Aida Safitri
Pesawat telah landing dengan selamat, mang Cipto sudah menunggu diruang kedatangan, dengan segerang mang Cipto memasukan koper kedaam bagasi, letih serasa menancap tubuh, ingin sekali kita langsung merebahkan tubuh dikasur yang sudah kita tinggalkan beberapa hari, namun ternyata mas Adi mendapati pesan dari mama untuk langsung pulang kerumah mama karena nanti malam bakalan ada acara keluarga, pamannya mas Adi yang dari German baru saja menyelesaikan studi S3nya disana dan hari ini pulang, jadi ini bisa dikatakan perayaan kecil-kecil. Yah ini akan menjadi pertemuan pertamaku dengan beliau, mengingat waktu pernikahan kami beliau tidak datang dikarenakan memang masih sibuk dengan tugas aslinya.
Aku melangkah masuk kedalam rumah, masih sepi hanya ada mama dan Risda. Iya hari ini hari minggu jadi Risda dirumah.
“oleh-oleh” ujar Risda yang melihat kehadiranku dan mas Adi
“assalamualaikum dulu kek, nanya kabar. Langsung aja ketujuan” ujar mas Adi
“assalamualaikum deh, tapi aku tahu mas dan mbk baik-baik saja. Orang udah ada disini itu” jawab Risda
mang Cipto datang dan membawakan beberapa koper khusus oleh-oleh, aku memberikan hadiah yang sengaja aku beli untuk Risda, aku sanagt mengerti sekali ini adalah barang kesukaan Risda sederhana tapi unik.
“makasih mbk Aida, kakakku yang paling baik. Gak jahat kayak mas Adi” ujar Risda sambil berlari membawa lampu bolham dari rotan dan dimodif dengan ukiran kayu
Aku wajar saja melihat sikap Risda yang begitu kepada mas Ad, bukan berarti mas Adi jahat, namun kakak beradik terkadang memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya, bisa juga dengan cara berantem. Semenjak aku menikah dengan mas Adi, aku semakin dekat dengan Risda. Iya bukan berarti apa, mungkin aku yang belum pernah merasakan punya seorang adik, dan ketika ada Risda ada kebahagiaan tersendiri untukku, meskipun kita jarang ketemu, namun kita slalu aktif dimedia social. Dari mulai Risda berdiskusi masalah pelajaran sekolahnya sampai para lelaki yang mengejarnya disekolah jadi media pembicaraan. Jadi ketika kita bertemu sudah tak canggung lagi.
Aku dan mas Adi langsung mencium tangan mama, pergi kekamar membersihkan diri kemudian turun. Ceritanya mama lagi menyiapkan pesta berbaqyuan untuk ntar malam, halaman belakang rumah yang luas akan disulap menjadi ruang pesta sederhana, kini aku membantu mama menyiapkan berbagai perlengkapan, mas Adipun juga tak riskan untuk turun tangan membantu, inilah pekerjaan akhir-akhir ini. Setelah pembantu mama pulang kampung kurang lebih satu setengah bulan, melakukan apa-apa sendiri. Mama memberikan izin pulang kepada bik Aan untuk pulang kampung karena anak sulungnya harus mendapatkan perawaran intensif setelah mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu, bahkan mama yang menanggung semua biaya perawatan dan tetep menggaji bik Aan full seperti biasa.
Siang telah berganti malam, dan matahari mempensiunkan diri dan memeritahkan bulan untuk menjadi alat penyinaran dan bulan sebagai dewan perwakilannya. Udara malam tengah menusuk-nusuk tubuh, dingin iya hari ini memang suhu sedikit rendah, beruntung hujan masih bisa diajak berkompromi, meski mendung namun ia enggak jatuh.
Setelah sholat isya’ berjamaah kita segeran menuju halaman belakang, waktunya makan-makan. Tadi setelah ashar sudah ada diadakan tahlil kirim arwah dan ngaji bareng dan kini saatnya kita happy-happy. Keluarga mas Adi tergolong keluarga besar bagaimana tidak, saudara papa ada 5 dan papa adalah anak ke tiga. Dan hari ini semua kumpul, bahkan bude yang berada diluar kotapun juga datang untuk menjemput kedatangan saudaranya yang baru saja menyelesaikan program S 3 nya.
“Aida” ujar om Dandi ketika melihatku
“pak Dandi, jadi pak Dandi omnya mas Adi” ujarku ketika mas Adi memperkenalkanku kepada om Dandi
“aku tak menyangka, Di. Istrimu ini dulu mahasiswa kesayangan om. Sayang waktu Aida masuk semester 2 om harus ke German, jadi udah miss komunikasi dan eh sekarang malah jadi keponakan om” ujar om Dandi
“bapak bisa saja” jawabku dengan sedikit malu
“enggak tapi bener, Aida ini cerdas berkompeten. Kamu pintar nyari istri” ujar om Dandi
“bapak jangan terlalu memuji saya” jawabku dengan sedikit menundukkan wajah
“kok bapak, panggil om Dandi saja, jangan kaku santai” ujar om Dandi
“iya om” jawabku sedikit kikuk
Iya om Dandi adalah salah satu dosenku dikampus, banyak rang sih yang bilang om Dandi ini menakutkan, namun bagiku ia adalah orang ayng ebrsahabat, buktinya aku bisa kenal akrab dan baik dengannya, sayang waktu aku mau semester 2 beliau mendapatkan beasiswa S 3nya di German, jadi sudah gak tahu lagi bagaimana kabar om Dandi, dan saat ini eh malah jadi saudara.
