8
Ada harapan yang sengaja dibuang jauh-jauh
Karena harapan yang pertama gagal,
Kedua gagal,
Ketiga gagal
Hingga hilanglah keberanian untuk berharap lagi
___________
Turun gunung adalah istilah yang Attaya gunakan apabila ia sudah keluar dari singgasananya. Dan saat ini, ia tengah melakukan turun gunung tersebut, menonton di bioskop bersama teman-temannya. Membuang uangnya untuk menonton film yang ia tak paham manfaatnya.
Jangan tanyakan ini adalah kali keberapa Attaya mengunjungi bioskop, karena jawabannya adalah nihil. Maksudnya adalah Attaya pernah ke bioskop, pernah—tapi tak pernah menonton di bioskop.
Biasanya, ia hanya akan duduk di luar menunggu keluarga atau temannya selesai menonton. Alasannya sederhana, daripada uangnya dia gunakan untuk hal yang tidak dia sukai, lebih baik ia alihkan untuk membeli buku baru. Meskipun dibayar oleh orang lain, Attaya akan meminta jatah uang tiket miliknya, agar dapat ia gunakan untuk hal lain. Ya, Attaya memang setidak tahu malu itu. Namun baginya itu adalah hal yang memalukan karena itu adalah haknya, hanya saja permintaannya di luar kebiasaan masyarakat. Sembari menunggu koleganya menonton, ia gunakan dua jam untuk memutuskan buku apa yang akan dibeli.
Atau, daripada uangnya beli tiket bioskop, mending disimpan buat keperluan ia lainnya.
Tapi hari ini berbeda, Attaya menekan egonya, menekan hitung-hitungannya hanya karena ingin menghabiskan sedikit waktu bersama teman dekatnya. Meskipun dalam benaknya sudah terbayang buku baru yang siap nangkring di rak bukunya.
Attaya mengelus dadanya dengan pelan. Berusaha menenangkan dirinya, menyinkronkan hati, pikiran, dan tindakannya. Ia tak ingin jika nantinya terlontar pernyataan bahwa ia lebih baik membeli buku daripada membeli tiket untuk menonton— lalu pernyataan itu akan melukai hati teman-temannya.
Reni, Asti, dan Fara tidak memerhatikan Attaya yang sudah tenggelam di dunianya sendiri. Mereka bertiga sibuk memutuskan film apa yang seharusnya ditonton. Dan Attaya hanya akan menjadi penonton dalam pengambilan keputusan yang memakan waktu cukup lama itu.
Bagi Attaya, apapun filmnya tak masalah. Cuma yaa… lebih baik film yang mendidik dan memberikan pesan moral yang baik.
Pun begitu dengan saat ini, Attaya memutuskan untuk diam saja. Ia tak ingin mengutarakan pendapatnya setelah membaca sinopsis film yang diperdebatkan melalui mesin pencari sejuta umat, Google. Semua judul film yang tayang hari ini, sama saja. Tak ada satu pun yang menarik minatnya meski banyak riviu bagus tentang film-film tersebut. Bukan, bukan berarti film itu tidak bagus atau tidak mengandung pesan moral seperti yang diharapkannya, ini hanya tentang selera yang dimiliki Attaya....
Attaya duduk di salah satu sofa yang menghadap ke arah teman-temannya. Ia sudah menitipkan uangnya kepada Asti. Ia malas mengantri dan mendengarkan perdebatan yang kurang penting teman-temannya. Lebih baik, duduk, ngadem, dan mengamati.
Untung saja mereka tidak berpikir buruk tentang Attaya. Mereka paham bahwa Attaya kurang menyukai keributan dan keramaian. Kata Attaya, hal itu dapat memengaruhi moodnya dan dapat berakibat buruk. Tapi temannya tak pernah tahu penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Dan mereka pun segan untuk mengorek lebih dalam lagi. Karena setiap orang memiliki cerita yang tidak ingin disampaikan kepada orang lain kan?
