VI
Suatu hari,
Ketika cinta dinamakan kebutuhan.
Tampak oleh mata, Niken sedang berdiri di pinggir jalan.
Vonni bergegas menghampiri temannya itu. Mungkin hendak pulang sama – sama.
Setelah ada di dekat temannya. “Ken, kamu nunggu siapa?”
“Hehe,, aku nungguin Yono.”, sahut Niken.
“Ah, kamu itu nggak pulang ke ruman malah main.”
“Bosen aku di rumah, diomelin sama mama aku terus.”, ucap Niken.
“Lha kalo kamu salah kan harus diomelin,”
“Ini tu aku nggak salah, Aku cuma agak males belajar aja,”
“Hemm,, Ya pantes kalo mama kamu marah – marah.”, sahut cewek nan jelita itu.
“Kita tu udah kelas 3, harus udah mikir belajar buat UN nanti.”
“Iya sihh,, Aku juga ngerti itu, tapi aku masih belum greget aja. Orang UN juga masih semester depan aja.”
“Heh, semester depan tu cepet lo, Tau – tau ntar kan udah bulan Januari aja,”
“Hehe, iya,,” Lalu melihat jam tangan.
“Emang kamu mau main kemana sama Yono?”
“Nggak tau, Mungkin makan aja di batagor trus pulang.”
“Ya ampunn,, cuma makan aja. Sini aku temenin, aku ada duit nih,”, desak Vonni.
“Eh, beda kali, Von. Ini tu yang nemenin aku pacar aku.”
“Huh, parah,, Ya udah, aku duluan ya,”
Vonni berlalu dari tempat itu.
“Ya, ati – ati, Von.”
VII
Malam hari,
Dewi rembulan hanya menampakkan separuh wujudnya. Sebagian lagi tampilan sang dewi masih tertutup gelapnya angkasa.
Sambil menunggu waktu belajar dimulai, Vonni iseng – iseng membuka YouTube.
Beberapa tampilan video pun muncul.
“Huuhh, berita politik lagi,” Cewek itu tampak tidak suka.
Terlihat oleh mata, video tik tok yang agak vulgar.
Membatin. “Kok ini pada nggak mikir sih nunjukin aurat di depan orang banyak?”
Vonni semakin tidak suka dengan kondisi anak muda saat ini.
“Pada nggak penting banget nih cewek – cewek.”
“Sayang, jadi cewek kok sikapnya kayak gitu.” Sambil searching lagi.
Momentum itu pun tiba,
Iseng, Vonni mengklik sebuah potongan drama korea berjudul Descendants of The Sun episode 9.
Awalnya cewek itu mengira jika itu adegan ciuman biasa saja yang sering ditunjukkan para pemain film.
Entah hal itu untuk menaikkan rating film tersebut atau membuat para pemainnya piawai beradegan panas – panasan.
Tapi, ketika adegan itu mendekati klimaks,
Vonni merasa adegan ciuman itu sangat berbeda.
Ada momentum hangat, Juga liar dari percumbuan itu.
Seakan – akan hasrat mereka berdua tersalurkan dengan sangat derasnya.
Seolah – olah itulah yang sejak awal mereka harapkan dengan pertemuan itu. Bukan hanya pertemuan biasa lalu hilang dalam kisah kehidupan yang lain.
Tapi mereka mempereratnya dengan ciuman yang menggiurkan.
Memupuknya pada kehangatan yang dalam.
Lalu, potongan drama itu selesai.
Vonni mulai berangan – angan.
Entah apa yang diangan – angankannya.
Tapi itu berhubungan dengan kehangatan.
Sebuah perasaan khusus yang ingin dibangunnya.
Dengan sebuah pernyataan sepakat atas nama cinta.
VIII
Esok harinya,
Ketika Vonni tiba di kelas.
Seseorang sudah ada di dalam kelas.
Dirinya agak terkejut karena biasanya seseorang itu datang hampir telat.
Tapi pagi itu orang yang dimaksudnya datang lebih pagi.
Dan tampaknya seseorang itu sedang fokus mengerjakan sesuatu.
Vonni menghampiri seseorang itu.
Setelah ada di dekatnya, “Ngerjakan apa, Mat?”
“Bahasa inggriss,,” Dengan tatapan penuh rasa melas.
Menghela nafas. Cewek itu sangat mengerti dengan tatapan Mamat.
Dirinya segera mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas.
“Makasih, Von,, Makasih,,” Menerima buku itu.
“Jadi kamu dateng pagi – pagi tu cuma buat bikin tugas?”
“Iyalah, buat apalagi coba?” Kembali berkonsentrasi mengerjakan tugasnya.
“Kirain kamu tu udah tobat, gak berangkat telat lagi.”
“Haha,, itukan keinginan kamu aja.”
“Lha kenapa? Kamu nggak pingin jadi cowok yang lebih disiplin lagi?”
“Biasa aja kali, Aku sudah menerima diriku apa adanya.”
“Tapi mungkin orang lain enggak,”
“?? Ya urusannya orang lain itu dong,”
“Huh, dasar payah,” Berlalu dari hadapan Mamat.