Aku menggigit kuku jempol seraya menatap ponsel yang tergeletak manis di atas meja makan. Aku ingin menghubungi Adnan untuk memastikan hubungan kami baik-baik saja. Namun, hati kecilku berkata jangan, sementara logikaku mengatakan sebaliknya. Keduanya berperang hebat sampai rasanya kepalaku mau pecah.
Aku mengerang seraya mengacak rambut frustrasi. Kenapa cinta ini membuatku puyeng tujuh keliling?
Kuhela napas panjang lalu berdecak. Detik berikutnya, pandanganku bertemu dengan sorot penuh tanya dari mata Alfa. Segera kupalingkan pandangan menatap tembok untuk menghindarinya. Namun, sesekali mataku melirik ke arah ponsel dengan hati dan logika yang masih bertarung.
"Kenapa?" tanya Alfa penasaran.
Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Kembali kuhela napas panjang. Alfa tidak bertanya lagi. Sepertinya dia sangat menikmati makanan hari ini. Sayup-sayup kudengar suara Mama dari ruang tamu sedang berbicara dengan Pak Amir, supir pribadi, yang habis mengantar Mama belanja sejam yang lalu—entah membeli apa—padahal yang kulihat sejauh ini kulkas masih terisi penuh. Persediaan makanan masih aman.
Mungkin Mama membeli baju gamis yang sedang digandrunginya atau perabotan dapur yang semakin kucermati semakin banyak dan belum terpakai. Contohnya saja, oven yang berada di dekat kulkas. Mama membeli barang itu ketika melihat Mama Fanisa membuat kue dan ingin mencoba membuat sendiri di rumah. Mama pernah bilang, dia akan membuat kue untuk anak-anaknya menggunakan oven tersebut dengan perasaan bahagia dan penuh cinta supaya anak-anaknya dapat merasakan kasih sayangnya yang mengucur deras. Akan tetapi, sampai sekarang apa yang pernah dikatakannya, belum terwujud. Setiap kutagih, Mama selalu beralasan, sedang malas dan menyuruhku untuk membeli kue di tempat langganan.
Yeah, aku tahu shopping alias menghamburkan uang Ayah untuk membeli barang yang belum dibutuhkan adalah hobi Mama yang paling disenangi. Sehingga tak jarang aku melihat Ayah yang pusing akan tingkah Mama. Meski demikian, Ayah tetap menyayangi Mama. Bagi Ayah, apa pun yang Mama lakukan adalah cinta. Menggelikan, tidak?
Aku tersentak kaget begitu ponselku berdering dan bergetar. Dengan segera aku mengambilnya dengan harapan terlalu tinggi seperti Adnan yang tiba-tiba mengajakku bertemu dan hubungan kami baik-baik saja.
Ada satu pesan di sana, membuatku cepat-cepat membukanya. Dalam hati, aku berdoa bahwa pesan itu bukan pesan dari operator.
Aku mendesis sebal saat tahu siapa yang mengirimiku pesan. Alfa.
"Beli sendiri sana!" teriakku kepada Alfa yang sedari tadi duduk di depanku. Sedang makan, tetapi memintaku untuk membelikan rujak buah.
Alfa menatapku, memasang wajah memelas. "Tolonglah. Ya?"
"Nggak mau!" tolakku cepat. Inilah tidak enaknya memiliki kakak. Dia akan selalu memerintah kapan saja tanpa tahu kondisi.
"Nanti Kakak kasih uangnya lebih. Kembaliannya buat kamu semua," bujuk Alfa manis. Dia menatapku dengan puppy eyes.
Sebab aku menyayanginya, maksudku menyayangi uang kembalian, aku mengadahkan tangan. "Mana?"
Alfa tersenyum lebar. Dia merogoh saku celana pendeknya. "Ini," katanya sambil meletakkan uang lima ribuan di telapak tanganku.
Mulutku melongo. Aku memandang uang dan Alfa bergantian. Apa-apaan ini? Yang benar saja!
"Kakak tunggu di kamar. Oke?" kata Alfa lagi seraya beranjak, membiarkan piring dan gelas kotornya begitu saja.
"Kak, ini gimana? Duitnya kurang. Rujak buah harganya tujuh ribu," ucapku nelangsa.
"Pinjem dua ribunya kamu, Dek," jawab Alfa santai tanpa menoleh kepadaku. "Sekalian itu piring sama gelasnya cuciin."
