Dengan wajah yang ditekuk lesu aku kembali berjalan kearah gedung yang bercat oranye dengan atap berbahan metal, aku menatap ke arah lapangan yang sekelilingnya ditutupi jaring dan beralaskan rumput sintetis.
Membosankan! Gerutuku, Aku duduk dideretan kursi paling pojok, berharap semua ini segera usai.
PRITTT! Jeritan dari benda plastik berwarna kuning yang dari tadi hanya menggantung dileher lelaki berpakaian serba hitam, Akhirnya.. Ray dengan wajah yang berseri menjabat setiap orang yang ada dilapangan dan tak lupa dia juga melambaikan tangan kepada orang-orang yang sedari tadi menasbihkan namanya dengan histeris. Kali ini pandangan Ray bertemu denganku, matanya menyorot dengan tajam sehingga siapapun yang ditatapnya akan jengah, dia telalu tampan, sampai aku harus berkali-kali merenung, apa aku pantas bersanding dengan dia?.
Fia! Serunya dengan tangan yang dibentuk hati, aku berusaha mengukir senyum termanis diwajahku. Ray, dia selalu tahu membuat wanita melayang tinggi mengudara dilangit ke tujuh. Hari ini tepat satu tahun aku menjadi gadis yang bergelar 'pacar Ray', Ray si bintang terang di jagat futsal meskipun aku harus berdebat dengan Lona, sahabatku.
***
Fia!! Please.. Ray itu gak baik! Oh god! Teriakan Lona siang tadi masih mengiang ditelingaku, apa yang salah dengan Ray?- aku berpikir keras untuk mencari jawaban itu, sialan! Ray selalu sempurna dimataku.
***
Fia, Ray itu pacarnya Kak Rima! Kamu dijadiin selingkuhan aja! Ucap Lona dengan gusar, Lona itu ibarat seorang ibu yang terlalu posesif dan khawatir pada anaknya, padahal ibuku tidak sampai seperti ini.
Ray sudah lama putus dengan Kak Rima, Dia sendiri yang bilang. Jawabku, dengan posisi membela Ray tentunya. Kadang aku bingung kenapa Lona sampai secerewet ini, dan sampai begitu bencinya kepada Ray.
***
Kamu jadian sama Ray?! Shit! Dia itu playboy, you know it! Bentak Lona tujuh ratus dua puluh jam yang lalu dikamarku dengan mata terbelalak, kaget.
Itu semua hanya beberapa dari sekian banyaknya serapah yang dilontarkan Lona tentang Ray, meskipun semua yang kudengar tentang Ray adalah hal-hal buruk tapi rasa suka dan cinta tetaplah sama, tidak memudar atau berkurang. Hanya saja, dengan perlahan keraguan muncul menggerogoti pikiran dan rasa, apa benar yang di katakan Lona? Selama ini Ray berbohong? Semua itu hanya membuatku meragukan isi hati Ray.
Dengan handuk kecil yang bertengger dibahunya dan sebotol minuman dingin digenggaman, Ray menghampiriku, dia keluar dari lapangan yang dikelilingi jaring.
Kamu kenapa fi? Tanyanya lembut, perlahan aku mendongakkan kepalaku, tinggiku hanya sampai dagunya. Dengan tatapan yang lembut dia dengan sabar menunggu jawaban.
Aku hanya ragu.. Gumamku lalu segera menunduk, aku tidak kuat untuk terus menatap mata gelap itu, Ray diam lalu aku mendengar suara helaan napas.
Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku tidak punya hubungan lain selain denganmu, ingat? Tampak nada kekesalan pada nada bicara Ray, tanpa basa-basi Ray berlalu dari hadapanku, pergi. Tiba-tiba ponselku berdering, Lona menelponku.
Fia! Teriaknya, ada apa Lona tiba-tiba menelpon. Disaat yang bersamaan aku melihat Ray berjalan kembali kearahku.
Iya Na! Ada apa? Tanyaku, tak biasanya Lona menelpon. Ray sudah berdiri dihadapanku tapi kali ini dengan wajah yang suram, Tak ada ukiran senyum, hanya Ray yang dingin.
