Tak ada alasan untuk Abriel melirik rumah tetangganya lagi. Kalaupun ia tak sengaja memandangi pintu rumah itu, Abriel dengan segera dan buru-buru menepiskan pandangannya, berharap hatinya juga akan segera terbiasa. Ia harus sering-sering mengingatkan dirinya, seberapa rendah Isabel memandang dirinya. Bagaimana cara Isabel melayangkan pandangan padanya di hotel tempo hari itu. Bagaimana harga dirinya diinjak-injak sore itu.
Dingin, perasaan itu merayapi tubuh Abriel. Ia benci jika pikirannya membawanya kembali ke kenangan hari itu. Seharusnya, ia memang tidak pernah ke sana. Setidaknya, perasaan bersalahnya pada Isabel cukup untuk membuatnya tetap mengagumi gadis itu, menjadikannya satu-satunya sumber inspirasi.
Kini, ia tidak yakin akan perasaannya pada gadis itu. Hatinya terasa kosong.
Di sekolah, beberapa nilai ulangannya membaik. Itu cukup menghiburnya, setidaknya ia merasa berguna bagi kedua orangtuanya. Tapi di dalam kamarnya, ia merasa menjadi seonggok sampah tak berdaya. Komiknya resmi terbengkalai, tidak ada lagi inspirasi yang menyentil dirinya. Inspirasinya sudah mati. Abriel malah mulai membenci Mazzy.
Minggu berganti Minggu, pernah beberapa kali Abriel berpapasan dengan gadis itu. Sekali di depan rumahnya saat gadis itu menunggu jemputan, satu kali di minimarket di depan kompleks, mereka sama-sama mengantre untuk membayar belanjaan mereka. Dan yang terakhir, tidak bisa dibilang berpapasan karena Abriel hanya melihat Isabel sedang meratapi sesuatu di jendela kamarnya yang terbuka.
Tak sekali pun mereka pernah bertegur sapa lagi. Hingga satu hari yang tak terelakkan, saat kabar duka datang dari anak sepupu papa Abriel, yang meninggal dunia karena overdosis. Di pemakaman itulah ia secara kebetulan bertemu dengan Isabel.
Siang itu gadis itu berbalut segala sesuatu bernuansa hitam. Mulai dari topi, kacamata, dan gaun yang Abriel rasa terlalu berlebihan dikenakan untuk sebuah prosesi pemakaman dari keluarga yang begitu sederhana. Gadis itu tampak mengapit seorang laki-laki tambun yang umurnya kira-kira akhir dua puluh tahunan atau awal tiga puluh tahunan.
Abriel kenal laki-laki itu. Namanya Praga Hutama. Mas Praga.
Laki-laki yang seumur hidupnya selalu terbiasa dijodoh-jodohkan dengan banyak perempuan dari keluarga terhormat. Pria kaya yang begitu takut mengambil tindakan. Anak mami.
Abriel yang berdiri di samping papanya, tak dapat mengalihkan pandangan dari angsa hitam itu. Yang hari itu tampak luarbiasa berduka. Ingin rasanya Abriel menertawakan akting gadis itu yang menurutnya sangat payah dan berlebihan, tapi ia tahu orangtuanya tidak akan terkesan jika ia mengacaukan acara khidmat itu.
Hujan turun rintik-rintik setelah almarhum dimakamkan ke liang lahat. Hujan itu, apakah itu karena langit yang bersedih atau hujan turun tanpa makna: hanya untuk membuat tanah basah, pertanda palsu... Bagi Abriel hujan gerimis itu berarti acara pemakaman resmi dibubarkan. Di bawah payung hitam, Isabel masih mengapit siku Praga dengan erat, seolah-seolah dengan begitu ia bisa menunjukan pada seisi dunia kalau pria itu memiliki pacar yang begitu perhatian.
"Nggak nyangka ketemu di sini. Benar juga kata kamu, kalau kita jalan lurus terus kita bisa ketemu: karena dunia itu bundaaaar," bisik Abriel di telinga Isabel ketika Praga berhenti untuk menyapa orangtua Abriel.
"Nggak usah cari masalah, kamu," desis Isabel pada Abriel sembari membetulkan letak kacamatanya dengan tak nyaman.
Abriel hanya nyengir. Tapi itu jenis cengiran yang menantang.
Kemudian dengan gerakan sengaja, ia menepuk akrab bahu Praga. Mereka semua sudah berdiri di halaman parkir yang dilengkapi kanopi. "Mas Praga, masih ingat saya? Abriel yang dulu suka main ke rumah Mas. Yang sering becandain Mas, bilang Mas mirip sama Kentung."
