SURAT CINTA KASIH
Oleh : Dear.vira
Gadis berlesung pipi itu dipanggil Kasih. Kehadirannya cukup familiar di SMA kami. Berbekal kecerdasan dan sosialisme tinggi, Kasih kerap menjadi bahan perbincangan setiap pagi hingga siang hari. Seperti kemarin, temanku, Panji mulai gencar memonitor Kasih dimanapun gadis itu berada. Panji tau persis jika Senin, Rabu, dan Kamis merupakan jadwal rutin Kasih berkumpul di kantin dengan teman-temannya pada jam istirahat. Selain tiga hari itu, Kasih kerap menghabiskan waktu istirahatnya di gedung OSIS, kecuali Minggu. Menurut Panji, Kasih adalah gadis langka yang tidak boleh disia-siakan. Kasih harus selalu memiliki pemantau khusus kemanapun ia pergi. Kasih adalah gadis incarannya. Sayangnya, tak ada posisi khusus bagi Panji di hati Kasih karena Panji belum juga mantap mengutarakan isi hatinya.
“Kasih punya banyak teman laki-laki, Wa. Mana mau dia sama laki-laki kuper sepertiku,” Panji menggaruk-garuk kepala setelah sekian kali mengucapkan hal yang sama.
“Kamu bisanya mengeluh, coba buktikan dulu. Mana tau doi juga naksir kamu” Balasku.
“Bicara sih enak. Aku yang nggak sanggup nanggung malu kalau ditolak” Ucap Panji menunjuki wajahnya.
Aku tertawa cekikikan. “Kalau gagal ya coba lagi. Itu artinya usahamu belum matang, Ji”.
“Ah, benar juga, Ya. Kasih pasti bangga ada laki-laki yang tidak gampang menyerah sepertiku..” Mata Panji berbinar.
“Masalahnya, dia siap nggak bicara sama kamu yang rada nggak nyambung?”
Wajah Panji memerah. Tangannya buru-buru menjitak kepalaku dan ku balas hingga pembicaraan yang seharusnya serius itu berubah menjadi lelucon.
Pernah suatu ketika kami akan menghadapi ulangan Biologi, Panji kehilangan catatannya. Pemberitahuan telah dibuat seminggu sebelumnya, namun sikap Panji yang acuh tak acuh dan selalu mengerjakan sesuatu terburu-buru membuat ia lupa dimana meninggalkan catatan itu. Laki-laki itu telah berputar-putar di kawasan sekolah, tempat terakhir ia membawanya dan hasilnya nihil.
Panji putus asa. Pasrah dengan yang akan ia terima ketika Pak Fuji akan memerintahkan seluruh siswa mengumpulkan catatan mereka.
“Lain kali, catatanmu dibuang saja, Ji” Ledekku. Panji memukul jidatnya.
“Seingatku, buku itu tadi memang di kantong celanaku ini, Wa” Aku tau persis kebiasaannya menggulung setiap buku tipis berisi coretan penting itu lalu memasukkannya ke saku celana.
Beberapa menit kemudian, seorang Guru Biologi berwajah garang dengan sebuah buku ratusan lembar dan rol kayu panjang memasuki ruangan. Keringat dingin mulai bercucuran di kening Panji.
“Maaf, Pak. Boleh saya masuk?” Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kami kepada dua gadis asing di luar sana. Pak Fuji mengangguk. Kasih bersama Ine berjalan beriringan menghadap Pak Fuji. Aku menarik-narik lengan baju Panji yang menunduk. Parahnya dia tidak juga mengalihkan pandangan pada manusia yang ku maksud.
“Panji Michello?” Tanya Kasih. Matanya mencari-cari seseorang dengan nama itu. Beberapa pasang mata menatap Panji, termasuk dirinya yang mematung tak percaya bahwa yang memanggil tadi adalah gadis berlesung pipi itu.
