7. Rindu
Kalau saja tak ada jarak yang merubah dirinya menjadi jurang pemisah, mungkin rindu tak akan semenyakitkan ini.
Sinar hangat mentari yang menembus jendela kamar, membuat Tiara terbangun dan menyadari kalau hari sudah beranjak pagi. Acara makan malam yang berlangsung semalam cukup membuat Tiara kelelahan. Namun, tidak dipungkiri, hatinya merasa bahagia sekali karena acara semalam benar-benar menyenangkan. Dia sudah mengenalkan Randi pada Aldi malam itu, dan sekarang dirinya tidak perlu lagi khawatir. Senyum di wajah Tiara mengembang, melihat bunga tulip yang diberikan Randi semalam sudah diletakkannya di meja dekat jendela kamar. Bunga yang sangat cantik, ucap Tiara dalam hati.
Tiara membuka tirai jendela, hendak menikmati suasana pagi hari yang tak pernah dilewatkannya. Begitu membuka, Tiara dikagetkan dengan Aldi yang sedang berdiri di depan pagar rumahnya. Laki-laki itu bersandar di samping motornya, menghadap jendela kamar Tiara. Huh, benar-benar mengagetkan!
Dengan langkah buru-buru, Tiara langsung turun menghampiri Aldi. Baru pertama kali ini laki-laki itu mengejutkannya sepagi ini. Sudah berapa lama dia berdiri di depan situ?
“Al?” Tiara berlari membuka pintu pagarnya. “Kamu ngapain berdiri di depan rumahku sepagi ini?”
Aldi berdiri dari posisi bersandarnya. Dia memang sudah berada di situ sejak satu jam lalu, dan menunggu Tiara hingga perempuan itu bangun membuka tirai jendela kamarnya.
“Aku mau ngasih ini.” Aldi mengambil sebuah tempat bekal berisi nasi goreng buatannya. “Kamu makan, ya.”
Tiara yang masih diam tak mengerti, mengambil tempat bekal itu dan menatap Aldi penuh tanda tanya. Tidak biasanya laki-laki itu membawakannya bekal seperti ini. “Tumben?” Ledeknya.
Aldi hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut Tiara, membuat perempuan itu mendengus kesal. Kedatangannya memang hanya untuk memberikan Tiara bekal sarapan untuk dimakannya di kelas nanti. Setelah itu, tanpa banyak berkata, Aldi kembali naik ke motornya. Dia memasang helm, dan menoleh sebentar pada Tiara. Pikirannya masih belum lepas dari kejadian semalam. Laki-laki bernama Randi itu terlalu mengusik pikiran dan suasana hatinya. Kalau boleh Aldi meminta, dia ingin sekali Tiara menjauhi laki-laki itu. Tapi, apa yang bisa dibuatnya sekarang? rasanya, tidak ada. Dia bukan seseorang yang bisa menuntut Tiara untuk tidak berteman dengan orang-orang yang tidak dia sukai. Pun dirinya bukan seseorang yang istimewa di hati Tiara. Dia hanyalah seorang Aldi yang secara kebetulan bertemu dengan seorang gadis yang membutuhkan pertolongan di atap gedung tak berpenghuni.
Tanpa pamit, Aldi langsung menancap gasnya dan meninggalkan Tiara yang masih berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia mengerti, Tiara pasti dibuat bingung dengan hal ini. Tapi bukan tanpa maksud, di dalam bekal itu, ada kertas kecil yang sengaja ditulisnya agar Tiara membacanya nanti.
***
Langit yang tak begitu terik, membuat beberapa mahasiswa memilih untuk bersantai membaca buku di taman. Tiara memilih duduk di sebuah bangku yang tak begitu banyak mahasiswa berlalu-lalang. Dia mengambil tempat bekal yang diberikan Aldi padanya tadi pagi, lalu membukanya. Tiara bisa melihat ada sebuah wajah tersenyum di atas nasi gorengnya, dan di balik tutup bekal itu, ada sebuah kertas kecil yang membuat dahinya mengerut.
Apa yang menurutmu benar, bisa jadi adalah sebuah anggapan yang salah. Berhati-hatilah dengan hati.
Entah apa yang Aldi maksud dalam isi pesannya itu, Tiara sama sekali tidak mengerti. Sejak empat tahun lalu dirinya mengenal Aldi, baru kali ini laki-laki itu memberinya pesan yang membuatnya bingung seperti ini. Tiara kembali membaca isi pesan itu, kata demi kata berusaha dicerna nya dengan baik. Tapi, dirinya tetap saja tidak mengerti. Mungkin Aldi ingin mengingatkannya untuk selalu bahagia.
