"Perasaanku seperti,
Hujan yang turun begitu saja, saat sudah tidak tertahan di awan.
Dan aku bersyukur dengan,
Hujan yang turun dimalam itu, dimana kita ditakdirkan bertemu"
Julian baru saja menyelesaikan kelas pagi nya dan berjalan bersama Jay untuk membeli sarapan di kantin. Hari ini mungkin hanya mereka berdua, karna Kenzo benar-benar tidak menghadiri kelas dan entah kemana perginya.
Setelah memesan kopi dan makanan, mereka berdua duduk diujung sudut ruang cafe dengan jendela yang terbuka.
Hari ini belum ada pesan atau kabar dari Kinan, tetapi mungkin Julian juga tidak ingin mengirimi Kinan pesan. Ia akan menunggu sampai Kinan selesai bekerja dan membiarkannya bekerja dengan nyaman. Sebenarnya Julian ingin menceritakan tentang Kinan kepada Jay, namun ia belum ada rencana apa-apa mengenai kelanjutan hubungannya dengan Kinan, mungkin akan terkesan terburu-buru. Terlebih lagi ia juga belum lama putus dari Sheina. Meskipun perasaan itu sudah tidak ada, namun ia akan mencari waktu yang tepat.
Jay sedari tadi duduk sambil tersenyum memperhatikan Julian yang melamun dan tidak menanggapi obrolannya. Bukankah waktu itu Julian sudah benar-benar bersikap seperti sudah melupakan Sheina, tapi sekarang Julian terlihat memikirkan banyak hal.
“Jul? Eiyy” panggil Jay sambil menendang kaki Julian, sehingga membuat Julian kaget dan dengkul nya terpentok meja.
“Aishhh, apaan?” Jawab Julian sambil mengusap-usap dengkulnya hingga rasa sakitnya hilang.
Jay tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi Julian. “Lagian gua ngomong gak ditanggepin. Lagi mikirin apan? Sheina?”
Mendengar nama Sheina membuat Julian menggelengkan kepalanya.
“Engga” kini nada bicaranya menjadi pelan. Tentu saja bukan karena ia berbohong. Melainkan karena ia terus-terusan memikirkan Kinan.
Mulut Jay sudah membentuk huruf O sambil terus menatap Julian. “Jadi, udah move on?”
Anggukan itu membuat Jay ikut mengangguk. Tapi sepertinya kali ini Julian sangat sulit ditebak.
“Ah! Jul, jangan bilang…”
Tiba-tiba saja Julian sudah menjawab panggilan dari ponselnya dan tidak lagi melihat ke arah Jay.
“Hmm?”
“Kuliah…”
“Passport siapa? kenapa?”
“Ga bisa. Besok gue ada presentasi”
“Aiisshh..”
Julian menutup panggilan itu lebih dulu. Ia hanya bisa menghela nafasnya dengan berat.
“Why?” singkat jay.
“No why-why” jawab Julian dengan singkat juga.
“Gua serius Jul-Jul? siapa yang nelfon? Sheina?” tanya Jay dengan wajah-wajah penasaran.
“Sunny. Katanya hari ini gue suruh ngurus buat penerbangan besok”
“Penerbangan? bukannya besok lo harus presentasi didepan Pak Jaja ...”
Jay sangat mengenal Sunny yang serba dadakan, karena ia dan Kenzo adalah sahabat Julian sejak SMP.
Setelah menyelesaikan tugas nya berminggu-minggu, besok adalah waktu nya untuk menyambut kebebasan. Tapi apa yang dilakukan oleh kakak nya? bisa-bisa ia gila oleh kebiasaan Sunny.
“Besok pagi gue harus pergi ke Shanghai. Bisa gila kalo gua harus minta ijin sama Pak Jaja” ucap Julian dengan putus asa. Kalau saja besok tidak ada presentasi ia tidak perlu ambil pusing dan langsung berangkat, namun apalah daya Pak Jaja sangatlah tidak bisa di khianati.
Di ruangan Pak Jaja…..
Julian berdiri dengan tegak, namun kepalanya terus menuduk dan menghindari tatapan Pak Jaja yang sedang memperhatikan penampilannya sambil berkipas-kipas.
“Apa? mau apa?” sorot mata Pak Jaja terasa menusuk hingga ke tulang belakangnya.
“Bapak sudah menerima file presentasi saya?” tanya Julian dengan ragu-ragu.
“Iya, ada apa? mau kau revisi lagi? apa mau di cancel?”
