Tak sengaja Isabel menumpahkan minumannya ke rok tutunya yang menggembung seperti kembang kol. Warna putih yang sudah agak kotor dan berdebu berkat kecuekannya duduk sembarangan, otomatis diperdekil oleh lelehan cairan gelap ice americano yang menyebar dengan cepat bagai larva menodai danau bersalju.
Kalau saja ia tidak mengantuk, tidak akan sikutnya membanting gelas di mejanya sembarangan. Untuk pertama kalinya, ia cukup menyesal karena tidak membawa baju ganti dan malah menjejali tasnya dengan dua model atasan leotard yang berbeda bagian lengannya dan sebongkah tutu hitam. Sama sekali tak ada gunanya, renungnya.
Dengan lesu, Isabel menyodorkan kartu debitnya kepada kasir. Saat ia membiarkan kasir mengurus transaksinya, dari kafe yang hampir seluruh partisi dan dindingnya berupa kaca, matanya seketika itu membelalak karena menemukan cowok yang dikenalnya. Tampak sedang menggiling-giling sesuatu dengan kedua tangannya.
Isabel memerhatikan cowok itu. Cowok itu terlihat seratus kali lebih tampan dari biasanya—dan lebih muram. Sadarlah Isabel apa yang sejak tadi dipilin-pilin oleh cowok itu. Sebatang rokok yang belum dinyalakan.
Setelah menerima kembali kartunya, dari dalam tas besarnya, ia mengeluarkan kacamata hitam kesayangannya dan memakainya dengan penuh harga diri meskipun di luar hari sudah gelap.
Mengendap-endap seperti pencuri, ia sudah berdiri sekitar dua meter di belakang cowok itu.
"Tahu nggak, kamu terlalu muda dan cakep buat kena kanker paru-paru." Isabel sudah bersedekap seperti ibu guru yang mendapati muridnya merokok. Dipelorotkannya kacamata hitamnya dengan jari kelingking. "Masih mau ngenalin meski saya pakai baju begini? Jangan kepingin kabur dulu, ini bukan angsa yang baru kesetrum." Ia memberengut.
Cowok itu memandanginya. Dari bawah ke atas, atas ke bawah, sebelum kedua alisnya yang hitam dan sempurna itu membuat ekspresi mengenali. "Isabel, kan?" Suaranya yang ramah dan terdengar takjub ketika mengenalinya itu membuat harga diri Isabel yang sempat terasa menguap kembali mengisi darahnya.
"Yup. Kamu lebih suka manggil saya Isabel atau Abel?" Isabel maju beberapa langkah.
Cowok itu tampak berpikir sebentar. "Isabel. Cocok... hari ini kamu mirip sama angsa..."
"Apa? Nggak kedengaran jelas." Isabel menarik pergelangan tangan cowok itu, agar cowok itu mendekat. Karena mereka berdiri di pinggir jalan raya yang ramai, susah mendengar suaranya kalau cowok itu berkata sedikit pelan dan ada kendaraan yang knalpotnya berisik.
"Kamu cocok dipanggil Isabel. Syahdu kedengarannya. Cocok, soalnya kamu... dengan kostum kayak gini... mirip sama angsa. Banyak orang yang mengaitkan angsa sama keindahan. Isabel atau Bella bisa diartikan juga indah atau cantik," cowok itu menjelaskan dengan lantang dan cepat.
Isabel menimang sebentar,menaikkan sebelah alisnya. "Belle yang berarti cantik dalam France. Tapi, okelah teori kamu."
"Ngomong-ngomong, entah kenapa kacamata kamu bikin pikiran saya ke Dolores O'Riordan melulu," godanya, kakinya menendang batu kecil. "Tahu siapa dia? Vokalis band. Unik gayanya, kayak kamu."
Isabel menggelosorkan kacamata hitamnya ke atas kepala dan memakainya seperti bando. "Pertama-tama, saya harus nanya sesuatu sama kamu: kamu nggak pengin tahu kenapa saya pakai baju gini?"
Cowok itu mengerucutkan bibirnya. Ia kemudian mundur beberapa langkah, dan dengan lagak menilai, ia berkomentar, "Jujur, buat ukuran angsa ngepet, kamu kebagusan."
"What?" Isabel kontan tertawa terbahak-bahak.
"Serius kamu bukan angsa ngepet?" Ia berpura-pura kecewa.
"Kalau saya angsa ngepet, biar adil kamu orang yang jagain lilinnya. Funny enough, uh?" Lalu, seolah tersadar akan sesuatu, Isabel bersedekap dan memasang tampang serius pada cowok itu. "Well. Sebagai cowok sejati kayaknya kamu lupa sesuatu, deh."
