"Sepertinya aku tidak akan ikut minum. Karena jika aku ikut minum bersamamu, nantinya siapa yang akan mengantarmu pulang?" jawab Dylan. Sierra menanggapi jawabannya dengan senyuman tipis yang mengisyaratkan terima kasih.
"Baiklah, maka kau harus memegang janjimu itu," sahut Sierra. Kemudian ia segera menekan bel yang berada di sudut ruangan, dan tak lama kemudian seorang waiter tiba.
"Permisi, Nona. Ada yang dapat saya bantu?" tanya waiter tersebut dengan sopan.
"Bawakan dua botol wine," ujar Sierra singkat.
Pelayan itu pun segera mencatat pesanan Sierra kemudian meninggalkan ruangan VIP tersebut. Sierra pun kembali ke tempat duduknya.
"Kau benar-benar yakin ingin minum wine? Kau sudah pernah minum sebelumnya? Aku khawatir kau tidak kuat bangun besok pagi," tanya Dylan dengan was-was.
"Aku belum pernah minum sebelumnya," sahut Sierra singkat. "Oh, ya! Jika nanti aku pulang di atas pukul 06.00 p.m., tolong jangan antarkan aku ke asrama. Akan ada banyak teman sekamarku yang membuat keributan dan gosip mengenai ini. Temanku itu jurusan jurnalistik dan ia begitu pandai menyebarluaskan tulisannya."
"Oh… baiklah."
***
Sierra menuangkan botol wine ke dalam gelasnya yang ketiga. Kemudian, ia mengocok beberapa kali winenya. Ini barulah gelas ketiga, namun karena tidak terbiasa minum wine kepala Sierra sudah begitu pening. Tapi bagi orang yang sedang dalam kesedihan berat, biasanya orang tersebut tidak akan memikirkan apapun lagi selain bagaimana cara untuk mengatasi kesedihannya.
"Kau benar-benar tidak masalah? Tak perlu menghabiskan semuanya jika kau tidak sanggup. Aku yang akan membayarnya," kata Dylan. Ia berpindah tempat duduk ke sebelah Sierra. Dengan pilu, ia harus menyaksikan pemandangan yang menyedihkan ini. Seorang gadis yang ditinggalkan oleh sahabatnya – apakah sahabat seberharga itu? Apa mungkin Jeany itu satu-satunya temannya di kota? – sedang meminum wine sebanyak-banyaknya.
"Aaarrghh… Jeany sudah meninggalkanku. Semua keluargaku tinggal di Sichuan. Aku tak memiliki siapapun di Beijing sekarang. Hhh… apakah ini yang disebut keadilan hidup…" gumam Sierra sambil menuangkan wine ke dalam gelas. Tangannya sudah mulai bergetar, dan cukup banyak wine yang berceceran di atas meja. Kemudian Sierra segera menghabiskannya dalam sekali tegukan.
"Uhuk… uhuk… tenggorokanku sakit sekali…" keluh Sierra sambil memijat lehernya.
"Sierra, kupikir kau harus berhenti minum sekarang juga," ujar Dylan. Ia segera menjauhkan semua botol wine dari jangkauan Sierra.
"Euh… aku masih ingin minum. Kau jangan menggangguku, OK?" erang Sierra. Ia segera berdiri dengan sempoyongan dan berusaha untuk mengambil botol wine yang berada di meja pada sisi yang lain. "Aku memesan dua botol, dan aku bahkan belum menghabiskan satu. Kumohon jangan menghentikanku."
"Sierra!!" seru Dylan kasar. Ia segera menarik tubuh Sierra dan melingkarkan salah satu tangannya ke tubuh Sierra dengan erat. Maksudnya hanyalah supaya Sierra tidak terlalu banyak bergerak dan melakukan berbagai tindakan bodoh, namun entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya ketika Sierra mulai menyamankan posisinya dalam dekapan Dylan.
"Baiklah. Kau sudah tenang sekarang. Aku akan menelepon supirku dan kita akan segera pulang," ujar Dylan sambil mengambil iPhone dari saku celananya.