Seketika Julian terkejut mendengar ucapan Dosennya, “Jangan suudzon begitu ah, Pak. Saya kan ga pernah mengecewakan Bapak”
“Jangan mengkhianati Bapak loh ya. Kalau sudah terkumpul ya ga perlu diminta-minta lagi. Kalau sudah suka sama mata kuliah Bapak, ya jangan bolos-bolos ga jelas”
“Ya enggak lah, Pak. Tapi masalahnya ada yang mau saya sampaikan ke Bapak. Penting”
Sebenarnya Julian tidak ingin membuang-buang waktu seperti ini. Namun keberaniannya ambyar sudah, ketika mulai memasuki ruangan ini.
Awalnya saja Pak Jaja memang suka membuat lelucon-lelucon garing seperti ini. Namun setelah mendengar ia tidak akan hadir saat presentasi, mungkin tumpukan file dimeja nya akan berhamburan kesana kemari dengan sekali hentakan.
“Dari tadi itu kamu sudah Bapak kasih kesempatan waktu, bukannya dimanfaatkan untuk menyampaikan hal-hal yang penting. Malah ngalor ngidul ga jelas”
Lagi-lagi, ucapannya sangat menusuk. Keputusan final, Julian memutuskan untuk mengatakannya, ia menarik nafas dalam-dalam demi mengakhiri penderitaan ini.
“Besok saya ga bisa hadir presentasi, Pak. Saya mohon maaf yang setulus-tulusnya karena saya ada acara keluarga di Shanghai jadi ga bisa menghadiri kelas. Tapi saya janji begitu saya kembali, saya akan presentasi sendiri. Kalaupun Bapak cuma punya waktu pas malam juga saya ga papa, Pak”
Akhirnya, apa yang ingin ia sampaikan telah benar-benar tersampaikan. Dalam hitungan detik ia akan bersiap untuk membereskan barang yang akan dilemparkan begitu saja.
Benar dugaannya, tatapan Pak Jaja sudah sangat ..
“Jadi maksudmu…”
‘Tamat sudah’ Batin Julian.
“Kamu ga baca info dari bapak di 'fesbuk' , iya?? ga punya kuota? atau ga diundang ke grup kelasmu sendiri? Bapak itu sudah menyampaikan kalau besok Bapak ada meeting penting. Jadi ya presentasi nya mingdep”
Seketika Julian kehilangan kata-kata.
“Mi-mingdep…?”
“Ga gaul kamu. Minggu depan!”
Sejak hari itu Julian benar-benar tidak ingin membuka aplikasi facebook nya demi menghindari pesan dari Pak Jaja yang meminta oleh-oleh darinya.
---
Hari demi hari berlalu tanpa panggilan bahkan pesan dari Julian. Rasanya sangat sepi meskipun banyak pesan yang masuk.
Sepanjang hari ia melakukan banyak aktivitas mulai dari bekerja, membantu Bibi An, hingga mengantarkan makanan untuk Ibu nya.
Demi baktinya kepada Ibunya, Kinan rela mengurangi jam istirahatnya. Meskipun Ibunya sama sekali tidak menyadari kehadirannya, ia selalu bersyukur dan bahagia bisa menemuinya setiap malam, Banyak perawat dan pekerja yang sudah mengenal Kinan, sehingga Kinan juga senang berada disana.
Akhir-akhir ini aktivitasnya seperti memang sudah terjadwal, yang ia lakukan sejak pagi hingga malam sama seperti biasanya.
Setiap malam sebelum tidur rasa nya ia mengakui pada dirinya sendiri jika ia sangat merindukan Julian. Beberapa kali ia mengirim pesan kepada Julian, namun tidak ada balasan apapun. Seingatnya terakhir kali bertemu, ia dan Julian baik-baik saja. Karena terlalu sering memikirkan hal itu, muncul sedikit rasa takut jika ia dan Julian perlahan akan menjadi asing.
Malam menunjukan pukul 9. Kinan baru saja sampai di kedai setelah bekerja seharian dan menjenguk Ibunya. akhir-akhir ini ia mendapatkan double shift karena belum ada yang bisa membantunya. Dengan lelah dan pegal di sekujur tubuhnya Kinan terus berjalan tanpa berhenti. Rasanya ia ingin langsung beristirahat.
Kedai nampak nya tutup lebih awal, biasanya pintu masih terbuka hingga pukul 10 malam. Kinan jadi mengkhawatirkan Bibi An yang menangani kedai sendiri semenjak ia mendapatkan double shift.
“Bi, Kinan pulang” ia berjalan menghampiri Bibi An sedang memasak.
