Sudah lama sekali rasanya Abriel tidak merasakan dadanya mencekung sedalam itu. Rasa-rasanya ini bahkan pertama kalinya ia merasakan perasaan begitu menuntut, gusar sekaligus tak berdaya. Ia tidak ikhlas melihat wajah tanpa dosa itu memandanginya dengan sorot tak paham yang nyata. Namun, bagaimana mungkin ada manusia yang begitu tidak peka?
Abriel membuka lembaran kertas yang sudah disatukan dengan penjepit kertas, yang tadinya akan ia perlihatkan pada Isabel. Sudah ada satu bagian pengenalan karakter dan tiga chapter.
Ia menyentuh permukaan kertas itu. Meskipun belum ia perhalus dan masih berupa gambaran tanpa proses pemindahan gambar, ia bisa merasakan bahwa karakternya yang baru benar-benar memiliki jiwa. Tidak seperti karakter-karakternya yang lama, yang jauh lebih bagus dan berteknik, namun selalu saja ada yang terasa kurang pas.
Abriel terdiam cukup lama, memandangi wajah gadis di dalam kertasnya. Namanya Mazzy. Tokoh utama dalam komiknya yang memiliki kemampuan untuk berubah wujud dan mengentikan waktu.
Sama seperti Isabel, yang selalu berganti-ganti pakaian... Sama seperti Isabel yang memiliki kemampuannya untuk mengentikan waktu. Setidaknya saat itu, saat matahari menyoroti tubuhnya dan membuatnya seakan malaikat berjubah emas. Waktu terasa berhenti untuk Abriel.
Kini, Abriel tidak lagi melihat Mazzy sebagai Isabel. Mazzy murni dan memesona, sedangkan Isabel, ia tidak sanggup membayangkan apa yang dilakukan Isabel bersama para lelaki hidung belang itu... Cowok-cowok keparat itu...
Abriel merasakan pedih mulai menjalari kerongkongannya. Ia meraih segelas air. Tidak ada upaya untuk bangkit dan berganti pakaian. Ia meringkuk di atas karpetnya seperti embrio cacat dalam cangkang yang rusak. Lupa segalanya.
* * *
Isabel menjawab panggilan ponselnya. Salah satu kliennya minta harinya dimajukan. Tanpa pikir panjang ia langsung setuju. Meski itu melanggar kode etiknya sendiri, tapi itu lebih bagus ketimbang merasa aneh dan terbenam dalam pikirannya sendiri. Lebih baik menolong orang lain ketimbang diri sendiri.
Ia segera bersiap-siap, menambahkan riasan ke wajahnya, memakai parka kemudian menelepon taksi.
Taksi yang dipesannya pun muncul empat puluh menit kemudian, membawanya ke Cozy Pool & Lounge, tempat bermain biliar yang paling ngetop di Bandung, tempat kliennya menunggunya.
Satu gelas soda dan belasan potong kentang goreng sudah masuk ke perutnya. Dan kliennya masih terus berkutik di mejanya, bermain sendiri, tanpa aturan, menembakkan bola-bola hingga semua benda bundar itu menggelinding ke dalam lubang yang diarahkannya.
Kadang, memang ada klien yang senang ditemani saja. Tak banyak bicara, tak banyak tuntutan, ditemani hanya agar mereka tidak merasa sendiri. Jadi, Isabel hanya duduk di salah satu sofa terdekat dari meja permainannya, mengamati cowok itu, sesuai dengan permintaannya sambil sesekali menyemangatinya.
Jam delapan malam, ia resmi dibebastugaskan. Delapan lembar uang seratus ribuan sudah masuk ke tasnya. Hari ini ia sudah menangani dua klien. Pagi tadi, tidak semudah ini. Mengingat kliennya yang satu itu akan segera menikah, banyak sekali unek-unek yang disampaikannya padanya sehingga Isabel harus tahan berlama-lama mendengarkan keluh-kesahnya. Dan kostum itu juga sungguh tak masuk akal. Abriel malah mengira ia membawa setumpuk batu-bata.
Isabel mendesah teringat kembali raut wajah Abriel ketika pergi meninggalkannya. Tapi, kenapa juga Abriel harus semarah itu padanya? Dan mengapa pula ia harus memikirkan Abriel hingga mengganggu konsentrasinya seperti ini?
Isabel menyempatkan ke toilet di sudut ruangan sebelum meninggalkan gedung. Saat ia melenggang melewati meja-meja biliar menuju jalan keluar, saat itulah matanya menangkap satu wajah yang tak asing. Salah satu cowok yang ia lihat di lapangan futsal kemarin. Ia yakin, karena karakteristik cowok itu begitu kuat. Rahangnya persegi, dengan alis tebal menukik dan dagu panjang melengkung. Cowok itu juga berbadan besar dan sangat atletis layaknya seorang atlet bela diri yang mengharuskannya untuk membesarkan otot.
