SATU
Ciara mengembuskan napas sekali lagi dan mengeraskan suaranya agar terdengar lebih jelas di telepon. “Nggakpapa, Ma,”
“Ra, kamu jangan bikin Mama khawatir. Kamu mau dijemput jam berapa?”
Ciara yang berambut pendek sebahu itu menyelipkan helai demi helai rambutnya yang berterbangan ke belakang telinga. Ia mendesah lelah sekali lagi, lalu, “Aku masih rapat di sekolah Ma, pulangnya juga bakalan malem. Katanya tadi Pak Jan kecelakaan, emang aku mau dijemput siapa?”
“Pulang malem kok nggakpapa pulang sendirian naik angkutan umum. Nggak boleh. Bahaya, Ra. Kamu biar dijemput Shauda ya,”
Shauda? Nggak. Nggak boleh. Jangan Shauda. “Shauda? Emangnya kenapa, Ma?”
“Dia kan temen kamu juga, ya nggak kenapa-kenapa dong Ra,”
Ciara mulai panik. Ia tidak mau dijemput Shauda. Lebih baik ia menginap di sekolah daripada harus pulang bersama Shauda. “Dia kan cuma temen SD Ma, lagipula aku nggak mau ngerepotin orang lain,”
“Terus mentang-mentang dia temen kamu SD kamu nggak mau dijemput sama dia? Mama justru lebih khawatir sama temen-temen kamu daripada sama Shauda. Udah terlanjur, Ra. Mama udah pesen sama Mamanya Shauda tadi. Kamu tinggal bilang aja mau pulang jam berapa,”
“Sekitar jam delapan kayaknya, Ma.” Ciara mengalah. Ia tak mau melukai hati ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya, ia merasa dirinya sudah terlalu hina.
“Yaudah, nanti Mama hubungin lagi Mamanya Shauda. Kamu hati-hati ya, kalau Shauda nggak keburu dateng, kamu telepon Mama aja dulu.”
“Iya, Ma. Yaudah Ma aku mau nerusin rapat yang tadi, nggak enak sama temen-temen soalnya. Sore, Ma.”
Setelah sambungan telepon terputus, Ciara mendongak dan menatap pohon beringin yang berada di seberang jalan tempatnya duduk. Kalau saja mamanya tahu bahwa laki-laki yang tadi dibahasnya adalah laki-laki yang sama yang telah merenggut hartanya sebagai wanita, apa yang akan terjadi?
***
Laki-laki berperawakan tinggi kurus itu memainkan kunci mobilnya sembarangan, hanya untuk menghibur diri. Beberapa saat kemudian seseorang yang ditunggunya datang dengan jaket tebal dan dia sedang memeluk dirinya sendiri kuat-kuat. Jelas terlihat masih ada kilatan takut di matanya. Kilatan yang sama dengan kilatan takut saat itu.
Ciara menatap ragu pada kedua bola mata yang tersembunyi dibalik sepasang alis tebal itu, tanpa berani berkata apa-apa. Ia hanya mampu mengamati wajah laki-laki itu yang terpahat mulus seperti sebuah porselen dengan bibir merah dan rahang yang tegas.
Shauda tak mau mengambil resiko, jadi ia tetap berdiri di posisinya sambil bertanya, “Mau pulang langsung?”
“Iya.”
Shauda memang tak berharap banyak pada gadis di hadapannya, tapi jawaban singkat gadis tadi membuatnya terluka. Tapi ia juga sadar bahwa ia tak berhak mendapatkan yang lebih dari itu. “Masuk dulu aja, Ci. Aku mau beli minum dulu di seberang. Kamu mau nitip?”
Ciara meringis mendengar dirinya dipanggil seperti itu. Hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu. “Nggak usah,” baru beberapa detik setelah kata-kata itu diucapkan, Ciara memanggil lagi Shauda yang tengah membelakangi dirinya, bersiap untuk menyebrang. “Da, aku titip kopi,”
Shauda merasa senang dirinya dipanggil, tapi setelah sadar bahwa kopi mengandung kafein dan menyebabkan orang yang meminumnya tidak akan merasa mengantuk selama beberapa jam dan apa kaitannya semua itu dengan dirinya, ia kembali membalikkan badan dan menyebrang tanpa menoleh ke belakang lagi.
Ciara masih takut padanya.
***
“Ci, apa kabar sekarang?” tanya Shauda mengawali pembicaraan melalui kaca mobilnya. Ciara memilih duduk di belakang dan diam membisu selama perjalanan, sementara Shauda sudah tidak tahan dengan suasana diam seperti ini. Dan kalau Shauda masih saja diam dan tak mau mengajak Ciara berbicara, maka kondisi mobil ini akan menyerupai kuburan selama dua puluh menit kedepan.
Ciara mendongak dan menjawab pelan, “Baik kok,” setelah beberapa detik diam, Ciara akhirnya bertanya balik pada Shauda. Bagaimanapun, ia tidak bisa mengacuhkan orang yang telah membuatnya tersenyum selama belasan tahun hanya karena satu kesalahan fatal yang menghancurkan segala harapannya. “Kamu?”
Shauda tersenyum kecil. Ia memang tidak boleh berharap apa-apa. Karena sekecil apapun harapan itu, itu akan menyakiti Ciara yang telah disakitinya. “Baik kok Ci. Tapi sekarang aku udah nggak di Seconds lagi, udah pindah gara-gara waktu itu kena tonjok sama Abhi.” Katanya sambil tertawa kecil. Sadar bahwa Ciara tak akan menanyainya lagi, Shauda melanjutkan perkataannya sendiri. “Aku duluan sih yang nonjok Abhi, waktu itu aku lagi nggak sadar dan pengen tahu gimana reaksi Abhi yang introvert kalo kena tonjok, tau-tau masalahnya jadi panjang gara-gara ketahuan juga kalo pacarnya Abhi deketin Abhi cuma karena pengen deket sama aku. Daripada Seconds bubar, aku mutusin buat keluar aja.”
