Ternyata menyendiri itu melelahkan. Ditambah menyendiri karena sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Melelahkan sekaligus menyebalkan. Ya, itulah keadaanku sekarang. Aku sedang duduk termangu di depan kelas. Tidak sendiri. Tapi terasa sendiri. Sepi? Tidak. Bahkan sekarang tengah diadakan acara classmeeting di sekolah. Ramai? Ya, ramai sekali. Bahkan teriakan demi teriakan menggelegar di setiap perlombaan yang diadakan. Tapi aku merasa berbeda. Tidak seperti yang lain yang bersorak ria menikmati setiap acara yang ada. Entahlah.
Aku masih setia dengan posisiku--duduk melamun-- dan setia dengan suasana hatiku. Yang sepi. Sekilas aku memikirkan hal-hal aneh. Yang terkadang membuatku cekikikan sendiri membayangkannya. Inilah salah satu sifatku sekarang. GaJe--Gak Jelas. Tak jarang banyak murid yang lewat di depanku melemparkan tatapan yang dapat aku artikan sebagai tatapan yang menyebutku aneh. Aku tak mempedulikannya. Karena aku teringat akan perkataan teman kecilku, "Jangan ubah sifatmu. Jadilah diri sendiri. Karena itu akan lebih menyenangkan. Mungkin nantinya banyak yang akan menjauhimu dan memandangmu aneh, karena sifatmu. Tapi ingatlah ini. Kau itu berbeda. Kau itu istimewa. Jangan kau hiraukan perkataan orang lain. Ingatlah itu. My little girl." Seperti itulah katanya, sebelum dia benar-benar meninggalkanku. Bukan meninggalkan yang artinya sudah berbeda dunia lagi, tapi meninggalkan yang artiannya karena dia pindah sekolah ke luar negeri.
Aku isi hari-hariku dengan celotehan-celotehan yang selalu mereka lemparkan padaku. Sebenarnya aku sangat jengah dan muak dengan semuanya. Tapi aku tak bisa melawan. Aku hanyalah gadis sekaligus murid yang bisa dibilang cupu. Dengan kacamata bulat, rambut dikepang dua, dan seragam yang kebesaran. Selain sifatku yang gaje, hal ini juga yang membuatku selalu dipandang berbeda dari yang lain. Jika kalian bertanya apakah aku punya teman atau sahabat? Aku bisa menjawab iya dan bisa juga tidak. Emang aku punya seorang yang sangat dekat denganku. Tapi itu dulu. Teman kecilku, Rian. Yang sekarang dia telah pindah ke luar negeri bersama keluarganya. Dan untuk sekarang, aku masih bingung menyebut salah satu temanku sebagai apa. Mungkin sekarang bisa disebut teman dekat atau yang biasa disebut sahabat. Tapi tidak sepenuhnya sebagai sahabat. Karena dia juga mempunyai teman spesial sendiri. Lebih dekat daripada aku.
Saat aku bersama teman dekatku itu, Yura namanya, aku merasa nyaman dengannya. Dia menyenangkan bagiku. Dia selalu mendengarkan curhatan ku tentang teman masa kecilku. Entah dia menyimaknya atau tidak, tapi aku merasa senang jika ada yang mau mendengarkan ku cerita. Sedikit menghilangkan rasa rindu akan kehadiran Rian. Dan Yura juga selalu curhat tentang persoalan percintaannya yang selalu kandas di tengah jalan. Terkadang aku juga bingung, mengapa Yura bisa segampang itu memindahkan hatinya dari satu cowok ke cowok yang lain. Tidak sepertiku. Hatiku sangatlah tertutup. Tapi aku punya alasan untuk itu. Rian. Ya, karena dirinya aku rela menunggu sampai sekarang. Bodoh mungkin menunggu seseorang yang tidak pasti akan datang. Tapi inilah aku. Aku termasuk salah seorang yang konsisten akan keputusanku. Meskipun akhirnya aku harus menanggung akibat yang tak ku harapkan sekalipun. Karena aku sudah terbiasa dengan semua ini.
"Sitta, ke depan yuk?"
"Ngapain?" Tanyaku.
"Bersihin lapangan. Ya liat perlombaanlah. Apa lagi? "
"Gak mau ah. Aku gak suka keramaian."
Ya inilah aku. Sitta Indiyana. Biasa dipanggil Sitta dan 'cupu' bagi yang tidak suka padaku. Aku adalah orang yang tidak suka dengan hal yang berbau keramaian. Tidak. Bukan dari dulu. Tapi sekarang saja. Setelah kepergian dari Rian. Dulu aku adalah salah satu orang yang sangat suka keramaian. Apalagi keramaian di pasar malam. Sebelum akhirnya Rian pergi. Ya, Rian adalah mentari bagiku. Dia selalu menyemangati ku saat aku benar-benar putus asa. Dia selalu membuatku tersenyum dengan gayanya sendiri. Dan dia juga yang mengajariku untuk menjadi diriku sendiri. Walau yang terakhir aku sebutkan tidak aku jalani sepenuhnya. Bahkan tidak sama sekali. Aku yang sekarang bisa jadi kebalikan dari diriku yang dulu.
Semua penghuni kelas telah keluar menuju lapangan untuk melihat perlombaan. Kecuali aku yang masih setia dengan buku pelajaran. Bukan maksudku menjadi murid yang sok pintar. Tapi ini adalah salah satu cara aku melampiaskan rasa kesepianku.
"Eh cupu! Beliin minum sana!" Tiga siswi menghampiriku. Dan aku sudah menebak siapa mereka.
"Hm, i-iya."
"Cepet!"
"Mmm, ta-tapi..."
"Apa lagi?! Cepet sana pergi!"
Aku menadahkan tanganku. Meminta uang untuk membeli minum. Tapi bukannya memberi uang, mereka malah memberiku tamparan keras di tanganku.
"Di sini yang babu siapa?! Lo kan?! Jadi pake uang lo!" Bentak salah satu dari ketiganya.
Aku segera pergi dan menuju ke koperasi. Bagi kalian yang penasaran mengapa aku diperlakukan seperti ini? Jawabanku satu. Bingung. Aku juga tidak tahu menahu apa sebabnya mereka selalu menjadikanku layaknya seperti babu mereka. Padahal dari dulu, awal masuk SMA, aku tidak merasa berurusan ataupun punya masalah dengan mereka. Sebenarnya, ingin rasanya aku melawan. Tapi, hatiku selalu memerintahkanku untuk menjaga kesabaranku. Menangis? Itu sering ku lakukan. Bukan di depan mereka ataupun yang lain. Tapi menangis dalam diam. Ya, aku memilih untuk memendam rasa kesalku pada mereka. Tidak. Tidak untuk selamanya aku begini. Karena terbesit rasa di hatiku menginginkanku melawan ini semua.
We love Sitta
Comment on chapter One