Cowok itu memandangi Isabel selama beberapa detik. Setelah yakin maksud ucapan Isabel, ia membuka bibirnya, "Abriel," sambil mengulurkan tangannya yang ramping dan panjang, "Abriel sedikit meleset dari Gabriel. Tapi artinya sama baiknya. Kalau kamu angsa, aku malaikat. Selebihnya kamu bakal tahu setelah baca kertas yang aku titipin ke Bi Iceu."
Isabel menjabat sekenanya jemari hangat cowok itu. "Oke, oke. Mau muji, tapi takut kamu ge-er. Nama kamu bagus, ya. Romantis... Ab-ri-el...," eja Isabel kemudian sambil manggut-manggut.
"Makasih. Kalau nanti lihat ada idung terbang, kamu tahu itu punya siapa," seloroh Abriel dengan ceria. "Punya mamaku, yang ngasih nama."
Mereka pun terkekeh berbarengan.
"Saya penasaran, kok bisa-bisanya ya jam segini, kita ketemu di sini... Aneh kan, ya? Kebetulan pake banget. Yang bikin tambah nggak biasa, baju kita. Okelah, saya harus akuin kalau saya mirip angsa ngepet, dan kamu..."
"Aku nggak biasa pakai beginian sebenarnya," Abriel cepat-cepat menjelaskan. "Karena ada acara aja, antar temen ke ultah gebetannya. Dianya kebetahan, ogah balik, ya udah aku niatnya mau nunggu angkot aja. Eh, kamu muncul. Aku setuju bilang ini kebetulan yang pakai banget."
"Kirain, emang biasa malam-malam kamu keluyuran pakai baju rapi. Mau mangkal nyari pelanggan, gitu."
"Yang kecantol kayak kamu sih, nggak pa-pa mangkal sampai tengah malam juga." Ia tersenyum begitu lebar hingga senyum itu menyentuh matanya, lalu kembali memilin-milin rokoknya.
Rokok itu kembali menarik perhatian Isabel. "Merokok di angkutan umum itu melanggar aturan, tahu! Biar saya sita aja, deh!" semprot Isabel sambil merebut rokok dari tangan Abriel kemudian memasukkannya ke bagian depan tasnya dengan asal.
"Yee... siapa bilang rokoknya mau dinyalain?" Abriel balik bertanya pada Isabel, tampak terkejut atas "serangan" Isabel, tapi dari ekspresinya ia tidak merasa keberatan.
"Terus mau kamu apain?"
Abriel melirik langit sekilas sebelum menatap Isabel lagi. "Buat gaya doang. Biar nggak dipalak preman," cengirnya.
"Whatever, Orang Aneh. Senang, keganggu, risi atau malu berdiri bareng angsa tersesat ini, wahai Pangeran Tampan dari Negeri Fashionista? Jawab yang jujur," tuntut Isabel sambil berkacak pinggang.
Abriel mengerucutkan bibirnya, pura-pura berpikir keras. "Jujur aja, ngagetin. Nggak nyangka aja bakal disamperin angsa segede ini. He-he. Becanda... senang, senang, kok, jadi ada temen balik. Eh, kamu juga mau balik langsung, kan?"
"Iyalah, memang saya hansip masih mau keluyuran jam segini. Naik taksi aja, yuk," ajak Isabel sembari mengedikan dagunya ke arah jajaran mobil taksi yang sedang mengantre penumpang di seberang jalan. "Bukannya nggak pengin naik angkot, kalau lagi nggak buru-buru saya termasuk yang cinta banget naik angkot di Bandung. Cuma sekarang, rok tutu saya basah, pengin cepat ganti..."
"Kok bisa basah?" Abriel baru menyadari kalau ada noda menggelap di rok aneh menggembung milik Isabel.
"Keasyikan ngelamun, dan... dor!"
"Kamu nggak kedinginan pakai baju tipis gitu? Nggak bekal jaket gitu, kek?" Abriel bertanya, nadanya khawatir. "Aku jadi nggak enak, cuma pakai kemeja doang jadi nggak bisa nawarin kamu apa-apa. Kalau aku lepas baju, takut nanti mobil om-om yang lihat malah pada berhenti."
Isabel otomatis tertawa. "Lho kok, om-om, sih? Geli banget tahu, bayanginnya!"
"Eh, kamu serius nggak dingin?"
"Nggak dingin, kok. Dan nggak butuh pelukan, takutnya kamu ngarep meluk saya gitu," ujar Isabel dengan nada meninggi karena merasa aneh dengan perhatian yang diungkapkan Abriel. "Nyeberang, yuk. Seberangin saya, ya. Nggak bisa nyebrang nih. Takut ditabrak, disangka tikus got saking kucelnya."
"Mana ada tikus got segede kamu plus cakep begini." Dengan pengertian, Abriel melengkungkan lengannya agar Isabel bisa berpegangan ke sana.