Alfa menghilang di balik tembok. Aku mematung di tempat.
"Dasar bedebah! Goblok banget sih aku," kataku lirih sambil menjambak-jambak rambut frustrasi.
Ponselku bergetar lagi. Kali ini aku tidak akan berharap terlalu tinggi dan berdoa dalam hati bahwa pesan kali ini adalah pesan dari operator. Ada lima pesan di sana. Semuanya ternyata dari Mayang.
Mayang : Uyuuuuung.
Mayang : Yuuuung?
Mayang : Woy!!!!
Mayang : Uyuuung, aku traktir es krim ya.
Mayang : Uyuuuung. Bls. Cuma di R aja. Astaga!
Aku mendengkus. Mulai mengetik pesan balasan untuk Mayang.
Nurul : Sbk.
Pesan itu terkirim.
Aku memejamkan mata sejenak dan memainkan ponsel. Jariku berhenti pada nomor Adnan. Kupandangi nomor itu saksama dan badai kesedihan kembali melanda. Aku tidak suka dalam keadaan seperti ini. Terlihat tidak jelas. Abu-abu.
Setelah menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, aku meletakkan ponsel begitu saja di atas meja lalu mengambil dompet di kamar dan berjalan keluar rumah dengan gontai untuk membeli rujak buah pesanan Alfa.
Sampai di depan gerbang kompleks, aku kebingungan kenapa menuruti perintah Alfa yang tak manusiawi. Kupandangi uang lima ribuan pemberian Alfa dengan sengit, sebelum akhirnya benar-benar pergi mencari rujak buah untuk manusia tak berperasaan dan tukang bohong itu.
***
Udara sore ini terasa sejuk. Suasana di sekitarku ramai. Orang-orang berlalu-lalang. Berbicara banyak hal dan saling tumpang tindih, membuatku sedikit pusing. Langit tampak indah dengan warna jingga, tetapi aku tidak bisa menikmatinya lama-lama.
Saat ini, aku terkapar di meja milik tukang mi ayam, kepalaku terkulai di atas serbet kotak-kotak. Aku sudah tidak sabar merasakan mi di mulutku. Aku sudah lapar sampai tubuhku terasa lemas dan tak bertulang. Aku baru merasa demikian setelah berhasil menemukan rujak buah yang sering mangkal di depan Rumah Sakit Linggarjati.
"Hei, kamu beneran laper banget?"
Aku diam. Tidak mau menanggapi omongan Azka yang tidak bermutu. Sempat terheran-heran bisa bertemu Azka di sini. Namun, ketika cowok itu bercerita sedang membantu temannya jualan mi ayam di sini, aku cukup merasa kagum. Di era modern seperti sekarang, jarang kutemui orang macam begitu.
"Sabar, bentar lagi Salim selesai," kata Azka lagi dan aku merasa kepalaku dielus-elus lembut, membuatku seketika bereaksi.
Aku mengangkat kepalaku dan terdengar bunyi benturan. Aku mengerang sakit sambil mengelus cepat bagian kepalaku yang nyut-nyutan.
"Sumpah! Ini sakit banget gila!" seruku melirik ganas kepada Azka yang memegang dagu.
"Maaf," kata Azka, dia ikut mengelus bagian kepalaku yang terasa berdenyut.
"Iiisst! Jangan elus-elus sih, Ka. Bisa-bisa rontok nih rambutku!" Aku menepis tangan Azka, membuatnya cemberut sok dramatis.
Kenapa sih dengan ekspresinya itu? Aku geli. Lagi pula, tidak pantas banget Azka berlaku demikian mengingat cowok itu pernah bersikap sok dingin kepadaku.
"Rontok?" Azka menarik kursi yang ada di sampingku dan duduk. "Dasar lebay."
Aku menyeringai. "Lebay gini, kamu juga cinta sama aku," kataku teringat perkatakannya tadi pagi, meskipun seratus persen aku meyakini bahwa dia hanya bercanda.
Azka mengangkat bahu cuek. Dia mengalihkan pandangan lalu mengambil kerupuk di atas meja dan memakannya sendirian tanpa menawariku.
"Cie ... yang cintanya sama aku," ledekku. Aku berdecak seraya menggeleng. "Cantik banget sih aku ini, makanya banyak yang kepincut."
Aku tertawa sombong. Azka berhenti memakan kerupuk dan meletakkan sisanya begitu saja.