Dari sini aku juga baru mengetahui bahwa mas Adi itu menyelesaikan S2nya di Amerika, lebih tepatnya Oxford, mana tahu aku kalo mas Adi lulusan sana, sekolah yang sangat ternama di Amerika dan tidak semua orang bisa mengenyang pendidikan disana. Meski sekolah disana, mas Adi amsih dibebani dengan perusahaan jadi bisa dikatakan kerja jarak jauh. Yah entahlah hubungan kerja macam apa itu, namun yang jelas sih mas Adi juga kerja untuk perusahaan dan digaji, jadi mama papa hanya membiayai biaya kuliah dan selebihnya untuk biaya hidup mas Adi kerja dan dengan itulah mas Adi bisa bertahan disana, kalo mas Adi gak kerja yang berarti resikonya ia tak makan, aku juga bingung bagaimana caranya, caranya kerja dan caranya membagi waktu dan entahlah buktinya mas Adi bisa menyelesaikan gelar masternya hanya memerlukan waktu kurang lebih 2 tahun.
Ada kalanya aku merasa ciut dimata mereka, memang dikeluarga ini pendidikan sudah menjadi prioritas utama, tak sedikit dari mereka yang mengenyam pendidikannya diluar negeri, namun meski begitu tak sedikit dari mereka juga yang mengenyang pendidikan di pondok pesantern juga. Mereka rata-rata mereka mondok dibangku sekolah menengah pertama dan atas, jadi ketika mereka duduk dibangku kuliah mereka langsung cuus kenatariksa cari ilmu snediri-diri deh sesuai bidang yang mereka minati.
Malam ini menjadi malam yang sangat hangat, bahkan kini aku merasa aku berada dikeluargaku sendiri, kita makan bersama berengkaram dan tertawa bersama, banyak yang kita ceritakan terutama beliau-beliau yang menceritakan masa kecil anak-anak mereka. Hingga timbullah kisah bahwa mas Adi dulu di USG berjenis kelamin wanita saat usia kandungan masih 4 bulan menuju 5. Berhubung papa sudah sedikit lemas mengetahui anak keduanya wanita lagi, jadi papa tak meng USG untuk kedua kalinya saat usia kehamilan sudah mendekati 3 semester akhir. Akhirnya banyak dari keluarga yang menyiapkan nama wanita untuknya, dan akhirnya ketika mas Adi lahir dengan jenis kelamin laki-laki, banyak juga dari keluarga yang bersyukur namun lebih banyak yang bingung, Karena semua persiapan adalah persiapan untuk menyambut bayi wanita, al hasil mas Adi kecil lebih sering menggunakan baju berwarna pin dari pada warna-warna cowok pada umumnya. Bahkan mama pernah merasa tersinggung karena banyak tetangga yang memanggilnya dengan sebutan “nduk” (bahasa jawa untuk anak perempuan). Hal ini tak khayal menjadi bahan tertawaan kita semua. Hingga akhirnya semuanya hening.
“kapan nih Da, eyang punya cucu. Eyang udah pengen banget nimang buyut dari kamu dan Adi” ujar eyangnya mas Adi secara tiba-tiba
Aku bingung ingin menjawab apa, mulutku seakan terkunci mataku seketika merembah ingin meneteskan air mata namun aku tahan. Bersyukur hanya mas Adi yang memperhatikanku. Sambil emmegang tanganku dan mengelus bahuku mas Adi menjawab
“eyang doakan makanya, biar Adi cepat nimang bayi, nanti kalo Aida udah isi, eyang adalah orang pertama yang menerima kabarnya” jawab mas Adi dengan tenang
“janji ya” ujar eyang
“inshaallah” jawab mas Adi singkat
“tapi nanti kalo sudah isi, sering-sering di USG. Nanti pindah kelamin lagi” ujar om Dandi
Akhirnya gelak tawapun terdengar lagi, memang meskipun om Dandi terlihat begitu keras dan sangat disiplin kalo dikampus, yah beginilah gaya aslinya sedikit kocak. Yang tapi aku bersyukur setidaknya dengan begitu bisa mengurangi ketegangan yang terjadi.
hari ini kembali kehari-hari biasah, dirumah sendiri dan menunggu kesibukan mas Adi yang tiada hentinya. Jika harus kerumah mama atau bunda harus nunggu mas Adi libur, bosen sebenarnya namun yah ini mungkin masa yang harus dinikmati oleh seorang istri. Hari ini aku dan bik Siti sedang belanja di mall, terkadang aku memang lebih suka belanja dipasar dari pada dimall, namun entahlah badanku kini terasa lemas dan enggak ketempat yang becek, jadi aku mengajak bik Siti untuk pergi mall.
