Prolog
Dengan jarum infus yang masih terpasang di pergelangan tangan kanannya, dan tangan kirinya menggenggam secarik surat dari laki-laki yang sudah dia buat kecewa, Tiara melangkahkan kakinya menuju bangku taman di halaman belakang rumah sakit. Tak banyak yang tahu, masalah yang dihadapinya saat ini begitu mengejutkan. Ini adalah perkara besar baginya, seorang perempuan yang baru pertama kali menjalin hubungan dan merasakan sebuah rasa yang berbeda. Terlintas dalam benaknya, apakah jatuh cinta memang semenyakitkan ini? Mengapa sebuah kepercayaan seringkali dianggap barang murah yang tak dipedulikan keberadaannya?
Udara terasa dingin sore itu. Jaket berwarna tosca yang menyelimuti tubuh lemah Tiara cukup membantu memberinya kehangatan. Dia mulai membuka surat itu. Jantungnya berdebar-debar. Lidahnya kelu saat melihat di dalamnya ada selembar foto miliknya. Jemarinya mencengkeram kuat kertas yang kini mulai terasa basah. Kata demi kata, hingga kalimat demi kalimat yang dirasa sulit untuk dicerna, membuat tangisnya kembali pecah. Mengapa dirinya selalu saja merasakan kehilangan? Mengapa orang-orang yang dia sayangi selalu meninggalkannya pergi? Apakah kebahagiaan tak pernah sudi berpihak padanya?
Hati Tiara yang baru saja merasakan luka, kembali tergores luka yang baru. Rasanya benar-benar menyesakkan dada. Selama ini dia benar-benar bodoh. Hatinya tak dapat melihat ketulusan dari orang yang paling dekat dengannya.
“Ra..” Seseorang memanggilnya dari belakang. Suara yang tak asing lagi bagi Tiara. Langkah kakinya mulai terdengar mendekat. Kemudian duduk di samping Tiara, memeluknya, dan membiarkannya menangis meluapkan apa yang selama ini dipendamnya.
Tiara merindukan laki-laki itu. Laki-laki yang menuliskannya sebuah surat dan kini masih ada dalam genggamannya. Dia ingin sekali dapat mengulang waktu. Memperbaiki langkah-langkah yang sudah salah dia tapaki. Seharusnya, Tiara menyadari perasaan laki-laki itu sejak awal. Lalu sekarang, apa artinya sebuah penyesalan?
“Apa dia akan kembali, Ran?” Tiara yang sudah tak dapat membendung air mata, bertanya pada Rani yang masih memeluknya.
Rani hanya menghela napas. Bagi sebagian orang, diam bukan berarti tak memberi jawaban. Justru, diam adalah sebuah jawaban. Perempuan itu tak bisa menjanjikan apa-apa. Sungguh, jawaban yang tak pernah Tiara sukai dalam hidupnya, melihat seseorang yang diam tak memberikan jawaban apa-apa, tak memberikan penjelasan atau alasan yang ingin sekali untuk didengar. Baiklah. Sebuah penyesalan yang harus diterimanya dengan sebuah keterpaksaan.
Kepergian dua orang yang berarti dalam hidup Tiara benar-benar menyisakan luka di sudut hatinya; sulit dijangkau untuk dapat disembuhkan.