Praga tampak mulai mengenali Abriel. "El? Wah, wah. Udah gede aja kamu. Terakhir ke rumah waktu kamu masih awal-awal masuk SMP, ya? Gagah banget, ya kamu sekarang. Saya tadi udah lihat kamu, tapi saya nggak kenalin."
"Biasa aja Mas." Abriel menggaruk bagian belakang kepalanya. "Eh, Mas, kalau Kakak ini pacarnya Mas Praga yang sekarang, ya?"
Dengan sedikit kikuk, Praga menjawab, "Iya. Ini Joanna. Pacar Mas."
"Hai, Kak Joanna," Abriel menyapa Isabel dengan ekspresi dan nada penuh arti. "Udah lama pacaran sama Mas Praga? Eh, sebentar. Kok, Kak Joanna familier banget, ya. Di mana ya saya pernah ngelihat Kakak?"
Isabel berdeham keras, jelas sangat terusik. "Praga, saya ke mobil duluan, ya. Boleh pinjam kuncinya?" Setelah menerima remote mobil Praga, Isabel langsung bergegas meninggalkan semua orang, pergi tanpa melirik ke belakang barang satu kali.
Seharusnya Abriel merasa puas melihat Isabel tampak kesulitan dan tak nyaman seperti barusan. Tapi anehnya, di lubuk hatinya yang terdalam lagi-lagi ia merasakan tusukan perasaan bersalah. Jadi, ketika ia sampai di rumah, ia langsung menuliskan selembar surat dan menitipkannya kepada Bi Iceu. Namun, selang tiga hari dari surat permintaan maaf itu, Abriel tidak juga mendapatkan balasannya.
* * *
Isabel melepas bulu mata palsunya. Malam nanti, ia di-hired untuk menemani Danny, anak SMP yang bertaruh kepada teman-temannya bisa memacari gadis yang jauh lebih tua. Danny yang tidak puas mengetahui Isabel baru saja berumur sembilan belas tahun, meminta Isabel untuk berdandan lebih medok agar disangka berumur dua puluh lima tahun oleh teman-temannya.
Tentu saja, Isabel tidak keberatan memakai riasan wajah yang lebih tebal dan memakai pakaian yang sedikit lebih dewasa. Baginya, kepuasan kliennya adalah yang utama.
Sesudah melumuri wajahnya dengan masker lumpur, Isabel memungut kembali surat dari Abriel yang dititipkan ke Bi Iceu tiga hari yang lalu. Sudah kotor dan lecek kertas itu, bernoda cokelat, eyeshadow dan sambal balado dari udang yang ia makan ketika membacanya. Sudah puluhan kali ia membuka surat itu, menekuri isinya, mencoba berdamai dengan penulisnya. Tapi tetap saja, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sejak awal, Isabel memang tidak pernah marah pada Abriel. Kejengkelannya hari itu, murni karena sikap yang dilakukan Abriel padanya di pemakaman. Setelah ia terbangun keesokan harinya, perasaan jengkel dan sebal itu turut menguap. Isabel hanya tidak tahu harus melakukan apa ketika ia tak sengaja berpapasan dengan Abriel. Setiap kali ia ingin menyapa, laki-laki itu sudah memalingkan wajahnya lebih dulu. Dan tatapan hangat itu, sudah menghilang seutuhnya dari kedua bola mata Abriel yang dikenalnya.
Isabel kadang merasa gelisah mencari sorotan yang ia familier itu, tapi ia sadar ia pantas mendapatkannya. Kejadian di hotel hari itu pastilah membuat tamparan besar bagi Abriel. Ia sendiri tidak tahu bagaimana mungkin ia bisa begitu kejam pada seseorang yang sudah begitu baik padanya. Seseorang yang sangat disukainya... Manusia favoritnya di semesta kejam ini.
Ponselnya berbunyi di atas tempat tidurnya. Menyingkirkan surat dari tangan kanannya ke atas nakas, ia mengangkat panggilan itu. Adit yang menelepon. Seraya mendesah panjang, Isabel menggeser ponsel layar sentuhnya untuk menjawab.
"Iya, Dit?" jawabnya dengan nada tidak bersemangat. Refleks, ia kembali menjangkau surat yang belum sepuluh detik ia letakkan. Tersenyum membaca deretan kalimat yang ia sudah hafal betul itu. "Nggak lagi ngapa-ngapain, cuma lagi maskeran doang. Kalau maskernya udah keras, nggak bisa ngomong, nih," tambahnya.
Jeda lama, Isabel mendengarkan lawan bicaranya.
"Ya, udah. Eh, nggak. Nggak usah dijemput. Seperti biasa, kita ketemuan aja, ya. Bokap kan galak, tahu sendiri."
Hening. Tak lama kemudian ia sudah mendapat giliran lagi.
"Jam tujuh. Oke," ujar Isabel. "Anyway, kapan kamu futsal lagi?" Isabel menggumam. "Oooh Kamis sekarang. Iya, saya bisa dong."
Isabel lalu berbicara sebentar lagi sebelum mengakhiri sambungan teleponnya. Dengan tergesa ia memungut tab-nya, mengecek sesuatu di aplikasi schedule-nya. Kemudian menghubungi seseorang di ponselnya.
"Hai, Nino. Ini Sabrina. Saya mau konfirmasi ke kamu kalau Kamis ini jadwal saya ternyata sudah terisi. Kita bisa nggak re-schedule?" Isabel berkata. Ia mendengarkan lawan bicaranya berkata di seberang sambungan. "Oh, oke. Jadinya minggu depan. Noted, ya. Nanti saya hubungi kamu lagi. Selamat sore."
Isabel kemudian menalikan tali kimononya, berjalan ke bawah dan membuka pintu rumahnya. Angin petang segera menyapu wajahnya, membuat sensasi sejuk di masker lumpurnya yang kini sudah berwarna hijau pekat.
Dan, di sanalah ia. Abriel. Di halaman rumahnya, menatap persis ke arah Isabel. Ragu sejenak, cowok itu akhirnya mengangkat tangannya, melambai kecil pada Isabel. Hangat, penuh rasa bersalah.
Namun, entah mengapa, Isabel malah berbalik cepat dan kembali masuk ke dalam rumahnya, mutlak berlawanan dengan keinginannya.
* * *
Abriel menyeret langkahnya untuk sampai di kamarnya. Saat ia meletakan tas sekolahnya di karpet, ia merasakan ponsel di sakunya bergetar. Ia menatap layar putih itu. Irena lagi yang menelepon.
Ini sudah kedelapan kalinya Irena menelepon dalam beberapa minggu belakangan. Namun tidak sekali pun Abriel mengangkatnya. Entahlah, ia hanya tidak ingin mendengar suara Irena lagi di saat kondisinya seperti sekarang. Tepatnya, Abriel belum yakin ia akan kuat menahan gempuran itu, ia tahu bentengnya belum teruji betul.
Namun, kali ini, panggilan itu terasa begitu mendesak. Baru saja berhenti, ponsel Abriel sudah bergetar kembali. Irena tidak biasanya menggencarkan serangan bertubi-tubi, ia biasanya hanya menelepon sesekali. Jika Abriel membiarkannya, Irena baru akan menghubunginya beberapa hari lagi. Hampir saja Abriel mengangkat panggilan itu, getaran itu tiba-tiba berhenti. Gantinya, beberapa menit kemudian masuk sepenggal pesan singkat.
El, Papa masuk rumah sakit. Aku sendirian. Bingung banget. I need you.....
Dengan segera, Abriel membalas pesan itu:
Kirim aku lokasinya. Aku ke sana sekarang. Kamu jangan panik.
Cepat, Abriel segera mengganti seragam sekolahnya dengan T-Shirt dan celana jins pertama yang ditemukannya di lemari. Disampirkannya selembar sweter di pundaknya, dan setelah berpamitan kepada mamanya, ia segera pergi.
Tak butuh waktu lama untuk Abriel sampai di RS Al-Ikhlas yang berlokasi di Jalan Pasteur. Irena yang sudah menunggu di lobi rumah sakit, segera menghampiri Abriel begitu ia mendekat. Wajah pucat gadis itu membuat perasaan Abriel semakin diliputi kekhawatiran.
"Papa kamu kenapa?" ujar Abriel, nada khawatir dalam suaranya begitu nyata.
Irena pun menceritakan pada Abriel kronologis kejadian saat ia menemukan papanya meringkuk kesakitan di kamarnya. "Barusan Papa sempat di rontgen, hasilnya bentar lagi keluar. Kesimpulan pertama karena sinus-nya. Soalnya saat dokter minta Papa posisi sujud, Papa bilang kepalanya sakit banget sampai rasa-rasanya otaknya mau tumpah."
Sesampainya di pintu menuju ruang IGD yang terbuat dari kaca tebal berwarna putih, Abriel merasa tak yakin untuk masuk bersama Irena. Bagaimanapun, hubungannya dengan ayah Irena tidaklah baik. Ia khawatir kedatangannya hanya akan membuat kondisi semakin memburuk.