“brook” suara barang yang berjatuhan ketika aku bertabrakan dengan seseorang
“kamu lagi Devan kok bisa” ujarku
“kamu gak papakan” ujar Deva sedikit cemas
“gak papa sih, kamunya yang gimana?” tanyaku
“enggak aku gak papa kok, eh aku kemaren habis kerumahmu lo. Tapi kosong, waktu aku tanya kamu dimana katanya kamu pindah dan mereka gak tahu kamu kemana” ujar Devan
“oh iya, aku sudah pindah sekitar 4 bulanan, emang ada apa sih?” tanyaku
“ada yang mau ketemu sama kamu, pasti kamu senang. Boleh minta nomor hpmu, kemaren hpku nyemplung kolam, jadi rusak” ujar Devan
“siapa yang mau ketemu aku” ujarku bertanya-tanya
“ada deh, yang penting nomor kamu aja dulu, ntar kita konek langsung” ujar Devan
“ok” jawabku
Enthalah mengapa Devan tiba-tiba meminta nomor handponku, yah mungkin ia ingin lebih dekat dengan Pricil, mengingat Devan dulu mencintai Pricil lebih dari segalanya. Yah meskipun Pricil sudah menolaknya namun apa yang dikatakan cinta sebelum janur kuning melengkung Pricil masih milik semua. Namun siapa ya ingin bertemu aku sedikit bingung, namun ah siapa bukankah jika ingin bertemu dan aku senang adalah temanku. Yah mungkin Devan bertemu dengan temanku disuatu tempat, dan akhirnya ingin bertemu denganku.
“kriiing” ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk
“assalamualaikum” pesan terkirim ke ponselku
“waalaikumsalam, maaf siapa ya” kirimku
Pesan tak terbalas, entahlah siapa yang menghubungiku. Padahal aku juga telas menelfonnya, namun telfonku tak ia angkat.
“selamat siang” pesan aku terima lagi
Aku enggan membalasnya, bagiku jika ia memang ingin menghubungiku mengapa ia tak menelfonku langsung.
“selamat malam, sudah makan malam” pesan masuk kedalam kontak
Aku semakin jengkel siapa orang ini, aku telfon lagi dan iya tak mengangkatnya lagi, ada sedikit sesal dihatiku. Bahkan hingga larut malam mas Adi belum juga pulang, sebenarnya tadi ia sudah menguhubungiku agar tak menunggunya, karena kemungkinan iya akan pulang larut malam. Aku keluar menuju pos satpam, apa mang Ali dan mang Cipto yang sedang bermain catur sambil menikmati segelas kopi.
“mang” ujarku sedikit khawatir
“eh neng Aida, ada yang bisa dibantu?” ujar mang Ali
“menurut mamang ini apa?” tanyaku sambil membrikan handphoneku kepada mereka berdua.
“wah ini terror neng” kata mang Ali sedikit menakuti
“ah mang Ali jangan bikin takut” ujarku
“gini aja neng, neng tungu saja tuan Adi datang, ntar minta pertimbangan tuan. Saya sama mang Ali akan memperketat penjagaan rumah, ya neng” ujar mang Cipto menennagkan
“iya mang, minta bnatuannya” ujarku
“iya”
Menuruti apa yang dikatakan mang Cipto, aku menantikan kepulangan mas Adi, bahkan sudah dini hari mas Adi belum pulang ada rasa khawatir di handphoneku, ada beberapa notifikasi pesan dari nomor teresbut, namun aku enggan membukanya, akhirnya pukul 00.40 mas Adi pulang.
“kamu belum pulang sayang” ujar mas Adi sambil mencium keningku
“aku nunggu mas pulang” jawabku sambil melepas jasnya mas Adi
“kenapa, maskan bilang jangan nungguin mas” ujar mas Adi dengan sedikit senyuman, dan terlihatwajahnya begitu letih
“mas mau makan atau mau mandi aja, biar aku siapin” tanyaku
“mas udah makan, mas mau mandi saja” ujarnya
“aku siapain ya mas” jawabku
Akhirnya tak beberapa lama mas Adi selesai mandi, wajahnya terlihat begitu letih. Ia langsung menuju kasur melihat aku yang belum juga tidur.
“kamu kenapa” tanyanya
“mas aku mau ngomong” ujarku
“sayang besok aja ya, mas letih banget. Besok ya, kita tidur yuk” ujar mas Adi
Mas Adi menidurkan aku dalam pelukannya, aku menatapnya dengan serius, mungkin belum saatnya aku membicarakan masalah ini kepada mas Adi, mungkin ia masih terlalu letih. Akhirnya aku menutup mataku dan memposisikan tubuhku dalam pelukan mas Adi.
“mas Adi berangkat pagi lagi” tanyaku kepada mas Adi disaat jam menunjukkan pukul 06.00
“iya sayang, mas sibuk banget dikantor” ujar mas Adi
Beruntung aku sudah selesai menyiapkan sarapan sekaligus makan siang, mengingat mas Adi sekarang sudah jarang pulang untuk makan siang karena kesibukannya yang sekarang semakin menjadi-jadi. Mas Adi bukanlah orang yang dengan mudah bisa menikamati makanan disembarang tempat dan semabarangan makanan. Ia lebih suka masakan rumah apapun itu, jadi terkadang aku sering kedodoran untuk memaskan 2 menu seklaigus dipagi hari. Apalagi kalo mas Adi sering berangkat pagi. Namun yah inilah nikmat menjadi seorang istri, meski kini aku memeiliki 2 asisten, namun bagiku setiap makanan yang masuk ke mulut suamiku adalah karyaku.
“maaf ya kemaren mas gak sempet nganterin kamu belanja” ujar mas Adi
“iya mas, lagi pula kemaren aku sudah belanja kok sama bik Siti” ujarku
Memang sedari awal nikah mas Adi slalu menemaniku belanja entah mau kepasar entah ke mall, mas Adi selalu ok. Terkadang aku merindukan awal-awal masa pernikahan kami dimana mas Adi slalu setiap sedia dimanapun berada dan kini. Yah mungkin inilah yang dinamakan naik turunnya hubungan, tak mungkin dalam hubungan kita slalu diatas da nada kalanya kini dibawah. Mungkin saat ini Allah menguji kesetianku terhadap mas Adi sebagai seorang istri.