***
Eerrggh… Dylan meletakkan tubuh Sierra yang ramping di kursi belakang mobilnya. Kemudian ia segera duduk di sebelahnya. Ia melirik arlojinya sekilas, dan jam telah menunjukkan pukul 06.13 p.m., ini artinya ia takkan mengantarkan Sierra ke asramanya, seperti yang telah dipesankan kepadanya.
"Tuan Yang, tolong antarkan ke hotel Wangfujing. Gadis ini sepertinya mabuk berat," ujar Dylan. Dan Tuan Yang segera menginjak pedal gas dan mobil pun melaju kencang.
Dylan menggendong Sierra yang sedang tak sadar itu di punggungnya. Sesekali, ia membenarkan posisi Sierra yang sering merosot. Ugh… sepertinya gadis ini berat juga, pikir Dylan ketika ia berusaha menggesekkan kartu untuk membuka pintu hotel.
Setelah pintu terbuka, Dylan segera meletakkan Sierra dengan hati-hati ke atas kasur. Gadis itu segera mencari posisi ternyamannya dan mulai tidur dengan berantakan. Dylan berkali-kali menata posisinya, namun Sierra terus-terusan mengubah posisi tidurnya.
***
"Ssst… apakah tadi Zhang Xiao benar-benar melewati lorong ini? Kau jangan meghancurkan seluruh rencana kita. Ini dapat menjadi berita besar," bisik seorang pria yang mengenakan topi dan cadar hitam kepada teman yang berdiri di sebelahnya.
"Aku yakin. Kau mengenalku, penglihatanku tak pernah keliru," sahut temannya. Kemudian kedua fotografer illegal itu segera mengendap-endap untuk mencuri foto-foto Dylan yang sedang menggendong seorang gadis.
"Yeah… Tuhan sungguh memberkati kita," ujar paparazzi satu. "Pintunya terbuka begitu lebar. Cepatlah, kau ambil beberapa foto dari berbagai sudut yang berbeda. Jangan sampai keberadaan kita diketahui," ia berbisik pelan.
Cekrek… cekrek… cekrek… terdengar suara jepretan handycam. Setelah menangkap beberapa foto, kedua paparazzi itupun langsung lari. Takut kalau-kalau aktor muda seperti Dylan dapat dengan mudah mengetahui adanya penembakan foto secara diam-diam. Dengan secepat kilat mereka berlari, dan tidak sampai sepuluh detik, mereka telah benar-benar hilang dari pandangan.
***
"Euh… tak pernah kusangka rupanya gadis sepertimu begitu menyusahkan saat sedang mabuk," gerutu Dylan sambil berkacak pinggang.
Tiba-tiba, ia mendengar suara kamera dari luar kamar. Cekrek… cekrek… terdengar suara kamera yang mengambil foto beberapa kali. Dylan segera menoleh ke arah pintu, dan… arrrgh… sialan. Ia benar-benar lupa menutup pintunya ketika tadi ia sibuk mengurusi Sierra. Dengan gesit, Dylan segera berlari ke arah pintu. Ia menyembulkan kepalanya dari pintu, matanya dengan cepat menyapu lorong kamar-kamar di mana ia berada. Alhasil, ia tak melihat sesosok manusia pun yang sedang berseliweran di lorong itu. Yeah… mereka berhasil kabur.
Dengan lesu, Dylan menutup pintu kamar hotel dan duduk di sofa yang terletak di samping tempat tidur. Tanpa disadarinya, ia merasa damai saat memperhatikan wajah Sierra yang sedang tertidur pulas. Ia jelas-jelas mengetahui bahwa gadis itu sedang dalam masalah, namun sepertinya Sierra menemukan cara untuk menyingkirkan segala masalahnya saat tidur. Wajahnya terlihat polos, bibirnya membuka sedikit, dan ia tidur dengan sangat pulas.