"Na, aku tunggu di sini aja, ya? Kamu masuk aja ke dalam tungguin Papa kamu," ujar Abriel, meminta pemahaman dari Irena.
Irena sempat terdiam sejenak. "Sorry ya, El. Barusan itu aku nggak tahu harus hubungi siapa. Kamu orang pertama yang terlintas di pikiran aku."
"Nggak apa-apa. Aku tunggu di sana, ya." Abriel menunjuk kursi panjang tak jauh dari tempatnya. "Kalau ada apa-apa, kamu langsung kasih tahu aku."
"Andaikan Mama masih ada, aku mungkin tahu apa yang harus aku lakuin. Nggak tahu malu banget aku, malah repotin kamu." Mata Irena tampak berkaca-kaca, hidung mancung dan bangirnya sudah memerah.
Abriel merengkuh dagu Irena, membuatnya melihat matanya. "Na, aku udah bilang nggak apa-apa. Kamu ke dalam, ya. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku janji."
Irena mengangguk, senyum perlahan mengembang di wajahnya. Ia menarik pintu di belakangnya, dan ketika Irena menghilang bersamaan dengan pintu kaca putih yang menutup, Abriel menyadari sesuatu hal hari ini. Bahwa mungkin saja, masih ada sesuatu yang tertahan di hatinya untuk gadis itu.
* * *
Senja sudah digantikan gelap, setelah Abriel mengantar Irena mengurus administrasi rumah sakit di gedung depan, Irena pun menyarankan agar Abriel pulang karena hari sudah malam dan Irena tahu besok adalah hari sekolah. Gadis itu kemudian mengantar Abriel sampai dengan tempat parkir.
"Aku nggak apa-apa kok kalau harus nunggu sampai Om kamu datang," ujar Abriel seraya membuka pintu mobilnya dengan bimbang. "Kalau Papa kamu nggak keberatan, aku sih mau-mau aja antar pulang sekalian."
Irena menggeleng. "Nggak usah, repot banget nanti kamu. Om Bambang sama Tante Irma udah di jalan, kok. Sorry banget ya, kamu sampai harus nunggu berjam-jam. Aku nggak kasih makan, pula. Semoga Mas Tamim malam ini lewat depan rumah kamu."
"Sekarang kamu fokus aja sama Papa kamu. Tante Irma beneran siap kan, urusin Papa kamu?" Tante Irma adalah adik papa Irena, sedangkan Om Bambang adalah suaminya.
Irena mengangguk. "Makasih ya, El," ucapnya sekali lagi. "Makasih pada akhirnya kamu mutusin untuk datang. Aku bener-bener nggak nyangka kamu masih mau menggubris aku."
"Kamu pasti ngerti, Na, alasan aku sebelumnya nggak pernah angkat telepon kamu."
Irena tersenyum lirih. "Aku senang sekaligus sedih tahu fakta itu, bahwa melupakan aku itu butuh perjuangan sekeras itu dari kamu."
"Na, bisa nggak kita bersikap seolah-olah kita nggak pernah matahin hati satu sama lain?"
Irena tergelak mendengar ucapan Abriel. Ia kemudian tersenyum. "Harusnya sih bisa."
Abriel masuk ke dalam mobilnya dan segera menurunkan kaca mobilnya. Irena masih berdiri di posisinya, matanya yang sendu menatap Abriel.
"Apa setelah malam ini kamu masih mau angkat telepon dari aku?" tanya Irena dengan ekspresi penuh harap.
Abriel menatap wajah Irena. Tak ada alasan untuk mengabaikan ketulusan itu. Ia hanya harus bertahan. Ia akan sanggup, ia sudah berlari sejauh ini. Ia yakin bisa.
Abriel mengangguk pelan. "Kamu masuk, gih. Anginnya lagi jelek banget."
Irena mundur, menyingkir untuk memberikan ruang bagi mobil Abriel.
"Kamu juga harus jaga diri, jangan sampai satu-satunya orang yang paling Papa kamu andalkan juga jatuh sakit."
Irena mengangguk, mengangkat tangannya. "Ati-ati di jalan ya, El."
Abriel tersenyum sedikit, menekan sesuatu di bagian kanan jendelanya agar menutup. Irena tidak bisa lagi melihat Abriel dengan jelas karena lapisan film gelap yang melapisi kaca mobilnya, tapi dari dalam, Abriel bisa melihat Irena dengan jelas. Ekspresi dan pandangannya. Segalanya. Termasuk sebulir air mata di ekor mata Irena yang hampir terjatuh.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.