“mas nanti pulang malam lagi?” tanyaku
“sayang, maafin mas ya tapi memang kantor lagi banyak banget kerjaan, ntar kalo mas bisa pulang awal, pasti mas bisa pulang lebih awal” ujarnya
Aku hanya mengangguk lesu. Memang sudah sekitar 2 minggu mas Adi lembur, mas Adi bisa nyampek rumah jam 20.00 itu saja sudah pulang paling awal. Aku jenuh sebenarnya jika harus seperti ini, namun apa daya tak mungkin aku meminta kerja kepada mas Adi, dengan tujuan apa coba, bukankah semua kebutuhanku telah ia penuhi, banyak sebenarnya orang yang berkata, buat apa sekolah tinggi jika hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun bagiku ini adalah tugas mulia dan tugas utama seorang wanita, menjadi seorang ibu dan istri, bukannya ini tugas yang langsung digaji oleh yang Diatas, namun jika memang dibutuhkan dan suami belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga bukankah taka pa jika kita bekerja dengan tujuan membantu suami.
Pesan nyasarpun tersu aku dapatkan, aku semkain jengkel dengan apa yang aku terima. Entahlah namun yang jelas aku ingin bercerita, namun aku tak tahu dengan siapa. Kepada mas Adi seakan tak mungkin ia masih sangatlah sibuk, kepada mas Fazri lebih gak mungkin karena ia pasti tanya kemana mas Adi. Mau ke Warda ia juga usdah jauh, ke Pricil ia juga sedang menyiapakn diri untuk melanjutkan S 2nya. Jadilah aku sendiri.
Sudah satu bulan berlalu, dan pesan masih terus terkumpul aku semakin jengkel dan akhirnya ia menelfonku, ia mengajak bertemu dan aku enggan menerima ajakannya. Aku masih sadar posisiku sebagai seorang istri, bagaimana aku harus bisa menjaga kehormatanku, keluargaku dan suamiku terlebihnya. Bahkan berhubungan seperti ini sudah menjadi beban terbesarku apalagi tat kala aku tahu bahwa yang mengirimi pesanku adalah seorang laki-laki.
Semakin lama, ia semakin melunjak rasa takutku semakin tinggi. Entahlah aku harus menceritakan ini kepada siapa, aku menunggu mas Adi bisa sedikit longgar dan semakin lama kerjaan mas Adi juga tak surut-surut, entahlah ada rasa takut tersendiri, bahkan ia sekarang sering mengirimiku emot-emot berbentuk love atau foto bunga yang semakin membuatku semakin takut.
Akhirnya aku mencoba menceritakan masalah ini dengan mas Adi apapun kondisinya. Namun mas Adi tak menanggapi dengan serius, ia malah menanggapi dengan santai-santai saja, padahal aku sudah berada dalam ujung ketakutan, aku sedikit kecewa dengan sikap mas Adi, ia sedikit acuh. Namun yah mungkin ini adalah efek pekerjaan yang kini sedang berada dipuncak keberhasilan. Akhirnya aku meutuskan untuk menemuinya apapun resikonya, namun aku benar-benar tak ingin jika harus menemuinya sendiri, aku tetap meminta mas adi untuk menemaniku, bagaimanapun ia adalah suamiku.
Meski mas Adi mengaku kegiatannnya dikantor sangatlah padat namun iya tetap mengiyakannya. Aku tahu meski mas Adi memilki jam kerja yang sangat padat, namun jika aku meminta sesuatu sedemikian rupa ia memenuhi dan mengusahakannya, syukur lusa ia bisa mengusahakan untuk menemaniku bertemu dengan laki-lkai tersebut, meski harus berangkat secara terpisah, aku dari rumah dan mas Adi dari kantor. Karena memang pertemuannya diadakan ketika jam makan siang.
Jam menunjukkan pukul 12.30, sebelum berangkat aku memang sengaja melaksanakan sholat dhuhur terlibih dahulu ditakutkan nanti pertemuan kita akan memakan waktu yang lama.
“neng gak turun” ujar mang Cipto menegur setelah kita sampai ditempat yang dijanjikan
“mang kok Aida jadi takut ya” ujarku, aku merasa ada sesuatu yang sangat mengganjal, dan tiba-tiba aku menjadi merinding sendiri
“neng tunggu saja disini, nanti kalo aden datang biar suruh jempt ke mobil, nanti masuknya bareng-bareng” usul mang Cipto
Aku mengiyakan apa yang dikatakan mang Cipto, jariku langsung mengetik menemukan nomor mas Adi, handphone gak aktif mungkin ia sedang dijalan, aku langsung mengirim pesan aku berharap mas Adi membacanya ketika sudah sampai. Sekitar 10 menit menunggu, mobilku digedor seseorang tanpa ragu aku membukanya karna ku yakin itu adalah mas Adi.
