Sekarang gue dan Raka sudah berada di atap gedung sekolah. Gue tidak tahu apa yang akan dia katakan. Mungkin dia khawatir melihat gue yang terlihat sakit. Atau mungkin dia mau membahas pesta kejutan kemarin dan meminta maaf sama gue. Entahlah!
“jidat lo panas, apa lo sakit?” tiba-tiba Raka membuka pembicaraan.
“apa itu yang mau lo bilang?” gue berharap ada hal lain yang ingin dia katakan.
“ini, ambil!” Raka menyodorkan kado yang gue simpan di kamarnya.
“hah..............?” gue benar-benar bingung.
“gue mau kita putus.”
Raka mengatakan hal yang mengerikan tanpa melihat ke arah gue sedikitpun. Sementara gue masih shock dengan apa yang gue dengar. Rasanya waktu berhenti dan air mata gue mulai membasahi pipi gue.
“ke..na..pa...?” suara gue hampir tidak terdengar, gua bahkan tidak punya tenaga rasanya untuk mengatakan sesuatu.
“gue rasa kita udah terlalu lama ngejalin hubungan ini, gue udah bosen”
Kata yang keluar dari mulut Raka kali ini seolah mendatangkan guntur setelah petir. Air mata gue masih terus mengalir di pipi gue.
“karena kita udah putus, jadi ambil ini!” Raka kembali menyodorkan kado yang gue berikan padanya kemarin.
Akhirnya gue mencoba menguatkan diri gue. Memejamkan mata gue dan mengambil nafas panjang.
“kenapa?” gue bertanya lagi dengan suara yang lebih kuat.
“gue bosen, apa itu belum jelas buat lo?”
“kenapa bisa lo ngomong kayak gitu?”
Raka memalingkan wajahnya, menatap jauh ke arah langit. Tidak memberikan jawaban apapun.
“apa gue ada salah?” pertanyaan klise yang sering diajukan oleh seseorang yang tidak ingin diputuskan oleh pacarnya. Namun Raka masih diam dan belum menatap gue.
“gue mencoba jujur, dan lo tau sendiri kan bukan lo satu-satunya cewek gue. Pengorbanan lo buat gue tadi malem, nunjukin kalo lo terlalu serius sama hubungan yang lo tau sendiri cuman main-main.”
Gue terdiam mendengar jawaban Raka yang terdengar menyakitkan itu. Dan saat itulah air mata gue kembali mengalir. Benar-benar tak tertahankan.
..........................
Entah berapa lama gue dan Raka diam saling behadapan di atap gedung. Karena gue sudah mendengar suara bel masuk istirahat berbunyi. Dan pada akhirnya tangisan gue berhenti juga. Gue kembali mengambil nafas panjang.
“ok, gue bisa terima apapun keputusan lo. Ok, kita putus.”
Raka terlihat akan menyodorkan kembali kado dari gue.
“ngga papa, itukan kado buat lo terlepas lo cowok gue atau bukan. Mana bisa lo balikin lagi ke gue. Anggap aja itu barang kenangan dari gue. Seenggaknya gue bisa liat lo pake jaket itu, gue pasti seneng.” Gue mencoba tersenyum, tapi air mata gue membasahi pipi gue lagi. “maaf, gue ga bisa nahan perasaan gue.” Gue membalikan badan gue dan mengusap air mata gue.
Tapi tiba-tiba Raka menghampiri gue dan menepuk pundak gue. Saat itu juga gue menangis semakin menjadi. Dan ingin sekali rasanya gue membalikan badan gue dan memeluk Raka. Namun keinginan itu tidak mungkin gue lakukan. Gue sadar kalo Raka sudah tidak bersimpati lagi pada gue. Gue semkin menangis ketika memikirkan hal itu.
“gue ga akan terlalu berharap, tapi kalo bisa kita kayak dulu lagi. Jadi temen kayak biasanya.”
"kalo lo pikir kita bisa jadi temen lagi, gue ga bisa." gue menutupi wajah gue dengan kedua tangan gue.