Setelah makan siang kami duduk-duduk di taman luar, Kak Amel dan suami serta gadis mungilnya bermain ayunan, sedangkan aku dan Pak Andre duduk di bangku yang tidak jauh dari mereka sedangkan ibu pak Andre istirahat di kamar karena sedang kurang enak badan. Kami ngobrol banyak tentang kebiasaan Pak Andre di rumah. Aku baru tahu ternyata Ayahnya meninggal 2 tahun lalu karena sakit dan Pak Andre begitu kehilangan sosok panutan baginya. Mendengarnya bercerita tentang ayahnya dengan raut bahagia, serta melihat gadis kecil yang tak jauh dari pandangan kami sedang di peluk sambil tertawa-tawa, membuat aku merasa iri. Perasaan iri bahwa ada orang yang dapat bercerita atau bahagia bersama ayahnya.
"Kenapa Fia? Wajahmu kok sedih?" tanya pak Andre tiba-tiba. Ku tatap matanya dan tersenyum sambil menggeleng. "Kalau Fia sendiri bagaimana? Pasti kangen banget ya sama ayah yang kerja di luar pulau?" Aku hampir saja berdecak sinis, sejujurnya, sedikitpun aku tak meridukannya.
"Hmmm... begitulah." Aku berbohong.
Perasaan minder dan takut ini menyergapiku seketika. Tak dapat aku pungkiri bahwa aku ingin terlihat baik didepannya namun apa yang akan terjadi jika ia tahu yang sebenarnya?
"Bang Andre!!!" teriak seorang perempuan sambil berlari kecil menuju kami.
"Dari tadi pagi kemana aja sih?" dia langsung berdiri didepan pak Andre. Ia melirikku, "Eh, ada tamu. Siapa?" tunjukknya.
"Ah, kenalin ini Fia, dan ini adik sepupuku, Chika." kami diperkenalkan satu sama lain. "Kamu nggak sopan nunjuk gitu." sambil menurunkan tangan gadis itu. Aku hanya tersenyum sambil mengulurkan tangan.
"Jadi ini perempuan yang Abang taksir?!!" dia agak histeris sebenarnya dan mengabaikan uluran tangaku.
Nih anak kenapa sih? Nggak sopan banget dari tadi. Seburuk itukah aku??
Aku memegang wajah serta kerudungku untuk memastikan bahwa tidak ada yang aneh dari diriku dan semua baik-baik saja.
"Aaawww... sakit!!" Teriaknya tiba-tiba, ternyata kak Amel menjewer telinga Chika.
"Ngomongnya yang sopan dong!" Kata kak Amel sambil menjewer dan menarik Chika ke dalam rumah.
Sedang gadis kecil masih bersama si ayah yang menutupi matanya sehingga tidak melihat kejadian ini.
"Maaf ya Fia, sepupuku yang satu ini agak nggak sopan."
"Nggak apa-apa kok pak."
"Ini udah sore, aku antar pulang ya." Akupun mengangguk.
Liburan kuliah pun hampir habis, aku harus menyelesaikan administrasi dan menjadwal mata kuliah apa yang harus aku ambil untuk semester dua ini. Mulai agak santai setelah masa penyesuaian di semester kemarin tapi ada kendala dengan mata kuliah yang akan aku ambil pada semester ini. Semua kelas yang harus aku ambil hanya ada di jam malam dan itu berarti aku tidak bisa ngajar les lagi selama satu semester padahal seluruh pendapatan dan uang untuk kuliah dari situ.
Setelah membayar di bank, aku langsung ke kampus menemui Bu Hayati sebagai kaprodi (kepala bidang studi). Kampus masih sepi, maklum banyak mahasiswa yang biasanya ke kampus untuk penjadwalan mepet-mepet dengan hari masuk kuliah jadi mereka bisa lebih lama di kampu ng halaman. Aku langsung menuju lantai dua dan ke ruangan Bu Hayati, aku mengadukan apa yang menjadi kendalaku.
"Mbak, ini sudah ketentuan jurusan. Jadwal ini sudah tidak bisa dirubah dan hanya ada kelas malam saja untuk semua mata kuliah yang mbak Fia ambil."
"Kalau seandainya saya ambil di semester depan bagaimana bu?"
"Itu juga nggak bisa, setiap semester sudah ada paketannya sendiri." Aku menghela nafas panjang. "Apalagi semester depan mbak Fia harus ambil Kuliah Kerja Nyata sama proposal Tugas Akhir. Butuh alokasi waktu yang besar."
Semakin kecil harapanku, aku harus bagaimana? Les-lesan ini sudah lama aku rintis dan aku kerja sendiri. Apa iya harus aku bubarkan? Kalau ganti jam apa mereka mau? Lalu kalau aku hentikan, uang dari mana untuk biaya semester depan? Semua pemikiran pesimisku keluar menguasai otak dan hati.
Tok.. tok... suara ketukan pintu ruangan bu Hayati. Aku masih tertunduk dengan pikiranku sendiri. Seorang laki-laki berdiri di sampingku.
"Maaf bu, ada berkas persetujuan mahasiswa yang cuti. Mohon di tanda tangani." Ujarnya.
Suara pak Andre tapi aku masih bergeming. Lalu tak lama pak Andre keluar ruangan.
"Lalu bagaimana mbak?" Tanya bu Hayati.