“Tadi aku menemukan buku ini di bawah pohon nangka di samping kantin” Lanjutnya, menyodorkan buku yang dari tadi dicari oleh Panji. Panji terpukau tanpa melakukan kewajiban berterima kasih pada seseorang yang telah menyelamatkan separuh nyawanya. Terpaksa aku yang menerima buku itu hingga Kasih beranjak pergi. Panji yang menyadari kepergian Kasih pun cepat-cepat mengejar gadis itu.
“Kasih!” Gadis itu menoleh
“Terima kasih, Ya” Lanjutnya dan dibalas dengan senyuman tulus oleh Kasih. Panji segera menempelkan telapak tangannya ke depan dada. Memastikan degup jantungnya masih normal atau lima kali lebih cepat dari sebelumnya. Sejak saat itulah dia sadar bahwa kondisi mentalnya telah abnormal. Sekembalinya ke kelas, dia malah mencium tangan Pak Fuji disaat semua siswa sedang serius mengerjakan ulangan. Sejurus kemudian, Pak Fuji memerintahkan remaja yang sedang berbunga itu untuk berdiri sebelah kaki selama setengah jam.
Semenjak kejadian bersejarah itu, Panji jadi sering meninggalkan barang-barangnya di tempat yang sering dikunjungi Kasih pada jam istirahat. Seperti buku catatan matematika di bawah pohon cemara, headset bertuliskan nama Panji, pas fotonya berukuran 3x4 cm , dan hal bodoh lain dengan tujuan Kasih akan melakukan hal yang sama seperti yang terjadi pada catatan Biologinya kemarin itu. Sayangnya, yang mengembalikan barang-barang itu bukan lagi Kasih. Namun gadis lain yang juga sekelas dengan Kasih atau siswa lain yang kebetulan menemukannya.
Panji terduduk lesu. Membayangkan usahanya sia-sia. Satu lagi harapannya, kunci motor yang nekat ia tinggalkan di kolong meja Kasih. Setengah jam ia menunggu di parkiran, yakin benar gadis itu pasti akan iba bila tidak menemui dan mengembalikan kunci motornya.
“Panji!” Panggil seorang gadis. Panji buru-buru menoleh. Yang datang juga bukan diharapkan. Gadis lain yang sekelas dengan Kasih.
“Kamu suka ya, menaruh barang asal-asalan. Kunci motornya dibuang aja ke sungai!” Kata gadis itu sambil menyodorkan kunci motor panji. Panji tertawa renyah.
“By the way, terima kasih ya udah antarin” Ucap Panji.
Gadis itu tertunduk malu. Matanya mencuri pandang pada Panji.
“Namaku Tania. Tadi kunci motormu tinggal di laci meja Kasih. Awalnya sih dia yang mau mengembalikan, tapi karena aku juga kebetulan mau ke parkiran, ya dia titip sama aku” Jelasnya lagi. Panji baru merasa rencananya akan berhasil.
“Ooh gitu. Sekali lagi terima kasih ya Tania. Kalo nggak ada kamu, mungkin aku udah ngesot ke rumah”.
Tania tertawa geli. Gadis ini nasibnya hampir sama dengan Panji. Tidak terlalu terkenal layaknya Kasih. Rambutnya yang hanya dihiasi dengan sebuah penjepit rambut saja telah membuatnya terlihat begitu sederhana. Panji dan Tania berbincang-bincang kecil tentang keadaan kelas masing-masing. Sebelum pulang, Tania menyempatkan meminta id Line Panji dengan alasan ingin lebih dekat. Seminggu kemudian Tania memfollow instagram dan Path milik Panji hasil dari keingintahuannya yang besar tentang laki-laki itu.
“Tania mungkin suka padamu.” Godaku
“Ah, mana mungkin. Kami hanya berteman, kok.” Ucap Panji santai.
“Setau aku nggak ada pertemanan spesial antara cewek dan cowok. Yang like semua pemberitahuan social media mu dari zaman purba, ngajakin dinner, sampai memberi perhatian tiap saat itu, masih kamu bilang teman?” Sindirku lagi. Panji berpikir lama.
