Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Abriel menemukannya setelah hampir satu jam lamanya ia berdiri di lobi hotel itu. Gadis itu terlihat menunduk ketika melangkahkan kakinya keluar dari koridor di belakangnya. Untuk sesaat, Abriel hanya memandanginya. Hingga akhirnya gadis itu mendongak dan mata mereka bertemu.

"Dan angsa tersesat itu pun ditemukan," ujarnya seraya menghampiri Isabel. " Aku cuma terlambat enam belas menit, tapi kamu udah pergi. Aku baru dapat surat kamu jam setengah empat sore—kebayang, kan?"

Isabel hanya merengutkan dahinya, tampak tidak begitu menyimak ucapan Abriel.

Meski mendapat reaksi dingin, Abriel tetap berjalan di sebelah Isabel. "Bajuku basah semua gini apa kamu nggak kasihan?" ratapnya. "Tadi sampai bisa diperas, lho."

Isabel masih terus berjalan, mengikuti lampu jalanan, tak jelas arah tujuannya. Sementara Abriel masih mengekor dua kaki di belakangnya.

"Kita naik motor aja, yuk. Motorku masih diparkir di dalam," desah Abriel, tapi Isabel tidak tampak memedulikan.

"Kamu aja yang naik motor, aku lagi butuh waktu untuk mikir."

Tanpa berkata-kata lagi, Abriel pun mengikuti punggung Isabel. Hingga di percabangan jalan, Isabel tampak berhenti untuk memilih jalan yang akan dituju.

"Betulan yang kamu tulis di surat kamu, tentang perasaan kamu?" Abriel kembali berkata.

Isabel sudah memilih jalan, ke kanan. Sambil mantap melangkahkan kaki, ia masih memandang jalan lurus-lurus. "Tadinya sih, iya."

"Tadinya? Emang sekarang gimana?" Abriel kembali menjajarkan langkahnya dengan gadis itu.

Isabel menghela napas. "Ngakunya gentle, tapi lihat cewek bawa tas segede gini aja kamu nggak inisiatif nawarin diri buat bawain." Isabel mengedutkan tas dalam genggamannya.

"Eh, sori, sori." Abriel pun segera mengambil alih dua tas Isabel.

Dalam keheningan, mereka pun berjalan beriringan.

"Hari ini saya ketemu sama orang-orang yang bully saya waktu SMA," cetus Isabel tiba-tiba. "Mereka jebak saya, pura-pura hired saya, tahunya mereka sengaja mau ngerjain saya."

Langkah Abriel refleks terhenti, rahangnya sontak mengeras. "Kenapa kamu nggak bilang dari tadi? Terus, apa yang mereka lakuin sama kamu?"

Isabel menengok. "Rasanya malah lega. Hari ini pertemuan dengan mereka nyadarin saya banget, kalau nyatanya saya udah sembuh. Mungkin selama ini sebenarnya saya udah sembuh."

Sebelah tangan Abriel terjulur untuk menggenggam jemari Isabel yang dingin. Tanpa kata-kata, kali ini Abriel-lah yang membimbing langkah keduanya. "Nggak akan aku biarin ada yang nyakitin kamu lagi. Mulai sekarang, aku janji akan ada terus buat kamu. Mau kamu usir, aku bakal tetap di sini kamu. Terserah aku, kamu jangan ngatur lagi."

Isabel mendongak, tapi Abriel tidak balas menatapnya, melainkan menatap lurus jalanan di depannya. Rapat, Isabel bisa merasakan genggaman itu membuat sekujur tubuhnya diliputi getaran dan kehangatan yang amat disyukurinya hingga ke dalam hatinya, mencairkan bagian-bagian yang keras dan beku.

 

* * *

 

Ada bagian yang berusaha dipadamkan di dalam hatinya. Menyakitkan, tapi sekaligus melegakan. Dengan begitu, ia tidak lagi terbelenggu fase panjang penantian itu. Tapi ia tidak yakin ketika ia memasuki fase barunya kini, melupakan—merelakan, itu akan semudah ketika ia dibuatnya jatuh cinta.

Adit mendorong kursi mobilnya ke belakang hingga ia bisa merebahkan diri sekaligus merilekskan sebagian syarafnya yang menegang dan kaku. Meski di luar sana teman-temannya tengah berkumpul, ia belum ingin bergabung dan meringkuk di tengah keramaian itu.

Terdengar suara ketukan di kaca mobilnya. Adit menurunkan lengannya yang sejak tadi digunakan untuk menutupi matanya. Ia mengecilkan volume stereo-nya, kemudian menekan salah satu tombol untuk menurunkan kaca jendelanya.

"Dit, ada yang nanyain lo, tuh," ujar Jemmy yang dikenal sebagai kuncen bengkel tempat nongkrong mereka.

Tampak tidak tertarik, Adit berkata, "Siapa, Jem?"