Sedetik, Isabel tampak seperti akan mengalungkan lengannya di situ, tapi kemudian entah bagaimana ia memilih untuk mencuil ujung lengan kemeja Abriel, menolak penawaran yang dibuat Abriel.
"Kalau saya ketabrak, kamu yang bakal disalahin sama keluarga flamingo saya di Galapagos," Isabel memperingatkan Abriel dengan mimik sungguh-sungguh. "Makanya hati-hati!"
Abriel melirik Isabel, senyum geli menghiasi bibirnya. "Kamu itu angsa, bukan flamingo. Jadi aku tanggung jawabnya sama keluarga kamu di Taman Mini aja, oke?"
* * *
Berjalan sedikit, Abriel dan gadis yang tiba-tiba muncul di harinya yang mendung itu sampai ke pangkalan taksi. Setelah diarahkan oleh para sopir yang sedang bermain gapleh pada taksi yang siap jalan, Abriel membiarkan Isabel masuk lebih dulu dan duduk nyaman, barulah setelah itu ia sendiri masuk. Abriel tak bisa menahan untuk tidak tersenyum ketika Isabel tidak melihatnya. Ia membatin, malam ini ia punya kesempatan untuk menggali sebanyak mungkin sesuatu yang tidak diketahuinya dari gadis itu.
Dan betul saya, obrolan mengalir mulus dari bibir keduanya, seolah keduanya adalah kawan lama yang baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah. Meskipun setengah dari ucapan Isabel tidak begitu konek bagi otak Abriel (teorinya mengenai asal usul planet kecil bernama Nam-Nam—yang hanya ada dalam imajinasi Isabel sebetulnya, rentetan judul film tahun 50-60'an yang disebutkan gadis itu dengan begitu lancar, hingga beberapa mitos kesehatan yang diketahuinya), tapi kebersamaannya dengan gadis itu memberikan energi yang tak terduga baginya.
Abriel yakin, ia bahkan rela menyediakan waktu seharian untuk sekadar mendengar cerita yang keluar dari bibir gadis berponi itu meskipun besok dunia akan kiamat.
Ketika taksi yang membawa mereka memasuki gerbang kompleks tempat tinggal mereka, Abriel buru-buru mengeluarkan dompetnya.
"Dari aku aja," ujar Abriel sambil melirik argo taksi, memperkirakan ongkosnya.
Isabel tampak keberatan. "Karena saya lebih tua satu tahun dari kamu, sayalah yang harus bayar. Lagian, saya lho yang ngajak kamu naik taksi."
"Kamu serius bahas-bahas umur di saat kamu lagi pakai baju kayak gitu? Nggak lihat, aku udah pakai baju rapi kayak gini tapi ujung-ujungnya aku malah mau dibayarin sama angsa dari Taman Mini? Nggak masuk akal, ah."
Isabel tampak menimbang ucapan Abriel. "Oke kamu yang bayarin taksinya, tapi next, saya bayarin kamu sesuatu. Kamu suka makan mie ayam nggak?"
Tanpa ada jeda, Abriel langsung mengangguk. "Suka. Kamu mau ngajak makan mie ayam di mana?"
"Belum tahu. Ntar saya kasih tahu kamu kalau saya dapet wangsit," ujarnya.
Taksi mereka sudah menepi di depan rumah Isabel. Mereka berdua turun setelah Abriel membayar ongkosnya serta menambahkan sedikit tip.
"Makasih, ya, Pangeran Tampan dari Negeri Fashionista," ucap Isabel. "Sampai hari ini baru deh saya percaya sama adanya konsep kebetulan."
"Setuju," ujar Abriel, nyengir. "Selama ini konsep kebetulan yang berlaku sama aku selalu kebetulan yang sial."
Isabel melirik rumahnya. "Saya masuk, ya. Kayaknya angsa dekil ini butuh berendam di air hangat dengan gelembung-gelembung busa wangi yang adem pake banget," ujarnya sambil memasang ekspresi meringis. Ketika memandang pintu rumahnya, mendadak saja Isabel tampak menyadari sesuatu. "Saya mau ralat sesuatu. Kalau kebetulan kita nggak seratus persen bagus dan hoki. Saya kelupaan beli seboks donat buat Bi Iceu, nih, gara-gara ketemu kamu."
"Buat sogokan karena pulang kemalaman, ya?" Abriel menebak.
"Bukan. Buat jadi kurir kita berdua," jawabnya. "Bye." Tanpa melirik Abriel lagi, Isabel pun melengos masuk ke dalam rumahnya.
Setelah pintu rumah Isabel ditutup, Abriel pun menyeberang jalan dan masuk ke dalam rumahnya. Tanpa repot-repot mengganti pakaiannya, ia segera duduk di meja belajarnya. Mendadak saja ia punya perasaan latar belakang karakter utama komiknya rampung malam ini.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.