"Dhi, gimana kabar lo?"
"Baik, kenapa ya?"
"Em, gini Dhi lo ada lowongan kerja ga? Gue butuh banget nih"
"Duh, maaf bay. Gue ga ada nih,"
"Yah, atau enggak lo bisa pinjemin gue 5 juta gak? Anak gue masuk ke rumah sakit nih, udah coba tanya kemana-mana tetep gak nemu, kali aja lo bisa bantu gue," Ardhi berpikir sebentar, ia berulang kali melihat layar handphonenya. Ada rasa iba pada Bayu, tapi apa yang pernah dilakukan Bayu kepaanya dulu sudah berbekas dan tidak dapat hilang.
"Gue cuma ada 3 juta Bay, gak ada lagi. Gue juga lagi banyak keperluan,"
"Yaudah, 3 juta juga gapapa Dhi. Gue makasih banget lo udah mau bantu gue, nanti nomor rekeningnya menyusul ya Dhi,"
"Makasih banget"
Ardhi menghela napas panjang, ia pikir apa yang ia lakukan adalah hal yang benar. Yang penting kan sudah mau membantu, masalah nominal bisa belakangan. Lagipula kalau orang lagi susah, biasanya dapat berapa pun pasti akan bersyukur. Tapi, tadi Bayu bilang anaknya sakit, mungkin itu karma. Dulu, Ardhi sering diejek kacung, penyakitan, ansos dan lain sebagainya. Padahal pertemanan Ardhi normal-normal saja kala itu, tapi Ardhi memanglah orang yang penakut dan mudah tunduk. Karena ia tidak mau terlibat dalam masalah besar yang akan berakhir menyusahkan dirinya sendiri.
Dari pertama kali masuk SMA, Ardhi sudah bertemu dengan Bayu Pratama, ketua berandal sekolah. Dulu, Ardhi pernah tidak sengaja menabrak Bayu dengan keras karena ia sedang berlarian dengan temannya. Hanya masalah sepele tapi hal itu malah berakibat fatal pada Ardhi. Tiap pulang sekolah, Ardhi disuruh untuk membwakan tas teman-temannya Bayu, kadangkala ia disuruh untuk menggantikan Bayu dalam tawuran antar sekolah yang dimulainya.
SMA adalah masa-masa tersulit bagi Ardhi, walaupun ada juga rasa bahagianya. Tanpa sepengetahuan orang lain, sebenarnya Ardhi tersiksa dibalik senyum yang sering ia tampilkan. Banyak yang bilang Ardhi adalah anak yang ceria. Mungkin itu hanya menjadi topeng. Dulu, Ardhi memang menjadi kacung Bayu secara diam-diam dan itu berlangsung selama tiga tahun. Tapi Ardhi bersyukur ia sudah tamat SMA sudah tamat juga kuliah, sekarang hanya tergantung dirinya ingin menjadi apa kedepannya.
"Mas Ardhi, mau makan siang bareng enggak?" Ardhi mendongak ke atas.
Itu Olivia, orang yang menelponnya pagi-pagi buta tadi. Ardhi bukanlah orang yang mau untuk berhubungan sampai terikat dengan seseorang karena itu merepotkan. Kalau tidak ada kabar, pasti akan direcoki oleh orang itu, tapi giliran dia yang tidak ada kabar malah tidak ingin dipersulit. Ardhi tersenyum sejenak, "boleh, tapi bentar aja ya. Kerjaan saya numpuk nih, nanti takut enggak kelar,"
Dahi Oliv merengut sejenak, berpikir apakah tawaran Mas Ardhi akan diterimanya atau tidak. "Hmm, boleh deh. Gapapa kalo cepet juga, yang penting aku makan enggak sendiri,"
Lagi - lagi Ardhi tersenyum namun kali ini banyak makna yang tersirat di dalamnya. Sebenarnya, tiap kali bertemu dengan Olivia, banyak sekali hal yang ingin ia lakukan kepada perempuan itu. Misalnya, jalan bareng, nonton, dinner yah layaknya seperti kencan pada umumnya. Karena dengan begitu, ia akan makin jatuh hati dengan Ardhi, lalu Ardhi bisa memanfaatkan perempuan itu. Minimal, ia bisa menjadi pesuruhnya? Tapi tentu saja, hal itu tidak akan terjadi, Ardhi bukanlah orang yang seberani itu untuk memanfaatkan orang yang baru ia kenal dalam waktu dekat.
"Mas, aku pengen makan nasi uduk nih, Mas Ardhi mau?" Ardhi hanya mengangguk lalu masuk ke dalam lift yang memang sudah mereka tunggu sejak tadi. Di dalam lift Ardhi beberapa kali mencuri pandang pada Olivia. Kalau dilihat - lihat sebenarnya tubuh Olivia memang ideal, dari segi wajah juga lumayan,untuk sikap, yah ia lumayan sopan. Kalau boleh jujur Ardhi lebih tertarik dengan tubuh Olivia, yang ia yakini para kaum Adam juga berpikiran sama. Olivia juga memiliki kharisma tersendiri yang sempat membuat Ardhi hampir menyukainya walaupun ia sangat mengganggu.
Setelah hari itu, Ardhi merasa tidak ada yang berubah, semua masih sama seperti pertama kali ia bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Ia pulang ke rumah juga masih sama, sepi karena ia memang tinggal sendiri. Ardhi beruntung memliki rumah yang dihuni seorang diri, karena tidak pernah ada yang mengganggunya, mengatur dan lain sebagainya. Sahabatnya Felix, juga belakangan ini tidak datang, ia masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai CEO di perusahaan yang dimilikinya.
Pertama kali Ardhi mengenal Felix saat ia berusia 7 tahun. Kala itu, Ardhi masih dititipkan di rumah bibinya, sementara kedua orang tuanya dinas. Ardhi hanya beberapa kali dipulangkan ke rumahnya karena memang tiap minggu rumahnya tidak berpenghuni. Ardhi kecil, yang tidak tahu apa - apa hanya bisa menikmati kondisi yang ada. Felix itu anak teman bibinya. Ia,ibunya Felix sering berkunjung ke rumah untuk sekedar menggosip di rumah bibinya. Sejak saat itu, Felix mulai akrab dengan Ardhi. Mereka sama - sama anak tunggal. Tapi bedanya Felix masih diperdulikan oleh orang tuanya.
"Dhi, sorry banget gue baru ngehubungin loe,"
"Oh iya, gapapa. Lagian belakangan ini enggak ada yang penting juga kok"
"Gue, hmm..nanti malem gue ke rumah deh,"
"Hah? Buat apa? Kalau loe sibuk, nanti nanti aja baru ke sini, takut ganggu"
"Ah, gapapa. Gue tetap ke rumah, ya."
"Yaudah, terserah aja."
PIP
Ardhi terdiam sejenak. Dari dulu, kalau dipikir - pikir hubungan Felix dengannya memang lebih lengket ketimbang ia dekat dengan orang lain. Menurutnya, Felix itu seseorang yang paling berharga yang ia punya. Sampai saat ini, belum ada orang yang bisa menggantikan posisi Felix di hidupnya. Ardhi bukannya tidak normal dan tidak menyukai perempuan, ia tetap suka kok pada perempuan. Hanya saja, menurutnya perempuan itu merepotkan. Tidak cocok dijadikan pasangan yang serasi, mungkin hanya untuk memuaskan napsu semata. Karena memang pada dasarnya Ardhi lebih suka memanfaatkan seseorang dibanding harus bersusah payah dengan mereka.
Ardhi bangkit dari sofanya, menuju dapur lalu membuka kulkas, mengecek apakah masih ada makanan tersisa di sana. Ternyata masih ada sebuah daging dan dua kaleng jamur. Ardhi masih berpikir akan memasak apa untuk Felix nanti. Mungkin, ia harus berbelanja untuk menyajikan makanan yang lebih layak. Ardhi segera bersiap lalu menuju supermarket terdekat.Tak lupa Ardhi membuat list apa saja yang perlu dibeli.
Pasta
Oregano
Margarin
Bawang putih
Bawang bombay
Susu fullcream
Ardhi masih mengelilingi supermarket untuk membeli keperluan apa saja yang perlu ia beli. "Bawang sudah, berarti tinggal susu yang belum," ucapnya sambil mendorong troli belanjaannya ke kiri, lorong bagian susu. Setelah semuanya sudah beres, Ardhi melwati toko wine. Mungkin makan malam mewah, boleh juga untuk sekali - sekali. Selepas ia sampai di rumah, Ardhi langsung buru - buru membereskan dapur serta meja makannya dan mulai memasak, layaknya seorang ibu rumah tangga. Ardhi dari tadi terseyum kesenangan karena membayangkan akan seperti apa ekspresi Felix ketika melihat makanan yang ia sajikan. Setelah itu, Ardhi segera mandi dana merapikan diri serta menunggu kedatangan Felix.
Tepat pukul delapan malam, Felix sampai di rumah Ardhi. Badannya sedikit kuyup akibat percikan hujan yang dibawa oleh angin menyiprat di kemejanya. Felix langsung membunyikan bel dan Ardhi membukannya dengan tergesa.
"Aduh! Kok loe bisa kebasahan gini sih? Tadi main hujan-hujanan?" ucap Ardhi khawatir
"Enggak. Emang tadi hujannya deres banget," ucap Felix lalu masuk ke dalam rumah. ]
"Kenapa pas sampe enggak nelpon dulu sih? Kan gue bisa langsung ke depan terus mayungin loe," ketus Ardhi
"Iya, iya kan tadi gue pikir ga bakal sederes ini. Lagian, salah rumah loe juga lah kenapa coba depannya gak dikasih carport, kalo ada kan jadi enggak kena hujan gini."
"Pasang carport tuh mahal sama ribet juga"
"Yaelah, masang gituan mah gak sesusah itu kali. Lagian biasa harganya dibawah satu juta kok, loe pasti mampu lah buat ngeluarin duit segitu."
"Yauda, loe mandi dulu aja. Nanti lu pusing, gue yang repot" Felix mengangguk patuh lalu segera menuju kamar mandi.
"Handuknya udah gue gantung deket pintu"
Ardhi memindahkan daging yang telah ia masak ke piring, lalu menyajikannya secantik mungkin. Lucu memang, padahal Felix hanyalah seorang teman bukannya pacarnya. Tapi, sudah dari dulu Ardhi suka dengan kerapihan. Malah ada yang bilang Ardhi adalah orang yang gila bersih. Tak lama, Felix sudah menunggunya di ruang makan. Ardhi sedikit terburu untuk menuangkan saus yang telah ia buat ke piring Felix, ia takut Felix menunggunya terlalu lama.
Seperti biasa, jika sudah makan pasti akan tercipta keeningan. Felix kurang suka jika ditengah kegiatan makannya diganggu oleh obrolan atau suara lain. Mungkin orang lain akan merasa aneh dengan Ardhi yang selalu menuruti apa yang disukai Felix.
"Em...gimana kantor hari ini? Lancar?" tanya Ardhi setengah berbisik.
"Lumayan, cuma tadi ada bawahan yang membelot. Lancang dia, ngintip ke basement. Terus dia kaget, lihat barang produksi terlarang,"
"Masih?" ucap Ardhi sambil memasukan kentang ke dalam mulutnya, "gue kira bisnis loe itu udah enggak jalan"
"Masih, lagian kalau ga dari situ mau dapet untung dari mana? Usaha ekspidisi ga akan membawa kekayaan sebanyak itu. Usaha gue itu cuma buat nutupin kebusukan aja."
"Kenapa gak berhenti aja? Gak bagus usaha kayak gitu,"
"Loe juga nikmatin duit itu, kalau enggak dari sana, dari mana lagi? Kerjaan loe juga enggak menghasilkan duit sebanyak gue," Ardhi menghela napas sejenak.
Memang benar apa yang dikatakan Felix, kalau bukan uang dari dirinya, Ardhi hanyalah seorang pegawai kantoran yang hidup ngekos. Belum bisa beli rumah sendiri. Bahkan untuk ngekos saja harus mencari ukuran yang paling kecil, agar bisa berhemat. Tapi dengan usaha yang Felix miliki sekarang, hidupnya cukup terjamin walaupun hidup dengan uang haram. Orangtua Ardhi juga tidak mau menanggung biaya hidup Ardhi apalagi sekarang ia sudah dewasa. Ardhi merenung sejenak.
"Iya, kalau gue enggak ketemu lu, gue enggak tau bakal jadi apa. Ga bakal kepikiran bakal ada orang yang mau relain negebuang duitnya buat beli rumah yang lumayan mewah"
"Bersyukur aja bro. Loe tau kan, gue enggak pernah ninggalin loe, karena gue udah anggep loe kayak sodara gue sendiri. Jadi kalau loe susah, gue pasti ngerasa susah juga"
Ardhi hanya terdiam tapi ujung bibirnya sedikit naik, dan tersenyum sedikit.