Aroma coklat itu menari-nari di depan hidung pesek Lan-lan. Matanya yang bulat menyala seolah kerinduan yang sekian lama akan aroma coklat bercampur tepung dan kentang itu membangkitkannya dari kubur.
Matanya menimbang penuh pikiran berat. Diliriknya Peter yang duduk menatapnya. Lalu, tatapan beralih ke sesuatu yang sangat sakral. Yang sekarang berada di tangannya. Rindunya membuncah. Bukan hanya pada aroma, namun rasa kue yang sekian lama tidak dicicipi lagi hingga ia merasa lupa. Ingatan itu , terpendam di dalam kotak Pandora.
Ada rasa takut ketika perlahan bibirnya ingin menyentuh donat. Tekstur lembut terlihat di permukaan yang telah tertutup topping coklat. Pipi Lan-lan mulai menarik garis yang signifikan pada wajahnya. Sehingga pipinya yang chubby dan kenyal itu membentuk gumpalan padat, seolah donat. Ya, itulah gelarnya dahulu.
Perlahan, dibunuhnya rasa takut. Katupan penuh semangat dimulai dari gigi depannya yang nampak tidak rata. Donat itu pun dilahap.
“Kamu yakin Lan-lan?” Peter khawatir. Kedua tangannya mengepal erat. Peluhnya menitik sedikit di pelipis.
Lan-lan hanya memandang Peter syahdu. Ia begitu menikmati momen mengunyah empuknya kue donat yang telah lama menjadi larangan bagi dirinya.
Mata bulat itu sesekali menutup penuh makna. Ia hanyut. Ia terpaku akan rasa yang telah lama dirindukan.
Entah, terkadang Lan-lan membenci Ibunya sendiri yang memberikan larangan konyol sampai usianya menginjak dewasa. Bahkan, yang menyebalkan lagi, ia benci dirinya sendiri yang begitu ketakutan dan mengikuti larangan itu hingga saat ini.
Peter memperhatikan sisa kue di tangan Lan-lan. Buru-buru tangannya dengan cekatan mengambil sisanya. Kemudian dengan cepat memasukkan ke dalam mulut.
“Pet…” Lan-lan kaget.
“Kamu jangan makan semuanya. Ingat apa kata Ibumu.” Peter mengingatkan.
“Tapi, aku sedang menikmatinya Pet…” Ingin rasanya Lan-lan memukul pundak Peter dengan keras. Ia benar-benar marah. Kenikmatannya terganggu oleh ulah Peter.
Satu donat coklat itu pun habis oleh mereka berdua.
Taman itu pun hening. Hanya pohon di depan mereka duduk, menari dengan berat. Angin bertiup kencang. Namun, karena kokohnya batang pohon, angin hanya menerbangkan helai daun yang memang rapuh dan tua.
Mereka menatap dedaunan yang jatuh. Sejenak terdiam. Angin tetap berembus dengan semaunya. Daun-daun terbang tidak tentu arah.
Rambut Lan-lan yang panjang tanpa kucir sesekali menutupi wajah ovalnya. Tangan Peter merapikan rambut Lan-lan ke belakang. Mengatur kembali posisinya, namun tetap saja angin memporakporandakan tampilan Lan-lan sore itu.
“Pet, kamu ingat kata yang aku tuliskan untukmu waktu itu?
“Yang mana, kamu kan banyak nulisnya?” Tanya Pet sambil tersenyum. Bibir tipisnya membentuk garis bagai pelangi. Mata Peter menerawang, walau ia sendiri menunggu Lan-lan yang menjelaskan.
“Kata yang aku tulis saat galau, karena ibu melarangku makan donat untuk selamanya” Lan-lan menghentakkan ujung sepatu ke tanah. Ada rasa kesal tercurah dari dalam ingatan hingga mengalir ke seluruh tubuh dan berhenti di ujung sepatu.
Hold on for second ‘till I was recovered.
Kata-kata itu meluncur lemah dari bibir Lan-lan. Peter melihatnya dengan rasa pedih. Ia tahu, Lan-lan begitu menderitanya sekian lama. Peter satu-satunya tempat Lan-lan mencurahkan seluruh kekesalannya. Bahkan hingga mereka beranjak dewasa. Terkadang Peter bingung menempatkan Lan-lan sebagai apa. Teman, saudara, atau kekasih?
Orang sekitar menjadi bingung dengan kegalauan seseorang. Jangankan orang di sekitar, diri sendiri pun lebih bingung dengan semua sikap dan perilaku. Maka, jangan buat simpulan tentangnya kala itu.
Tulisan itu pernah ditujukan Lan-lan kepada Peter. Agar Peter tidak membuat simpulan apa-apa tentang sikap Lan-lan yang terkadang berubah-ubah. Peter membenarkan posisi duduknya, lebih merapat pada Lan-lan. Peter merangkul Lan-lan dengan hangat.
Lan-lan menangis. Ada bulir-bulir air mata jatuh. Mata yang selalu dan terbiasa dengan kesedihan. Seolah keduanya adalah teman akrab. Peter menyeka air mata Lan-lan.
“Kau tahu, aku selalu ada mendengarkanmu. Dan mengapa aku berani membawa satu kue donat kiriman ibumu itu, minimal kamu dapat melihat kue buatan ibumu. Atau setidaknya meluapkan rasa rindumu pada satu-satunya kue kesukaanmu,” Peter meneruskan katanya tanpa melepaskan pelukan.
“Tapi, aku berharap kamu tidak melanggar larangannya tadi Lan-lan. Aku benar-benar khawatir saat ini. Apa yang akan terjadi jika kamu memakan kue buatan ibumu sendiri?”