“Ia juga ya, Wa? Ah, tapi kalau pun dia suka sama aku, tetap tak bisa. Aku milik Kasih seorang”.
“Memangnya Kasih pernah bilang seperti itu? Kapan?” Aku tertawa merendahkan.
Sedetik kemudian Panji memukulkan bukunya di kepalaku sementara aku hanya geleng-geleng kepala dengan tingkahnya.
***
“Tari, golongan darahmu apa?” Tanya Kasih di koridor depan Laboratorium Kimia. Aku dan Panji baru saja selesai praktikum.
“A. Mengapa memangnya?” Jawab Tari. Kasih tersenyum berat.
“Tidak. Cuma tanya saja”. Gadis itu berlalu pergi.
“Deni, boleh tau golongan darahmu?” Tanya Kasih, kali ini pada Deni, si kutu buku di kelas kami. Jawaban Deni juga membuat wajahnya murung. Tak menyerah, setiap teman sekelas kami yang baru keluar dari ruang praktikum pasti dicegat oleh Kasih dengan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi tak ada jawaban yang memuaskan hatinya. Kali ini wajahnya pasrah. Ia berjalan pelan. Duduk di atas bangku kosong di depan lab. Merenungi sesuatu yang entah apa.
Panji yang mendapati pujaan hatinya yang bermuram durja itu tak sampai hati. Memaksa mentalnya untuk sekedar berani menyapa gadis itu dan membantu senyumnya merekah lagi.
“Aku harus membantu dia, Wa!” Panji berjalan mantap. Aku mencegatnya
“Kamu yakin?”
“Makanya, temani aku, sini”. Panji menarik tanganku dan sesaat kemudian kami duduk di bangku yang sama dengan gadis itu. Dia tak menoleh. Memandang hampa pada bunga bougenville yang berjarak lima meter di depannya. Aku dan Panji menghabiskan waktu tiga menit untuk tawar menawar siapa yang akan menyapa lebih dulu. Tak ada yang mau mengalah. Hingga pada akhirnya, Kasih menyadari kehadiran kami dan mulai memasang senyum terpaksa.
“Hei Ka... Kasih!” Sapa Panji. Aku ikut mengangguk ramah.
“Hei Dewa” Jawabnya.
Aku dan Panji saling berpandangan. Mengapa namaku yang menjadi jawaban atas sapaan dari Panji?
Kasih menyadari keganjilan dari wajah kami.
“Eh, maksudku, Hai...” Gadis itu berpikir keras mengingat nama laki-laki yang menyapanya itu. Atau sama sekali belum ia kenal namanya.
“Panji.” Ucap Panji. Keadaan seketika kikuk. Tiap-tiap kami berusaha menepisnya dengan tawa terpaksa.
“Aku dengar, kamu sedang mencari golongan darah?” Tanya Panji.
“Iya. Aku butuh golongan darah AB untuk kakakku yang Thallasemia. Di rumah sakit stok darahnya udah habis. Aku udah coba tanya hampir ke semua anak-anak, tapi cuma beberapa yang punya golongan itu. Malangnya, nggak ada dari mereka yang bersedia menyumbang” Jelas Kasih. Wajahnya kembali murung.
“Kasian juga ya. Tapi golongan darahku bukan AB. Kalo enggak udah pasti...” Ucapku.
“Aku AB. Aku bersedia mendonorkan darahku, kapanpun kamu mau” Potong Panji.
Wajah Kasih berbinar. Dengan cepat diraihnya tangan Panji dan menggenggam dengan kedua tangannya betapa dia sangat berterima kasih pada laki-laki itu. Mata Kasih menatap Panji penuh harap sementara yang ditatap bukan main senangnya dapat memulai sesuatu yang selama ini hanya menjadi bunga mimpi.
