Muhammad Adkhal Irsyadi
Hariku seakan sempurna kali ini, mengapa tidak kini aku telah menjadi seorang suami, menjadi imam keluarga yang akan membina bahtera keluarga bersama. Doaku semoga Allah meridoi setiap langkahku dan juga Aida mengarungi samudra lautan yang akan mengahmpiri kami dengan sakinah, mawaddah dan waromah. Sampai berakhirnya kita dalam perpsahan yang hanya Allahlah yang tahu kapan itu. Semoga Allah menuntun kita sehingga kita tak terguling dari derasnya ombak yang akan menghantam nantinya.
Janjiku untuk menjaga dan mendampingi Aida bukanlah sekedar janji yang hanya kuucapkan dalam lisan dan yang akan berakhir begitu saja. Janjiku terhadap orang tuanya Aida bahkan kakaknya Aida juga telas disaksikan langsung oleh Yang Maha Berkuasa Allah SAW, ketika ijab dan qabul ku bacakan. Inshaallah aku akan membinbing Aida sekuat tenaga, sebisa mungkin membahagiakannya, menuntunnya dan menjadikan dia satu dihati tanpa menduakannya dengan yang lain.
Seperti halnya Ali bin Abi Thalib yang tak pernah menduakan Fatimah Az-Zahra, dan sebagaimana nabi Muhammad swt, yang tak pernah mendukana Siti Khatijah dimasa hidupnya. Akupun juga akan menjaga Aida dan tak akan menduakannya seperti beliau-beliau mencontohkan kepada penerusnya.
Kamis 6 sepetember 2018, tepat sehari sebelum aku menikah. Ponselku bordering, jam sudah menunjukkan jam 19.15. ada seseorang yang mengajakku bertemu, entahlah siapa. Namun yang jelas ia sangat ingin bertemu denganku. Ada sedikit rasa gerundel dihatiku memngingat besok adalah hari pernikahanku, namun ia sangat memaksa. Maka dari itu akhirnya aku mengiyakan ajakannya.
Entah mengapa ada rasa sedikit deg-degan dengannya, bisa dikatakan iya telah 10 menit. Tak apalah tak lama juga, namun begiku waktu adalah suatu hal yang berharga dan janji adalah utang, kalau kita datang telah bukankah kita telah berhutang 10 menit kepada seseorang tersebut.
10 menit berlalu hadirlah seseorang laki-laki menggunakan kemeja kotak-kotak berwarna merah berpadu dengan warna biru disetiap garinya membuat ia terlihat begitu berkharisma, ia menbarkan senyumannya tat kala bertemu denganku.
“Adi ya” ujar seseorang yang kini sedang berhadapn langsung denganku
“iya, mas siapa?” tanyaku yang memang belum mengenal laki-laki yang kini berada dihadapanku
Memang sebelum kita berangkat, kita sempat berjanjian mengatakan baju apa yang kita kenakan jadi tak salah jika orang tersebut langsung bisa mengenaliku. Aku memanggilnya mas bukan apa, memang terlihat ia lebih tua dariku sekitar 3 atau 4 tahunan, jadi aku dengan spontan memanggilnya dengan kata-kata mas.
“belum kenalnya, yah begitulah Aida jika belum nyaman dengan seseorang ia akan lebih banyak diam” ujarnya
Aida, mengapa ia langsung menyambar ke Aida. Siapa laki-laki ini apakah ia memiliki hubungan khusus dengan Aida, jika ia mengapa ia baru datang disaat akad pernikahan tinggal menghitung jam. Sontak hatiku merasa bergetar ada laki-laki yang lebih mengenal Aida dari padaku, bukankah saat ini aku yang lebih mengenal Aida dari siapapun, apakah laki-laki ini memiliki pernah memiliki hubungan khusus dengan Aida. Namun jika dilihat dari sorotan matanya, ada sorotan mata yang sama seperti yang ditatapkan Aida, apakah ini kakaknya Aida. Tapi aku tak pernah melihatnya, bahkan untuk sebentar sajapun tidak.
“iya mas, kalo boleh tahu masnya siapa ya?” tanyaku dengan lirih
“gak usah deg-degan santai saja” jawabnya dengan senyuman
“iya mas” jawabku singkat
“kita to the point saja ya” pernyataannya sangat meyakinkan membuatku sedikit gemetar, apa yang akan dikatakan laki-laki ini padaku
“iya mas” jawabku sedikit gemetar
“kamu suka sama Aida, jawab iya atau enggak” tanya lelaki itu dengan tegas
Sontak hatiku beregtar seperti ditabuh mau perang, selama ini belum ada yang menanyakan hal ini padaku. Aku tak bisa menjawab apakah aku suka sama Aida atau tidak, karena yang aku tahu, aku hanya mengiyakan semua pernyataan karena orang tuaku. Aku tak cukup berani untuk dengan tegas mengatakan iya aku mencintainya.
“mengapa mas menanyakan ini padaku” ujarku membalik
“aku tahu kamu dan Aida disatukan dengan perjodohan, yah meskipun kalian telah melakukan taaruf terlebih dahulu, namun dalam hubungan kalian ada orang tua yang selalu menjadi sayap kalian, kemana kalian akan melangkah, bukankah mereka akan selalu membebani kalian. Sehingga kalian tidak bisa berkutik secara leluasa” ujar lelaki itu yang membuatku semakin tersontak. Siapa lelaki itu mengapa ia terlihat begitu over protective terhadap aku dan Aida. Siapa dia mengapa ia seolah-olah begitu ingin mengikut campuri hubunganku dan Aida.
Namun aku tidak mau menampakkan wajah khawatirku, aku tersenyum memabalas dan mencoba menyusun pernyataan yang bisa membuatnya mengerti.