“nunggu lama” ujar mas Adi sambil mengecup keningku
Aku menggelengkan kepala
“kenapa kok pucat sih mukanya?” tanya mas Adi
“enggak mas, Aida Cuma takut” ujarku lirih
“kenapa?, kan ada mas disini. Kita hadapi semua masalah apapun itu dengan bareng-bareng, kamu gak perlu khawatir” ujar mas Adi menenangkan
Akhirnya aku masuk kedalam restoran, terlihat ramai seperti biasanya ialah orang ini jam makan siang, banyak para pegawai kantor yang berada disekitar sini yang sedang menikmati makan siang. Terlihat disudut ruangan menja nomor 23, itulah meja yang sudah mas Adi pesen, aku duduk tepat disamping mas Adi. Mas Adi menggenggam tangaku untuk menenangkan, memang mas Adi tak menganggap serius permasalahanku ini, karena ia hanya menganggap ini adalah masalah biasah, mungkin orang iseng katanya tat kala aku menceritakan perihal sms yang bisa dianggap sms terror.
“Aida mas mau sholat dulu ya, mas belum sholat dhuhur. Gak lama kok, lagian disini aku mushola” ujar mas Adi
“tapi mas!” kataku merengek
“kamu sudah sholat?” tanyanya kembali
Aku mengangguk lesu
“jangan takut, disini banyak orang. Kalo dia apa-apakan kamu, teriak saja, toh juga banyak orang ya. Atau kalau perlu kamu langsung telfon mas, nanti mas bakal langsung kesini” ujar mas Adi
“tapi mas”
“Aida sebentar”
Akhirnya aku merelakan kepergian mas Adi dengan berat hati, aku menguatkan hatiku hanya untuk sholat tak lebih dari itu. Detak jantungku berdetak lebih kencang dari jam yang kini aku kenakan dipergelangan tangan kiri. Keringat dingi mulai meracuni tubuhku, aku gugup setengah mati, fikiranku sudah melayang-layang entah kemana-mana. Berbagai kemungkinan buruk aku fikirkan, bahkan ah entahlah, aku menarik nafas panjang, aku mencoba menenangkan diri. Aku tak mau larut dalam angan-angan yang belum tentu akan terjadi.
5 menit aku menunggu, tamu yang aku tunggu kini dia telah tiba, mengenakan baju hem berwarna cokla susu dibalut jas dan sepatu pantofel ditambah celana hitam dan dasi berwarna hitam membuat ia terlihat begitu menawan, ditambah gelang jam yang ia kenakan terlihat ia kini adalah orang yang berkelas. Sangat berbeda dari 5 tahun lalu, dimana dulu ia adalah seorang yang urakan, tak pernah berpakaian rapid an klimis, hobinya berantakan dan semaunya sendiri dan hari ini aku bertemu dengan sosok yang bisa berbalik 180 derajat dari yang dulu aku lihat.
“Riiiiiifqi” ujarku sedikit kaget melihat apa yang aku lihat barusan
“iya Da, aku Rifqi kayak orang lihat hantu saja, masak lupa sih sama aku” ujar Rifqi
Rifqi adalah temanku sewaktu SMA dulu, bisa dibilang kita cukup dekat sebelum tragedy kelas 3 SMA. Secara tiba-tiba Rifqi menyatakan perasaannya padaku dan sontak membuatku terkejut bukan main, Rifqi bisa dibilang sahabat laki-lakiku pertama dan terakhir, mengapa pertama karena dulu sewaktu aku kecil aku tak boleh bersahabat dengan laki-laki. Mas Fazri sangat mengontrol pergaulanku jadi aku tak punya sama sekali sahabat laki-laki. Sewaktu SMA dan mas Fazri sudah sibuk dengan dunia perkuliahannya, mas Fazri seakan memberikan kelonggaran bagiku untuk bsia bersahabat dengan laki-laki dibatas wajar saja. Namun tat kala Rifqi menyatakan perasaan padaku seakan ada sebuah tembok yang memisahkan hubungan kita. Kita tak saling bicara bahkan untuk tegur menyapapun tidak dan ini berlangsung hingga kita menggantungkan sragam. Setelah kepergian Rifqi yang katanya untuk kuliah, kita sudah tak pernah berhubungan lagi semua media social Rifqi ia blokir entahlah mengapa katanya sih ia kecewa dengan sikapku. Terakhir ketika perpisahan ia menuliskan surat untukku yang katanya aku harus menunggunya pulang dengan kesuksesan dan kata terakhir yang ia tulis adalah “semoga Allah menjaga hati kita untuk disatukan kelak” entahlah aku tak mengerti apa maksut tulisan itu dan ketika Rifqi pergi aku tak memiliki teman laki-laki satupun, jujur aku takut jika harus menjalin persahabatan dengan laki-laki dan harus berakhir seperti ini. Jikalau aku punya sahabat tak ada yang pernah deket sedekat Rifqi.
“kakakakakmu,kakkakmu” ujarku dengan mata terbelalak masih sedikit kaget dengan apa yang aku lihat
“iya maaf, gak maksut neror kamu lo. Aku tahu kamu orangnya smart pasti kamu gak bakal ketipu dong sama sms aneh. Tapi yah aku bersykur sih kamu mau ngajak aku ketemuan” ujarnya sambil tiba-tiba duduk tanpa ada yang meminta
Aku masih saja terdiam mangu, ia mentapakan matanya kemukaku, aku langsung menghindari pandangannya yang aku tahu tak sepantasnya diberikan kepada seseorang yang bukan mahramnya. Mataku berkaca-kaca seakan ingin berteriak, bagaimana jika mas Adi melihatnya mungkinkah ia akna sllah faham melihat aku dan Rifqi duduk berduaan.
“kamu pasti kaget ya, melihtat aku yang bisa dibilang sedikit berubah sih gak kayak Rifqi 5 tahun lalu, ujar Rifqi sambil menedekatiku
Mungkin Rifqi belum sadar adanya perubahan rona diwajahku yang semakin takut dengan kehadirannya, hingga ia terus berbincang-bincang.