Selama ini Aldi memang sering memintanya untuk tidak memikirkan hal-hal yang membuatnya merasa sedih. Mungkin lewat pesan itu, Aldi ingin mengingatkannya lagi untuk yang kesekian kali agar Tiara tak pernah lupa, bahwa kebahagiaan itu harus selalu ada. Tidak akan pernah seseorang mendapatkan rasa bahagia bila bukan dari dirinya sendiri. Begitu yang selalu dikatakan Aldi padanya.
Tiara tersenyum. Aldi memang laki-laki paling baik yang dimilikinya sampai saat ini. Mungkin, dia adalah perempuan paling beruntung memiliki seseorang yang memperlakukannya dengan sangat baik. Bagi Tiara, memiliki seorang sahabat seperti Aldi akan selalu menjadi kebahagiaan bagi dirinya.
Ponsel Tiara tiba-tiba saja bergetar. Ada pesan masuk dari Aldi yang tertera namanya di layar.
Sudah dimakan bekalnya?
-Aldi
Jemari Tiara langsung mengetikkan balasan pada pesan yang dikirim Aldi. Balasan yang menjawab kalau dirinya sedang menikmati nasi goreng yang ternyata rasanya enak sekali. Tapi, sayangnya laki-laki itu tidak membawakannya minum, sehingga Tiara harus pergi ke kantin untuk mendorong makanannya masuk ke dalam perut.
Dari ujung pintu lorong, pandangan Tiara melihat Rani sedang duduk di tempat yang selalu menjadi andalannya. Posisi dekat tukang es kelapa dan bakso, ditemani dengan laptop dan kesendiriannya. Perempuan itu terlihat sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Mungkin dia sedang banyak tugas.
Dengan posisi badan mengendap-endap agar tidak ketahuan, Tiara menyentuh bahu Rani dari belakang. “DOR!!”
“TIARAAA..” Teriak Rani, menahan kedua tangan Tiara yang menyentuh bahunya. “Kebiasaan deh! Selalu aja iseng!!!”
Tiara yang masih membawa tempat bekalnya, tertawa lepas melihat Rani benar-benar terkejut di depan laptopnya. Kalau saja ada yang merekam ekspresi Rani saat itu, Tiara akan bayar dengan semangkuk bakso pastinya.
“Itu lo bawa apaan?” Rani melihat Tiara membawa sesuatu di tangannya. “Tumben-tumbenan bawa bekal ke kampus.”
“Dari Aldi.” Tiara duduk di depan Rani yang kemudian menutup dan mengesampingkan laptopnya.
“Gimana perasaan lo semalem dikasih bunga sama Randi?” Tanya Rani dengan wajah penuh tidak bersalah karena langsung bertanya tanpa basa-basi lebih dulu. Sepertinya, di mana-mana perempuan itu selalu saja membahas kisah percintaan Tiara yang belum ada perkembangannya.
Tiara tampak berpikir, menopang dagunya dengan sebelah tangan. “Senang sih. Dikasih bunga masa nggak senang?”
“Terus?”
“Terus apanya?” Balas Tiara, dahinya mengerut.
“Perasaan lo. Ikut berbunga-bunga nggak?”
Tiara mengangkat pelan kedua bahunya. Sebenarnya dia tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Terlalu abu-abu dan sulit ditebak apa yang dirasakannya. Jatuh cinta? Rasanya terlalu cepat bila dirinya mengatakan itu adalah jatuh cinta. Tapi, Tiara merasakan sebuah rasa yang berbeda. Rasa yang membuatnya ingin lebih mengenal Randi. Dia ingin kembali bertemu, paling tidak untuk sekadar kedua kalinya mengucapkan terimakasih karena telah memberinya bunga semalam.
Dia memang belum pernah merasakan jatuh cinta. Atau mungkin, rasa itu pernah ada dalam hatinya, namun tak pernah dia sadari. Dan saat ini, Tiara ingin sekali tahu seperti apa wujud cinta yang sebenarnya. Apakah bisa membuat seseorang terus tersenyum setiap hari? Atau membuat seseorang ingin selalu bertemu dan tidak bisa untuk berpisah walaupun dalam waktu yang sebentar?
Ah. Rasanya terlalu berlebihan. Tiara tidak ingin merasakan hal yang mengerikan seperti itu. Mungkin lebih tepatnya, dia hanya ingin membiarkan semuanya mengalir sesuai apa yang semesta rencanakan. Tidak pernah ada yang tahu dengan yang namanya kebetulan atau ketidaksengajaan dalam hidup. Akan selalu ada hal-hal mengejutkan dari sebuah perjalanan yang tidak pernah dipaksakan ingin berjalan seperti apa. Tiara selalu percaya dengan hal itu.