“begini mas bukankah dalam hidup kita slalu dihadapkan dengan dua pilihan. Dan kali ini jika aku berada diposisi ini saat ini dan sekarang, ini sudah menjadi pilihanku dan apapun yang akan terjadi esok hari sebagai dampak pilihanku hari ini, itu adalah hasil yang akan aku terima dengan kedua tanganku” tukasku
“jadi kamu memilih Aida sebagai pasanganmu?. Aku hanya ingin bertanya apakah kamu mencintai Aida, satu jawaban yang ingin kamu keluarkan dari mulutmu iya atau tidak” ujar lelaki itu denagn tegas.
“bukannya sekarang aku sudah berada diposisi yang membuatkan jawaban tersendiri bahwa iya aku memilih Aida. Namun jikalau mas bertanya apakah aku mencintai Aida, sebuah pernikahan bukanlah tentang mempelai wanita dan laki-laki, dibelakang mereka ada keluarga yang harus dinikahkah. Jika mereka menyetujui dan mengiyakan, akankah kita akan menolakknya jika memang itu sumebr kebahagiaan mereka” jawabku
“jadi kamu tidak mencintai Aida?” tanya orang tersebut
“bukan tak mencintai, aku belum ingin mencintai. Karena aku takut, jika aku menaruh hatiku lebih dalam ke Aida yang sekarang belum menjadi istriku aku takut nikmat yang Allah berikan padaku akan menjadi mudhorot bagiku nantinya” ujarku
“akankah kamu sudah mulai menaruh hati kepada Aida” tanyanya kembali.
Entahlah mengapa ia sangat mendesakku, ia seakan ingin sekali mengetahui jawaban langsung dariku bagaimana perasaanku terhadap Aida, ada sedikit rasa jengkel. Namun biarlah aku harus menjelaskannya sedetail mungkin, terlepas dari siapa dia aku berharap. Dia akan mempercayaiku menjadi imam yang baik buat Aida.
“aku takut mengatakannya mas, aku takut salah. Yang jelas aku berada diposisi saat ini aku sudah memilih jalanku dan akan bertanggung jawab atas segala resiko yang ada. Terlepas dari siapapun mas, aku mohon doa dan restu dari mas, besok aku akan mempersunting Aida, doa mas sangat penting bagiku. Doakan kami menjadi keluarga yang sakinah mawaddan warohmas ya mas. Aku bisa bertanggung jawab dan menjadi suami yang baik untuk Aida. Doakan keturunan kita menjadi sakinah mawaddah dan warohmah, doakan kami bersama hingga hayat memisahkan” jawabku dengan sedikit panjang.
“Aida anaknya manja banget, ia gak suka dibohongin, paling gak suka dikasar, ia suka gak suka ditinggalin, kalau bisa ia mau ditemenin 24 jam, ia gak suka dikekang apapun itu, kalo nangis ia paling suka dipeluk dan diusap kepalanya, kalo makan ia harus ada temennya kalo enggak ia gak bakal makan, kalo udah ngerjain tugas atau apapun itu paling suka lupa waktu terutama makan sama tidur, jangan diganggu kalo dia udah tidur ia pasti bakal ngamuk, kalo tidur ia harus pakai selimut apapun kondisinya, panas sekalipun ia harus pakai selimut kalau enggak ia gak bisa tidur, Aida juga paling takut sama gelap jadi jangan ninggalin dia kalau lagi mati lampu bisa-bisa ia nangis dipojokan kamar. Warna kesukaannya coklat susu, kartun kesukaannya sponge bob, gak usah ditanya kenapa sedari kecil ia emang suka, lagu kesukaannya bengenre melo apapun itu, ia gak suka music metal ataupun rock jadi jangan pernah ngomongin itu pasti ia gak bakal nyambung, satu hal yang mungkin jarang orang tau ia paling suka sepak bola club kesukaannya adalah Barcelona tapi ia lebih suka melihat timnas laga siapapun pemainnya, kalo lagi sedih ia lebih suka muter murottal dari pada lagu melo meskipun lagu melo itu genre kesukaannya, tapi ia juga seneng sih denger music islami apalagi lagunya shibyan, makanan kesukaannya itu bakso apapun itu dari yang cilok sampek yang gedinya sepanci dia suka, dari yang isinya telur sampek yang isinya daging sapi dia juga suka, tapi kalo sarapan ia lebih suka yang ringan-ringan kayak roti atau sereal, kalo makan siang ia lebih suka yang agak berat pakai nasi misalnya, kalo malam ia lahap apa aja tapi yang paling sering dia Cuma makan buah, oh ya buah kesukaannya itu pear sam apel, ia gak suka buah lembek kayak sirsak, paling suka minum air putih minuman yang harus slalu ada didapur dan ia gak suka dingin jadi jangan dimasukin didalam kulkas, paling suka boneka teddy yang warnanya coklat, hobbynya nulis tapi jangan berani-beraninya kamu bukak dearynya kalo ketahuan dia bisa ngamuk kayak macan sama kamu, handphone baginya privasi jangan berani kamu bukak tanpa seizinnya, jangan pernah nuntut yang lebih karena ia mau seseorang yang nerima ia apa adanya toh dia juga tahu posisi dimana ia harus memosisikan diri, kalau berantem jangan pernah mutus omongannya tunggu ia reda baru jelasin semuanya. Mungkin selebihnya kamu bisa cari tahu nanti setelah menikah, bukan berarti apa tapi setidaknya kamu bisa menghadapinya diberbagai situasi dengan apa yang aku katakana tadi, maklum ia masih muda, masih labil-labilnya usia. Kamu harus siap membimbingnya dan jangan letih-letihnya untuk nasihati dia kalau dia salah, apalagi kalau penyakit manjanya melanda kamu harus siap dengar setiap celotehannya. Ia jarang bisa percaya dan nyaman dengan seseorang, tapi kalau ia sudah bisa nyaman dengan seseorang dia akan tahu satu persatu sifatnya dan ia akan mudah menceritakan setiap masalah yang ia punya, jika tidak dia akan selalu diam, sekalipun kamu suaminya” ujarnya panjang lebar.
