Saat ini, aku sudah berada di depan gerbang sekolah, tapi aku tidak semangat sama sekali. Kutatap gedung sekolah yang terlihat suram. Aku menghela napas panjang dan berjalan lunglai melewati gerbang. Tiba-tiba saja ada yang merangkulku gembira. Aku menolehemu cengiran bodoh itu. Siapa lagi kalau bukan Mayang. Ya, biarpun bodoh juga dia sahabatku.
"Kok kemarin kamu nggak mau kuajak beli es krim sih," seloroh Mayang dengan bibir manyun.
"Sibuk," jawabku singkat.
"Sibuk apa?" Mayang mengernyitkan kening.
Aku mengangkat bahu. Mayang berhenti berjalan.
"Kamu marah sama aku ya, Uyung?" tanya Mayang terdengar sedih.
Aku berhenti langkah dan menengok untuk memilih sahabatku yang memasang wajah muram. Kenapa?
"Aku minta maaf soal Abang," ucap Mayang lirih.
Ah.
Aku menghampiri Mayang lalu merangkulnya. "Aku nggak marah sama kamu."
Mayang menatapku. Aku mengangguk mantap dan meyakinkannya bahwa aku tidak marah sama dia. Lagi pula, kenapa aku harus marah? Mayang tidak salah apa-apa.
Senyum Mayanglepas mengembang. Dia balas merangkulku.
"Tapi nanti kita beli es krim ya?" ucap Mayang semringah.
Aku mengangguk.
Mayang mengajakku berjalan, tapi kutahannya untuk mengetahui sesuatu yang penting.
"Abang kamu mana?"
Tepat saat aku bertanya seperti itu Adnan muncul bersama Tania. Mereka tampak bahagia. Menurut insting, aku berjalan ke arah cowok itu sambil meneriaki beberapa kali dengan riang sampai akhirnya Adnan berhenti dan menatapku dengan tatapan sulit diartikan.
Eh?
Aku terhenti di saat hanya perlu berjalan sedikit lagi untuk bisa menjangkau Adnan. Senyumku lenyap. Aku melupakan sesuatu. Bukankah Adnan memintaku bersikap biasa saja seperti sebelum kami berpacaran? Dan, itu artinya setiap bertemu Adnan, aku harus lari, begitu?
Sialan! Padahal, aku kangen dengan cowok itu. Rasanya sudah lama aku tidak melihatnya. Akan tetapi, aku bisa apa? Aku tidak mempunyai pilihan lain. Juga, belum siap dipermalukan di depan umum kalau-kalau Adnan menolak.
Aku memutar tubuh, sebisa mungkin berjalan cepat untuk jauh-jauh dari Adnan meskipun itu sia-sia. Toh, Adnan tidak berusaha mengejarku.
Untuk sekarang lebih baik aku berusaha untuk tidak peduli dengan hubungan apa yang terjalin antara Tania dan Adnan. Bohong sih, aku peduli, tetapi pura-pura tidak peduli atau mengutip kata Mayang 'jadilah pacar yang bodo amat'.
Pacar?
Aku merenung jauh. Pantai. Air berwarna biru bening. Hamparan pasir. Kelapa. Duduk berdua. Tertawa. Bahagia. Terlihat menyenangkan.
Desahan lelah lolos dari mulutku. Aku masih berharap tetap menjadi pacar Adnan, tentu saja. Meskipun mungkin Adnan tidak berharap demikian.
***
Di dalam kelas, aku bersikap sok cuek dan dingin. Padahal dalam hati ingin sekali menghajar Tania habis-habisan. Parah. Hati seorang gadis mana yang tidak panas membara melihat cowoknya bersama gadis lain? Di sampingku, Mayang sedang sibuk berkutat dengan kuku-kukunya yang panjang. Tampak santai.
"Baik, anak-anak, sekarang keluarkan PR kalian. Sekarang Nurul, kerjakan nomer satu, Mayang nomer dua, Bela nomer tiga, Kuncoro nomer empat."
Terdengar titah dari Pak Aman, Guru Fisika dengan intonasi yang begitu kejam di telingaku. Aku menoleh ke Mayang yang tersentak kaget—mungkin karena namanya juga dipanggil—dia buru-buru menumpuk kedua tangannya di atas meja. Gaya anak rajin.
"Eh? PR halaman berapa, ya?" tanyaku kepada Mayang yang dijawab tawa teman-teman sekelasku. Rupanya aku terlalu kencang mengeluarkan suara.