"Nurul, kamu itu benar-benar bahaya," kata Azka kemudian sambil menatap kepadaku.
Tawaku terhenti. Aku menatap Azka dengan kening mengernyit bingung. Maksudnya bahaya itu apa? Memangnya sekarang aku membawa golok dan akan membunuhnya? Jangan gila! Aku belum sesadis itu.
Azka tersenyum miring yang terlihat sangat menyebalkan di mataku sampai rasanya ingin memukul kepalanya menggunakan sendok. Namun, sebelum kutahu apa yang akan terjadi, dengan gerakan cepat cowok itu mendekatkan wajahnya kepadaku dan bibirnya tanpa permisi mencium bibirku.
Mataku mengedip. Untuk beberapa detik, aku merasa bumi tidak berputar pada porosnya. Untuk beberapa detik juga, detak jantungku seakan berhenti.
"Mi ayamnya sudah ... ya, Allah!"
Aku mendengar suara Salim disusul dengan suara mangkuk diletakkan di atas meja. Azka menarik diri, memberi jarak kepada kami, kemudian dengan santainya cowok itu tersenyum lebar seraya menatapku dengan pandangan yang tak biasa seperti ... lembut?
"Bocah edan! Gemblung! Nggak waras!" maki Salim sambil memukul Azka menggunakan sapu, membuat cowok itu mengaduh kesakitan dan berteriak tak terima, mengancam Salim dengan dirinya yang tidak akan membantunya jualan kalau Salim terus memukulinya.
Sementara aku, ketika sadar apa yang telah dilakukan oleh Azka, wajahku memanas karena marah. Hatiku mendidih karena emosi.
"Mamaaaaaaaa! Mamaaaaaa! Mamaaaaaaa!" Aku berteriak sekuat tenaga, berharap dengan begitu Mama tiba-tiba muncul di depanku lalu memberi pelajaran kepada Azka karena sudah mencuri salah satu hal yang berharga dari anaknya.
"Oh, astaga!" Azka melompat setelah berhasil menghindari pukulan Salim lalu membekap mulutku. "Kenapa berteriak?"
"Aendabeliangkeynepa?" kataku, menatap garang Azka.
Aku berontak. Azka melepas bekapan tangannya saat aku menendang tulang keringnya. Cowok itu mengaduh kesakitan lagi seraya membungkuk-bungkukan badan. Dia mengelus-elus cepat kakinya seraya menatapku tak percaya.
"Kurang ajar!" Aku memukul wajah Azka tanpa ampun, membuat cowok itu terjungkal ke belakang, menabrak kursi plastik.
Azka mengumpat. Dia menjauh dariku. Salim tertawa terbahak-bahak seraya meledek Azka habis-habisan. Azka sendiri tidak mengubris. Dia sibuk dengan mengelus pipi kirinya yang bisa jadi terasa sakit luar biasa. Rasakan! Memangnya enak?
Aku mengambil gelas kosong, membuat Azka menatapku sambil menggeleng. Dia membuka mulutnya untuk berkata sesuatu dan aku siap melempar gelas ke arahnya, menyerbu serta menampar pipinya seraya mengeluarkan sumpah serapah begitu tiba-tiba Salim berada di antara kami.
"Mi ayamnya nanti melar. Tolong dimakan dulu," kata Salim dengan wajah meminta pengertianku.
Aku mendengkus.
"Makan, Nurul," kata Azka dengan sikapnya yang biasa saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mahapenting terjadi di antara kami.
Aku menatap sekilas mi ayam yang tersaji di atas meja, kemudian menatap sengit Azka yang sudah duduk. Apa cowok itu tidak merasa bersalah sedikit pun setelah menciumku? Gosh! Padahal aku bermimpi ciuman pertamaku itu Adnan. Itu pun bila cowok itu menginginkannya. Kalau tidak, apa boleh buat? Aku akan memaksa.
"Nurul, apa ngeliatin aku jauh lebih mengasyikkan daripada makan mi ayam, hm?" Azka menompang dagu dengan satu tangannya sambil menatapku dengan tatapan yang benar-benar menyebalkan.
Ugh! Rasanya aku ingin melemparkan mi ayam milikku ke wajah Azka. Dan, memang itulah yang kulakukan. Selanjutnya, aku membayar mi ayam dan melengang pergi, mengabaikan teriakan Azka yang menggelegar.
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu