Aida Safitri
Aku terbangun dari tidurku, suara tahrim menderu ditelingaku. Hampir subuh batinku, aku melihat mas Adi masih tidur pulas disampingku, Alhamdulillah mas Adi masih mau tidur disampingku meski kini jarak sangatlah jauh seakan aku baru pertama kali menikah dengannya, apakah mas Adi menghindariku entahlah karena biasanya ketika aku bangun lebih awal pasti aku mendapati mas Adi sedang memelukku erat dan kini, “ah lupakan mungkin mas Adi terlalu letih” batinku.
Aku segera melakukan aktivitas rutinku memasak sarapan dan terkadang juga makan siang untuk mas Adi, apalagi sekarang mas Adi sering berangkat pagi aku juga harus memasak makanan lebih pagi juga sambil menunggu waktu adzan subuh.
Tak beberapa lama adzan subuh mulai dikumandangkan, aku melanjutkan aktivitasku dan kini telah ditemani bik Isah dan bik Siti, aku sedang menunggu mas Adi turun dan mengerjakan sholat subuh berjamaah dimushola bawah. Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, mas Adi dengan baju kokonya sudah siap menjadi imam sholat kali ini, aku bik Siti dan bik Isah segera menyiapkan diri menjadi makmum disertai dengan mang Cipto dan mang Ali. Yah meski mang Cipto dan mang Ali memiliki umur yang lebih tua dibandingkan dengan mas Adi namun mereka slalu mempercayakan posisi imam kepada mas Adi mengingat ilmu agama mas Adi lebih tinggi ujarnya.
Hari ini berjalan seperti biasa aku berharap mas Adi mau mendengarkan penjelasanku, aku tak mau jika masalah ini semakin larut. Aku menyelesaikan masakanku, kemudiaan aku kemamar menyiapkan segela keperluan mas Adi dari baju jas celana semua telah kusipakan dengan begitu rapi, kini tinggal giliranku menunggu mas Adi selesai mandi. Dipagi yang secerah ini mas Adi tetap diam padaku, bahkan kehadiranku dikamar tak ia sapa sedikitpun aku hanya terdiam mungkin ia tak melihatku, namun ketika aku sedikit mencuri perhatiannya, ia hanya melirikku sebentar. Jika boleh aku berteriak aku ingin mengatakan sakit mas, ini lebih dari yang kau tahu. Lirikan yang begitu tajam menusuk hati bahkan lebih tajam dari belati. Aku tak pernah kau diamkan sebegini diamnya, bahkan kehadiranku juga tak kau anggap. Aku mencoba mendekati mas Adi, namun ia menghindar. Aku mencobanya lagi dan ia semakin menghindar.
“mas aku bisa jelasin semuanya mas, dengerin aku dulu. Aku gak bisa mas diamin seperti ini mas aku mohon” ujarku sambil meneteskan air mata tak kuasa menahan sesak yang sudah semakin dalam
“waktu kamu bergandengan tangan dengan laki-laki itu apa kamu tahu bagaimana perasaannya mas” ujarnya sambil mengenakan dasinya dengan cepat
“makanya mas dengerin aku mohon, semua ada sebab musababnya mas” ujarku dengan terus meneteskan air mata
“sebabnya kamu mencintai diakan” ujar mas Adi dengan begitu ketusnya
“mas semenjak aku menikah dengan mas, aku sudah menyerahkan hatiku sepenuhnya kepada mas, dan aku gak pernah berfikir sedetikpun untuk menaruh hatiku kepada laki-laki lain selain mas” ujarku dengan air mata yang semakin menderu
Tanpa apa ada jawaban mas Adi langsung pergi meninggalkanku dengan air mataku yang terus mengalir, jujur padahal aku ingin ia memelukku saat ini, menghapus air mataku, mengecuap keningku dan menenangkan aku. Aku begitu hancur dengan sikap mas Adi yang seperti ini, aku merasa begitu bersalah tak seharusnya aku menemui Rifqi, namun tak seharusnya mas Adi meninggalkanku dan tidak mau mendengarkan penjelasanku. Oh Ya Allah aku tak tahu harus mengadu kepada siapa kecuali padaMu aku memohon ya Allah, luluhkan hati suami hamba Ya Allah biarkan ia mau mendengarkan penjelasan hamba.