Aku beralih menatap Pak Aman yang sekarang mendelik galak kepadaku. Ini creepy. Aku menahan tubuhku sekuat-kuatnya agar tidak bergidik ngeri.
"Sekarang Nurul, Mayang!" perintah Pak Aman lagi dengan emosi tertahan.
Jadi, dengan pasrah, aku dan Mayang bangkit membawa buku cetak fisika, berjalan menuju papan tulis. Kami mengambil snowman secara bersamaan. Aku membuat garis di papan tulis, lalu menulis angka satu dengan kening mengerut bingung karena tidak tahu selanjutnya mau menulis apa lagi.
Mayang berdeham sekali. "Emm, Pak, ini caranya gimana, ya?" tanyanya polos membuat kelas kembali riuh dengan tawa.
***
Mayang sibuk dengan anggota Paskibra-nya, membuatku sendirian di jam istirahat. Mungkin semangkuk soto dan segelas es teh manis ditambah sepiring bakwan mampu menemani dan menghiburku yang malang ini. Kulangkahkan kaki menuju kantin yang pasti sudah penuh sesak. Akan tetapi, aku tidak peduli. Aku bisa menerobos antrean dengan mudah. Tentunya dengan cara licik. Seperti menitip pada antrean pertama. Kalau tidak berhasil, aku bisa mendorong semuanya agar terjatuh. Langkahku berhenti begitu pandanganku bersirobok dengan seseorang. Adnan Wisesa.
Aku memutar badan. Sebaiknya, aku pergi ke kantin dengan jalan memutar dan secepat mungkin untuk menghindar dari cowok itu. Jujur, aku tidak ingin melakukan ini, tetapi aku juga belum siap tertolak lagi.
"Nurul, kamu mengabaikan tugas dari Ibu?"
Aku menelan ludahku yang kering kerontang. Di hadapanku, Bu Ngadiatmi memasang tampang galak sampai membuatku bergidik ngeri.
"Maaf, Bu, saya lupa," jawabku, menyengir kaku.
"Sekarang, kerjakan Nurul!" perintah Bu Ngadiatmi kejam.
"Iya, Ibu, iya," jawabku langsung kabur ke perpustakaan. Melupakan soto, es teh manis, dan bakwan.
Hukuman dari Bu Ngadiatmi kemarin menurutku sangat tidak dari biasanya. Seperti bersih-bersih sekolah. Mulai dari toilet sampai ruang kelas. Kali ini beliau menyuruhku membantu Pak Mulyo, penjaga perpustakaan, dalam waktu sebulan, selama jam istirahat dan pulang sekolah.
"Pagi, Pak," sapaku kepada Pak Mulyo. "Sekarang saya akan membantu Bapak selama sebulan. Mulia sekali kan saya?"
Pak Mulyo yang sedang membaca koran dan sekarang sedang membaliknya hanya mengumam panjang tanpa perlu repot-repot melihatku. Aku menyeret kursi sampai bersebelahan dengan Pak Mulyo, lalu duduk sambil menompang dagu.
"Apa?" tanyaku galak begitu mendadak meja Pak Mulyo di kelilingi beberapa siswa dan siswi yang saling dorong.
"Mereka hanya ingin meminjam atau mengembalikan buku," kata Pak Mulyo tanpa melihatku. "Coba kamu layani mereka dengan ramah supaya perpus kita tidak sepi."
"Baik," sahutku terpaksa. Kuhela napas panjang dan memgembuskannya perlahan, lalu bersiap diri menyongsong hukumanku dengan penuh keikhlasan.
Serempak semuanya menyodorkan kartu perpus kepadaku. Aku menatap satu per satu wajah yang tak sabaran itu.
Aku mendengkus lirih. "Budayakan ngantre woy! Kalau nggak aku tonjok juga nih."
Semuanya menurut. Antrean mengekor ke belakang seperti ular. Dan, seperti itulah aku memulai hukumanku. Mereka berbaris rapi. Satu per satu mulai menyodorkan kartu perpustakaan untuk aku isi dengan judul buku, tanggal peminjaman atau tanggal pengembalian, denda seribu untuk sehari jika ada yang terlambat mengembalikan buku karena ketentuannya buku hanya boleh dipinjam selama tiga hari lalu stempel tanda sah.
"Kartu perpus?" kataku tanpa melihat, sebab aku lagi sibuk menyalin di buku besar.
Aku berhenti menulis. Mungkin, sudah tidak ada yang mengantre. Kuputuskan untuk mengangkat wajah. Aku terperangah dengan mulut ternganga lebar begitu melihat wajah yang kurindukan.