Ciara duduk diam di bangku belakang mobil sambil menggenggam erat cup kopinya yang terbuat dari kertas. Tidak tahu harus berkomentar apa.
“Kamu masih inget Seconds kan, Ci?” tanya Shauda memastikan. Seconds adalah band yang digaungi Shauda dan menjadi pekerjaannya setelah ia memutuskan untuk berhenti sekolah, yang dianggapnya terlalu mengekang jiwanya yang bebas dan menghentikan segala kreatifitasnya. Lagipula ia juga sudah lelah dengan budaya bullying yang diterapkan sekolah padanya.
Ciara mengangguk pelan. Sebenarnya ia ingin bertanya, tapi rasa kalut dan takut yang menyelubunginya membuatnya kalah, ia hanya bisa diam.
“Aku sekarang udah nggak nge-band lagi. Walaupun kamu nggak suka, kamu bisa buka soundcloud aku, Ci. Sekarang aku lebih ke solo,” lanjut Shauda. Kemudian ia bertanya—satu-satunya cara agar Ciara bisa berbicara padanya, karena gadis itu tak mungkin mengajaknya berbicara atau bertanya lebih dahulu. “Kapan lulus sekolah, Ci?”
“Mei udah wisuda,”
“Oh, berarti bentar lagi. Abis SMA ini, kamu mau nerusin kemana? Mau di Indonesia atau di luar? Mau ngambil jurusan apa, Ci?”
“Desain grafis, belum tau mau dimana.”
“Kayaknya kalo desain grafis bagusan di luar deh Ci. Aku emang nggak sekolah, tapi aku juga tahu dikit soal kayak gini. Tapi di Indonesia juga ada yang bagus kok.”
“Iya,”
“Ci, mau janji nggak?”
Ciara menyatukan alisnya dan mengernyit, “Janji apa?”
“Gambarin wajah aku lah sekali-kali. Anggap aja ucapan terimakasih karena udah nganterin kamu pulang hari ini.”
“Gambar aku nggak gitu bagus, Da.”
“Kan aku nggak bilang harus bagus. Yang penting mirip sama aslinya wajah aku aja,” Ciara diam untuk beberapa saat berikutnya. Shauda-lah yang memulainya lagi, “Janji ya, Ci.”
Ciara mendesah pelan. Setelah berpikir lama, ia akhirnya menjawab, “Iya, Da.”
Shauda tidak tahu ia harus berkata apa lagi. Dia bukan tipe orang yang banyak omong dan tidak akan kehabisan obrolan. Dan Demi Tuhan, laki-laki mana yang ditakdirkan untuk jadi banyak omong? Lagipula ia juga lelah. Ciara tidak pernah menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang lebih dari lima kata.
Tapi ia tahu dalam di lubuk hatinya, ia takkan menyerah.
Semuanya tidak akan berakhir disini.
“Sabtu ada acara nggak, Ci?” tanya Shauda pelan. Ia melirik Ciara yang ada dibelakangnya, memanfaatkan lampu merah yang sedang menyala.
Namun pertanyaan itu tidak dijawab. Shauda tahu kenapa. Jelas saja Ciara takut. Takut kalau saja Shauda mengajaknya pergi berdua. Bagaimanapun, Shauda harus jujur bahwa aura ketakutan Ciara terasa sangat mencekam di mobil ini. Sedihnya, Shauda juga tahu bahwa Ciara takkan pernah merasa aman lagi berada di dekatnya.
“Nggak ngajakin jalan kok, Ci. Takut pacar kamu marah.” sambung Shauda sambil tertawa pelan. Memilukan. Karena Ciara masih tak mau menanggapinya.
Shauda diam sebentar sambil memfokuskan diri pada jalanan yang ramai, menyusul lampu merah yang sudah berganti dengan lampu hijau, menandakan bahwa Shauda harus segera menjalankan mobilnya segera jika tak mau diamuk mobil di belakangnya. “Aku jadi bintang tamu acara televisi, Ci. Tapi aku nggak masuk TV. Cuma jadi opening artist sebelum main artist-nya dateng. Lagipula kan aku masih newbie. Semisalnya kamu mau liat, aku ada tiketnya. Biar kamu bisa liat di depan. Kamu mau dateng?”
Ciara masih belum merespon. Shauda mendesah dalam sebelum ia melanjutkan kata-katanya dalam sebuah senyuman manis. “Kalo kamu nanya dimana acaranya, jawabannya bukan di klub atau bar atau semacamnya. Di mall, Ci.”
Ciara baru membalas perkataan Shauda tujuh detik kemudian. “Nggak bisa janji, Da.”
Shauda mendesah lega. Entah kenapa, sedari tadi ia membayangkan bahwa Ciara akan menolak ajakannya. Dan jika itu benar-benar terjadi, Shauda tidak tahu harus berbuat apa.
Karena itu berarti, Ciara ataupun dirinya tidak akan pernah bisa kembali.
Walaupun kebanyakan orang mengatakan bahwa kembali ke masa lalu adalah sebuah kebodohan, Shauda tetap saja lebih memilih untuk menjadi orang bodoh daripada harus menjalani kehidupan seperti ini dengan Ciara.
Masa lalu itu terlalu indah.
Dan bodohnya dirinyalah yang menghancurkan semua itu, hanya dalam satu malam yang takkan pernah bisa ia berhenti sesali.
Seumur hidupnya.