“Ra?” Telapak tangan Rani melambai di hadapan wajah Tiara. “Kok malah melamun?”
“Eh?” Tiara merasa salah tingkah. Dia bahkan tidak tahu sejak kapan dirinya melamun. “Lo tadi nanya apa?”
“Tuh kan, nggak dengerin gue.” Rani mendengus pelan. “Hati lo ikut berbunga-bunga, nggak?”
“Nggak tahu, deh. Gue sendiri juga bingung.” Jawab Tiara seadanya. Dia memesan segelas es kelapa yang dicampur dengan sari jeruk. Minuman yang enak sekali kalau dipadukan seperti itu.
“Ra, gini ya. Coba tanya ke diri lo sendiri. Apa lo bahagia waktu dia bawain bunga? Apa lo ada keinginan untuk ketemu lagi dengan dia? Apa lo tiba-tiba ada harapan untuk merasakan lebih dari semua yang lo rasain sekarang? Kalau jawabannya iya, selamat, lo udah mulai membuka hati.”
Tiara terdiam mendengar penjelasan Rani barusan. Membuka hati? Apa saat ini dirinya sudah mulai membuka hati?
***
Rumah begitu sepi saat Tiara baru pulang dari kampus. Bik Minah tidak terlihat di dapur. Mungkin, sedang membeli sesuatu di luar, pikirnya. Tiara meletakkan tasnya di sofa ruang tamu, mengambil minuman bersoda dari lemari es, dan beberapa makanan ringan untuk dia bawa ke kamar. Suasana hatinya sedang tidak baik hari itu. Entah apa sebabnya, saat ini, Tiara hanya ingin menghabiskan waktu menonton film di kamarnya sampai malam. Itu adalah obat paling mujarab bagi Tiara kalau sedang tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa. Selain buku, begitu banyak film yang juga Tiara koleksi di kamarnya.
Tanpa berpikir ingin membawa apa-apa lagi selain minuman dan beberapa beberapa makanan ringan, Tiara memilih langsung pergi ke kamarnya. Kedua tangannya terasa sulit membuka pintu karena membawa sesuatu. Dengan terpaksa, dia meletakkan minuman sodanya di lantai, dan hendak berdiri lagi untuk membuka pintu. Tapi, tiba-tiba saja pintu kamarnya ada yang membuka dari dalam…
“Ayah!!??” Sontak Tiara terkejut melihat Ayahnya berdiri di hadapannya. Satu-satunya seseorang paling berharga yang tersisa di hidup Tiara itu sudah kembali ke rumah setelah sebulan lebih menghabiskan waktunya mengurus proyek di pekerjaannya.
Kedua lengan ayahnya membuka, membiarkan anak perempuannya itu datang dan memeluknya. Dia tahu, anaknya sering merasa sepi, dan menyendiri di kamar. Itu sebabnya, tiba di rumah, dia langsung menuju kamar anaknya untuk menemani dan menghiburnya.
“Aku senang sekali Ayah pulang.” Tiara semakin mengencangkan pelukannya. Dia benar-benar rindu dengan ayahnya yang sudah sebulan ini tidak terlihat di rumah.
“Ayah juga senang sekali bisa lihat kamu lagi di rumah, nak.” Jawab ayahnya, mencium kepalanya dengan penuh kasih sayang. “Anak kesayangan Ayah. Gimana kabarnya?”
Tiara melepas pelukannya. Dia membiarkan makanan ringan yang dibawanya tadi berjatuhan entah kemana. Yang terpenting, dirinya senang sekali melihat ayahnya memberi kejutan seperti ini.
“Aku baik, yah. Semakin baik lihat Ayah ada di sini.” Senyum Tiara mengembang, membiarkan telapak tangan ayahnya mengelus lembut rambut hitamnya.
“Lihat, Ayah bawakan apa..” Ayah Tiara mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah cardigan rajut berwarna hitam. “Titipan dari eyang waktu kemarin Ayah ke Jogja, ini punya ibu. Sengaja disimpan untuk dikasih kamu.”
Tiara menatap cardigan itu, lalu menyentuhnya dengan pelan. Ternyata, masih ada barang-barang milik ibu ada di Jogjakarta, kota tempat kelahiran ibunya.
“Besok, Ayah mau ajak kamu ke rumah teman SMA Ayah yang baru saja buka usahanya. Temani Ayah, ya? Ayah mau kamu pakai cardigan ini. Pasti cantik sekali.” Ayah Tiara tersenyum, kembali memeluk putrinya itu. Sementara Tiara masih mendekap cardigan itu. Dia benar-benar merindukan kehadiran ibunya yang selalu menemani dirinya dan Ayahnya kemanapun mereka berdua pergi.