Isabel berjalan ke arahnya bermaksud mengenali cowok itu lebih jelas. Tak tahu mulanya, detik kemudian mereka berdua sudah terlibat kontak mata. Seperti terpatri, cowok itu tidak melepaskan pandangannya dari Isabel.
Isabel mendadak merasakan adanya kesempatan besar. Ia kemudian membiarkan cowok itu menghampirinya duluan. Ia tahu betul, apa yang akan dilakukan cowok itu jika dirinya memasang ekspresi andalannya.
Masih sambil memegang tongkat biliar, cowok itu sudah berdiri di depan Isabel. Senyum ragu dan kikuk tersungging di bibirnya meskipun setengah mati cowok itu mengendalikannya.
"Hai," sapa cowok itu.
Isabel menunggu dua detik sebelum membalas, "hei."
"Sendirian?" tanyanya lagi, memastikan.
"Nggak, berdua sama tuyul. Nih, lagi digendong," seloroh Isabel nyaris tanpa berpikir.
Cowok itu sedikit terlihat heran dan bergeming, maka Isabel segera meralat ucapannya.
"Abis ketemu orang. Dia balik duluan. Saya juga mau balik, kalau aja kamu nggak ngalangin jalan saya."
"Oh, oke. Saya sebenernya nggak mau ganggu lama-lama. Saya cuma mau bilang kalau rasanya udah berabad-abad nggak liat sesuatu yang... kayak kamu di tempat ini—di mana aja. Dalam artian yang positif pastinya," ujar cowok itu. "By the way, Adit."
"Audrey." Isabel menerima uluran tangan cowok itu.
* * *
Abriel bangun dengan tersentak. Keringat dingin membanjiri punggungnya. Ia ingat, ia belum makan sejak tadi siang. Mungkin karena itulah kepalanya sakit dan perutnya pedih. Tapi kemudian ia sadar, bukan itu sebabnya.
Karena ia digerogoti perasaan merasa bersalah pada gadis itu.
Entah mengapa, ia merasa begitu buruk dan kejam karena sudah memperlakukan Isabel seperti tadi sore. Apapun yang dilakukan Isabel, apapun yang dikerjakannya selama ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalaupun Isabel melakukan hal-hal... mengerikan, itu sudah dilakukan lama sebelum ia mengenalnya...
Abriel kemudian bangkit, masih memakai seragam sekolah, ia menyeberang jalanan dan mengetuk pintu rumah berpelitur mengilat itu. Empat ketukan cepat dan keras. Bi Iceu akhirnya membukakan pintunya.
"Isabel ada, Bi?" ujar Abriel terburu-buru.
"Neng Abel pergi dari tadi sore. Naik taksi," jawab Bi Iceu sambil membetulkan posisi rok panjangnya yang miring.
"Ke mana ya, Bi?"
"Bibi kurang tahu kemananya mah."
Abriel merasakan bahunya merosot. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia harus segera menemui Isabel dan mengatakan padanya bahwa ia bersikap demikian kasar karena ia sangat mencemaskannya. Membayangkan ada tangan kotor yang menyentuh kulit Isabel membuat seluruh tulang Abriel berontak ngilu.
"Bi Iceu tahu nomor HP-nya Isabel?"
Bi Iceu tampak berpikir sejenak. "Ya tahu, A. Cuma... Neng Abel nggak bolehin saya kasih nomor HP-nya sama Aa. Udah janji. Gimana ya, A?" Wanita itu tampak mulai gelisah. "Sebenernya ini teh ada apa, A?"
"Oke, oke, Bi. Nggak pa-pa, kok." Abriel paham betul bagaimana Bi Iceu akan mencerna semua ini jika ia terus memaksa. "Kalau gitu, misal dia pulang, tolong bilangin saya nyariin dia ya, Bi. Makasih."
Abriel kembali ke kamarnya dengan hati hampa. Diitungnya setiap detik yang berdetak seolah-olah dengan begitu ia bisa melompati waktu dan bertemu dengan Isabel. Hingga akhirnya ia merasa terlalu lelah, gerah dan sesak.
Abriel memutuskan mandi air hangat sebelum pergi tidur. Namun ia merasa banyak yang masih harus ia pikirkan matang-matang sebelum bertemu kembali dengan Isabel, jadi ia hanya bisa memejamkan mata tanpa mampu terlelap. Pikirannya terus membawa hatinya resah.
Seharusnya di jidat setiap orang ditulisi persentase peluang orang itu akan mempermainkan hati kita, batin Abriel.
Barangkali, seharusnya ia tidak pernah bertemu dengan Isabel sama sekali seumur hidupnya.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.