"Jihan. Temennya Rista," ujar Jemmy seraya mengedikkan dagu ke arah salah satu dari dua cewek yang sedang mengobrol bersama teman-temannya: cantik, tinggi semampai, dan sepertinya ada garis keturunan arab. Gadis itu melirik ke arah Adit.

Adit nyengir lemah. "Next time deh, Bro," gumamnya.

"Yakin lo, Dit? Bening gilak kan tuh cewek."

Adit mengangguk. "He-eh, emang cakep banget. Tapi next time, deh—eh, wait, bentar, bentar." Ia lalu merogoh sesuatu di dalam dasbor mobilnya, memungut kotak beledu hitam dan mengulurkannya pada temannya itu. "Tolong lo kasihin ini buat Jihan, ya, bilang aja salam kenal dari gue.  Mau dikasihin nyokap, tapi bukan seleranya. Kalau dia nggak mau, buat lo aja, kasihin siapa gitu, kek."

Jemmy membuka kotak itu, alisnya sontak naik melihat untaian kalung emas putih yang begitu indah itu. "Asli lo mau kasihin barang semewah ini ke cewek yang bahkan belum lo kenal?"

"Bawel ah, lo, Jem. Ya udah, ntar gue kubur aja biar beranak," gerutu Adit seraya merebut benda itu dari tangan Jemmy. Ia lalu menggeletakkannya ke jok belakang dan kembali merebahkan dirinya, ditemani musik sayup-sayup dari stereo mobilnya.

Malam itu, Adit belajar satu hal bahwa, seburuk apapun harinya, dunia akan terus berputar di bawah kakinya—hidupnya akan terus berjalan, bersama atau tanpa Isabel.

 

* * *

 

Isabel menghitung, sudah enam kali Abriel bersin. Ia menyentuh punggungnya, pakaian yang menempel di kulitnya masih terasa lembap.

"Habis ini langsung balik, ya," ujar Isabel. "Baju kamu lembap dan udaranya lagi dingin banget. Ntar kamu sakit, lagi."

Abriel yang sedang asyik menyantap bubur kacang hijaunya menoleh. "Kamu nanti nunggu di sini bentar, aku aja yang balik ambil motornya. Nanti aku lari, biar cepat."

"Kita telepon taksi aja, nanti abis aku antar kamu ke hotel tadi, kamu bisa langsung balik," usul Isabel.

"Kita pulang sama-sama. Aku bawa helm," Abriel menandaskan.

"Helm putih yang pernah dipakai cewek itu?"

"Emangnya kamu pernah lihat Irena pakai helm itu? Lagian, huruf 'I' kan bisa dipakai juga buat kamu: Isabel," goda Abriel sambil menahan sekelumit senyumnya. "Besok deh aku nyari tukang stiker, aku ganti hurufnya pakai nama lengkap kamu."

Isabel menggeleng. "Bukan gitu..."

"Atau kamu mau pakai helm aku?" Abriel berusaha membujuk. "Nanti kita sama-sama cari helm baru yang cocok buat kamu, ya."

"Nggak. Masalahnya bukan itu," tegas Isabel.

"Terus?"

"Saya belum mau balik. Saya harus ngasihin ini." Isabel menepuk tas kulitnya.

"Emang tas itu isinya apaan?"

Perlahan, Isabel menarik ritsletingnya, dan Abriel bisa melihat beberapa gepok uang pecahan lima puluh ribuan dan seratus ribuan, serta beberapa buah boneka Barbie, boneka beruang kecil, dan benda-benda lainnya.

Cepat, Abriel menutup kembali tas tersebut. "Ngapain kamu bawa mainan sama duit sebanyak ini?" bisiknya, takjub.

"Semuanya mau saya kasih buat Papap saya—itu udah niat saya sejak dulu. Kayaknya yang Papap butuhkan sejak dulu adalah uang. Mungkin, itu bakal bawa kebahagiaan buat Papap saya. Semuanya ada tujuh puluh dua juta, saya kumpulin semuanya sejak lama. Dari sisa duit jajan, sampai hasil kerja selama hampir satu tahun belakangan ini. Mainan-mainannya, untuk adik-adik tiri saya. Saya punya tiga adik tiri, tiga-tiganya perempuan. Dua di antaranya masih kecil banget, mereka pasti seneng saya kasih mainan ini. Tapi saya belum berniat buat ketemu mereka, barangkali akan saya geletakin di pintu rumah mereka aja."

Abriel menatap wajah Isabel, dalam hatinya ia terenyuh melihat kebulatan tekad dalam wajahnya. "Terus, kamu mau balik ke Subang? Malam-malam gini?"

"Besok, sih. Makanya saya nggak bisa pulang bareng kamu."

"Kalau gitu besok kita pergi sama-sama."

"Tolong," desah Isabel. "Buat kali ini biarin saya aja yang berangkat, ya..."

"Perjalannya jauh, rutenya sulit—kamu kan tahu sendiri..."

"Abis semua ini, kita bicarain lagi semuanya..."