“Rifqi stop, kita bukan mahram tak seharusnya kita seperti ini” ujarku hingga Rifqi memindahkan kursinya beberapa langkah
“kamu tuh ya Da masih sama aja kayak dulu, tapi gak papa aku suka. Oh ya aku mau ngasih ini kekamu, boneka tady, kesukaan kamu” ujar Rifqi sambil memberikan aku sebuah bingkisan
“terimakasih Rif, tapi maaf aku tak bisa menerimanya” ujarku
“kenapa?, yaudahlah kamu ternyata masih saja sama kayak dulu. Gak mau nerima barang dari orang secara Cuma-Cuma” tukasnya
Aku tersenyum kecil, aku maish sanagt menjaga pandangan mataku untuk tak melihatnya, menit yang ada dijamku kini terasa berdetak begitu lama. aku begitu tak nyaman jika harus berduaan seperti ini dengan Rifqi meski ini ditengah keramaian.
"yaudah kalo gitu selamat ya atas kelulusan kamu” ujar Rifqi sambil melambaikan tangannya tanda menyalami
Aku mencoba menolaknya dengan halus, aku mengangkan kedua tangaku namun aku enggan beresentuhan.
“kema kenapa sih Da, kamu diem ngomong sekata diem lagi. Aku udah gak marah kok Da masalah 5 tahun lalu, dan kini aku mau memperbaiki semuanya, kita tutup masa lalu dan kini kita buka lembaran baru. Aku bukan lagi Rifqi yang kamu kenal dulu yah yang urakan gak rapi dan masih banyak deh. Tapi sekarang Rifqi yang kamu lihta sudah beda Aida, aku mau kita mulai semua bangun dari awal aku dan kamu” ujar Rifqi dengan senyuman
“maaf Rif aku gak bisa” jawabku
“mengapa?” tanyanya dengan sedikit bingung
“aku sudah menikah” tukasku
“menikah, gak mungkin Da, dengan siapa aku tahu kamu gak mudah bergaul dngan laki-laki. Lagi pula ini baru jarak 1 bulan dari kelulusanmu, bukankah kamu bilang kamu tak akan menikah sebelum memegang gelar sarjana” ujarnya
“iya dulu namun sekarang tidak aku sudah menikah beberapa bulan lalu” jawabku
“beberapa bulan lalu dengan siapa Aida?, atau jangan-jangan kamu bohong padaku” ujar Rifqi
“aku sudah menikah Rifqi mengapa kau tak mempercayaiku, aku menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku” ujar Aida
“Da ini bukan lagi zaman siti Nurbaya, yang harus mengikuti tradisi. Sekarang sudah jaman now seakarang anak bisa menentukan kebahagiannya bersama siapa ia akan menjalani hidup” tukas Rifqi
“maaf Rif, namun ini adalah kenyataanya” ujarku
“dan sekarang kamu menikah, apa kamu bahagia?. Da aku tahu kamu suka sama aku, aku pernah membaca buku harianmu dan kamu menceritakan kalo kamu menyukaiku, iyakan Da” ujar Rifqi menggunakan nada yang sedikit tinggi.
Aku memang dulu pernah menyukai Rifqi, aku pernah menusikan nama Rifqi dibingkai gambar love. Diistu aku menuliskan bahwa aku sangat mengagumi Rifqi orangnya yang asik kalo diajak ngomong, paling enak diajak curhat dan yang terpenting Rifqi adalah laki-laki yang smart, aku tahu dibalik sikap Rifqi yang urakan dan gak bisa rapi dia itu sebenarnya memiliki sisi yang lemut. Sayang tak banyak yang tahu tentang sikap Rifqi yang seperti itu, termasuk ayah bunda. Ayah bunda paling gak suka kalau aku deket-deket sama Rifqi, disitu aku juga menuliskan apa yang ayah bunda harapkan kepada Rifqi. Jika memang kelak aku akan bertemu lagi ayah bunda beharap Rifqi bisa menjadi orang yang lebih rapi, sopan dan enggak urakan. Dan aku gak tahu jika hari ini Rifqi benar-benar mewujudkannya, namun benar aku tak pernah memberikan harapan apapun kepadanya. Penolakanku waktu itu memang dikarenakan didalam keluargaku taka da istilah pacaran dan waktu itu memang Rifqi masih urakan dan aku tak pernah memberikan harapan sekecil apapun kepada Rifqi untuk menungguku atau apalah. Sayang rahasia kecilku terbongkar olehnya, padahal jujur aku tak ingin ia tahu masalah hal itu bahkan untuk memberikan harapan palsu kepadanya jelas tidak.
“aku bahagia, sangat bahagia. Suamiku adalah orang yang baik dan sangat penyabar dan jika aku menuliskan hal itu, itu ketika kita masih kecil Rifqi, 5 tahun lalu dan aku harap kamu bisa maklum akan hal itu. Rifqi sungguh aku tak pernah menaruh harapan padamu, sungguh aku tak pernah berfikiran jika kamu akan membaca buku diary itu. Dan sekarang inilah yang kamu lihat dan aku berharap kamu bisa menerimanya, aku sudah ada yang punya Rif dan aku bahagia” ujarku
Mata Rifqi memerrah aku tahu dia kecewa, namun apa yang aku katakana ini memang benar adanya bahwa aku telah menikah, taka da harapan lag untuknya untuk meminta lebih, aku hanya berharap terbaik untuk Rifqi. Namun ia semakin meradang tangannya memerah ia menggenggam tanganku erat.
“Aida aku mohon, lihat mataku apakah ada dusta disetiap perkataan yang aku ucapkan, aku mencintaimu Da tulus dari hati. Aku berharap kau bisa merasakannya” ujar Rifqi yang sedang menatapku sangatlah dekat
“lepaskan” ujarku yang memang merasa tidak pantas aku melakukan hal ini
Mas Adi melihatku dari pintu belakang ia menghampiriku, tiba-tiba Rifqi melepaskan eratannya.
“apa kamu meminta mas datang kesini untuk melihat pemandangan yang seperti ini” ujar mas Adi sembari pergi meninggalkan aku dan Rifqi
Mas Adi pergi dengan begitu cepatnya, aku tahu matanya merah tanda ia marah, cemburu atau apapun itu aku tahu ia merasaknnya saat ini, mungkin ia berfikir aku menghianatinya menghianati pernikahan kita. Namun sungguh tak pernah terlintas sedikitpun difikiranku untuk menghianatinya, aku sudah berusaha melepaskannya mas, namun pegangan Rifqi sangatlah erat. Aku mencoba mengejarnya namun sayang mas Adi berlalu dengan cepatnya, ketika melihatku terjatu didepan restoran dengan cepat mang Cipto menemuiku, ia langsung mengantarku masuk kedalam mobil. Mungkin mang Cipto sedikit bingung dengan apa yang ia lihat, tak seperti biasa mas Adi meninggalkanku yang sedang tersungkur menangis.
“kita langsung kerumah ya mang” ujarku menahan air mata
Aku tak tahu aku harus bagaimana, aku tak tahu harus berkata apa. Mungkin mas Adi saat ini enggak mendengarkan aku lagi, namun aku harus menjelaskan semua ini. Aku tak mau masalah ini semakin larut, namun aku juga tak ingin memancing emosi mas Adi ditengah-tengah emosinya yang mungkin sedang memuncak. Air mataku terus berlinang hingga mobil terhenti didepan rumah, aku langsung keluar dan naik kekamar,aku kunci pintu rapat-rapat agar tak ada yang mengetahui linangan air mataku. Sontak hal ini membuat bik Siti dan bik Isah sedikit bertanya-tanya.
Muhammad Adkhal Irsyadi
Hatiku hancur entah menjadi berapa keping air mataku menetes entah mulai kapan aku menangis, jiwaku runtuh seakan dibombardir secara langsung. Aku tak pernah hancur sehancur ini dan aku tak pernah kecewa sekecewa ini. Hari ini Aida menyuguhkan pandangan yang benar-benar membuatku muak, mengapa hal ini harus terjadi disaat aku dan Aida sedang berada pada titik keharmonisan, mengapa hal ini terjadi disaat aku benar-benar mencintai Aida bahkan aku telah menaruh semua harapan dan hidupku padanya, dan hari ini dengan mudahnya ia menghancurkan semuanya. “Aida mengapa kau tega” ujarku dalam hati.
Ada sedikit sesal dihati, apakah itu laki-laki yang Aida cintai jika ia mengapa aku baru mengetahuinya, namun jika tidak lalu siapa yang menggenggam tangan Aida dengan begitu erat sontak membuatku naik darah. Jika memang laki-laki itu adalah orang yang mengisi hati Aida mengapa ia menerima lamaranku, apakah ini dikarenakan desakan kedua orang tua Aida dan hanya untuk menjalin hubungan ynag lebih dekat dengan keluargaku. Jika iya bukankah ini malah menjadi jurah pemisah diantara kedua keluarga ini.
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, entahlah aku mau membawa mobil ini kemana, aku biarkan mobil ini melaju dengan begitu cepatnya. Aku mau pulang tak mungkin pasti ada Aida dirumah, mau kekantor tak mungkin dengan keadaanku yang seperti ini, mau kerumah mama, pasti mama akan menjejari aku dengan berbagai pertanyaan. Namun setelah kutimbang mungkin kantor adalah ruang yang paling tepat untukku saat ini.
“Riska kamu batalin semua meeting hari ini dan semua kerjaan saya untuk hari ini kamu yang handle, jangan ganggu saya, saya ingin istirahat” ujarku tat kala aku sampai diruangan
Terlihat wajah Riska yang sedikit bingung dengan penampilan yang tak seperti biasanya, bahkan sekarang bisa dikatakan tampilan yang sangat tidak sopan untuk dibawa kekantor. Namun aku membiarkannya saja. Mungkin Riska juga tak berani menanyaiku, iya langsung mengiyakan apa yang aku katakana dan pergi meninggalkan aku.
