God does not playing dice with the universe adalah kalimat terkenal yang diucapkan Albert Einstein. Kalimat itu diucapkan kala Einstein menyangkal pendapat Neils Bohr yang mengatakan bahwa electron dan segala sesuatu di dunia ini adalah acak dan tidak bisa dipastikan dan dikenal sebagai teori ketidakpastian.
Drrt…..drrtt
Aku berdecak kesal ketika suara getar-getar dan notifikasi aneh terdengar dari saku seragam yang belum kuganti, dan itu sangat mengganggu aktivitas membacaku.
Einstein meyakini bahwa alam semesta berperilaku teratur seperti yang diamatinya dikarenakan mematuhi hukum-hukum fisika. Dan dia pun mengatakan Tuhan tidak bermain dadu.
Drrtt….drrrt
Memang jika diperhatikan dan memikirkan alam semesta menggunakan pikiran kita untuk mengamati kejadian yang ada, maka kita akan menemukan keteraturan dalam alam ini, alam seakan tunduk pada suatu aturan dan hukum yang kita hanya sedikit mengerti. Misalnya pergerakan planet-planet yang dengan setia mengitari sang surya, juga bermilyar-milyar bintang dan planet yang bergerak dan tidak saling bertabrakan.
Ini menunjukan bahwa Tuhan tidak main-main, juga tidak sembarangan dalam menciptakan alam semesta ini. Semua seakan sudah diperhitungkan keakuratannya dan dibuat hukum yang mengaturnya.
Drrtt….drrtt
Aku menutup layar laptop ketika suara itu lagi-lagi terdengar. Kuambil benda itu dari dalam saku kemudian menggeser ikon telepon ke warna hijau.
“Hobby banget sih nelpon orang! Nggak ada kerjaan ya?” semprotku langsung.
“Hidup ini terlalu mahal kalo cuma diem,” jawab Kak Arja yang menurutku nggak nyambung.
Aku memutar bola mata malas. “Point please!”
“Sini cepet ke rumah gue!” perintahnya yang kontan membuatku melotot.
“Nggak mau!” jawabku sengak. Siapa dia bisa perintah-perintah seenaknya.
“Ck, gue sibuk kalo harus jemput lo ke rumah. Jadi yang nggak punya kerjaan aja yang kesini!”
Apa kata dia?
“Dasar nggak jelas! Tiba-tiba nelpon terus suruh orang seenaknya, mana ngatain orang nggak punya kerjaan lagi,” ujarku kesal.
“Ras, gue nggak bakal melakukan hal yang nggak bermanfaat dan sia-sia, jadi kalo lo tau ini akhirnya bakal gimana, gue yakin kok lo nggak nyesel.” Terdengar suara helaan nafas dari sana, aku cuma memutar bola mata malas.
“Oh ya? Apa dong jaminannya kalo hal itu juga bermanfaat buat aku?” tantangku.
“Gue jajanin Choki-choki deh.” Kak Arja berujar serius.
“Apaan cuma Choki-choki? Anak TK juga ogah!”
“Udah deh nggak usah banyak protes, keburu telat. Cepet sana ganti baju!” perintahnya mulai ngegas. Nah kan, aslinya mulai keluar, awalan aja dia sok baik.
“Hm.” Meski kesal, sialnya aku tetap mengiyakan juga.
“Sepuluh menit harus udah sampe, jangan lelet!”
Panggilan diputus sepihak tanpa salam penutup. Aku menggeram kesal sambil melempar HP ke atas kasur. Ah, bolehkah aku tidak mengenal Kak Arja dalam hidupku?
***
“Gue tuh cuma nyuruh lo ganti baju, bukan dandan!”
Demi planet Mars wisata impian Devina, kalo nabok mulut itu nggak dosa, udah kutabok itu mulut Kak Arja. “Mana ada dandan, nggak usah sok tau deh!” ketusku dengan pandangan lurus ke jalanan depan. Kak Arja yang sedang menyetir di bangku kemudi hanya melirikku sekilas.