Setelah memulai perbincangan yang berlanjut pada kedermawanan mendonorkan darahnya, Panji dan Kasih menjadi semakin dekat. Tak ada lagi perasaan canggung diantara Panji maupun Kasih. Keduanya bahkan kerap terlihat jalan berdua di sela jam istirahat. Kalau dulu Panji yang selalu membuntuti Kasih kemanapun gadis itu pergi, Kini dia jalan berdampingan dengan pujaan hatinya itu hingga beredar gosip bahwa mereka memiliki hubungan spesial.
Semenjak saat itu, tak ada situasi yang menyempatkan aku dan Panji untuk berkelakar bersama kecuali di kelas. Sikapnya pada Tania juga berubah, gadis berpenampilan sederhana itu sering curhat padaku tentang perubahan Panji akhir-akhir ini. Seperti menangggapi gosip hubungan Panji dan Kasih, dan alasan Panji sudah jarang membalas pesan-pesan singkatnya di social media. Akhirnya, aku menjadi sarana bagi Tania menyampaikan kekesalannya pada Panji.
Puncak dari teka-teki itu pada suatu hari. Tepat pada acara ulang tahun Tania yang bertema tukar surat pada siapa saja yang disukai. Panji dan Kasih juga menjadi tamu istimewa dalam pesta itu. Pulangnya, Panji berteriak memangil-manggilku seperti ada hal penting yang akan ia sampaikan.
“Wa! Kamu harus tau. Lihat nih!” Katanya padaku yang masih berbalut handuk selepas mandi.
Dua amplop merah jambu di tangan sebelah kanan dan kirinya.
“Dari siapa?” Aku meraih dua amplop itu namun Panji menariknya kembali.
“Yang sebelah kanan dari Kasih, dan sebelah kiri dari Tania!”
Aku terperangah. Bagaimana mungkin dua surat itu bisa sampai di tangannya pada waktu yang sama?
“Kira-kira isinya apa, ya?” Tanya Panji.
“Udah pasti yang dari Tania tentang isi hatinya bahwa dia mencintaimu. Kalau dari Kasih, ya, mungkin juga sama”
Panji tertawa geli. Menghempaskan tubuhnya pada kasur. Senyum-senyum sendiri sambil mencium surat yang di tangan kanannya. Surat dari Kasih, sementara milik Tania digenggam layaknya memegang kertas hasil ujian. Pelan-pelan ia membuka surat dari Tania dan membacanya besar-besar sambil senyum – senyum sendiri.
“Bro, Tania suka sama aku!” Serunya bangga. Aku juga ikut tertawa.
“Giliran surat dari Kasih, Nih. Kamu jangan iri, memang laki-laki sepertiku ini langka. Banyak yang naksir. Dia pasti bilang kalau dia sudah lama menyukaiku. Ah, Kasih. Sudah pasti kujadikan kau pacarku” Lanjutnya sesekali mencium surat dari Kasih.
Panji mulai membaca surat itu. Aku tak banyak berkomentar. Mulutnya bungkam. Matanya naik turun, kanan dan kiri bergantian. Sejenak kemudian surat itu jatuh melambai dari tangannya. Kepalanya menunduk.
“Kasih bilang apa, Ji? Benar dia naksir kamu?” Tanyaku penasaran.
Sahabatku itu menggeleng. Tetap bungkam. Aku membaca sesuatu yang tidak beres dari wajahnya. Kuraih surat itu dan mulai membacanya seperti yang dilakukan Panji. Semenit kemudian aku terhenyak.
Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu di luar dugaan kami. Antara Panji dan kasih, termasuk diriku. Surat itu menyampaikan ungkapan tak langsung dari pemiliknya bahwa Kasih menjadikan Panji sebagai sahabatnya dan telah jatuh hati pada seseorang bernama Dewa sejak pertama kali melihatnya. Kasih menyukaiku. Tak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa gadis ini seringkali mencuri pandang padaku seperti yang tertera dalam suratnya. Sendi-sendiku terasa ngilu. Aku mendekat pada Panji, dan duduk disampingnya sambil merangkul bahu karibku itu. Kami saling bertatapan dang menggeleng tak percaya.
SELESAI