Muhammad Adkhal Irsyadi
Hari ini kerja kantor begitu meletihkan, masalahku dengan Aida benar-benar menguras fikiranku, bahkan aku tak bisa bekerja dengan tenang. Sllau ada wajah Aida disetiap sisi ynag aku pandang. Aku begitu letih, namun entah karena apa. Sehari aku hanya duduk-duduk manis dan menandatangani beberapa proposal. Entahlah, namun waktu terasa begitu cepat, bahkan ini telah pukul 23.00. waktunya pulang, ada sedikit rasa sesak ketika aku harus pulang. Mengapa aku harus melihat Aida aku begitu tak kuasa sebenarnya melihatnya namun sakit hatiku serasa tak bisa diobati seakan kini hatiku beku, namun mengapa otakku tak henti-henti memutarkan memori tentang Aida, seakan ada sebuah kaset yang terus menerus bagaikan air laut yang terus saja penuh dan tak bisa habis.
Meski dengan permasalahan yang pelik, aku tahu aku harus pulang. Jam 23.15 aku masuk kedalam mobil, seperti biasa aku mengegas mobilku seakan ini milik jalan pribadiku entahlah aku tak khawatir jika terjadi apa-apa nanti dijalan aku berharap ketika mataku terpejam dan aku membukanya lagi semua sudah berakhir bahkan jika perlu aku ingin amnesia selamanya karena aku tak kuasa jika harus dibayang-bayangi pertemuan yang benar-benar membuatku uring-uringan.
Kembali bibik yang membukakan pintu.
“Aida tidur bik” tanyaku pada bik Siti
“maaf den, bibik gak tahu sedari pagi neng Aida belum turun sama sekali” ujar bik Siti
“makan juga enggak” tanyaku
“sepertinya tidak tuan, tadi ketika bik Isah membawakan makanan katanya masih kenyang tuan” ujar bik Siti
“siapkan makanan biar saya nanti yang bawa keatas” ujarku
“baik aden” jawab bik Siti
Pasti kebiasaan Aida kambuh, ia adalah orang yang jarang makan, makan harus diingetin kalo bisa ditemenin, gara-gara masalah ini ia gak makan seharian. Aku jadi merasa bersalah apakah gara-gara sikapku Aida seperti ini, bukankah Aida seharusnya bahagia karena mungkin ia lebih leluasa dengan laki-laki itu, namun apa mungkin Aida berkhianat, wanita sebaik itu apakah mungkin ia menodai sebuah janji suci yang diikat langsung dengan Yang DiAtas.
“katanya kamu gak makan seharian, kenapa?” ujarku tat kala aku memasuki kamar
Hatiku begitu rontok melihat kondisi Aida, Aida yang sekarang bukanlah Aida yang kulihat beberapa hari kemarin. Aida yang slalu tampil cantik dihadapanku apapun kondisinya, berapapun jamnya, ia masih tetap terlihat cantik, bahkan ia slalu menjemputku didepna pintu. Menghadirkan kehangatan disetiap kehadirannya. Namun kini seolah-olah semua berubah menjadi 180 derajat, aku tahu Aida begitu letih matanya sembab wajahnya begitu pucat. Aida mengapa kamu seperti ini, andaikan kamu tak memintaku bertemu dengan laki-laki itu kemaren, pasti sekarang aku akan memelukmu dan menghapus air mata yang terus mengalir dari wajahmu.
“aku gak nafsu mas” ujar Aida sambil membaringkan tubuhnya dikasur dan membalutnya dengan selimut
“nanti kalo kamu sakit gimana?” tanyaku
“mas masih perduli sama aku?” ujar Aida
Hatiku benar-benar tersontak seketika, seakan ada anak panah yang menusuk tepat diulu hati. Kata-kata Aida seakan aku tak lagi perduli dengannya, aku terdiam aku mencoba mendamaikah antara hati dan fikiran agar selaras.
“Aida makan ya” ujarku sambil mengelakan nafas panjang.
Aku duduk dikasur samping kanan Aida sambil membawa sebuah piring. Aku membangunkan Aida yang sudah merebahkan tubuhnya. Tanpa berfikir panjang Aida memelukku dan menangis dipundakku, aku benar-benar hanya bisa diam aku tak bisa mengatakan sepatah katapun bibirku terkunci bahkan untuk mengatakan Aida jangan menangis itupun begitu sulit, aku begitu hati-hati menbelai satu persatu rambut Aida namun tanganku benar-benar kelu terekam putaran memori diotakku mengenai kejadian itu, hatiku semakin sakit namun tat kala hatiku membeku ia mencair lagi melihat sikap manis Aida yang selalu ia perlihatkan padaku. Entahlah mana yang benar. Seakan aku kini diadu oleh otak dan hati yang entah siapa yang akan menang.
Tanganku menyuapi Aida sedikit demi sedikit hingga kini hanya tinggal sendok yang mengisi piring. Bahkan kini Aida juga terlelap dipundakku, aku melihat wajahnya yang begitu manis kini berubah menjadi pucat. Aku merebahkan tubuhnya dikasur aku menyelimutinya dengan hangat. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 bahkan aku belum juga membersihkan diri. Aku segera mengambil handuk dan mandi, biasanya Aida sudah menyiapkanku air hangat, mungkin ia kelelahan sehingga ia tak menyiapkanku air hangat. Aku keluar dari kamar, tubuhku seakan remuk, Aida tertidur begitu nyenyaknya aku tak mau menganggu tidur malamnya aku mengambil bantal dikasur dan aku merebahkan tubuhku dishofa, begitu nyaman karena memang seharian aku belum merebahkan tubuhku, semoga istirahtaku yang sesaat bisa merubah moodku menjadi lebih baik.
Aida Safitri
Aku bangun dari tidurku, aku benar-benar berharap apa yang terjadi semalam benar-benar meluluhkan hati mas Adi dan memaafkanku. aku membuka mata, kusampirkan tanganku kesebelah kanan kasur kosong, dimana mas Adi?. Lampu kamarpun masih redup, aku mencoba untuk menghidupkan lampu yang berada disebelah kanan kasur. Aku merinding aku menangsi dalam malam, mas Adi tidur dishofa dan ia meninggalkanku. Aku kira kejadian semalam sudah mencairkan semuanya namun mengapa kini malah menjadi jarak yang begitu nyata terlihat. Aku menangis entahlah berapa banyak debit air mata yang sudah aku tuangkan. Aku tak mengerti lagi dengan bentuk mataku saat ini, yang aku tahu hanya satu kapan mas Adi bisa kembali lagi padaku. Mas Adi tak pernah tidur ditempat lain, bahkan untuk membelakangiku saja ia tak pernah, namun kini masalah ini telah benar-benar membuat aku dan mas Adi semakin jauh.
Mas Adi bangun aku segera mnegusap air mataku, ingin kumenyapanya. Namun ia telah berlalu kekamar mandi. Adzan subuh sudah berkumandang ia kemudian berlalu turun mungkin ingin melaksanakan sholat berjamaah. Aku langsung mengikutinya dari belakang. Sholatpun dilaksanakan dan seperti biasa ia bertindak sebagai imam. Mas Adi benar-benar masih kecut denganku, bahkan ketika sarapanpun ia hanya menelan sebuah pisang dan meminum the saja. Padahal aku sudah memasak menu kesukaannya, aku merasa begitu tak berguna kini istri macam apa yang tak bisa melayani suami dengan baik. Air mataku menetes kembali. Aku segera pergi kekamar sebelum bik Isah dan bik Siti tahu air mataku kini menetes.
Aku kembali memasuki ruang ternyamanku, ruang yang tak akan bisa seseorang mengusikku dari kedamaian yang aku coba bangun. Aku menguncinya dan aku meneriakkan semua yang telah aku rasakan, hatiku begitu kacau. Entahlah mungkin Cuma aku yang merasakan kepedihan ini. Namun aku tahu bagaimanapun juga aku harus merubah kondisi ini, aku tahu mas Adi suami aku dan sampai kapanpun ia akan tetap menjadi suamiku tak ada laki-laki lain yang bisa menggantikan posisinya sekalipun Rifqi.
Hari ini aku berencana untuk pergi kekantornya Rifqi, mau tak mau ia harus menjelaskan perihal tragedi kemarin. Aku tahu dibalik sikapnya yang uraan hatinya baik layaknya malaikat aku tahu itu.
Aku segera mempersiapkan diri kemudian turun, terlihat mang Ali yang sedang membersihkan taman depan.
