Pada hari minggu, aku membantu mbak Fida menyiapkan keperluan untuk event di luar. Ada acara ulang tahun di daerah dekat store. Kami pun menuju lokasi acara.
Selama 3 jam kami melakukan event di luar lalu kami kembali ke store. Aku membawa kardus berisi perlengkapan untuk menghibur anak-anak tadi. Saat memasuki store aku melewati customer yang sedang antri di meja counter.
Ada beberapa perempuan-perempuan berisik yang sedang bercanda sambil menunggu pesanannya di terima. Lalu tiba-tiba, DUK. Salah satu perempuan itu mengenaiku, aku hampir jatuh namun aku bisa menguasai.
"Mbak, lihat-lihat dong. Sakit tahu!" Hardik perempuan itu padaku. Padahal jelas-jelas ia yang mendorongku. Karena dia customers mau tak mau aku meletakkan kardus yang kubawa dan meminta maaf.
"Maaf mbak. Saya mohon anda juga berhati-hati." Kataku sambil membawa kardus itu ke dalam. Ia menggerutu.
Kuletakan kardus di gudang dan menuju lokerku untuk minum. Kulirik jam bundar di dinding. Jam berkerjaku selesai. Aku menuju ke ruang manager. Bukan temanku saat itu yang jadi manager tapi Pak Andik.
"Permisi pak, jam kerja saya sudah selesai."
"Tunggu Fia, saya mau bicara." Aku berdiri di hadapannya. "Tolong lain kali lebih sopan dan hati-hati jika membawa barang. Kalau tidak nanti store yang kena imbasnya." Wah, aku ditegur. Sedikit sakit hati tapi ya sudahlah.
"Baik pak. Saya akan lebih berhati-hati lain kali." Sambil membungkuk.
Setelah itu aku kembali ke loker dan mengambil barang-barangku bersiap untuk pulang. Aku berpamitan ke rekan-rekan lain. Lalu mengambil jatah makan siangku. Aku memilih untuk membungkusnya. Kupakai jaketku untuk menutupi seragam dan duduk di lobby. Aku menyeruput minumanku sambil mengecek notification di hp.
"Kamu kan yang ditaksir bang Andre?!" Chika berdiri didepanku sambil menujuk wajahku. Aku tak bisa berkata-kata. "Kamu bukannya mahasiswa, kenapa kerja disini? Kamu bohong sama bang Andre! Aku aduin ke bang Andre!" Ujarnya.
Aku masih tak bisa menggerakkan mulutku untuk bersuara. Chika mengajak teman-temannya pergi dari store.
Ah, aku mengacak kerudungku seperti mengacak rambut. Kesal! Kenapa harus hari ini? Kumasukkan bungkusan makanaan ke tasku dan pergi dari store segera.
Pak Andre pasti masih dirumah dan Chika pasti sudah menelponnya. Pikiranku penuh dengan berbagai cara untuk menjelaskan. Di satu sisi aku sadar bahwa cepat atau lambat pak Andre akan tahu tapi di sisi lain beliau pasti kecewa dan mungkin kami harus jaga jarak setelah semua ini terbongkar.
Aku bukan bersuudzon pada Pak Andre, hanya menjaganya dari kata-kata buruk yang disebabkan olehku yang bisa berdampak padanya jika aku masih bersamanya. Berkerja sebagai seorang pelayan di restoran cepat saji dengan menggunakan make up yang berlebihan dan lingkungan kerja yang kurang kondusif karena lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan akan menghasilkan gunjingan. Mungkin akulah nanti yang akan menjauhinya. Aku yakin masih banyak perempuan lain yang layak untuknya.
Dalam perjalanan pulang aku memikirkan apa yang harus aku katakan pada Pak Andre. Aku harus bagaimana?
Sesampainya di rumah aku langsung masuk dan menuju kamar. Ku hapus make up ku dan berganti pakaian. Long dress biru dan kerudung lebar warna putih. Ku ambil hp dari tasku. Kulihat notif dari pak Andre. Ia menelfonku dan sms.
Pak Andre :
“Sudah di rumah?”
Fia :
“Sudah pak, saya tunggu di rumah.”
Aku membalas sms sambil menggigit jari cemas. Kira-kira Chika sudah cerita apa belum ya? Apa yang harus aku katakan. Belum ada lima menit bel rumah berbunyi. Aku bergegas turun. Kebetulan di rumah hanya ada aku. Ibu dan adek ke rumah kakakku karena tahu aku kerja. Aku pun sudah ijin kalau Pak Andre akan berkunjung ke rumah hari ini. Ibu menyuruh untuk menyusul ke rumah kakak yang jaraknya sekitar 10 menit dari rumah ini. Pak Andre berdiri di depan gerbang sambil tersenyum.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Aku gugup. Sama gugupnya saat ia pertama kali mengajakku ngobrol. "Mau masuk sebentar atau langsung ke rumah kakak?"