“Bibi sudah siapkan teh untuk Kinan. Setelah minum, Kinan bawa bubur ini ke atas”
“Bibi mau makan diatas?”
Melihat Bibi An yang terburu-buru membuat Kinan sedikit bingung. Ia pun langsung menghabiskan teh yang sudah disiapkan dan langsung mengambil semangkuk bubur tersebut.
“Bukan untuk Bibi. Di atas ada Nak Julian. Dia sudah menunggu Kinan dari tadi, tapi Bibi lihat sepertinya sedang tidak sehat ternyata badannya panas dan bilang ke Bibi kalau kepalanya juga pusing. Jadi, Bibi antar Nak Julian ke atas untuk istirahat”
Mendengar penjelasan Bibi An membuat Kinan langsung bergegas ke atas untuk menemui Julian. Dan benar, terlihat Julian yang sudah tertidur disofa tua didepan meja tv. Setelah beberapa hari tidak bertemu, ia cukup terkejut mengetahui Julian berada dikedai tanpa menghubunginya terlebih dahulu.
Perlahan Kinan mulai membangunkan Julian untuk memakan bubur dan meminum obat yang sudah Bibi An belikan.
Meskipun kepalanya yang terasa sangat pusing, Julian pun bangun setelah mendengar suara Kinan. Ia lega akhirnya bisa bertemu dengan seseorang yang sudah sangat ia rindukan.
“Julian, bangun sebentar. Kamu harus makan bubur sama obat dulu”
“Ah, Aku ketiduran disini”
“Ga papa, kamu kan lagi sakit. Aku justru ga izinin kamu pulang sekarang. Malam ini kamu tidur disini dulu, lagian kamu juga bawa mobil”
Julian hanya mengangguki ucapan Kinan dan perlahan menyuap Bubur. Meskipun ia tidak merasakan apapun dan tidak memiliki nafsu untuk makan, ia tetap menghabiskan nya.
Setelah menelan 2 buah obat, Julian kembali ke posisi tidur. Kinan masuk ke kamarnya untuk mengambil selimut yang lebih tebal untuk Julian.
“Apa sebaiknya aku kasih kabar ke Papa kamu”
“Lebih baik ga usah. Papa udah terlalu sibuk untuk ngurus hal lain”
Mendengar ucapan Julian, Kinan sudah cukup mengerti dan tidak ingin membicarakannya lagi.
“Kalau akhir-akhir ini kamu sibuk, seharusnya kamu juga bisa jaga pola makan. Besok setelah pulang dari dokter, minta vitamin juga ya”
“Iya. Sebenernya tadi aku baru pulang dari Shanghai dan aku mau langsung nemuin kamu disini”
Di Shanghai, setiap malam rumah nya selalu dihadiri teman-teman Mama dan Papa nya sehingga ia pun terjaga hingga hampir pagi, disana mereka melakukan banyak hal. Namun tidak terasa tubuhnya memang sangat kelelahan.
Mereka berdua mengobrol untuk beberapa saat sampai akhirnya Julian benar-benar mengantuk dan tertidur lagi. Bibi An juga sepertinya sudah tidur di kamar nya. Kinan pun menyelimuti Julian lalu mematikan lampu dan masuk ke kamar nya untuk beristirahat juga.
Hari ini menjadi hari yang sangat dinantikan bagi Kinan, karena Julian menemuinya lagi. Namun ia juga khawatir akan kesehatan Julian. Saat tengah malam, Kinan terbangun karena terlalu memikirkan Julian. Ia pun keluar dari kamar nya untuk mengecek apakah badan Julian masih panas atau tidak. Ternyata sudah tidak sepanas tadi.
Dimalam yang sepi, Kinan terus terjaga dan duduk didekat Julian. Ia memperhatikan nya tanpa henti. Mungkin jika Ibunya disini, Julian akan lebih diperhatikan lagi segala aktivitasnya. Sekarang ia harus melihat pangeran beristirahat disebuah kedai dan terbaring disofa yang bahkan lebih panjang kakinya dari pada sofa tersebut.
Lagi-lagi ia memikirkan bagaimana cara mengendalikan perasaannya. Rasa nyaman nya kepada Julian mungkin sudah lebih dari rasa nyaman. Ia cukup menyadari bahwa ia bukanlah siapa-siapa yang bisa bersanding dengan Julian. Kebaikan Julian selama ini, ia sangat takut salah mengartikannya.
Jika nanti ia benar-benar mencintai Julian, ia berharap itu akan terjadi saat takdir benar-benar berpihak kepadanya.