“Itu bibir merah banget,” cibir Kak Arja yang sejujurnya membuatku agak malu. Dasar laki-laki nggak tau usaha cewek dandan aja.
“Ini cuma liptint tau, warnanya juga kalem. Mana ada merah banget!” sangkalku tapi tetap mengeluarkan kaca kecil dari sling-bag.
Laki-laki itu kemudian diam dan tetap melajukan mobil memasuki daerah Galeri Nasional Indonesia. Katanya disana sedang ada pameran seni yang digelar anak-anak jurusan Seni Rupa dan Desain dari berbagai Universitas.
Mobil yang Kak Arja kendarai berhenti setelah menemukan tempat parkir yang teduh. Setelah turun dari mobil, aku digiring laki-laki itu menuju area pameran. Ternyata ucapannya benar juga, laki-laki itu melakukan semua hal yang ada manfaatnya. Dan manfaatku diajak kesini adalah bisa lihat lukisan-lukisan keren secara gratis juga sekalian cuci mata.
Sambil menunggu laki-laki itu mengantri di loket untuk membelli tiket, aku menyiapkan kamera Sony yang dipinjami Kak Arja. Kalau lagi nggak songong seperti ini, percaya deh, Kak Arja kelihatan keren. Haha.
“Woi, buruan!” Kak Arja setengah berteriak di depan pintu masuk.
“Kalau kaya gini baru yang namanya raja, bikin rakyatnya seneng!” ujarku sambal terkekeh dengan perhatian penuh mengatur lensa kamera.
“Makanya jangan sewot dulu kalo dibilangin!”
“Abisnya situ doyan banget merintah orang, siapa yang nggak kesel?”
“Yah, masih disitu aja bahasannya. Kapan sih gue merintah-merintah orang?” Dia melirikku dengan pandangan mengintimidasi.
Aku hanya sedikit menaruh perhatianku pada omongan Kak Arja, selebihnya perhatianku justru tersedot ke lukisan. “Dih nggak sadar diri!” cibirku.
“Hm, pandangan baik buruknya seseorang ke kita itu tergantung suka enggaknya dia. Jadi mau gue berbuat apa aja sekalipun itu bener, lo selalu nganggep salah. Pertanyannya, kenapa sejak pertama kita ketemu di acara makan malem, lo kayak nggak suka sama gue?” tanyanya serius tapi dengan pandangan meneliti lukisan abstrak di depannya.
“Kata siapa nggak suka?” cicitku.
“Terus?”
“Pernah nggak sih, kita merasa sedang dipermainkan semesta?” ironiku. “Keadaanku kalo ketemu orang sombong itu bawaannya kesel terus. Kenapa semesta sejahat ini?” aku berujar dramatis. Tau-tau saja Kak Arja malah menoyor kepalaku ke samping.
“Sialan,” umpatnya. “Besok pulang sekolah bawa baju ganti, gue jemput. Jadi berangkat paginya lo naik ojek atau angkot aja.”
NGGAK PERNAH PERINTAH-PERINTAH KATANYA?
“Buat apa?”
“Gue butuh pengakuan,” ujarnya kalem.
“Hah? Pengakuan apa?”
“Jangan banyak tanya!
Aku mengacak rambut kesal. “Semesta, aku nggak kuat!”
Laki-laki yang kini memakai jaket bomber hitam itu berjalan mendahuluiku mengamati lukisan. Baru beberapa langkah, dia kembali berbalik dan berhenti di hadapanku yang sedang memotret lukisan abstrak. “Itu namanya Wanda,” ujarnya tiba-tiba dengan jari telunjuk mengarah ke gadis cantik di antara puluhan pengunjung. “Mahasiswi jurusan Seni Rupa dari ITB.”
Aku mengangkat alis. “Ya terus?”
Kak Arja tersenyum singkat. “Dia temen gue. Seneng-seneng deh lo disini, gue mau nyamperin dia dulu.” Setelah ucapannya berakhir, Kak Arja langsung bergerak meninggalkanku untuk menemui cewek bernama Wanda.