Sembari memerhatikan teman-temannya yang masih saja belum selesai, Attaya mengedarkan pandangannya ke penjuru lobi bioskop. Matanya terpaku pada satu objek yang hendak masuk ke bioskop. Attaqa, Aditya, dan dua wanita cantik.
Attaya mendengus kesal, bisa-bisanya dia ke bioskop, bawa perempuan, gandengan mesra lagi. Dirinya saja tak pernah digandeng. Dikunjungi saja tidak pernah. Jangankan dikunjungi, dihubungi untuk menanyakan kabar saja bisa dihitung dengan jari. Sialan memang si Attaqa.
Attaya menatap tajam punggung laki-laki yang kini membelakanginya. Attaya mengetahui satu hal, jika seseorang menatap tajam satu objek manusia, maka manusia tersebut akan merasakan tatapan tersebut. Dan dia menunggu Attaqa menyadari tatapan tak sukanya dan membalikkan tubuhnya agar menyadari kehadiran Attaya.
Tak perlu menunggu lama, satu teriakan yang memanggil nama Aditya dan Attaqa sudah membuat mereka menghadap kepada Attaya secara sempurna. Sumber suara yang menjengkelkan, kencang dan cempreng, dan tepat berasal dari sisi kanannya, Fara. Fara mengenal Attaqa karena mereka pernah berada di satu kepanitian kampus, lebih tepatnya penerimaan mahasiswa baru universitas.
Attaya dapat melihat keterkejutan di wajah Attaqa dan Aditya. Namun dengan cepat mereka mengontrol wajahnya dengan memberikan senyuman yang kata teman perempuan Attaya dapat melelehkan gunung es. Dan Attaya tak pernah menganggapi dan memercayai hal itu.
Attaya baru sadar bahwa Fara, Reni, dan Asti telah kembali dari debat kusir mereka dan entah sejak kapan mereka sudah duduk di samping Attaya.
"Far, ngapain kamu panggil mereka berdua? Ntar mereka gabung sama kita," Attaya menyampaikan rasa kurang senangnya dengan alasan yang sangat berbeda dari alasan yang sesungguhnya.
Attaya ingin Attaqa menyadari dirinya tanpa harus dipanggil oleh temannya. Mana tahu Attaqa sudah lupa dengan wajah adik yang dicintainya ini, huh.
"Nggak mungkin lah mereka bakal gabung, double date gitu, mana mau ceweknya," jawab Fara membela diri.
"Lagian kamu kenapa sih, Ya? Kayaknya jengkel banget."
Attaya menarik napas dalam. Well, dia tidak dapat jujur untuk saat ini.
"Bentar lagi mereka bakal nyamperin ke sini. Kalau mereka nanya kita nonton apa, gimana?" dalih Attaya.
"Emang kenapa kalau mereka tanya? Kan belum tentu mereka bakal gabung. Lagian kalau mereka mau gabung, lo nggak mau nerima?" Skak, Asti selalu tahu bagaimana caranya mendiamkan mulut Attaya yang sudah gatal.
Attaya tersenyum miring, mana mungkin dia bilang dia nggak mau. Bisa diteror minta penjelasan. Dan penjelasan mengenai hal tersebut bukanlah hal yang diinginkan oleh Attaya. Sebisa mungkin Attaya akan menghindari menjelaskan mengenai ketidaksukaannya, karena pasti akan sangat panjang dan akan mengulik masa lalu yang selalu ditutupnya rapat-rapat.
Belum sempat Attaya menjawab, Reni dengan baiknya membantu Attaya. "Mungkin karena Attaya nggak mau waktu main-mainnya juga diikuti sama Aditya dan kakaknya itu, si Attaqa. Udah di kampus di-ekori, masa ke bioskop di-ekori juga."
Attaya mengangguk membenarkan, dalam hati diucapkannya terimakasih atas kebaikan Reni yang bisa membantunya berkelit. "Iya, As. Kan nggak enak kalau ada abangku. Serasa dimata-matai."
Asti mengangguk paham, sembari tersenyum lebar kepada Aditya dan koloninya yang saat ini telah berdiri tepat di depannya.