Otakku seakan mereka setiap perkataan yang ia katakana, satu persatu kusimpan didalam draf otakku, aku tak mau ada setitikpun yang hilang dan tertinggal dari apa yang dikatakan lelaki itu tadi.
“iya mas, makasih untuk semua yang mas katakan tadi. Inshaallah aku bisa melaksanankannya” jawabku dengan tenang
“kamu masih belum tahu siapa aku” tanya lelaki itu dengan wajah memastikan
“aku, benar-benar belum mengenal mas” jawabku yang memang belum mengenal orang tersebut
Namun aku berfikir mungkin ia adalah kerabat dekat Aida, mana mungkin ada orang ayng mengetahui semua kehidupan Aida dengan begitu detailnya jika ia bukan siapa-siapa dan hanya orang lain dikehidupannya Aida.
“kenalkan, aku Fazri kakak kandung Aida. Mungin kamu belum kenal karena kamu belum melihat aku. Aku kini tinggal di Perancis mengajar disebuah fakultas disana, memang aku jarang pulang. Berita pernikahan kalian yang mendadak membuat aku baru bisa pulang hari ini, maaf sedkit mengagetkanmu” ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangannya memperkenalkan diri
Iya benar sorotan mata itu, sorotan mata yang sama dengan Aida, tak salah jika memang lelaki ini adalah kakaknya Aida, namun aku benar-benar tak mengetahui kalau Aida memiliki seorang kakak. Apalagi kakak lagi-lagi, tak heran jika ia menanyakan begitu detail perasaanku terhadap Aida, aku tahu ia ingin memberikan yang terbaik buat Aida kelak, mengingat ini adalah pernikahan yang diharapkan seklai seumur hidup oleh semua pihak. Aku merasa bahagia dan tersanjung bisa bertemu dengan kakaknya Aida, ada sedikit rasa gugup, namun aku bersyukur Aida begitu banyak yang menyayangi sebagaimana kakaknya tadi mengungkapkan semua hal tentang Aida, tak salah melakukannya. Mungkin jika suatu saat Risda akan menikah, aku akan melakukan hal yang sama terhadap calon suami Risda, menanyakan dengan sungguh apakah ia menyukai adikku atau tidak. Sayang meski aku sudah melepaskan kak Rifa, masih terlalu kecil bagiku untuk berani mengatakan seperti ini kepada mas Rio. Namun kali ini mas Fazri memberikan kisah yang berbeda tidak over, namun setiap kakak harus memberikan yang terbaik buat adiknya, bisa dibilng ini yang terakhir sebelum ia melepaskan tanggung jawabnya.
“iya mas, sebelumnya aku minta maaf banget, aku gak tahu kalo ternyata Aida punya kakak, maaf ya mas juga gak bisa ngenalin mas Fazri tak seharusnya aku bersikap sedemikian” ujarku
“tak apa Di, itu lebih baik bagiku. Agar aku tahu bagaimana sebenarnya sikapmu, aku kira kamu laki-laki yang baik. Bunda benar ayah tak mungkin memberikna Aida kepada lelaki yang buruk. Aku memang jarang dirumah dan lebih banyak dinegeri orang, jadi mulai besok aku titip Aida, jagain dia, buat dia seneng aku percaya sama kamu. Tapi jika ada laporan kamu membuat Aida meneteskan Air matanya setitik saja, jangan salahkan aku jika harus menjatuhkan tonjokan dimukamu. Kamu tahu” ujar mas Fazri dengan tegas namun masih dibalut senyuman.
“iya mas, doakan aku bisa menjaga Aida dan memberika yang terrbaik buat Aida” jawabku
“aku doakan dan aku percaya sama kamu”
Perjumpaan itu membuat aku semakin mantab melangkahkan kakiku untuk menikah dengan Aida. Alhamdulillah satu kantong restu sudah aku dapatkan, aku bersyukur banyak orang yang mendoakan semoga pernikahanku ini benar-benar akan menjadi pernikahan yang sainah mawaddan dan warohmah.
Aida turun dari atas menggunaka escalator, wajahnya terlihat berseri dan sangat berbeda dari semalam yang terlihat begitu pucat. Syukur kuucap ketika aku memandangnya, kini sudah tak ada lagi rasa takut untukku, Karena kini memandangnya adalah pahala bagiku.
“yang lain mana mas, mas sendiri?” tanyaku kepada mas Adi yang sedang duduk di loby hotel sendiri
“yang lain siapa, mama papa atau ayah bunda?. Udah pulang kali Da, dari tadi” ujar mas Adi sambil sedikit tertawa kecil
“yah mas, kok udah pulang akunya kan baru turun. Sekarang kita mau kemana?” tanyaku yang sedikit bingung
“nanti kita pulang kerumahku dulu ya Da, tapi sebelumnya aku mau ajak kamu ke toko furniture dulu”
Ada rasa deg-degan ketika mas Adi bilang kita kerumahnya dulu. Ahhhh aku takut pasti ketemu mertua yang katanya nananana, ditambah mas Adi yang anak laki-laki sendiri yang paling dimanja, ada sedikit rasa takutku jikalau aku bakal dikeritik mati-matian karena pelayananku yang bisa saja dinaggap kurang kepada mereka. Ditambah tadi pagi aku yang bangun telat, bisa mati kutu aku dihadapan mereka.
“Da, ayo taxinya udah nunggu lo, kamu kenapa sih dari kemaren ngelmaun mulu” ujarku terlihat tat kala Aida sedang ngelamun. Entah apa yang ia fikirkan terlihat ia sedikit ada beban
“enggak kok mas ayo” ujarku
Aku berjalan dibelakang Aida, ada rasa ingin menggandeng lengannya, namun ia telah pergi melaluiku tak mungkin aku dengan sengaja menyerobot lengannya.
“mas kenapa sih kita pergi ketoko furniture?” tanya Aida yang terlihat sedikit bingung
“iya Da soalnya, aku mau kamu pilih furniture yang kamu suka buat rumah kita” jawabku
“rumahnya mas Adi” jawabnya
“rumahnya aku dan kamu kali Da, mulai saat ini apa yang aku punya itu milik kamu juga” ujar mas Fazri sambil menyerahkan sebuah ATM padaku
“buat Aida mas” ujar Aida dengan begitu polosnya
“iya buat kamu, masak buat pak supirnya. Aku mau kamu yang ngatur semua uang aku, mulai dari belanja dan semua, itu sudah menjadi tanggung jawab kamu. Masalah uang kuliah kamu jangan minta ayah sama bunda ya ambil dari sini, mau kamu habisin, mau kamu sisain itu hak kamu. Ini uang kamu” ujarku sambil menekan ATM yang berada ditangan Aida yang terlihat seperti ingin dikembalikan
“iya mas Aida akan gunakan sebaik mungkin, makasih ya mas atas kepercayaannya” ujar Aida dengan manis
Sesampainya ditoko furniture, aku melepaskan Aida bak melepaskan Fadil ditoko mainan dengan gesit ia memilih berbagai perabotan untuk rumah. Terlihat ia sesekali bingung namun ia lebih banyak tenangnya. Ia bisa menego harga bahkan menanyakan keunggulan dan kelemahan setiap barang yang akan ia beli. Mulai dari perabotan elektronik hingga yang berupa kayu ia bisa sigap dengan baik. Terlihat naluri seorang wanita kalau belanja mah aduhai, tapi aku bersyukur ia terlihat begitu bahagia terlebih Aida memiliki selera yang cukup tinggi dalam memilih barang dan anehnya hampir semua barang yang Aida pilih sesuai dengan harapanku.
Tak terasa waktu telah petang, memilih furniture tak cukup bagi Aida hanya satu atau dua toko, kita bahkan bisa dikatakan muter-muter kota milih barang yang diinginkan Aida. Syukurlah semua sudah terpenuhi, aku memang sengaja mengosongi rumahku, karena aku berharap rumahku akan diisi dengan wanita yang akan menjadi pendampingku, dan kini semua terwujud Aidalah yang kini mengisi setiap ruang dirumahku. Aku berharap Aida bisa nyaman tinggal dirumah yang kini akan menjadi tempat penghabisan waktunya paling lama.
Mungkin perjalanan kali ini benar-benar membuat Aida kelelahan di taxi ia tidur dengan begitu lelapnya. Sampai mungkin ia tak sadar. Ia telah menyandarkan kepalanya dibahuku. Aku mengelus wajahnya yang terlihat begitu letih, mungkin aku tak bisa juga tak berani jika harus mengelus wajahnya ketika ia bangun.
“Da, Aida sudah sampai bangun” ujarku tat kala taxi berhenti didepan rumah.
Andai aku berani sudah kuangkat Aida dari taxi, aku tak mau mengganggu tidur nyenyak. Namun apa daya aku tak bisa, mungkin ini lebih baik untuk saat ini. Aku melihat jam ditanganku sudah menyatakan bahwa hari ini adalah tanggal 9, tanda Aida bertambah umur yang ke 22. Kuucapkan meski Aida terlihat amsih belum 100% sadar daritidurnya.
“barokallah Fi Umrik istriku semoga Allah menyertai setiap perjalananmu dan menjadikan kamu sebagai hambanya yang taat disetiap perintahNya” ujarku
Dengan sedikit tersenyum dan wajah yang acak-acakan Aida menjawab.
“udah tanggal 9 ya mas, aku ketiduran lagi maaf ngerepotin. Makasih ya mas atas doanya” ujar Aida
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman, kali ini aku memasuki rumah dengan perlahan, maklum sudah jam 12.00 pasti semua sudah tidur lampu juga sudah pada mati. Aida menggandeng tanganku dengan erat benar ternyata kata mas Fazri ia takut kegelapan, biarlah setidaknya aku nyaman dengan suasana ini.
“mas kok sepi” ujar Aida
“entahlah, mungkin semua sudah tidur” ujarku sambil membuka pintu
Dan surprise sebuah kejutan yang sengaja dibuat mama, papa, mbk Rifa, mas Rio dan Risda sontak tak hanya membuat Aida kaget akupun juga. Bagaimana tidak akupun tak dilibatkan dalam perayaan hari ini, namun aku sangat bersyukur, karena ternyata Aida diterima dengan begitu hangat dikeluargaku.
“Happy britday sayang” ujar mbk Rifa sambil memeluk Aida
“makasih mbk” jawab Aida lirih
Satu persatu dari mereka mengucapkan selamat padaku, ada air mata yang tertetes diwajah Aida tat kala ia memeluk mama, mungkin ia ingat bundanya dirumah, bagimana tidak ini baru kali pertama Aida merayakan ulang tahun tanpa kehadiran sang bunda tercinta.
