Isabel memeluk kantong kertasnya dengan erat ketika ia duduk di bengkel menunggu Adit datang. Tidak seperti biasanya yang selalu on-time, kali ini Adit datang terlambat. Setelah memarkirkan mobilnya di antara dua mobil lain yang sama-sama kaya akan sentuhan modifikasi profesional, Adit buru-buru menghampiri Isabel.
"Maaf banget aku telat. Aku kira kamu bakal sampai agak nantian. Jalanan nggak macet, ya?" sembur Adit dengan mimik penuh penyesalan. "Barusan dengan begonya aku malah ngobrol dulu sama teman lamaku si Idung."
"Nggak apa-apa," sela Isabel tanpa intonasi, merasa tidak memerlukan penjelasan apa pun. "Jam berapa futsalnya mulai?"
Adit melirik jam tangannya yang persegi besar dan mengilat. "Harusnya bentaran lagi. Lapangan sih udah di-booking buat tiga jam. Kayaknya nunggu anak-anak ngumpul semua dulu."
Isabel mendadak terlihat kecewa. "Jadi belum pasti apa gimana, sih?"
Kontan Adit terkejut dengan nada Isabel yang terdengar marah itu. Bagaimana bisa gadis itu kesal hanya karena permainan futsalnya dengan anak-anak hari ini ada kemungkinan terlambat? Merasa tak enak, dengan segera ia bertanya pada Jay, salah satu temannya yang sedang merokok di dekat mobilnya. "Anak-anak pada ke mana? Jadi, kan?"
Jay mengapit rokoknya di antara jemarinya. "Si Oleh sama si Acong lagi di jalan katanya. Nggak tahu kalau yang lain. Kemarin sih bilangnya jadi."
Isabel masih menekuk alisnya. "Nggak bener banget."
Adit hampir saja nyengir melihat reaksi Isabel yang tidak disangka-sangka. Tapi ia berhasil mengendalikan dirinya dan segera berjongkok di sebelah kaki Isabel. Kedua tangannya yang dikepal diletakannya di lutut Isabel. Matanya menatap gadis itu dengan lembut.
"Jujur, aku nggak ngerti, Drey. Kenapa kamu harus marah," ujar Adit lamat-lamat, nadanya masih halus. Tidak biasanya ia berbicara sehalus itu pada orang lain, termasuk pada semua gebetan dan mantan pacarnya. Ia ingat pesan Abriel di kelas hari itu, bahwa gadis dengan karakteristik tak biasa seperti Audrey harus diperlakukan dengan ekstralembut dan supersabar. "Apa ada sesuatu yang lainnya? Alasan kamu ke sini nemenin aku?"
Isabel menggeleng. "Cuma nggak suka aja kalau nggak ada kepastian."
"Kepastian untuk... aku main?" tanya Adit tidak yakin bahkan dengan pertanyaannya sendiri. Tapi ia terlalu bingung untuk menebak arah pikiran gadis di hadapannya.
Isabel tampak bimbang sejenak. "Aku ke sini udah jauh-jauh..."
"Ya, udah. Kita nunggunya di tempat yang nggak akan bikin kamu bosen aja," cetus Adit sembari bangun dari jongkoknya. Ekspresinya membujuk.
"Di mana?" Isabel menyahuti, kejengkelannya belum menyurut.
"Nggak terlalu jauh dari sini juga ada restoran bagus, makanannya enak, layak disikat. Disajikannya prasmanan, piringnya dari tanah liat. Masakannya masakan Sunda. Nggak perlu sendok untuk makan, lalaban dan sambalnya bisa bolak-balik nambah sepuasanya. Pokoknya nikmaaat," ujar Adit menerangkan cepat layaknya sales kredit kendaraan. "Mudah-mudahan balik ke sini anak-anak udah datang semua."
Perut Isabel mendadak keroncongan mendengar tawaran Adit yang menggiurkan. "Kamu pintar banget bikin orang ngiler, ya? Nggak usah sekolah tinggi-tinggi, tempat kredit pasti pada mau nerima kamu kerja sama mereka."
Adit merasa puas melihat reaksi gadis di hadapannya. Dengan lebih percaya diri ia segera mengulurkan jemarinya yang kokoh dan besar pada Isabel. "Yuk. Jalan sekarang."
Dan kali ini, untuk pertama kalinya, dengan tulus Isabel menyambut sesuatu yang Adit tawarkan pada dirinya.
* * *
Dengan tampang kekenyangan usai menyantap paket ayam goreng dan teh manis di rumah makan sunda itu, Irena menghela napas. "Habis nganter aku pulang, kamu mau lanjut ke mana?"
"Kayaknya langsung balik. Ada yang mau aku kerjain," jawab Abriel.