"Halo Attaya dan teman-teman," sapa Aditya dengan semangat. Attaya hanya tersenyum kecut dan membuang mukanya. Namun nasibnya memang agak sial, ia malah membuang muka dari Aditya dan jatuh ke Attaqa beberapa detik. Mending natap Aditya daripada Attaqa.
Tanpa sopan santun, Attaya mendengus kasar dengan bibir yang mencibir. Attaqa menggelengkan kepalanya tak paham, mengapa Attaya begitu tak menyukai dirinya.
Masih dengan tatapan tak suka, diperhatikannya Attaqa, lama.
Lalu Attaya membuang mukanya lagi. Diliriknya perempuan cantik yang tadi menggandeng tangan Attaqa. Di-screening-nya perempuan tersebut dengan sinisnya. Tidak peduli apakah perempuan tersebut sadar, tidak suka, atau apapun itu. Bagi Attaya yang terpenting adalah memenuhi keinginannya untuk memerhatikan "siapa wanita ini".
Attaqa adalah kakak laki-laki Attaya. Apakah mereka kembar? Tentu saja...
tidak.
Mereka selisih 1 tahun lebih sedikit. Nama mereka memang cukup mirip, karena orangtua mereka sangat menyukai nama yang mirip. Masih tersimpan di benak Attaya, dulu, ketika ia menanyakan mengapa namanya begitu mirip dengan Attaqa, bundanya menjawab dengan ringan, "Karena pas Attaqa lahir, bunda ingin memiliki anak kembar. Eh, malah single. Nggak lama, bunda hamil kamu, jadi lah nama kalian sangat mirip."
Dan saat itu Attaya hanya menggelengkan kepalanya tak suka dengan alasan yang diberikan bundanya. Sebagian orang mengira mereka adalah kembar. Dan Attaya tak suka itu.
Bagaimana bisa orang-orang beranggapan mereka kembar, dengan satu orang yang berada di tingkat atas, dan satunya lagi berada ditingkat bawah.
Wajah Attaya yang ketuaan atau wajah Attaqa yang kemudaan?
Attaqa kelas 2, Attaya kelas 1. Dan orang-orang pikir, Attaya adalah kembaran yang tertinggal. Karena nutrisi kepintaran dan kerajinan ada pada Attaqa, sedangkan Attaya hanya mendapat sisanya saja—begitu yang orang lain pikirkan. Padahal pada nyatanya tidak begitu.
Dan seringkali Attaya menerima tatapan kasihan. Attaya benar-benar tak suka dengan namanya, dulu.
Ketika ia melanjutkan sekolah menengah atas, ia memutuskan untuk masuk ke SMA yang berbeda dengan Attaqa. Attaya tak ingin orang-orang membandingkannya dan menimbulkan asumsi tak bermanfaat tentang dirinya dan Attaqa yang pintar dan penuh prestasi.
Lalu berakhir dengan Attaya yang masuk ke kelas akselerasi dan mengejar satu tahunnya Attaqa. Ia berbangga diri akan hal itu. Meskipun ia tak serajin Attaqa, ia dapat menjadi sepintar Attaqa.
Attaqa tampan, Attaya cantik. Meskipun Attaya tidak 'secantik ketampanan' Attaqa. Oke, Attaya mengakui bahwa Attaqa tampan. Tapi tetap saja, gengsinya yang besar menolak kenyataan itu.
Kalau saja Attaqa semanis kakak laki-laki seperti dikebanyakan novel yang dibacanya, pasti Attaya akan memuji Attaqa dengan segala kelebihannya. Namun apa daya, kenyataan tak seindah tulisan fiksi. Attaqa tak pernah semanis kakak laki-laki tokoh utama, yang siap memasang badan kapan saja ketika adiknya bermasalah.
Attaqa (tak) pernah seperti itu, sekarang, menanyakan kabarnya saja sangat jarang, apalagi menjadi kakak yang protektif kepada adiknya. Sungguh tak ada harapan....
Dan entah untuk keberapa kalinya, Attaya membuang harapannya jauh-jauh.