“tante makasih” ujar Aida sambil meneteskan air matanya
“jangan sedih dong sayang, jangan bilang tante juga panggil mama. Kan sekarang tante jadi mama kamu juga” ujar mama dengan penuh cinta
“iya tante, eh mama” ujar Aida sambil memeluk mama
Ada rasa kebahagiaan sendiri hari ini, setelah kedatangan mas Rio ditengah-tengah keluarga ini, kini ada giliran Aida yang datang dikeluarga kami. Melihat semua bisa lepas tertawa bahagia ada kebahagiaan tersendiri yang aku dapatkan. Beginilah bahagianya bisa menjalin hubungan yang direstui semua buah pihak. Tak ada yang disakiti dan merasa tersakiti, memang benar menikah itu bukan tentang kedua belah mempelai, namun juga kedua keluarganya dan jika kedua hal itu bisa dinikahkan baginilah bahagianya, seperti apa yang aku rasakan saat ini.
“udah yuk nangis, nagisannya. Aku lapar kita makan yuk” ujar Risda sambil mengelus perutnya
“iya ayuk makan” ujar papa sambil menuju meja makan
“asal Mbk Aida tahu ya, kita belum makan malam tau, nunggu mbk sama mas Adi lama banget pulangnya, untung kita gak mati kelaparan. Dan mbk Aid juga harus ngerasain tumpengnya mama, enak banget seriusan Risda gak boong. The best deh pokonya tumpengnya mama” ujar Risda sambil mengambil satu persatu lauk yang dihidangkan dimeja makan
Aida hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
Selanjutnya kita makan malam, bersama memang tumpeng mama beda dari yang lain. Setiap diantara kita ada yang berulang tahun selalu mama membuatkan kita tumpeng disamping kue tar. Tapi syarat pertamanya adalah tumpeng, tujuannya sih untuk syukuran, yah meskipun Cuma keluarga kecil ini saja. Namun disuasana-suasana seperti inilah yang membuat kehangatan dikeluarga ini menjadi terasa nyata. Aku juga bersyukur kehadiran Aida dikeluarga ini bisa disambut dengan begitu baik. Senyum bahagia juga terpancar dari wajah Aida, aku hanya bisa berharap kehadira kita sekeluarga bisa mengobati rindu Aida terhadap keluarganya meskipun tak sepenuhnya.
Aida Safitri
Hari ini terasa sangat menyenangkan bagiku, yah meskipun aku diawali dengan sedikit kesalahan karena aku bangun terlalu siang, namun ah lupakan. Toh fikiranku tentang mamanya mas Adi yang kukira akan memarahiku berubah menjadi kehangatan, aku sadar hubungan yang direstui oleh semua buah pihak akan menjadi hubungan yang utuh dan hangat. Hari ini aku membuktikan bahwa aku telah diterima dikeluarga ini dengan sangat terbuka aku bersyukur, semoga langkah yang kutempuh bersama mas Adi akan menjadi langkah yang terbaik menuju kebahagiaan baik dunia maupun akhirat sebagai tujuan akhirnya.
Setelah masuk kedalam kamar aku segera membuka ponselku aku tahu handphoneku sempat mati beberapa saat, kemudian aku mengambil charger dan mengisinya, ketika kuhidupkan banyak telfon yang tak terjawab, kebanyakan dari Warda dan Pricil. Pasti rutinitasku setiap tahun adalah nginep dirumah salah satu temen kita yang lagi ultah, dan kayaknya hari ini bakal jadi moment yang bakal terjadi setiap tahun diulang tahunku, tanpa Warda dan Pricil. Baru akan mau menelfon mereka handphoneku telah bordering Pricil rupannya.
“Happy birthday my friend, happy for you my best. I wish you all the best” ujar Warda dan Prcil yang ternyata mereka bersama
Sepotong lirik lagu yang pernah dipopulerkan oleh girl band di era 2014. Lagu ini yang sering kita nyanyikan besama ketika ada salah satu dari kita yang ulang tahun dan kali ini hanya via telfon yang mungkin jaan terbaik untuk mengenang kebersamaan kita
“makasih” jawabku dengan senyuman
“susah banget sih di telfon penganten baru. Padahal kita mau ngucapin yang pertama” ujar Warda
“apaan sih enggak, tadi handphone aku mati”
“mati apa dimatiin” tambah Pricil
“enggak, emang mati. Btw makasih ya yang udah inget ulang tahunku” ujarku
“iya , kadonya nyusul ya dikampus” cerocos Warda
“maksih juga buat kadonya” sebutku
“udah ya Da bye-bye udah malam, Assalamualaikum” ujar mereka kompak
“siapa Da, kok kayaknya sik banget?” tanya mas Adi yang terlihat memperhatikanku sedari tadi
“Pricil sama Warda mas, ngucapin ulang tahun” jawabku
“kamu tidur ya udah malam” ujar mas Adi
Aku hanya mengangguk dan memosisikan badanku disebelah kiri kasur, mengahadap gorden yang tertutup rapat, aku memosisikan badanku dengan begitu ringkihnya ketepi. Aku tak mau akan terjadi suatu hal yang akan membuatku merasa bersalah.
Mataku sangat sulit dipejamkan, aku takut kejadian semalam akan terjadi lagi. Aku bangun jam 7, iya mungkin kemaren mereka bisa maklum, kalo sekarang apa lagi ini dirumah mas Adi, jujur aku bingung. Mana mungkin aku meminta mas Adi membangunkanku, bukannya sebagai istri yang baik kita harus bangun sebelum suami bangun. Aku berfikir keras, terlihat mas Adi yang sedang sholat dengan khusuyu’nya.