“mang Ali, mang Cipto kemana?” tanyaku
“itu neng, dibagasi” ujang mang Ali
Mataku menuju kebagasi mobil iya terlihat mang Cipto sedang mengecek mobil. Sekitar 15 menit aku menunggu mang Cipto menyelesaikan pekerjaannya kemudian aku langsung memberikan alamat kantor Rifqi, beruntung dalam social medianya tercantumkan ia kerja dimana. Harapanku adalah ia mau menjelaskan semuanya tak lebih dari itu. Kini prioritasku hanyalah ingin memperbaiki hubunganku dengan mas Adi. Apapun jalannya akan kutempuh, jujur aku sudah tak sanggup jika harus seperti ini. Pernahkah kau rasakan ditinggal seseorang ketika kamu lagi sayang-sayangnya dan yang lebih parah dia ada didepanmu disampingmu, namun ketika kamu mendekatinya ia seolah tak mengenalmu, padahal ditempat yang sama dilokasi yang sama ia pernah mengucup keningmu denganmu begitu mesra dan tiba-tiba seketika ia menghilang seakan tak pernah terjadi apa-apa. Dan setiap kamu menatapnya masih seolah-olah ada kamu ditatapannya apa yang akan kamu lakukan. Bertahan atau malah pergi. dan sayangnya aku terlalu mencintai mas Adi, bahkan aku tak memiliki nyali sedikitpun untuk meninggalkannya. Aku tak pernah menggantungkan hidupku pada orang lain. Namun entah ketika mas Adi tiba-tiba masuk kedalam hidupku seakan hidupku suram tanpanya, bahkan aku seakan tak mampu menghadapi masa depan atau mungkin aku telah kehilangan masa depanku setelah mas Adi berlalu dihadapanku dan aku tak bisa mengatakan sepatah katapun hingga semuanya larut dan kini aku harus bangkit aku tahu masalah tak akan selesai jika aku hanya diam.
Aku tahu disetiap langkahku keluar wajib bagiku menghubungi suamiku, entahlah akan dibaca atau tidak oleh mas Adi, setidaknya aku sudah meminta izin, aku segera menghubungi mas Adi melalui pesan aku pesimis mungkin jika aku telfon ia tak akan mengangkat, aku masih belum bisa menerima kenyataan jika mas Adi tak mengangkatnya, aku terdiam air mataku terus mengucur.
“neng udah sampai” ujar mang Cipto
Aku segera menghapus air mataku
“makasih mang, tapi sebelumnya aku mau bilang sama mang. Kalo misal suatu saat mang Cipto ditanya sama mas Adi perihal ini, mang jawab aku kekantor Rifqi, aku mau Rifqi jelasin semua ke mas Adi mengenai kejadian itu gak lebih dari itu. Mang yang akan jadi saksi bahwa aku gak ngapa-ngapain. Jadi mang Cipto ikut turun ya, tapi kalo mas Adi gak tanya mamang gak using ngomong apa-apa” ujarku kepada mang Cipto a
Aku takut ada apa-apa dibelakang nanti, jika aku membawa mang Cipto, setidaknya ada sebuah harapan agar mas Adi mau mempercayai mang Cipto.
“iya neng” jawab mang Cipto, seakan ia tahu masalah apa yang aku sedang hadapi.
“maaf mbk bisa bertemu dengan bapak Rifqi Rafandi” ujarku kepada seseorang di loby, terlihat mang Cipto mengikutiku dari belakang
“maaf mbk siapa ya?” tanya wanita itu
“saya Aida Safitri temannya pak Rifqi” jawabku
“maaf mbk pak Rifqi sudah dipindah tugaskan diSingapura sejak kemaren lusa” ujar wanita tersebut
Hatiku seakan tersontak entahlah kini siapa harapanku untuk menjelaskan ini lagi, Rifqi sudah pergi kini siapa lagi yang bisa membantu. Aku juga tak menyalahkan Rifqi mungkin kepergiannya ini bisa dikatakan pelampiasannya terhadapa apa yang ia lihat bahwa aku sudah menikah, mungkin ini juga pukulan terbesarnya, tapi mengapa ia pergi sebelum menjelaskan apapun kepada mas Adi, aku seakan goyah namun aku mencoba untuk menguatkan diri, air mata yang kini menetes telah menjadi pandangan beberapa orang disana.
“kalo boleh tahu untuk apa ya mbk pak Rifqi kesana?” tanyaku
“iya mbk sebelumnya pak Rifqi memang sudah bekerja di Singapura namun karena katanya ia mau menikah tapi baru beberapa disini pak Rifqi memutuskan untuk kembali ke Singapura” ujar wanita itu
“oh ya makasih ya mbk” jawabku
“iya mbk” jawab wanita itu
Ya kini aku telah menyakiti 2 orang sekaligus orang yang slalu ada disampingku.
“Andaikan kamu tak melakukan hal itu Rif, pasti aku sangat bahagia menyambutmu aku akan jadi sahabat terbaikmu yang slalu mendengar keluh kesahmu, tapi kenapa kamu datang dan merusak semuanya, aku hancur Rif dan aku rapuh tanpa kamu mas”
Tiba-tiba perutku begitu mual aku tak tahu, semua benda yang ada dimataku seolah-olah semuanya memiliki bayangan yang lebih dari satu, mataku tiba-tiba buram tiba-tiba gelap dan ketika aku bangun sudah ada mbk Naura disampingku.
“mbk Naura?” tanyaku ketika melihat mbk Naura disamping
aku melihat handphoneku, aku lupa bahwa mas Fazri minggu ini pulang, sebentar lagi ayah dan bunda akan merayakan unniversarynya, setiap tahun memang mas Fazri dan mbk Naura pasti pulang untuk merayakannya yah meskipun Cuma untuk beberapa hari dirumah.
“mbk kok bisa ada disini?” tanyaku kepada mbk Naura
“tadi mang Cipto telfon kerumah karena kamu pingsan, terus mbk bilang suruh bawa ke rumah sakit terus mbk langsung kesini mbk taku ayah atau bunda khawatir apalagi kakakmu yang paling tercinta itu. Bisa-bisa ia nyamperin Adi langsung nonjok tahu adik kesayangannya pingsan” ujar mbk Naura
“makasih ya mbk” jawabku lirih
“oh ya kamu dapat berita baik” ujar mbk Naura
“apa mbk?” tanyaku dengan sedikit penasaran aku takut ada apa-apa terjadi padaku
“selamat ya sayang kamu hamil” ujar mbk Naura
“hamil” ujarku tak percaya
“iya udah 3 minggu, ayah bunda udah mbk telfon Adi juga. Tapi mbk gak bilang ke Adi kalo kamu hamil, aku bilang kamu sakit gitu aja, nanti biar kamu langsung yang ngomong sama dia langsung, pasti dia seneng” ujar mbk Naura
“iya mbk” jawabku lirih
Air mataku begitu penuh, entahlah mbk mas Adi akan senang atau malah sedih, mengapa berita baik ini harus hadir ditengah perkaraku dan mas Adi yang seakan tak tahu dimana ujungnya, bukankah seharunya aku tersenyum bahagia mengetahui kabar ini. Tapi aku tak mungkin meneteskan air mata, aku tak ingin siapaun tahu, bagiku ini aib keluarga dan aku tak mungkin menceritakan ini kepada siapapun termasuk mbk Naura sekalipun.
Tak berapa lama mama dan papa datang, katanya mereka mengetahui aku mausk rumah sakit dari bunda.
“sayang kamu kenapa?, kok bisa jatuh sakit. Kamu kecapean dirumahkan udah ada bibik, kamu gak usah ngapa-ngapain lagi, kamu juga jangan tidur larut malam nungguin Adi pulang. Emang itu penyakitnya Adi, kalo udah kerja gitu tuh kayak papanya” ujar mama yang disambut senyuman kecil dari mbk Naura
“enggak ma, orang aku nggak papa, Cuma capek sedikit” jawabku smabil tersenyum kecil
Kemudian datang dokter dengan membawa hasil lab.
“ibu Aida kehamilannya sudah 5 minggu ya, harus bener-bener istirahat total jangan banyak fikiran karena ini sangat berbahaya di 3 bulan pertama kehamilan” ujar dokter tersebut
“kita akan punya cucu lagi pa?” ujar mama
papa dan mama tersenyum haru
“kamu gak boleh kecapekan Da, kamu harus istirahat total kalo perlu papa kirim bik Aan kerumah” ujar papa
“enggak pa gak usah dirumah udah ada bik Siti sama bik Isah udah cukup banget. Oh ya ma pa jangan bilang mas Adi dulu ya biar nanti Aida langsung yang ngomong” ujarku
“iya sayang” jawab mama papa kompak.
Tak berapa lama bunda, ayah, mas Fazri datang bahkan mas Rio dan mbk Rifa juga datang. Hari ini diruangan ini aku merasakan kehangatan yang luar biasa, aku bisa merasakan benar-benar telah menjadi saudara seperti taka da perbedaan, menemani aku disini yang terbaring lemah bahkan suamiku sendiri entahlah khawatir atau tidak dengan kondisiku, namun mereka seakan adalah power terhebatku untuk menghadapi masalah ini, akankah kau mundur jika keluarga mas Adi memberikan pelukan yang begitu hangat padaku. Bahkan mama dan papa begitu menyangiku seakan aku adalah anak kandung mereka. Akankah aku menyerah ketika ayah dan bunda benar-benar mengharapkan aku ebrsanding dengan mas Adi, pantaskah aku menyerah setelah semua yang mas Adi berikan padaku, akankah aku saat ini yang harus berjuang untuknya, bukankah ia telab berjuang untukku. Namun aku tak sanggup jika iya harus mendiamiku seperti ini.