Minggu depan Aku tunangan! Teriak Lona dengan riang.
Uh.. Selamat ya Lona!!! Eh.. Na, tunggu sebentar ya?. Aku menjauh kan ponsel dari telingaku, Ray berdeham.
Fi.. Gumamnya pelan, dia menundukkan kepalanya.
Ada apa Ray? Tanyaku, Ray kembali menatapku kini dengan sorotan keraguan, gelisah.
Hubungan ini harus berakhir. Gumamnya sangat pelan, aku terperangah, kaget. Rasanya tiba-tiba ada bom yang meledak tepat di hati, di tempat setiap rasa muncul.
Kenapa? Tanyaku, aku berusaha menutupi getaran di suaraku. Jangan menangis disini fia! -Gerutuku jengkel pada diriku sendiri.
Seharusnya aku tidak membuatmu singgah(Ray menggenggam tanganku lalu menuntunnya ketempat jantungnya berdetak), aku.. ada orang lain.. tapi cintaku lebih besar padamu, fia.. maafkan aku karena ke egoisanku ini. Gumam Ray terbata-bata, oke.. Ini sudah cukup, dan tanpa basa-basi aku pergi meninggalkan Ray di gedung itu, aku hanya ingin menjauh. Oh Astaga! Lona!!, aku melihat ke layar ponsel dan ternyata Lona belum menutup teleponnya, sialan!.
Halo.. Lona?!. Aku mendengar suara dengusan, Seharusnya Lona menutup teleponnya, dasar bodoh!.
Iya.. Kau sangat lama. Keluh Lona, dengan langkah yang cepat aku segera menuju tempat parkir, masuk kedalam mobil kemudian pergi dari tempat ini. Laki-laki datang dan pergi dengan sesuka hati mereka, dasar bodoh! tolol! Kenapa aku tidak mendengarkan Lona?! sialan!!.
Halo.. Fia? Fia?! Kau masih disitu?!. Teriakan Lona membuatku kembali dari sekelebat lamunan bersama Ray, menyedihkan.
I.. Iya. Aku tergagap, ah! sialan! Kenapa aku harus menangis? Ray si brengsek itu akan menyeringai dengan seringaian jahatnya jika tahu aku menangis karena dia.
Kau baik-baik saja?. Tanya Lona khawatir, seharusnya aku menyuruh Lona menutup telepon, sekarang ini aku malas untuk berbicara. Oh iya! Lona tunangan dengan siapa? Aku bahkan tidak tahu selama ini dia pacaran dengan siapa?.
I'm okay Lona, thanks dan (hening sejenak) kamu itu bertunangan dengan siapa? Aku bahkan mengira selama ini kamu tidak memiliki pacar. Terdengar suara kekehan Lona, dengan perlahan aku mengeluarkan mobilku dari tempat parkir, dari sini aku dapat melihar Ray sedang memperhatikanku dari depan gedung, masih dengan tatapan elangnya yang selalu membuat jengah.
Haha.. Kau benar, selama ini aku tidak punya pacar. Nada bicara Lona menggantung,
Aku di jodohkan, dan orang itu (Lona diam, kemudian terdengar suara dehaman) nanti lihat saja dikartu undangan tunangannya. Gumam Lona tetapi bukan dengan suara cerianya, dia berbicara sangat serius, sepertinya dia menua dua puluh tahun lebih cepat dariku.
Baiklah, akan aku tunggu undangan itu. Gumamku. Kenapa Lona merahasiakannya? Ini sangat aneh karena bisanya Lona itu super terbuka.
Emm.. Fia?. Gumam Lona kembali, sepertinya dia akan mengakhiri teleponnya, syukurlah, aku sedang malas berbicara.
Ya? Gumamku,
Kau harus berjanji padaku kau akan hadir di acara tunanganku. Gumam Lona serius.
Tentu saja, tanpa berjanji pun aku memang akan datang. Aku mengernyit, ada apa dengan Lona? Ini bukan Lona yang aku kenal.
Berjanjilah!. Serunya, kenapa aku sampai harus berjanji? Memangnya dia akan bertunangan dengan siapa sampai-sampai aku harus berjanji.
Baik-baik! Aku berjanji akan hadir ke acara pertunanganmu. Terdengar suara hembusan napas lega, Lona benar-benar aneh hari ini, dia tidak menampakkan diri di kampus dan sekarang dia bilang mau bertunangan.
Hem.. Nanti undangannya menyusul, dan dress codenya gaun berwarna abu-abu, Bye fia!. Kemudian terdengar suara putusnya sambungan telepon, mungkin sekarang aku harus segera berbelanja. Yups! Shopping mampu memperbaiki mood!. Dengan cepat aku menginjak pedal gas dan meluncurkan mobilku ke sebuah boutique langganan, hari ini terasa sangat berat.
Dentingan bel berbunyi di minggu pagi yang cerah, ibu berjalan ke arah pintu, aku sedari tadi hanya duduk santai di depan televisi sambil menonton kartun favoritku, untuk seorang mahasiswi kedokteran semester terakhir sebenarnya ini sangat tidak pantas, menonton kartun di hari minggu layaknya bocah berumur lima tahun dengan permen lolipop digenggaman, betapa menyedihkannya aku ini sementara Lona sibuk untuk persiapan tunangan.
Fia! Ini ada undangan tunangan Lona! Teriak ibu, dengan cepat aku menyambar undangan itu dari tangan ibu. Undangan itu dibungkus kain sutra berwarna abu-abu, dengan perlahan aku melepas kain yang menutupi kertas tebal mirip karton berwarna maroon, dicetak dengan tinta berwarna perak dengan taburan glitter, Ray Pratama dan Lona Agatha. Aku terhenyak, tubuhku terasa membeku, Lona dan Ray tunangan?! Tunangan?!. Kenapa Tuhan selalu memberi jalan yang rumit dan berbelit? Kenapa Ray pernah singgah dihatiku kalau akhirnya malah dengan Lona.
Gemerlap cahaya lampu-lampu kota menerangi malam yang gelap. Aku berjalan ke arah pintu utama dengan ragu, apa aku siap?- pertanyaan bodoh yang muncul ketika semua tantangan sudah didepan mata, adrenalinku terpacu layaknya saat aku harus melompat dari pesawat untuk terjun payung.
Fia!! Seru Revan dari belakang, Revan adalah sahabat Ray, aku melambaikan tanganku padanya. Revan terlihat berbeda dengan balutan tuxedo mahal berwarna maroon, biasanya dia memakai t-shirt dan celana jeans lusuh atau jersey futsalnya.
Wow! Kamu terlihat makin cantik, sungguh! Seharusnya kamu lebih sering memakai pakaian seperti ini. Gumam Revan, aku hanya tersenyum. Aku dan Revan sebenarnya datang terlambat, kami sudah ketinggalan acara ceremonialnya dan sekarang tinggal acara terakhir, ucapan selamat dari para tamu.
Sekarang Ray ada dihadapanku, dia tampak gugup dan aku pun sama, kami berjabat tangan dan ini sangat berat bagiku, kemudian aku berjalan ke arah Lona, dia memelukku erat.
Maafkan aku. Gumam Lona, Aku menggelengkan kepalaku.
Seharusnya aku yang meminta maaf. Tetesan air mata bergulir, Ini sangat sulit bagiku. Tiba-tiba dari balik keriuhan malam seseorang yang hanya nampak siluetnya saja mengarahkan senjata api kepada Lona dan DWAR!! ledakan terdengar dengan reflek aku mendorong tubuh Lona hingga terjatuh dan sesuatu melesat seperti meteor dan tertanam dalam diantara tulang rusukku, gaunku mulai dipenuhi darah, jerit dan panik memenuhi ruangan. Siluet orang tadi sudah menghilang,
Fia!! Terdengar jerit dari orang-orang yang mengenalku, tubuhku terkulai lemas dipangkuan Revan.
Jalan Tuhan itu aneh. Gumamku dengan senyum samar, jika aku masih hidup Lona dan/atau aku akan selalu merasa tersiksa. Terima kasih Tuhan karena telah memilih ku untuk pergi kesisi-Mu, bukan Lona, Ray memang untuk Lona, pikirku untuk yang terakhir sebelum semua berganti menjadi layar hitam.