Sesuai yang dikatakan Kak Arja, aku bersenang-senang mengamati lukisan. Kukeluarkan HP dari sling-bag dan menyalakan kamera selfie kemudian. Sayang kan ke tempat keren begini nggak dipamerin ke Devina.
Selesai dengan kegiatan selfie ala-ala, aku kembali mengamati lukisan dan sesekali memotret jika ada sudut pandang yang pas. Dan sekitar sepuluh menit kemudian, seorang perempuan menghampiriku dengan senyuman. Aku membalas senyum itu canggung dengan kepala celingukan. Perempuan di depanku ini Wanda, tapi tidak kutemukan sosok Kak Arja dimanapun.
“Adeknya Arja kan? Raras?” tanyanya.
“Heh? I-iya Raras,” jawabku dengan wajah cengo.
“Aku Wanda. Salah satu panitia pameran ini. Kata Arja kamu suka gambar ya?”
Aku mengangguk.
“Aku ajak gambar yuk, nanti karya kamu bisa dipajang disini,” ajaknya dengan nada senang.
“Tapi Kak, aku nggak bisa kalo disuruh ngelukis keren kaya begini.” Kupandangi satu-satu lukisan yang terpajang dan seketika membuatku merasa minder.
“Ah, enggak apa-apa. Pengunjung lain juga banyak kok yang ikut ngelukis.”
“Gitu ya?” tanyaku mempertimbangkan. “Yaudah deh, tapi kalo jelek jangan diketawain ya Kak.”
Kak Wanda tertawa. Gadis itu kemudian membawaku ke sebuah ruangan khusus pengunjung untuk melukis. Ternyata Kak Arja juga disana, sedang melukis dan sesekali tertawa bersama laki-laki gondrong yang kutebak dia juga seoarang mahasiswa Seni Rupa
Langkahku dan Kak Wanda berhenti saat kami sampai di tempat Kak Arja dan teman gondrongnya. Aku tersenyum kaku ketika laki-laki gondrong itu menatapku. Sementara Kak Wanda sibuk menyiapkan kanvas dan keperluan melukis lainnya.
“Suka ngelukis ya Dek?” tanya laki-laki itu.
”Sedikit Kak.”
“Siapa namanya?”
“Raras,” jawabku sesekali melirik Kak Arja yang sibuk dengan lukisan abstrak yang kelihatan banget nggak jelasnya.
“Kenalin, Kakak tampan ini namanya Bian.” Laki-laki gondrong yang mengaku bernama Bian itu tersenyum. Aku hanya tersenyum simpul.
“Jangan terlalu PD Yan, tu anak benci sama orang yang model gitu. Ntar salah mulu lo,” sahut Kak Arja.
Aku memutar bola mata kesal. Tak lama kemudian Kak Wanda memanggilku dan berkata bahwa peralatan lukisku sudah siap. Perempuan itu menyuruhku melukis bersama Kak Arja dan Kak Bian karena dia masih punya urusan dengan ruang pameran.
Aku mengambil tempat duduk di samping Kak Bian setelah Kak Wanda pergi.
“Mau lukis gaya apa nih?” tanya laki-laki rambut gondrong itu.
“Naturalis aja deh,” jawabku.
Setelahnya aku hanya berkutat pada kuas dan cat air, sesekali Kak Bian mengajariku beberapa teknik yang awalnya tidak kuketahui.
Setengah jam melukis dengan hasil yang lumayan nggak jelek-jelek amat, akhirnya Kak Arja mengajakku pulang.
“Inget, besok bawa baju ganti. Nggak usah bawa motor juga!” perintah Kak Arja memulai khotbahnya. Aku hanya diam sambil memandangi jalanan depan yang mulai gelap. Periahal aku yang sudah petang begini belum pulang dan belum ditelpon Mama, karena katanya Kak Arja sudah bilang kalau aku sedang ke Galeri bersamanya. Mama malah menanggapi dengan senang hati dan bilang biar Raras ketularan pintarnya.
????????????
Kredit sumber artikel yang dibaca Raras :
https//medium.com Tuhan Tidak Bermain Dadu
https//kaisnet.wordpress.com Tuhan tidak bermain dadu