“kererrek” pintu rumah sakit terbuka, mas Adi datang ia menyalami semua yang berada dalam ruangan, maklum papa memesankan kamar nomor wahid dirumah sakit ini jadi tak usah kahawatir satu kampungpun juga sanggup masuk. Kemudian ia menghampiriku yang kini terbaring lemah. Aku tahu ia masih marah namun aku berharap dengan kondisi seperti ini mas Adi bisa menutupi semuanya seakan tak terjadi apa-apa.
“kamu kenapa sayang” ujar mas Adi sambil mengecup keningku
Iya aku tahu kecupan yang slalu mendarat dikeningku setiap setiap saat, setiap aku bersama mas Adi dan kini aku dapatkan lagi setelah lama tak kurasakan lagi dengan kecupan yang sama bahkan tak berbeda sedikitpun. Aku meneteskan air mata, aku tak kuasa aku merindukan semua ini dan aku harap mas Adi bisa menetupi itu semua dengan sikapnya yang hangat.
“Aida kenapa kok nangis, udah gak papa. Besok juga udah boleh pulang, nanti mas akan ambil cuti buat jagain kamu, maaf ya gara-gara mas kamu jadi sakit” ujar mas Adi sambil menatapku tajam.
Entahlah aku merasakan apa yang dikatakan mas Adi taka da yang palsu semua yang ia katakana, semua yang ia ucapkan semua yang ia bicarakan itu semua sama seperti taka da yang ditutupi dariku. Bahkan tatapan matanya seakan menyinarkan sebuah nama dan itu aku, dan kini berda didekatnya aku seolah tahu ia masih begitu mencintaiku. Namun aku juga tak mau terlalu berharap lebih, aku takut jika itu tidak untukku aku takut jatuh dan aku takut menangis lebih dalam lagi dan lagi.
“kamu tuh Di kerja mulu, udah dibilangin juga sebelum nikah gak boleh lupa waktu. Ngapain sih lembur orang dikantor juga punya staf kayak perusahaan Cuma ada satu orang lembur-lembur. Kamu udah punya istri punya tanggung jawab malah ngelendor” ujar mbk Rifa yang suka ceplas ceplos
“iya mbk maaf” ujar mas Adi singkat
“ya gitu jeng kalo udah kumpul kayak tom and jerry ini masih kurang yang bonton kalo udah bertia rewuh banget tambah” ujar mama
“iya jeng, Fazri aja yang katanya udah dosen kalo ketemu Aida juga gitu, sayang adiknya sakit jadi dia diem. Em kalo adiknya sembuh gak kalah sama Azri berantemnya” ujar bunda
Sontak ini menjadi gelak tawa dikeluarga, akupun juga ikut tersenyum kecil. Entahlah apakah aku sanggup menghancurkan kebahagiaan keluarga yang sudah begitu hangat, sanggupkah aku yang harus menabur air mata untuk mereka, ataukah aku harus menimbun air mata ini agar tak ada yang tahu, entahlah sampai kapan aku bisa bertahan.
Muhhamad Adkhal Irsyadi
Benar lusa Aida boleh pulang, sampai saat ini aku belum mengetahui apa yang terjadi pada Aida hingga ia jatuh pingsan. Jantungku seakan copot mengetahui hal itu, padahal aku sud meminta khusus bik Isah untuk meperhatikan pola makan Aida dan bik Isah slalu melaporkan semuanya dan Aida makan setiap hari meski tak sebanyak biasanya namun seharusnya ia tak pingsan seperti ini. Aku langsung menuju rumah sakit ketika mbk Naura memberi tahu sayang aku berada diluar kota jadi memakan waktu untuk kerumah sakit, ditambah macet yang akan membuatku terus menunggu lama. Hatiku begitu tenang ketika mbk Naura menghubungi Aida sudah siuman, hatiku begitu bergetar entahlah aku memacu mobil hingga kecepatan penuh ketikah macet sudah menghilang seakan aku dikejar-kejar anjing yang menggonggong aku begitu ingin mengetahui kabar Aida, aku bergegas menuju ruangan denagn begitu cepatnya. Aku bersyukur banyak yang suka dengan Aida dari mulai mama, apap, ayah, bunda, mbk Naura, mas Fazri, mas Rio dan mbk Rifa juga hadir aku menyalami mereka. Kemudian aku menghampiri Aida wajahnya begitu pucat, kini aku benar-benar teriris aku mengecup kening Aida yang sudah begitu lama tak kukecup. Aku meneteskan air mataku
“aku begitu kacau melihatmu Aida, aku sayang kamu bahkan lebih, aku mencintai kamu dari hati dan fikiranku tertuju padamu. Entahlah aku bisa apa tanpa kamu, jika saat ini aku kehilangan kamu sama halnya aku kehilangan semuanya karena sebagian duniaku telah kamu genggam” batinku menjerit tanpa ada yang mendengar.