Aku tersenyum jam sekarang menunjukkan pukul satu lebih, terlihat mas Adi sholat malam dengan begitu khusu’nya, sempat tadi beberapa saat di taxi mas Adi tidur, akhirnya aku tidur juga, eh malah mas Adi duluan yang bangun, jadi malu aku. Tapi melihat mas Adi yang seperti ini, inshaallah langkahku benar. Laki-laki seperti inilah yang inshaallah akan menjadi imam yang baik untukku. Tak perduli siapa dia dan bagaimana dia, jika memang ia memiliki agama yang kuat inshallah yang lain akan ikut.
Akhirnya aku memasang alarm di handphone jam 04.00, aku harap aku tak bangun kesiangan. Maklum kalo dirumah ada bunda yang akan menjadi alarm setiaku, tapi sekarang sepertinya aku membutuhkan alarm yang lebih canggih yang bisa membangunkanku melebihi suara bunda. Aku harap handphone ini bisa berfungsi dengan baik.
Aku langsung menyimpan ponselku tat kala melihat mas Adi selesai sholat, aku langsung memjamkan mata, supaya mas Adi tahu aku sedang terlelap tidur, mas Adi meletakkan sajadan ditempat yang semestinya, kemudia ia menuju tempat tidur. Pandangannya tertuju padaku yang sedang berusaha menipunya dengan mata tertutupku. Ia mendekatiku hingga sekarang ia berada sejengkal diatas kepalaku. Apa yang akan ia lakukan rasa deg-degan menghimpun dadaku, bagaimana jika dia mendengarnya dan mengetahui kalau aku belum tidur. Akankah ia akan mengecup keningku atau lebih dari itu, namun aku berusaha untuk tenang dan memasang wajah selayaknya orang tidur.
“selamat tidur sayang, mimpi indah” ujar mas Adi sambil mengelus keningku.
Aku mengehela nafas panjang, entahlah mengapa aku seperti ini bukankah akan bernilai padahala jika mas Adi mengecupku hanya mengecup, bukankah aku kini telah menjadi istrinya. Istri yang harus melayani suami. Sekarang apapun yang akan mas Adi lakukan padaku itu bernilai ibadah. Aku tahu itu, namun mengapa aku enggan. Sampai kapan aku akan seperti ini.
Aku mencoba membuka mata, terlihat wajah mas Adi yang begitu letih, seakan ia sudah lama tak memejamkan matanya. Wajahnya yang tampan, kini memperlihatkan wajah polosnya seakan anak yang masih berusia 2 tahun. Tidurnya menghapku sekalipun aku tidur membelakanginya, jadi inget mpok Atik, ia selalu cerita suaminya akan marah besar kalau mpok Atik tidur membelakangi suaminya. Apakah aku juga salah jika aku tidur membelakangi mas Adi, bukan berarti apa. Tapi aku belum siap jika harus terjadi apa-apa. Namun apakah aku salah jika sekarang aku menjadi istri dan aku belum bisa menjalankan tugasku sebagai seorang istri.
“mas Adi doakan aku ya, bisa menjadi istri yang sempurna buat mas. Buat aku percaya dan nyaman ada disampingmu hingga aku bisa menyerahkan semuanya untukmu” tiba-tiba aku meneteskan air mata seketika, aku merasa aku belum bisa sempurna menjadi istri mas Adi yang sangat baik. Bahkan aku inget mas Adi telah memberikan nafkah lahir padaku dan tak Cuma-Cuma. Entah berapa uang yang ada di ATM yang mas Adi berikan padaku, jadi merasa bersalah aku telah menguras habis uang mas Adi di ATM karena belanja furniture.
“kiringggggggggggggg” suara ponselku berbunyi menandakan waktuku untuk bangun, aku mengolet tipis. Kalau ingat dirumah pasti sudah kubanting ponselku, aku menarik selimutku dan menunggu bunda menggedor-gedor pintuku baru aku bangun. Tapi kali ini aku harus bangun lebih pagi, memosisikan diriku seperti bunda.
Aku menggerayah tanganku kekanan, “lempeng” gumamku, “dimana mas Adi, jangan bilang aku bangun kesingan lagi” gerutuku dalam hati. Aku segera melihat jam di handphoneku, terlihat pukul 04.00 aku bangun tepat. Kenapa mas Adi gak ada.
“kreek” suara pintu terbuka
“mas Adi udah bangun?” tanyaku melihat mas Adi yang sudah mengenakan baju koko, sarung dan kopyah yang terlihat begitu tampan
“iya, kamu sudah bangun”ujarnya
“aku kesiangan lagi ya mas, padahal aku sudah masang alarm, bia gak telah bangun. Eh ternyata masih ada duluan mas Adi”
“emang kenapa kalo duluan aku” ujarnya dengan senyuman tipisnya
“ya enggak”
“harus kamu juga yang bangunin aku” serobotnya tiba-tiba
“kata bunda”
“Da, aku gak minta lebih dari kamu. Aku Cuma mau kamu dampingin aku, ada untukku disetiap waktu, udah itu aja. Selagi aku bisa melakukan sendiri, kamu gak usah khawatir ya” ujar mas adi benar-benar membuat aku luluh. Ia tak meminta apa-apa, namun aku tak bisa memberikan apa yang seharusnya ia dapatkan. Tak pernah menuntut lebih, aku suka tapi sekarang posisnya kan aku yang terlihat jahat, padahal…
“iya mas” jawabku lirih
Setelah membersihkan diri, aku langsung kedapur, aku langsung ikut nimbrung bareng mama dan mbk Rifa yang sedang asik masak.
“udah bangun sayang” ujar mama dengan penuh hangat
“udah kamu duduk aja, pengantin baru gak boleh capek-capek. Apalagi semalam kamu pulang malam, pasti capek bangetkan” ujar mbk Rifa
“enggak kok mbk, enggak capek sama sekali. Sini Aida bantuin” tukasku smabil membawa potongan kangkung yang mau dicuci.