"Ya sudah bu tidak apa-apa saya jalani." Bu Hayati pun menandatangani berkasku.
Aku keluar ruangan berpapasan dengan pak Andre didepan ruang bu Hayati, tersenyum sekilas sambil lanjut jalan.
"Wajahnya kok di tekuk gitu, ada apa Fia?" pak Andre menyamai langkahku.
"Semester ini hanya ada kelas malam pak, itu berbenturan dengan jadwal saya mengajar."
"Semua mata kuliah? Hari apa saja?"
"6 dari 8 mata kuliah. Yang dua masih bisa saya ambil pagi. Senin, rabu, dan kamis."
"Coba kamu jadwalkan ulang dulu, ngajarnya bisa sore setelah ashar atau di waktu kamu tidak ada kuliah." Aku tertunduk. "Insya allah bisa.” Pak Andre menyemangati. Syukurlah ada orang yang menyemangatiku sehingga aku bisa sedikit optimis.
Hari ini aku mengumpulkan murid lesku yang berjumlah 11 orang, akupun menyampaikan pendapatku.
"Adek-adek, semester ini mbak Fia kuliahnya rata- rata berbenturan dengan jadwal les kita. Gimana kalau lesnya di ganti sore?"
"Mbak kalau sore kita banyak nggak bisanya, kan ngaji." Sahut salah satu murid perempuan.
"Iya mbak, aku pulang sekolah juga jam 2 an. Capek mbak..." ujar yang lain.
"Kalau gitu siapa yang di antara kalian nggak bisa sore, angkat tangan?" kataku. Kulihat ada 5 orang. "Kalau gitu untuk lima orang ini, masih sesuai jadwal tapi ganti hari sesuai dengan jadwal kosongku, begitu juga dengan biayanya. Gimana?"
"Kalau ganti hari sabtu minggu gimana mbak, sabtu aku cuma 1 mata pelajaran jadi bisa kalau les sore. Minggu malamnya buat persiapan senin?" Kata salah satu murid.
"Yang lain bagaimana?"
Hopless, hanya satu anak ini yang setuju. Mau nggak mau aku akan menginfokan ini ke orang tua mereka. Dan melepas 4 anak yang lain karena jadwalnya tidak ingin di rubah. Aku harus putar otak untuk mencari tambahan lain. Kutelusuri semua kontak telfon yang ada di hpku, mungkin saja ada yang bisa memberiku perkerjaan part time.
Berhari-hari aku masih belum menemukan perkerja part time yang cocok, hingga hari pertama kuliah pun tiba. Semester ini ada satu mata kuliah pak Andre yang aku ambil, pas saat hari pertama juga. Tak kusangka cara mengajarnya cukup membosankan. Mungkin karena masih dosen muda dan belum banyak pengalaman seperti dosen-dosen senior lainnya atau karena jaimnya keterlaluan.
"Untung ganteng jadi nggak terlalu ngeboseni." Keluh mbak Ina saat kuliah selesai dan beliau keluar ruangan.
"Pak Andre mbak?" Sahutku.
"Sapa lagi dosen tampan disini kalau nggak beliau." Ternyata bukan aku seorang. Aku terkikik pelan. Tiba-tiba pak Andre menjulurkan kepalanya di balik pintu kelas.
"Fia tolong kamu bawa flashdisk untuk mengcopy materi yang tadi di kelas sebelah." Lalu pak Andre berlalu.
"Ups... kira-kira tadi pak Andre denger nggak ya?" Ujar mbak Ina.
"Kamu sih In, ngomongin orangnya masih disebelah." Kata bu Sri mahasiswa senior disini, lalu mereka tertawa bersama. Aku tersenyum dan mengambil flashdisk di tas dan bergegas ke kelas sebelah. Di kelas sebelah masih kosong, pak Andre duduk di depan kelas sambil fokus ke laptop.
"Ini pak flashdisknya." Diambilnya flashdiskku tanpa menoleh. Aku hanya berdiri diam di sampingnya. Beliau menyambungkan flashdiskku dan mengcopykan materi.
"Ngebosenin ya cara ngajarku?" To the point seperti biasanya dan matanya masih focus pada leptop. Wah beneran kedengeran ternyata. Aku tersenyum kecil sebelum menjawab.
"Ya mungkin karena pak Andre terlalu kaku dalam penyampaian. Oleh karena itu lebih baik jangan terlalu jaim. Di tambahin joke ringan kan tidak masalah."
"Bukan jaim Fia, wibawa." Ia masih ngotot.
"Ya... ya.." sambil memutar mataku dan tersenyum.
"Gimana ngajar lesmu? Masih jalan?"
"Masih tapi harus melepas 4 anak karena tidak mau di ganti jadwalnya." Curhatku tapi lebih tepatnya seperti anak kecil yang mengadu.
"Ya yang sabar mungkin semester ini rejeki Fia sedikit berkurang, semoga ada tambahan dari hal lain." Pak Andre menyemangatiku lagi sambil tersenyum menatapku.
Dia selalu menyemangatiku, tidak mungkin hati ini bisa berbohong. Laki-laki mapan, baik dan perhatian sepertinya apakah sungguh pantas untukku? Seorang gadis yang masih menata hidup dengan latar belakang keluarga yang membuat muak untuk di bahas. Ah, cepat atau lambat dia akan tahu siapa aku sebenarnya. Dan ketika saat itu tiba, mampukah aku untuk mengatakannya?