Beruntung tak ada yang mendengar, aku bersyukur setidaknya Aida sudah siuman, entahlah tak ada yang memberitahuku perihal penyakit Aida dan tak mungkin aku bertanya langsung kepada Aida, pilihan terbaik adalah ketika aku tutup mulut.
Hari ini Aida pulang, aku sengaja membawa Aida kerumah ayah bunda, setidaknya ketika ia tak bisa mengajaknya bicara ada ayah dan bunda yang menghiburnya ditambah sekarang ada Azri aku yakin ia akan terhibur dan nanti malam acara unniversary ayah dan bunda. Aida pasti seneng bisa kumpul dengan keluarga.
Akhirnya malam itupun terjadi aku dan Aida seakan berada dalam ruang drama, ketika ada orang lain aku berlagak seperti actor dan aktris yang memainkan scenario dengan begitu apiknya dan ketika aku sendiri seakan semua berakhir dan berubah menjadi diam yang entah kapan akan bermula.
Acara ini dimulai dengan begitu meriahnya, keluarga besar Aidapun hadir, rekan bisnis dan sahabat ayah bunda juga turut hadir. Kini pernikahan ayah bunda Aida sudah memasuki usia ke 30 tahun, usia yang begitu muda lagi. Diusia yang sudah berkepala tiga ini aku yakin sudah banyak rintangan dan hambatan yang ada, namun entah mengapa bagaimana cara ayah bunda bisa bertahan selama ini, aku hanya berharap bisa seperti ayah dan bunda melewati setiap tahun secara bersama, bahkan jika bisa aku berharap hingga kita dipanggil yang diatas kita bisa berpisah dalam satu bingkai cinta yang utuh.
Aida Safitri
Hari yang begitu melelahkan ia bagiku, bagaimana tidak setelah keluar dari rumah sakit aku harus bercibaku dengan pesta perayaan unniversary bunda. Memang ayah bunda sangatlah melarangku untuk membantu mereka apalagi mereka mengetahui kini aku telah berbadan dua. Aku bukanlah seorang artis terlebih aktris aku hanyalah orang biasa yang sedang menutupi masalahku didepan mereka dengan berakting. Ada rasa sedih menghambar seharusnya kini aku bahagia bersama mas Adi menyambut bayi kecil kami yang kini telah bersemayam diperutku. Entahlah mas Adi mengetahuinya atau tidak, iya tak menanyakan perihal penyebabku ada dirumah sakit.
Terkadang aku bingung dengan sikap mas Adi, ia terlihat begitu kaku namun matanya tak pernah menyorotkan kebencian. Apakah selama ini sikap yang ditujukan padaku adalah sikap apatis semata, sikap yang tidak benar-benar nyata dari hatinya. Aku semakin bingung dengan masalah ini, masalah yang semakin lama membuatku semakin letih. Bahkan kini aku berada dititik jenuh yang aku tak tahu bagaimana cara untuk bisa keluar dari posisi ini. Rindu iya sangat, tapi kini itu hanya jadi angan yang terus melayang dan entah kapan akan kembali keposisinya lagi mengisi setiap sudut ruangan yang pernah ditinggalkan.
Aku mengelus perutku, selayaknya wanita lain yang sedang hamil aku juga ingin bermanja dengan suamiku, bahkan aku tak merasakan ngidam apapun selain sentuhan tangan mas Adi yang mendarat diperut ini, menyapa calaon anakku yang kini masih menjadi janin. Aku ingin iya mengecupnya dan mendoakan iya semoga baik-baik didalam dan sehat sampai keluar, hemmm aku menghela nafas panjang seakan mimpiku kini terlalu tinggi berkhayal untuk sesuatu yang entahlah bisa dikatakan mustahil atau tidak.