Kini tinggal aku senidiri diruang ini, terlihat foto pernikahanku dan Aida yang terpasang dengan indah. Aku tak kuasa melihatnya aku memejamkan mataku aku ingin benar-benar istirahat dengan bgeitu tenangnya dan aku berharap ketika aku membukanya, semua hanyalah impian belakaku saja. Namun semakin aku menutup mataku aku semakin melihat baying-bayang Aida dalam mataku, senyumnya tawanya candanya menjadi satu seakan menjadi cambuk dihatiku. Aku membuka mataku lagi Aida, entah racun apa yang selama ini ia berikan padaku hingga aku benar-benar tak bisa berkutik darinya, sungguh aku tak bisa. Apakah mungkin ini yang dinamakan cinta sejati.
aku terbangun dari tidurku, mentari sudah berganti menjadi rembulan, aku bangun dengan begitu kagetnya. Aku meihat ponsel jam diponselku sudah menunjukkan pukul 00.00, astaghfirullan aku sudah meninggalkan sholat ashar dan maghrib. Aku langsung kemushola kantor aku mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat isya ditambang dengan qodo ashar dan maghrib. Memang jika tidur di waktu yang salah benar-benar bisa membuat orang lupa waktu. Aku mengucapkan istighfar beberapa kali, aku sadar aku begitu lalai hingga aku meninggalkan sholat wajibku hingga larut seperti ini. Setelah selesai sholat aku langsung menuju ruanganku ponselku tertinggal pasti Aida menungguku dirumah. Ketika aku sampi diruangan, tangaku terhenti ketika aku memencet nomor Aida, ada rasa sakit yang tiba-tiba lagi muncul, iya memang itu bukan mitos ataupun mimpi, aku benar-benar melihatnya dari kedua mataku sendiri. Aku kembali mengucapkan istighfar berkali-kali, aku mencoba menenangkan diriku. Kantor memang sudah terlihat begitu lenggang karena memang sudah banyak yang pulang. Bahkan mungkin tinggal aku saja yang berada disini.
“tototok” pintu terketok
“iya masuk” ujarku
“bapak belum pulang” tanya pak Naim satpam kantor yang kebetulan sedang berkeliling
“iya pak, masih ada kerjaan” jawabku
“tadi bu Aida nelfon pak, nanyain bapak udah pulang apa belum, saya jawab belum. Terus saya tanya apa ada yang belum disampaikan ke bapak, bu Aida jawab katanya gak usah. Terus ketika saya surut telfon ke handphone bapak langsung dimatiin telfonnya” ujar pak Naim
“oh ya tadi handphone saya gak aktif” ujarku mengeles
padahal memang tak ada nomor masuk ke handphoneku, mungkin Aida belum berani menghubungiku.
“pak maaf ni kalo saya boleh ngomong. Sesibuk-sibuknya bapak dikantor, kalo bisa bapak pulang kasihan pak istri bapak pasti nungguin khawatir sama bapak, atau kalau enggak minimal kabarin yang meski liwat telfon atau sms” ujang pak Naim
“iya pak ini saya juga mau pulang. Pak Naim titip kantor ya” ujarku ekpada pak Naim sambil berlalu meninggalkannya
Yang dikatakan pak Naim benar aku harus pulang, sebaik-baiknya tempat untukku adalah rumahku sendiri, selepas aku memiliki masalah dengan Aida rumahku juga adalah tempat yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah.
Aku langsung melaju mobilku dengan kecepatan tinggi, jalanan memang lagi sepi jadi aku dengan santainya melaju kecepatan mobilku, tak berapa lama aku sampai didepan gerbang, mang Ali membukakannya dengan segera, kemudian aku langsung memarkirkan mobil dibagasi dan langsung masuk kerumah, bik Isah dengan sregap membukakan pintu.
“Aida kenama bik” tanyaku
“neng Aida lagi dikamar semenjak pulang dengan menangis neng Aida belum keluar kamar tuan” ujar bik Isah
“bibik gak tanya kenapa?” tanyaku
“pintu kamarnya terkunci, saya jadi gak berani masuk” ujar bik Isah sedikit ragu
Akhirnya aku naik ketas beruntung aku memiliki kunci serepan, apakah Aida menangisi aku karena aku tadi pergi, ataukah mungkin Aida menangisi hubungannya dengan laki-laki itu karena akhirnya ketahuan, jika iya mengapa Aida begitu ngotot mempertemukan aku dengan laki-laki tersebut.
Aku berusaha membuka pintu kamarku, ternyata tak dikunci, mungkin Aida sudah membukanya ketika mendengar mobilku datang. Aku membuka pintu tanpa mengucapkan salam, masih ada sedikit sesal dengan apa yang tadi Aida perlihatkan padaku. Aku melihat Aida tersungkur sebelum ia mengetahui kehadiranku.
“mas sudah pulang?” tanyanya
“iya” jawabku
“mas mau makan?” tanyanya
“enggak” jawabku
“mas mau mandi, biar aku siapin air hangatnya” ujar Aida
“gak usah aku bisa menyiapkannya sendiri” ujarku sambil berlalu meninggalkan Aida
Aku melihat mata Aida bengkak [enuh dengan air mata, mungkin ia lama menangis. Entahlah apa yang membuat Aida bersedih namun sungguh melihat air mata Aida yang terus mengalir ingin sekali aku memeluknya mengecup keningnya menenangkan hatinya menjadi sandarannya mendengarkan keluh kesahnya menghapus air matanya yang terus saja mengalir. Tak sampai hati kau sebenarnya melihat Aida seperti ini, apalagi menjawab semua pertanyaannya dengan begitu kasar. Sebenarnya aku tak mau, namun entahlah mengapa bibir ini mengucap dengan begitu kasarnya yang aku tahu Aida pasti sakit hati mendengarnya, dari dalam kamar mandi aku mendengar suara Aida menangis sesenggukan. Aku ingin memeluknya namun aku masih merasa sakit. Aku ingin mendengarkan penjesannya namun aku juga belum siap jika penjelsannya nanti malah membuatku hancur lebih berkeping-keping lagi. Jujur aku masih takut kehilangan Aida.