkan. Lo lemes banget dan pikiran lo juga nggak tenang. Biar kita aja yang jagain Gilang,” jelas Elvan kemudian.

Amira berhenti menangis namun masih terdengar sesenggukkannya. “Gue mau disini aja.”

“Mir,” panggil sebuah suara membuat Amira menoleh.

“Rama?” Amira terkejut.

Elvan menatap Rama bingung dari atas ke bawah. Sepertinya Elvan pernah bertemu tapi... dia lupa.

“Ayo pulang, Mir.” Rama menarik tangan Amira tapi gadis itu masih diam di tempat.

“Gue mau sama Gilang dulu,” balas Amira polos.

Rama menghela napas.

“Sori-sori, lo siapa ya? tadi gue nelepon mamanya Amira, kok yang datang lo?” tanya Elvan membuat Amira menoleh cepat ke arahnya.

“Lo nelepon Mama? Kapan?” tanyanya.

“Pas lo histeris tadi. Sori Mir, gue cuma nggak mau lo sakit karena mikirin Gilang kayak gini,” jelas Elvan.

“Gue sahabatnya Amira, Mama dia yang ngasih tahu gue kalau dia disini,” ucap Rama membuat Elvan manggut-manggut.

“Yaudah. Tuh Mir. Mending lo pulang ya, Gilang biar gue sama Andra yang nungguin. Gue akan segera kabarin lo kalau dia udah sadar.”

Amira mengangguk pasrah kemudian memandang Rama.

“Ayo pulang,” ajak Rama lagi menggenggam tangan Amira menariknya pergi dari rumah sakit.

Beberapa menit kemudian setelah Amira pulang, Elvan berdiri dengan tiba-tiba membuat Andra yang duduk di sampingnya kaget.

“Piranha lo ngagetin aja!”

“Ndra,” panggil Elvan.

“Apaan?”

Elvan duduk lagi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di pipi.

“Hmm, kumat ogebnya. Kenapa broo?” tanya Andra menoyor kepala ketua kelasnya itu.

“Yang tadi jemput si Amira... gue tadi ngelihat dia.”

Wajah Andra berubah datar. “Ya jelas lah lo lihat, gue kan juga lihat. Gimana sih,” gerutunya.

“Bukan pas tadi pea! Tapi sebelumnya. Gue lihat dia...”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Kamu!
1857      704     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4206      1158     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
complicated revenge
17281      2761     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."