"Komik, ya? Eh, eh, sampai mana si Axcel sama Tamaya sekarang?" cetus Irena dengan bersemangat. Axcel dan Tamaya adalah dua tokoh utama komik yang pernah mereka buat bersama dulu. Sebetulnya proyek itu milik Abriel, tapi karena Irena sering membantu dan menyumbang ide, Abriel menganggapnya proyek itu milik berdua.
Abriel tampak salah tingkah.
"Sebenarnya aku udah lama berhenti nerusin Axcel dan Tamaya," aku Abriel dengan hati-hati. "Sekarang aku lagi buat yang baru."
Irena diam sesaat. "Yah, kasihan mereka," komentarnya kemudian. "Tapi aku senang sih kamu bikin sesuatu yang baru. Sejak dulu aku juga memang agak meragukan nasib Axcel dan Tamaya, karena latar belakang mereka nggak pernah bisa matang banget. Selalu aja ada yang kurang pas."
"Bukan karena nggak mateng sebetulnya aku ngebekuin tokoh-tokoh itu, tapi karena setiap kali aku ngelanjutin sendirian, aku terus ingat kamu. Jujur, saat itu semuanya terasa salah kalau aku terus kebayang-bayang kamu. Di saat yang sama, aku lagi sama Febby. Semuanya terasa ngebingungin."
Kentara sekali diamnya Irena kali ini karena ia tidak menduga Abriel akan berkata selugas itu padanya. Dulu, Abriel tidak pernah berkata langsung ke sasaran. Ia bukanlah tipe lugas, lebih cenderung banyak tidak enaknya, selalu memikirkan perasaan lawan bicaranya mati-matian.
"Dan sekarang pun semuanya masih ngebingungin buat kamu?" tanya Irena seraya memilin-milin tisu dengan jemarinya. Tatapannya mengarah pada lilin kuning pengusir lalat yang berpijar di tengah mereka, yang bergoyang-goyang pelan seolah mengikuti tempo live music yang mengalun sayup-sayup dari bagian taman lesehan dalam restoran itu.
"Kalau kamu nanyanya kayak gitu, semua jawaban yang aku kasih nantinya akan dianggap salah. Karena kamu udah punya jawaban sendiri di kepala kamu. Na, kita harusnya ngejalanin semua ini seperti janji kita di telepon waktu itu, pelan-pelan, santai dan tanpa tekanan."
"Jadi, aku harus gimana supaya tetap bisa punya ruang gerak, nanya segala hal yang mau aku tanyain sama kamu, tanpa diprotes sama kamu karena aku kelihatan nggak rileks?"
Abriel belum punya jawaban untuk itu. Karena ia tahu, itulah bagian tajam dan sensitif dalam hubungan barunya dengan Irena, yang berusaha ia abaikan setengah mati sejak awal ia memilih.
Abriel menghela napas. Hanya sedikit yang keluar. "Kita kayaknya harus berhenti membandingkan hubungan kita yang dulu dan sekarang. Itu kayaknya satu-satunya jalan supaya kita bertahan."
Irena mengerjap. "Ngos-ngosan. Kayak gitu hubungan kita yang sekarang, El. Baru beberapa hari kita mulai lagi tapi kerasanya... rumit... asing."
Merasakan situasi yang memanas, Abriel berinisiatif menggenggam jemari Irena yang kini terjulur di atas meja.
Irena membiarkan jemarinya tetap berada di bawah telapak Abriel. Ia menautkan telunjuknya di sela jari telunjuk Abriel, hatinya kembali luluh.
"Besok kamu bisa jalan lagi nggak sama aku? Malam juga nggak apa-apa. Nanti aku bilang sama Papa kalau aku kerjain tugas."
"Kapan kamu mau ngomong sama Papa kamu?" tanya Abriel.
"Hmmm. Kalau ngerasa sudah waktunya. Aku yakin, bakal ada saat baik di mana Papa bisa nerima hubungan kita," jawab Irena, lagi, tidak memandang langsung Abriel. "Begitu pun sama Andre. Aku masih belum punya hati buat bilang ke dia. Meskipun aku dan Andre nggak pernah jadian, selama ini Andre selalu ada buat aku."
Abriel bisa mengerti dan menyimpulkan keadaannya. Tapi sebelum ia membuka mulut, Irena mendahuluinya. Berkata dengan ekspresi yang lain, yang seceria biasanya.
"Jadi, sekarang kamu buat cerita baru? Tentang apa? Kepingin lihat, dong... Pasti gambaran kamu udah berkembang banget, makin jago."
"Sebenarnya aku bawa bukunya. Ada di tas, di dalam mobil. Kalau kamu mau, aku kasih pinjam. Satu hari pasti cukup, soalnya memang belum begitu banyak isinya."
"Kamu dapet ide ceritanya dari mana?"