Abriel memotong perkataan Isabel dengan bersinnya.

"Tuh, kan, kamu flu. Saya telepon taksi sekarang, ya."

"Maksud kamu, bahkan setelah hari ini, hubungan kita masih belum ada kepastian?" Abriel berusaha mengembalikan topik pembicaraan mereka. "Aku sampai nggak tahu kapan aku bisa tenang atau pasang waspada sama rencana-rencana di dalam kepala kamu."

Isabel menatap Abriel lekat-lekat. "Saya yakin sama perasaan saya sama kamu. Tapi, selalu ada bagian dalam diri saya terus butuh diyakinkan. Dan masalahnya, saya tahu itu salah. Itu artinya saya nggak yakin sama masa depan hubungan ini."

Abriel meremas lembut jemari Isabel. "Kalau kamu nggak tahu caranya, biar aku yang bimbing. Tapi kita janji sama-sama, ya..."

"Kamu nggak perlu buat janji. Kalau saya hanya bisa ditenangkan dengan janji kamu, janji-janti itu nggak akan ada lagi maknanya."

"Jadi, mau kamu gimana?"

"Mau saya, kita ngejalanin semuanya dengan cara yang paling sederhana," jawab Isabel.

Abriel terkekeh ironis. "Lucu rasanya membahas kesederhanaan sama orang paling rumit di dunia kayak kamu."

"Saya dan kamu. Kita memang dua kepala paling rumit di dunia yang sekuat tenaga mencoba mencari persamaan di antara logika-logika usang," Isabel membenarkan.

Abriel mengangkat sendoknya dengan ironis. "Untuk kita. Untuk hari ini dan besok. Dan idealisme cinta kamu yang sulit dipahami manusia biasa kayak aku."

Isabel mendentingkan sendoknya pada punggung sendok Abriel. "Cheers."

"Apapun cara kamu, layak dicoba. Dan hubungan kita, layak diperjuangkan. Udah terlalu jauh untuk balik dan nyerah," Abriel menekankan setiap katanya dengan sungguh-sungguh.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Andrafedya

    @shalsabillaa semoga ga mengecewakan ya, terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • defreeya

    Actually, It's not my typical genre. But, si author menceritakannya dgn indah sih *lanjut baca lagi*

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • shalsabillaa

    narasinya menarik. Membuat ikut hanyut dalam cerita. Ingin bisa menulis sebagus ini amin XD

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @Zeee terima kasih banyak udah ngingetin, sangat seneng ada yg apresiasi

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Zeee

    Luak atau luwak? *bertanya2

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @hijauoren tapi untunglah mereka sebetulnya saling menyayangi. terima kasih sudah comment

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Andrafedya

    @ysrsyd terima kasih untuk semangatnya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • dayana_putri

    Sakit itu ketika adik kita lebih belain pasangan kita daripada saudara kandungnya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ysrsyd

    Seruuu semangat

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
THE WAY FOR MY LOVE
478      369     2     
Romance
Senja Menggila
394      278     0     
Romance
Senja selalu kembali namun tak ada satu orang pun yang mampu melewatkan keindahannya. Dan itu.... seperti Rey yang tidak bisa melewatkan semua tentang Jingga. Dan Mentari yang selalu di benci kehadirannya ternyata bisa menghangatkan di waktu yang tepat.
Kamu&Dia
270      211     0     
Short Story
Ku kira judul kisahnya adalah aku dan kamu, tapi nyatanya adalah kamu dan dia.
LARA
8854      2149     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
Untuk Reina
25964      3980     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Sebuah Musim Panas di Istanbul
417      300     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Rasa yang Membisu?
2249      1016     4     
Romance
Menceritakan 4 orang sahabatnya yang memiliki karakter yang beda. Kisah cerita mereka terus terukir di dalam benak mereka walaupun mereka mengalami permasalahan satu sama lain. Terutama kisah cerita dimana salah satu dari mereka memiliki perasaan terhadap temannya yang membuat dirinya menjadi lebih baik dan bangga menjadi dirinya sendiri. Pertemanan menjadikan alasan Ayu untuk ragu apakah pera...
FORGIVE
2113      746     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
sHE's brOKen
7193      1707     2     
Romance
Pertemuan yang tak pernah disangka Tiara, dengan Randi, seorang laki-laki yang ternyata menjadi cinta pertamanya, berakhir pada satu kata yang tak pernah ingin dialaminya kembali. Sebagai perempuan yang baru pertama kali membuka hati, rasa kehilangan dan pengkhianatan yang dialami Tiara benar-benar menyesakkan dada. Bukan hanya itu, Aldi, sahabat laki-laki yang sudah menjadi saksi hidup Tiara yan...
Game Z
6321      1790     8     
Science Fiction
Ia datang ke ibukota untuk menuntut ilmu. Tapi, anehnya, ia dikejar dengan sekolompok zombie. Bersama dengan temannya. Arya dan Denayla. Dan teman barunya, yang bertemu di stasiun.