Tiba-tiba, muncul perasaan bersalah pada dirinya sendiri. Karena kecerobohannya tadi, ia lupa menutup pintu kamar. Dan paparazzi berhasil mengambil foto mereka saat di kamar hotel. Jika foto tersebut tersebar, ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara bertanggung jawab terhadap Sierra. Saat ini ia telah menjadi bagian dari para public vigure, meskipun ia hanyalah seorang penulis yang dianggap rupawan. Menurut prediksinya, ketika foto tersebut tersebar, akan banyak orang yang menghujat Sierra dan masa depan karier Sierra akan hancur.
"Hhh… Sierra, jika foto yang mereka ambil itu tersebar, bagaimana kita akan menghadapinya? Aku memang tak melakukan apapun padamu, namun kelihatannya memanggil pengacara sekalipun tetap tidak akan menyelesaikan masalah. Bukti itu sepertinya terlalu kuat," ujar Dylan. Ia tahu Sierra sedang tidur, namun ia berharap Sierra dapat memahami kejadian ini sebagaimana orang yang sadar.
Dylan menatap lekat-lekat wajah Sierra. Wajahnya saat ini hanya berjarak sekitar sepuluh centimeter dari wajah Sierra. Ia bisa merasakan hembusan nafas Sierra yang beraturan ketika tidur, dan mulutnya yang berbau alkohol. Namun, ia sadar bahwa ia harus benar-benar menahan dirinya. Setidaknya fakta harus menunjukkan bahwa mereka belum melakukan hubungan apapun.
"Selamat tidur. Semoga kau segera mendapat solusi atas masalahnya," ucap Dylan akhirnya. Ia segera meninggalkan sofa, kemudian meraih kertas dan bolpoint yang terletak di meja telepon. Jika kau sudah bangun, tolong beri aku kabar. Aku telah membayar biaya kamarnya, kau dapat langsung checkout. Kuharap kau mengirimkan direct message ke akun Weibo-ku.
Tertanda,
Dylan Zhang Xiao
Ia meletakkan kertas tersebut kembali pada tempatnya. Kemudian ia mengambil jaket yang disampirkannya pada sofa, lalu beranjak keluar kamar. Ia menutup pintu kamar hotel dengan hati-hati, kemudian segera menuju lift dan turun ke lantai dasar.
***
Cahaya matahari pagi pada penghujung musim dingin menyiram kamar hotel tempat seorang gadis remaja sedang berbaring. Tirai yang tidak ditutup rapat membuat cahaya matahari menerobos kamar dan menghasilkan siluet keemasan yang membuat gadis tersebut segera keluar dari tempat peraduannya.
Sierra membuka matanya perlahan-lahan. Matanya masih berkunang-kunang, segala sesuatu yang dipandangnya tampak seperti fatamorgana. Ia berusaha bangun dari tempat tidurnya, namun kepalanya terasa begitu berat untuk diangkat. Ia memijat pelan ubun-ubunnya, kemudian bangun dengan perlahan. Ia menoleh ke sekelilingnya, kemudian mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi kemarin malam. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sembari matanya terus memperhatikan kamar hotel tempat ia tidur semalaman.
"Halo, apakah ada orang di sini?" Sierra berseru sambil matanya terus menelusuri sudut-sudut pada ruangan itu. Kemudian matanya tertuju pada meja telepon yang terletak di sisi spring bed. Ia meraih kertas yang ada di meja tersebut, barangkali ada tulisan ataupun pesan seseorang yang membawanya ke sini.
Ketika selesai membaca surat, ia baru teringat bahwa kemarin ia mabuk berat dan meminta Dylan menjaga dan membawanya pulang. Dan untunglah sepertinya ia meminta tolong kepada orang yang tepat. Tanpa disadarinya, seulas senyum tipis terlihat di wajahnya. Senyuman itu hanya sesederhana menyiratkan rasa terima kasih, namun siapa yang akan menyangka jika suatu hari nanti akan tumbuh perasaan suka yang berkembang menjadi cinta?
Biasanya remaja hits now pake latar Korea, tapi ini China. Suka. Smua aku suka sih, yg penting mah baca novel dan nonton drama, wkwk
Comment on chapter BAB 4 Lost Due to Hurry