Refleks ujung kuku Abriel mengedut. Ia belum pernah kepikiran akan ada orang yang menanya-nanyainya soal komiknya. Sebenarnya, ia pernah berharap Isabel menjadi orang pertama yang membaca komiknya. Tapi semua kesempatan itu selalu datang pada waktu yang tidak tepat. Semua jawaban yang ia persiapkan untuk Isabel, tampaknya akan diberikan pada Irena.
"Aku dapat inspirasi dari tetanggaku. Kapan-kapan aku ceritain mulanya gimana."
Mereka pun memutuskan untuk pulang dan janjian akan jalan lagi besok sepulang sekolah. Ketika Abriel dan Irena sedang menuruni tangga keluar, Irena tiba-tiba berhenti karena melihat orang yang dikenalnya.
"El, kok ada si Adit?" Irena merenggut pergelangan tangan Abriel ketika mengarahkan pandangannya ke gerbang restoran.
Meski hanya dalam tempo beberapa detik, Abriel harus berkali-kali memokuskan pandangannya ke arah yang ditunjuk Irena. Ditekuknya keningnya dalam-dalam. Baginya sosok Adit langsung mengabur dari fokusnya sejak awal, cowok tinggi-besar atletis nan necis itu. Ia sudah hafal betul gerak-geriknya hingga cara berjalannya yang khas. Tak salah lagi, itu memang teman sebangkunya, sahabatnya sejak kelas sepuluh. Tetapi gadis di sebelahnya... Jantung Abriel terasa nyaris melompat dari rongganya, karena berhenti memudian berdetak terlalu keras. Sekujur tubuhnya refleks menolak dengan keyakinan penuh. Tetapi koneksi antara mata dan otaknya memberikan jawaban yang berkebalikan dari keraguan. Dalam sepersekian detik berikutnya, seluruh puzzle yang menyebar jauh-jauh terekatkan sudah.
Cepat, Abriel segera menarik pergelangan tangan Irena, membawanya kembali masuk ke dalam. Melewati serombongan keluarga besar yang akan meninggalkan meja mereka, Abriel terus menuntun Irena ke bagian belakang restoran itu, ke tempat lesehan yang senja itu tampaknya sudah terisi semua. Namun, mata Abriel dengan cepat menangkap satu saung terjauh yang kosong.
"El, kita ngapain?" tuntut Irena, meskipun ia sama sekali tidak membuat perlawanan, dan hanya mengikuti pemandunya dengan pasrah.
"Kita di sini dulu aja, ya," kata Abriel masih menggenggam pergelangan tangan Irena. Debaran dalam dadanya tidak memelan sedikit pun sejak tadi.
Irena masuk ke dalam saung lesehan itu lebih dulu, disusul Abriel kemudian setelah ia mencopot sepatunya.
Kali ini jelas ekspresi Irena tampak begitu resah. "El, jelasin. Kenapa kita mesti kabur segala ngelihat Adit?"
Abriel memejamkan matanya sedetik. Berusaha mengatur napas. Ia mendadak butuh segelas air. "Nggak apa-apa. Cuma malas aja," dustanya. Kemudian ia segera mengangkat tangan untuk memanggil pelayan yang berdiri tak terlalu jauh dari tempat itu, memesan segelas es teh manis. "Kamu mau pesan minum juga?" Abriel bertanya pada Irena yang masih memandanginya dengan air wajah curiga.
Irena menggeleng, diam seribu bahasa. Setelah pelayan itu pergi, barulah Irena menggeser duduknya mendekat pada Abriel. Ia kemudian mengusap pipi Abriel dua kali, dengan lembut. Wajahnya kali ini diliputi kecemasan.
"El, apa ada yang mau kamu jelasin sama aku sekarang? Menurutku ini aneh banget aja."
"Aku nggak kenapa-kenapa."
Irena yang begitu mengenal Abriel tidak begitu saja memercayai ucapan cowok itu. Abriel bukanlah orang yang mudah panik atau tertekan: selama ini pembawaannya lebih banyak tenang dan terukur. Tapi kali ini, Irena bisa merasakan lebih dari kepanikan sedang melanda orang yang amat disayanginya itu, kefrustasian begitu kental terpancar dari gestur dan ekspresinya.
"El. Kamu ini kenapa?" .
Abriel akhirnya mengangkat wajahnya. "Na, boleh nggak kita mengunci rapat-rapat mulut kita sebentar? Aku butuh sedikit waktu buat mikir..."
Perlahan, Irena berusaha membaca apapun yang tersaji di hadapannya. Tidak butuh waktu untuknya memaknai sesuatu. Keputusasaan. Irena tahu jenis perasaan seperti itu lebih buruk dari apapun. Meskipun ia tidak tahu pasti sebabnya, Irena tetap bertekad memberikan Abriel ruang.
Selama tiga puluh lima menit ke depan, mereka hanya berbicara dengan hati mereka masing-masing. Kepala mereka mungkin terasa dekat, tapi pikiran mereka terbang menjauhi satu sama lain.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.