“ayah bunda Aida pulang dulu ya” ujarku pamitan kepada ayah bunda
“iya sayang hati-hati. Jaga kesehatannya makan-makanan yang bergizi jangan kelelahan sama ingat tidurnya dijaga” ujar bunda dengan begitu semangatnya
“iya bunda pasti” jawabku
“Adi titip, sekarang kamu harus jadi suami siaga, dikurangi dikit aja kegiatan dikantor ya” ujar bunda lagi
Mas Adi hanya tersenyum sambil menganggukkan wajah
“iya di memang dimasa-masa ini, masa-masa paling melelahkan dulu aku juga. Capek pulang kerja eh malah minta aneh-aneh. Tapi tenang nikmati aja bro itu yang bakal buat lo ngerasa tertantang menjadi seorang suami” ujar mas Fazri
“iya mas siap” ujar mas Fazri
Kemudian kita berpamitan pulang, dengan mesra mas Adi merangkulku dan membukakan pintu, sepertinya drama ini akan segera berakhir melihat kini dimobil sudah taka ada orang lagi selain aku dan mas Adi. Wajah mas Adi sedikit bingung mungkin ia belum faham dengan apa yang dikatakan mas Fazri dan bunda tadi, namun ia diam ia seakan tak mau menunjukkan raut wajahnya. Benar dugaanku kini mobil ini menjadi saksi bisu kenungkamanku dan mas Adi.
Aku terdiam perutku begitu nyeri serasa ditusuk-tusuk, aku lupa minum obat tadi aku tahu obta itu digunakan untuk menguatkan kandungan, aku sedikit meringis aku tak kuasa menahan sakit diperut, aku merogoh tasku ada sebuah pil tablet aku mencari-cari botol minuman untuk meminumnya, tangan kiriku masih saja memegangi perutku.
“kamu kenapa?” tanya mas Adi
“perutku sakit mas” ujarku
“kita kerumah sakit” ujar mas Adi, aku tahu ia cemas
“enggak usah mas, aku Cuma butuh air untuk minum obat” jawabku
Mas Adi segera merapatkan mobilnya ketepi jalan, terlihat para pedagang kaki lima yang sedang berjualan. Perutku semakin melintir dan kini aku semakin kesakitan, mas Adi memegang perutku beberapa saat.
“sabar ya Da, sabar” ujar mas Adi kemudian ia turun untuk membeli air mineral
Sungguh aku tak tahu ini magic atau apa, seketika perutku hilang nyerinya bekas sentuhan mas Adi aku terdiam benar-benar hilang. Apakah ini yang katanya seorang bayi memiliki ikatan tersendiri dengan ayahnya, aku menatap wajah mas Adi yang begitu cemas dengan keadaanku aku hanya bisa mengatakan bahwa dipungkiri atau tidak mas Adi masih perduli denganku.
“ini airnya, kamu kenapa sih Da, kan udah dibilangin kamu tuh diem dirumah apa susahnya sih, udah ada bik Siti udah ada bik Isah. Kalo kamu perlu apa-apa kamu ngomong, kalo kamu mau pergi ada mang Cipto yang siap antar jemput kamu, kalau kamu mau ini itu mang Ali juga ada. kenapa sih kamu tuh bikin semua orang khawatir tahu gak bikin semua orang panik” ujar mas Adi dengan nada yang agak tinggi
Aku tersenyum kecil
“mas tahu gak, aku saat ini detik ini gak butuh bik Isah bik Siti mang Cipto mang Ali bahkan ayah bunda mas Fazripun aku gak butuh. Aku Cuma butuh mas Adi mau dengerin aku ngomong dengerin penjelasanku, gak diemin aku kayak kini. Mas aku juga punya hati mas, aku juga bukan patung yang mas bisa diemin sesuka mas mau, aku manusia mas” ujarku sambil kembali meneteskan air mata
“aku juga punya hati jadi aku diam, aku gak mau meluapkan semua marahku sedihku masalahku. Kalo kamu tanya aku, aku sedih aku sedih kalo kamu tanya aku, aku marah sangat marah tapi aku diem aku butuh waktu untuk berfikir. Masalah ini bukan smeudah kamu mengembalikan telapak tangan, entahlah aku juga tak tahu siapa yang salah disini, jadi aku mohon jangan pancing emosiku karna selama ini akusudah bertahan dengan cukup baik” ujar mas Adi yang acuh tak cauh berbicara tanpa melihatku
Aku hanya terdiam, entah siapa laki-laki yang sedang berada didalam mobil bersamaku, laki-laki yang bisa sangat berubah dengan masalah yang bahkan ia sendiri tak mau mendengarkan omonganku istrinya, aku tak ingin perhatian lain mas, aku Cuma ingin perhatian darimu.
Perjalanan kembali diteruskan dengan bungkam yang membisu, sesekali aku melirik kearah mas Adi ia terlihat begitu konsentrasi dalam menyetir. Malam ini begitu melelahkan aku ingin memejamkan mataku walaupun sejenak, aku terlelap dalam tidur sejenakku.