Aku memang boleh gak bisa, apalagi bangun pagi sendiri. Tapi kalo urusan masak, aku boleh diuji. Beruntung bunda slalu menekanku bahwa sehebat-hebatnya seorang wanita kodratnya adalah didapur, jadi jagan sampai seorang wanita gak bisa masak. Apalagi kalau sudah punya suami, bisa kabur nanti suaminya. Ujar bunda sih. Namun apa yang unda katakana aku terapkan dengan begitu baik, akhirnya deh sampai saat ini aku bisa memasak makanan, dari yang mulai tingkah mudah, menengah hingga beberapa masakan keatas aku bisa.
“happy birthday ya Ounti, semalam Fadi ngantuk banget jadi Fadil gak nungguin Ounti pulang” ujarnya dengan sedikit peletnya karena memang iya masih kecil
“makasih sayang, iya memang Ounti yang semalam pulangnya kemalaman” ujarku smabil memegang pipi Fadil
Acara sarapanpun dimulai, entahlah aku harus makan apa. Terlihat berbagai menu dihidangkan aku tak mengerti harus memilih mana, bukan maksut tak berselera tapi aku memang tak bisa sarapan dengan yang terlalu berat. Mungkin ini yang dinamakan penyesuain diri, kalo dirumah sarapan paling Cuma ada roti, susu, sereal dan sejenisnya. Kalo disini makan paginya 4 sehat lima sempurna dari mulai nasi, sayur, lauk pauk, susu, sampai buahpun juga dihiangkan.
Melihat aku yang sedikit kebingungan mas Adi pergi kedapur ia membawa roti dan selai coklat, ia menyerahkan padaku.
“kenapa Aida kamu gak suka makanannya, atau mama masakin yang lain” ujar mama tat kala melihat mas Adi menyerahkanku sebuah roti dan selai
“Aida gak bisa makan pagi sama yang berat-berat ma” ujar mas Adi tegas
Jujur aku merasa tidak enak perasaan dengan mama, bahkan mama sempat menawariku masakan lain. Maaf ma ujarku dalam hati. Jika tak ada mas Adi yang menyerobot pembicaraan mama mungkin aku bisa mati kutu dimeja makan.
“oh ya mama lupa, bunda kamu udah pernah cerita lo sama mama, kalo kamu gak bisa makan berat-berat. Mam sampai lupa, maaf ya sayang” ujar mama yang terlihat mama sudah banyak mengerti tentangku dari bunda
“enggak ma, Aida yang seharusnya nyesuain”ujarku
“Aida gak papa sayang, udah kita makan yuk bareng-bareng” ujar mama memulai sarapan kali ini
“Di makanan enak gak” ujar mbk Rifa secara tiba-tiba
“enak” ujar Risda
“ah da, kamu mah apa aja juga enak” ujar papa
Memang mas Adi adalah orang yang plaing kritis dengan makanan, ia bisa membedakan masakan satu dengan masakan lainnya meskipun denagn resep yang sama. Entahlah lidah apa yang dimilki olehnya hingga ia bisa merasakan perbedaan tersebut. Namun mas Adi tak pernah komentar dengan apa yang disajikan dimeja makan, sekalipun rasanya hambar ia slalu melahapnya tanpa komentar, baginya apa yang disediakan untuknya slalu ia hargai. Kecuali saat ini jika ditanya, ia akan menjawab sesuai dengan apa yang ia rasakan.
“enak, gak kayak biasanya enakan ini malah” ujarnya
“kamu suka gak?” tanya mbk Rifa, penuh curiga
“sukalah, ini banget aku gak bohong. Tuh papa saja sampai nambah” ujar mas Adi sambil menunjuk kearah papa
Papa tertawa terkekeh melihta tuduhan mas Adi yang ternyata benar.
“biarin kenapa Di, papa masih suka-sukanya makan masakan menantu baru papa enak banget. Kalo kamukan besok tiap hari dimasakin kalo papakan enggak” ujar papa tanpa mau disalahkan
Mas Adi melirikku sambil tersenyum kecil
“kamu yang masak” katanya penuh curiga
Aku hanya menjawab dengan senyuman kecil juga. Aku bersyukur masakanku bisa serasa dengan lidah mas Adi, ada ketakutan sebelumnya jikalau mas Adi tak menyukainya. Alhamdulillah bagiku jika ternyata mas Adi juga serasa dengan masakanku.
Setelah sarapan mas adi mengajakku kerumah bunda, mas Adi tahu kalo hari ini mas Fazri dan mbk Naura akan terbang ke Perancis, jam sudah mepet akhirnya mas Adi langsung melaju mobilnya menuju bandara, setelah sampai kami langsung menghubungi mas Fazri menanyakan posisinya saat ini.
Jujur aku belum sempat melepas rinduku kepada mas Fazri rindu sekali. Kau sudah lama tak berjumpa dengannya sekali berjumpa hanya sesaat aku bertemu dengannya dan kini mas Fazri sudah bakal pergi lagi.
