Berhari-hari kemudian, setelah aku ditinggal Devina sekian lamanya, kami berdua jadi pengguna aktif aplikasi Skype. Siang, malam, sore jika ada waktu kosong pasti kami akan mengobrol panjang sampai lupa waktu.
“Apa? Jadi waktu itu dia sengaja dateng ke halte buat jemput lo yang minta bantuan karna stuck ngelukis?” Devina bertanya heboh. Aku hanya menggaruk kepala. Nah kan, kalau aku ceritakan ke Devina tentang Kak Arja pasti reaksinya heboh begini. Tapi kalau enggak diceritain dia maksa. Dasar devina!
“Yagitu deh,” jawabku akhirnya.
“Kayaknya Kak Arja suka sama lo!”
Aku melotot, “sembarangan. Nggak usah bikin premis ngawur gitu ya!”
“Ya habisnya dia rela gitu nemenin lo ngelukis,” ucap Devina sambil memeluk bantal gulingnya.
“Ya iyalah, orang dia yang nyuruh gue ikut lomba itu kok.”
“Tuh kan!” sentak Devina tiba-tiba. “Buat apa coba dia nyuruh-nyuruh gitu kalau bukan karena suka?” Devina semakin ngawur.
“Vin. Pliss ya!” Aku memutar bolamata jengah.
“Fiks deh Ras, Kak Arja suka sama lo!” Devina masih keukeuh dengan opini yang dia simpulkan sendiri itu.
“Apasih, orang dia itu cuma nganggep gue adeknya.”
Di seberang sana Devina melirikku curiga. “Apa jangan-jangan lo yang suka sama dia?”
Aku melotot tidak terima, “Nggak lah! nggak usah sembarangan deh Vin,” gertakku mulai kesal. Di seberang sana Devina hanya menyengir.
“Nggak apa-apa kalo suka beneran Ras, nggak akan kena ledek kok,” ucap Devina. Aku mencium bau-bau perayuan.
“Enggak deh Vin makasih, tapi gue beneran nggak suka.”
Di seberang sana Devina hanya berdecak kesal, salah siapa coba? “Nggak asik nih Raras, main rahasiaan-rahasiaan mulu.”
Aku membusungkan dada berniat membuat sahabatku itu semakin kesal. “Ya iya dong.”
Di tempatnya, Devina melirikku dengan tatapan malas.
“Jangan ngambek ya Vin! Sekarang udah nggak bisa dibujuk pake ayam nih kalo ngambek.”
“Bisa kok Ras, lo tinggal hubungin outlet ayam yang ada di Solo, terus tinggal deliv ke rumah gue.”
“Dih, udah jauh-jauhan gini ternyata masih prioritasin makanan.”
Devina terkekeh. “Ya iya dong!”
“IYA MAA?” teriak Devina dengan posisi memasang indra telinganya dengan baik. “SEKARANG?” teriaknya lagi. “IYA IYA.”
Setelah acara teriak-teriaknya itu selesai, Devina kembali menatapku sambil terkekeh melupakan rasa kesalnya yang tadi sempat muncul di permukaan. “Ras, gue harus ke rumah Eyang nih. Lanjut nanti ya?”
Aku menggut-manggut. “Iya, ya udah sana. Titip salam ya buat Solo!” ujarku sambil tersenyum.
Devina juga menarik dua ujung bibirnya membentuk lengkung senyum. “Sip! Bye Ras!” pamit Devina sebelum menutup sambungan, setelah kujawab pamitan Devina dengan mengangguk pelan, sambungan benar-benar terputus setelahnya.
Aku menghela nafas panjang, setelah itu, kuhabiskan waktu sore sisa bersapa bersama Devina dengan merevisi novel yang sudah kutulis sekian lama sejak dulu dan baru dapat kabar terbit tiga bulan lalu.
***
Pernah ngerasain berada di titik jenuh ketika kamu nggak tau apa yang sebenarnya kamu lakukan saat ini? Rasanya kayak kamu pengen lari secepet yang kamu bisa buat ngalahin si dia yang udah jauh ninggal kamu di belakang. Tapi kenyataan malah menampar seolah dia berkata ‘udah, kamu udah ketinggalan jauh’
Tiap orang terdekatku merasakan keberhasilannya, aku selalu punya rasa iri pada mereka. Mereka yang sudah dapat hasilnya dengan baik, sedangkan aku cuma jalan di tempat.
“Selamat ya, udah jadi manfaat buat orang lain.” Aku tersenyum semanis yang kubisa sambil mengajak Kak Arja untuk berjabat tangan. Setelah hampir 3 minggu pertemuanku dengan Kak Arja di La La Land, ini kali pertamanya kami berjumpa lagi setelah meanajemen waktu Kak Arja yang super sibuk.
Laki-laki yang kuajak ketemu di Kopi Bar dan sudah menunggu sejak tadi itu menoleh. Awalnya dia mengeluarkan ekspresi yang siap menghabisiku dengan tatapannya. Tapi karena senyum langka yang kupamerkan itu, Kak Arja membalas dengan tersenyum singkat. “Lama,” ucapnya pelan sambil membalas jabatan tanganku kemudian menyuruhku untuk duduk di depannya.
“Hehe, maaf. Habisnya baru ulangan.” Aku menyengir lantas meminum jus jeruk yang sudah dipesankan Kak Arja.
“Jadi giliran lo kapan?” tanya Kak Arja.
Aku mengangkat bahu santai dengan masih menghabiskan jus jeruk hingga isinya tinggal setengah.