“Makanya, sisa donat tadi aku makan. Agar tidak seutuhnya atau semuanya kamu yang makan.” Lanjut Peter.
“Ibu tidak pernah menjelaskan apa-apa, dan apa akibatnya jika aku memakan kue buatannya. Ah, biarkan sajalah. Kita lupakan saja hal ini,” Lan-lan menegakkan kepalanya dan melepaskan diri dari pelukan Peter. Seolah beban di pundaknya hilang. Ia memandang lurus ke depan. Jakarta begitu indah sore itu.
Taman Suropati ramai seperti biasanya. Lan-lan dan Peter mengambil posisi duduk yang memang menjadi laluan orang-orang. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Lan-lan dengan mata sembabnya mencuri perhatian. Selain itu, ia juga menarik untuk diperhatikan secara fisik. Mata bulat dengan kulit putih bersih yang terpapar cahaya sore itu sungguh karya Tuhan yang indah. Dandanan sederhana anak muda milenial dengan sepatu oxford hitam nan elegan kontras dengan kakinya yang putih dan jenjang untuk ukuran perempuan pendek. Ya, Lan-lan adalah perempuan pendek, dengan tinggi 150-an sentimeter. Baju dress yang dikenakan pun sungguh simpel, hanya dress berbahan tisu dengan panjang sebatas lutut. Baju dress warna hitam itu pun menampilkan bagian diri Lan-lan yang lain untuk diperhatikan yaitu mukanya. Muka dengan aura biru bercahaya persis seperti arti namanya Lan.
Selain memperhatikan Lan-lan, beberapa orang yang berlalu pun memperhatikan Peter. Pemuda tampan itu bermata biru. Ya, Peter adalah anak keturunan Amerika-Indonesia. Rambutnya ikal berwarna kuning keemasan, menjadi perhatian banyak orang yang lewat. Hidungnya bangir. Pakaian yang dikenakan Peter hari itu pun sangat simpel. Ia mengenakan celana jeans pendek dengan sandal jepit. Namun, di Indonesia, namanya bule tetap saja menarik, walaupun hanya menggunakan sandal jepit. Kaos oblong berwarna terang menaikkan gradasi warna kulit Peter. Ransel penuh perlengkapan nampak menyandar di samping kursi di mana mereka duduk. Sedangkan Lan-lan menggunakan tas kecil bermerk Charles & Keith, yang tergeletak tepat di sampingnya.
“Ya, kamu harus melupakan ini dan aku minta maaf karena membawakan kamu kue donat itu. Aku hanya berusaha menghibur. Semoga tidak terjadi apa-apa Lan-lan” tangan Peter mengelus dan mengacak rambut Lan-lan. Lan-lan pun tersenyum mengiakan perkataan Peter. Bagaimana pun, ia berharap tidak akan ada apa-apa. Tidak ada hal yang menakutkan seperti dugaan ibunya.
***
Malam selalu datang tepat waktu. Bercerita tentang detik yang diberikan Tuhan. Begitu juga malam di Jakarta. Lan-lan masih bersantai di apartemennya. Menonton tayangan televisi di kamar. Sesekali Lan-lan gelisah namun pandangannya tidak henti melihat tayangan komedi di televisi. Kemudian tertawa sendiri, serupa orang bahagia namun berselimut awan kekhawatiran.
“Lan-lan, apa pun yang terjadi, jangan pernah memakan kue donat buatan ibu ya… jangan pernah sekalipun nak. Ini yang terakhir ya…” Ingatan Lan-lan akan kata-kata Ibunya itu berbisik lembut dalam relung hati.
Malam yang kian larut itu, membuat Lan-lan teringat akan nikmatnya kue donat dengan topping coklat. Salah satu varian donat di toko kue milik ibunya. Toko itu adalah legenda toko kue di kota kelahiran Lan-lan. Toko kue donat paling nikmat dan laris.
Karena larangan ibunya, lalu, hingga saat ini Lan-lan benar-benar berhenti makan kue donat. Berhenti total, sampai dengan Peter membawakannya satu kue donat sore tadi.
“Ah, tidak akan ada apa-apa, mengapa harus mempercayai hal aneh yang diucapkan Ibu” pikir Lan-lan. Kemudian Lan-lan memilih tidur lebih awal dari biasanya.
Kriinggg…. Kriinggg…
Ponsel Lan-lan berbunyi.
Tangannya meraba ponsel yang tidak jauh dari bantal kepala. Tanpa melihat nama yang menelepon, Lan-lan menyentuh tombol menerima.
“Lan-lan… kamu bagaimana?” Suara Peter cemas dan takut di seberang sana.
“Bagaimana apa? Aku baru saja kamu bangunkan ini” jawab Lan-lan singkat, karena kesadarannya belum sepenuhnya utuh.
“Lan-lan, aku berubah Lan-lan…,” Peter teriak histeris.
“Lan-lan, aku…aku… berubah Lan-lan… Lan-lan… Lan-lan kamu bagaimana? Ah, gila! Rupaku berubah ini Lan-lan…” Peter berbicara tidak terkendali dan terbata-bata.
“Berubah bagaimana, kamu ngomong yang jelas dong,” Lan-lan beranjak dari tempat tidurnya. Masih dengan ponsel di telinga, sekilas ia melihat dirinya di cermin kamar.
“Peter… aku kenapa ini…? Peter… Pet” Lan-lan melongo, tidak percaya melihat dirinya sendiri, begitu pun suasana di sekelilingnya.
Ponsel Lan-lan jatuh seketika.
Wah menarik... Ditunggu kelanjutan ceritanya ????
Comment on chapter Aroma Mark