"Bisa ngobrol sebentar?" Aku pun menyilahkan beliau masuk dan duduk di teras.
Aku rasa Chika memang sudah laporan. Aku menundukkan wajahku.
"Fia nggak ada yang ingin di sampaikan ke aku?"
Kutatap, bingung harus bicara gimana. Akhirnya yang keluar hanya gelengan pelan.
"Fia, ehm... menurutku Fia menyembunyikan sesuatu dariku." Lama aku terdiam.
"Saya... sungguh ingin mengatakan banyak hal namun hubungan kita juga tak tentu. Saya bingung apa wajib bagi saya untuk mengatakan pada pak Andre atau tidak."
"Begitu menurut Fia? Aku pikir kita saling berbagi pemikiran." Wajahnya agak marah. Sungguh aku ingin mengatakannya tapi hati ini tak ingin kehilanganmu.
"Apa bisa pak Andre menerima saya jika saya mengatakan yang sesungguhnya?"
"Kenapa begitu rumit pemikiranmu? Tak bisakah kita saling terbuka satu sama lain?"
"Saya hanya tak ingin pak Andre..." kuhentikan kata-kataku. Tangaku bergetar dan tak terasa air mataku mengalir. Memang serumit inilah aku. Menyukaimu namun tak mampu menerima jika kamu membenciku.
"Maaf jika aku terlalu keras. Aku hanya ingin mengenalmu lebih, Fia. Fia mau berbagi sedikit kegelisahan ke aku. Aku akan berusaha open minded." Ia menepuk bahuku lembut. "Terserah Fia mau seperti apa sekarang. Aku tidak akan memaksa." Lanjutnya.
"Pak Andre sudah mendengar cerita tentang aku dari Chika?" Ujarku mantap.
"Ya, Chika menelfonku tadi sebelum kesini."
"Saya sudah kerja disitu 1 bulan ini dan gajinya cukup untuk sehari-hari serta tambahan uang kuliah semester depan." Ku atur napas dan pak Andre sabar menanti ceritaku.
"Saat pak Andre membantu saya berkerja menjadi Aslab saya sudah di terima kerja disana. Dan saya memilih mengambil kedua-duanya. Sungguh saya ingin cerita ke pak Andre namun saya tak bisa."
Pak Andre, menundukkan wajahnya dan sedikit tersenyum.
"Nah, mudah kan?" Katanya sambil senyum padaku. "Semudah itu seharusnya, aku sama sekali tak keberatan selama perkerjaan itu masih dibatas wajar. Seperti yang kamu bilang bahwa hubungan kita memang belum berarti apa-apa, aku tak berhak mengatur tapi setidaknya ceritalah padaku. Aku banyak bercerita tentang diriku namun tak banyak cerita yang keluar dari mulutmu."
Bukan hanya bibirnya yang tersenyum namun matanya juga ikut tersenyum, 'eye smile'. Mau tak mau aku ikut tersenyum. Hatiku menjadi sedikit lega. Aku harap pak Andre juga seperti ini jika aku cerita tentang keluargaku sesungguhnya.
Setelah itu kami ke rumah kakak.
Saat di rumah kakak kami banyak ngobrol tentang keponakanku, Radit, yang jalannya tidak bisa slow alias lari tanpa rem. Pak Andre gemas lihat tingkah Radit, sesekali ia menggendong dan mengajak jalan-jalan.
"Fia, kapan kepastian sama Andre?" Bisik mbak Fita istri kakakku. Aku hanya tersenyum.
"Nggak tahu mbak, lagi pula kuliahku masih setahun." Balas berbisik.
"Iya tapi yang penting di khitbah dulu kali, nggak nggantung kayak gini." Sahut kakakku. Untung pak Andre ngajak Radit jalan-jalan keluar.
"Sudahlah. Mengenal dulu biar nggak nyesel nantinya." Jawab ibu. Lalu Pak Andre masuk sambil menurunkan Radit yang lari ke arah ibunya.
"Ibu, kakak dan mbak, maaf saya mau pamit dulu. Ada tamu mendadak dirumah." Kata Pak Andre ke keluargaku. Aku berdiri mengantar pak Andre pulang.
"Maaf ya Fia hari ini cuma sebentar mainnya."
"Nggak apa-apa pak. Hati-hati di jalan." Pak Andre pun berlalu.