“Bentar lagi pengumuman, kalau lo juara, gue jadi orang pertama yang lo kasih hadiah ya?” Kak Arja mengangkat alisnya.
“Hadiah apa? Choki-choki?” tanyaku sekenanya membuat laki-laki itu tertawa pelan. “Ngomong-ngomong, gimana rasanya?”
Kak Arja tersenyum singkat. “Enggak ada yang gue rasain. Rasanya kaya ada yang kurang.”
“Loh, berhasil mendegradasi sampah palstik itu udah jadi manfaat buat lingkungan loh Kak, otomatis keinginan Kak Arja buat jadi manfaat buat orang lain itu udah tercapai.”
Laki-laki itu kemudian menggeleng, “nggak tau Ras,” jawabnya kemudian. Singkat. Aku hanya mengangguk pelan. Entah apa yang terjadi dengan laki-laki perfeksionis itu sehingga dia merasa kurang yakin dengan suatu hal.
“Kak, mau tahu rahasiaku nggak?” tanyaku mencoba membuat dia penasaran.
“Tergantung.”
Aku mengernyit, “tergantung apa?”
“Penting apa enggak.”
Seketika wajahku berubah jadi keruh. Padahal hal yang ingin kuceritakan itu adalah sesuatu yang sangat rahasia, siapapun belum kuceritakan soal hal ini. Aku mencebik kesal lantas membuang muka jauh-jauh dari pandangan Kak Arja. “Yaudah!” ujarku ketus.
Kudengar laki-laki itu terkekeh. “Yaudah deh, kasian. Rahasia apa?” tanyanya yang membuat rautku semakin ketus.
“Nggak jadi! sorry ya, aku nggak butuh dikasihanin,” tukasku cepat.
Kak Arja berdecak pelan tapi masih belum mengeluarkan suaranya setelah aku berbicara. Akhirnya kami saling diam. Dalam hati aku merutuk. Apaan sih ini, kok pake ngambek-ngambekan segala. Aku jadi teringat ucapan Devina di Skype beberapa hari lalu.
Fiks deh Ras, Kak Arja suka sama lo!
Aku menggeleng cepat berusaha mengenyahkan bayang-bayang ucapan Devina. Enggaklah! Itu teori ngawur dari mana coba?
Apa jangan-jangan lo yang suka sama dia?
Shit! Itu malah lebih ngawur lagi. Apaan sih Ras, sadar! Sadar! Aku kembali menggeleng untuk mengusir setan kecil berbentuk Devina di telinga kiriku. Yaampun, padahal itu sahabatku satu-satunya yang baru pindah dan membuat kami berlinangan airmata, tapi ternyata sifat ngeselinnya masih ketinggalan.
“Ah, lo ngambek beneran. Gue jajanin choki-choki ya?” tawar Kak Arja mencoba membuatku normal lagi. Aku hanya meliriknya sekilas. Dih, ini apa-apaan coba? Kok kesannya aku ngambek karna maksa pengen didengerin curhatannya. Tapi kalau normalku mode on sekarang, ini kepalang tanggung, udah basah nyebur sekalian. Bodo deh, malu pikir belakangan. Hidup muka tembok!
Aku mendapati Kak Arja mengeluarkan ponsel dari saku jaket belel yang dia pakai. Satu menit dua menit, laki-laki itu masih mengotak-atik benda pipih itu dengan serius. Dan rasain kamu Ras, selamat dicuekin!
“Ras!” Tiba-tiba Kak Arja memanggilku dengan nada serius, hal itu reflek membuatku menoleh. “Mau tau rahasia nggak?”
Aku menatapnya curiga tapi lebih banyak bingungnya. Balas dendam? Enggak? Balas dendam? Enggak?
Kak Arja mengangkat bahunya sekilas kemudian mengangkat ponselnya ke udara dan menghadapkan layarnya ke arahku. Seketika mataku melotot, tanpa tahu kedaan lagi, aku merebut ponsel itu dengan cepat. Demi apa?
Congratulations! the Winner of a National Painting Competition ‘Raras Hildaresti’
With her work entitled ‘Chaos’
Aku ternganga melihat namaku terpampang di website pengumuman juara Lomba Lukis yang kuikuti. Saking tidak percayanya, aku hampir menjatuhkan ponsel Kak Arja karena tanganku yang gemetar. Aku menatap Kak Arja yang sedang tersenyum di tempatnya dengan mata yang sudah mengembun.
“Lusa dateng ke Galeri ya! Ajak orang-orang yang mau lo buat bangga,” ujar Kak Arja bijak.
“Ini beneran?” tanyaku dengan suara bergetar, aku juga menjamin kalu sekarang raut wajahku patut ditertawakan.
“Selamat ya Ras!” Bukannya menjawab, laki-laki itu malah menyelamatiku sambil tersenyum tulus.
Seketika perasaanku terasa ambyar, terharu senang bercampur jadi satu. Aku bangkit dari kursi sambil berteriak senang, tidak peduli orang-orang sekitar yang menatapku aneh. Dengan airmata yang tumpah-tumpah itu, aku lompat-lompat tidak jelas di Kopi Bar, menjadikan aku lebih mirip orang gila. Tanpa pikir-pikir lagi tentang urat malu, aku memeluk Kak Arja yang masih duduk di kursi itu dari belakang sambil tak henti-hentinya berteriak. Laki-laki itu hanya menanggapi dengan kekehan panjang.
“Jadi lo punya rahasia apa?” tanyanya kemudian.
Aku tersenyum lebar, “novelku udah terbit!”