“mas Fazri” sapaku tat kal aku melihat laki-laki membawa koper yang aku yakin itu adalah kakakku
“halo sayang” ujarnya sambil menyambar pelukanku
“yang hari ini ulangtahun senyum dong, masak nangis” ujar mas Fazri sambil mengelum kepalaku yang kini sedang ada dipelukannya
“bodok amat, kado” ujarku
“udah, sama kado pernikahan kemaren. Pasti kamu belum tahu ya apa, ntar kamu juga tahu. Tinggal nunggu waktu aja” ujarnya
“apaan sih gak jelas banget, ngasih kado ko pakek entar-entaran” ujarku
“biarin” jawabnya singkat
“udah tahu adeknya ulang tahun eh malah ditinggal pulang kakak macam apa tuh” tambahku
Mas Fazri hanya tersenyum, aku tahu kepulangan mas Fazri saat inipun sangat mendesak mengingat bunda yang mengabari mas Fazri baru 2 minggu sebelum pernikahan, hal ini pasti membuat mas Fazri dan mbk Naura kelibengan, tak mungkin ia tak pulang namun ia juga tak mungkin meminta cuti mendadak. Alhasil mas Fazri Cuma dapat cuti 2 hari di Indonesia dan sisanya buat pulang-pergi. yah meski begitu aku bersyukut, mas Adi bisa hadir menyaksikanku menikah.
Namun, hari ini aku seakan tak mau melepaskan pelukanku dari mas Fazri, meski kini telah ada mbk Naura aku tak perduli. Bagiku sampai kapanpun mas Fazri tetap menjadi kakak terbaikku, tanpa ada yang bisa memisahkan aku dan dia.
Mas Adi terlihat menyalami bunda yang juga mengantarkan keberangkatan mas Fazri. Ayah memang tak ikut karena ayah memang sedang ada rapat penting. Jadi hanya bundalah yang ada disini saat ini.
“jangan cemburu ya Di, memang gitu mereka berdua deket banget. mbk awalnya juga gitu, tapi lama-lama mbk tahu gak bakal ada manta adik atau kakak kapanpun itu. Karena kehadiran kita jangan sampai merusak hubungan mereka” ujar mbk Naura kepada mas Adi yang kini berdiri disampingnya
“iya mbk, aku juga tahu mas Fazri sudah banyak cerita tentang kedekatannya dengan Aida” jawab mas Adi
“syukur kalau begitu” jawab mbk Naura
“aku masih kengen tahu” ujarku sedikit menggunakan nada tinggi
“apaan sih, manja banget. Ntar kalo Adi udah cuti kantor kamu bulan madunya ke Perancis aja. Kan bisa ketemu kakak” ujar mas Fazri
“ogah, ntar palingan aku suruh lihat menara eifelll mulu. Mana sempet mas Fazri ngajak aku jalan-jalan sibuk mulu” tukasku
“2 tahun lagi kontrakku habis, jadi aku akan pulang ke Indonesia. Ngajar disini aja, biar adekku yang manja ini gak marah-marah. Terus kalo masalah jalan-jalan kamukan udah ada Adi masak iya masih nyantol mulu sama masnya” ujar mas Fazri sambil mencawing pipiku
Aku hanya terdiam
“inget kata-kata mas, jadi istri yang bakti sama suami. Buat Adi laki-laki yang paling beruntung bisa menikahimu” ujar mas Fazri
“iya” jawabku singkat
Tak berapa lama kami mengobrol, penerbangan mas Fazri akan segera berangkat, mas Fazri dan mbk Naura pamit. Azril yang kini berada digendonganku tak habisnya aku kecupi keningnya, bagaimana tidak dia adalah anak kecil yang pertama kali menghiasi rumah tat kala aku dan mas Fazri sudah dewasa.
“Ounti aku berangkat ya, 2 tahun lagi aku menetap disini bareng Ounti. Kalo aku udah disini aku harus ada temennya. Buatin aku adek bayi Ounti ya yang cewek tapi” ujar Azril yang masih polos tanpa merasa sungkan atau apa
“Azril” ujar mbk Naura sedikit agak tinggi
“kita berangkat dulu. And Di jagain ya meskipun cerewet manja kamu harus sabar, inshaallah kalau kamu bisa membimbingnya dia baka jadi istri yang baik buat kamu” ujar mas Fazri
“iya mas amin” jawab mas Adi
“apaan sih orang aku baik ini” ujarku sambil mncubit perut mas Fazri
“udah ayo berangkat sana, keburu ketinggalan nanti” ujar bunda
Akhirnya pesawat yang membawa mas Fazri terbang meninggalkan landasar dengan begitu cepat. Terlihat suara mendesah dari bunda.
“bunda sendiri lagi deh” ujar bunda yang tiba-tiba terlihat sedih
“kan masih ada Aida, aida bakal sering main kerumah bunda” ujarku
“siapa nyuruh” ujar mama dengan menggunakan nada sedikit tinggi
“maksutnya?” tanyaku bingung
“kamu gak boleh sering-sering kerumah bunda, kamu harus dirumah nungguin suamimu pulang kerja. Jangan pergi tanpa izin dari suamimu. Di kalo Aida ngelanggar, marahin aja. Dia sekarang sudah menjadi tanggung jawabmu” ujar bunda tegas
“iya bunda” jawab mas Adi singkat
“kalo aku rindu bunda?” tanyaku
“kamu kerumah tapi sama Adi, kalo enggak. Gak bakal bunda buka pintu rumah” ujar bunda dengan begitu tegas.
Yah begitulan hidup, adalakanya kita bisa hidup bahagia dengan banyak orang. Kadang kita juga harus hidup dalam kesendirian demi kebaikan juga. Kalo setiap orang ingin menghendaki apa yang ia kehendaki. Pasti semua akan hancur tak sesuai tatanan. Aku tahu bunda begitu kesepian dirumah. Sendirian tanpa aku dan mas Fazri, aku tahu bunda akan seneng banget jikalau aku bisa tinggal dirumah bareng bunda dan ayah. Tapi bunda sadar aku tak lagi menjadi haknya karena aku kini sudah memiliki suami. Berani menikahkanku sama halnya dengan berani melepasku dan bunda kini benar-benar telah melepasku.