"Aku nyari buku A Short History of Nearly Everything-nya Bill Bryson, tapi nggak ada di rak. Apa ada yang meminjamnya?"
Aku diam. Masih melongo. Adnan di sini. Dia ada di depanku. Oh, betapa aku merasa sangat senang. Sesuatu menyenggol lenganku, membuatku menutup mulut dan melirik sinis ke Pak Mulyo. Siapa lagi pelakunya kalau bukan beliau?
"Ada yang nyariin buku itu. Coba kamu cek di buku besar," kata Pak Mulyo, kembali sibuk dengan korannya.
Aku berdiri. "Pak, saya izin ke toi—"
"Buku!" sela Adnan. Dia menggenggam pergelangan tanganku, menahanku pergi.
Aku kembali duduk, Adnan melepaskan genggamannya. Dia menatapku intens, membuatku salah tingkah dengan mengaruk kepala yang tak gatal.
"Tadi apaan judulnya?" tanyaku kaku.
"A Short History of Nearly Everything," jawab Adnan sabar.
"Oke," jawabku singkat, mulai mencari buku yang dimaksud dan mulai menyugesti diri untuk mengabaikan orang yang kucinta.
"Ada yang aneh denganmu. Apa masih mempermasalahkan yang kemarin?" tanya Adnan terkesan biasa saja.
"Hah?" Kepalaku mendongak untuk menatap Adnan.
"Kamu mendengarnya," kata Adnan datar.
Aku mengalihkan pandangan dan membalik lembaran buku besar. Tidak menyahut. Memangnya mau menyahut apa? Kulirik Pak Mulyo yang seperti sedang menguping dan menanti jawabanku. Aku berdeham, Pak Mulyo membalikkan koran dengan gaya sok cuek.
"Oke, kalau kamu nggak mau ngomong," kata Adnan santai seolah-olah kemarin itu bukan hal yang tidak penting, tetapi entah mengapa aku menangkap nada frustrasi saat dia mengatakannya. Aku mendengkus pelan. Frustrasi? Mana mungkin. Aku pasti salah mengira.
Aku mengangkat wajah, menatap Adnan. "Aku ... apa kit—"
Pak Mulyo berdeham dengan tidak wajar sehingga aku tidak meneruskan ucapanku. Adnan tampak menunggu, tetapi aku membuang muka, menoleh kepada Pak Mulyo yang melalui isyarat mata untuk kembali melihat buku besar.
"Biasa aja kali Pak," kataku malas.
Pak Mulyo kembali berdeham. Kali ini terdengar menggelikan di telingaku. Seolah-olah Pak Mulyo sedang meledekku.
"????Pertama bertemu kusuka padamu. Begitu juga denganmu.????"
Aku memutar kepala cepat ingin tahu siapa yang bernyanyi di perpustakaan. Dia mau cari mati atau apa? Slogan perpustakaan itu dilarang berisik.
Aku melongo takjub melihat Ferian Gaharu tersenyum dan meletakkan sebungkus roti harga seribu di depanku. Diam-diam aku melirik Pak Mulyo yang mendadak berwajah angker.
"????Engkau punya dia, sementara aku sendiri, tak mungkin orang kan tahu kita mencinta ....????"
"Kita mencinta gundulmu!" semprotku yang diabaikan oleh Feri.
"????Inikah namanya cinta diam-diam. Hanya Tuhan, engkau, dan aku yang tahu. Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya. Namun, jiwa dan cintamu pasti untukku ....????"
Feri mengaduh seraya terkekeh dan mengelus kepala begitu Pak Mulyo memukulkan buku ke kepalanya. Aku meringis, lalu menggelengkan kepala tak percaya bahwa cowok itu masih sempat cengegesan. Kudengar Feri meminta maaf kepada Pak Mulyo sehabis memberinya peringatan. Namun aku tak menghiraukan, pandanganku menangkap Adnan yang berjalan di belakang Feri.
Aku berdiri. "Adnan! Bukunya!" kataku menatap Adnan yang tidak menatapku balik dan memilih keluar dari perpustakaan tanpa kata.
Aku kesal dan duduk kembali untuk melihat buku besar yang masih terbuka lebar. Iseng aku membacanya. Mataku mendelik pada status buku yang Adnan cari. Status buku itu masih dipinjam oleh seseorang. Merasa penasaran, jari telunjukku menyusuri tulisan yang ingin melihat siapa yang meminjam. Ternyata ....
Adnan Wisesa.
Eh?
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu