Rintik hujan menghiasi pagi ini. Langit seolah merasa kasihan terhadap bumi yang semakin hari suhunya semakin tinggi, mungkin bumi butuh air yang bisa meredakan rasa gerahnya. Ardhi menatap keluar jendela. Lagi-lagi hujan, pikirnya. Padahal tadi pagi ia melihat ramalan cuaca hari ini akan diprediksikan cerah, tapi yah itulah ramalan, hanya perkiraan yang tidak tahu apakah akan menjadi nyata atau tidak. Dengan santai Ardhi melangkah kearah dapur di rumah minimalisnya.
Ardhi. Ardhi Wicaksono. Nama yang tidak diketahui oleh banyak orang, ia lebih suka menyendiri dan tidak terikat dengan hal apa pun. Ardhi bukanlah orang yang pandai bergaul, tapi jika ia membutuhkan pasti orang- orang akan membantunya dengan senang hati. Ardhi, hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta yang ada di Jakarta. Kesahariannya bisa dibilang membosankan. Hanya berualang, itu-itu saja tidak ada perubahan sedikit pun.
Bukan berarti Ardhi adalah orang yang bodoh. Ia hanya tidak suka menjadi pusat perhatian. Ia lebih suka bermain di zona aman. Bahkan jika ada penghakiman tentang orang yang dosanya paling sedikit, Ardhi bisa menjadi orang yang berada di nominasi itu, Juga, ia menyukai hal yang berhubungan dengan seni. Ia menyukai hal yang sempurna, tidak ternoda apa pun.
Drrtt...Drrtt...
Ardhi menoleh ke meja makannya, handphonenya berbunyi. Ada pesan dari bos di kantornya, mengingatkannya agar tidak terlambat hari ini. Ardhi menatap malas, dan memasang muka masam. Ia rasa, Olivia, orang yang tadi itu menyukainya, namun sejauh ini hanya mau main kode. Tapi, Ardhi a tetaplah Ardhi, orang yang tidak ingin terikat apalagi dengan hal yang menurutnya tidak mempunyai nilai seninya sedikit pun. Sudah hampir tiga tahun ia bekerja di kantornya, dari awal tahun hingga sekarang perempuan itulah yang sering mengganggu Ardhi. Ia risih, tapi tidak mau menegurnya, karena menurutnya Olivia masih bisa berguna untuknya. Ardhi hanya membalas, oke nanti saya jemput. Singkat, padat dan jelas. Ardhi segera memasak telur yang telah ia ambil tadi, kemudian memakannya dengan diam.
Hening. Setiap pagi akan selalu begitu di rumah Ardhi. Karena faktor ia tinggal sendiri dan juga, faktor banyak yang tidak terlalu menginginkannya di dunia ini. Orang tuanya, contohnya. Ayah dan ibunya sama - sama orang bisnis, yang memang kala itu tidak berencana untuk mempunyai anak. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana caranya mngumpulkan uang lalu menjadi orang terkaya di dunia. Tapi, karena ketidaksengajaan, muncullah seorang Ardhi. Anak yang tidak punya salah tapi harus disalahkan oleh orang tuanya sendiri.
Kau tahu kan, kalau orang yang gila kerja, jika ketahuan hamil akan sangat merepotkan? Yah setidaknya itulah yang dirasakan oleh ibunya Ardhi, Embun. Ia risih, tapi tidak jijik, hanya saja bayi yang dikandungannya itu membuatnya kesusahan untuk perjalanan bisnis jarak luar negri. Juga banyak dari orang kantor yang mengatakannya sedikit berubah, ada yang bilang ia lebih emosian dan ada juga yang bilang ia menjadi sangat tenang diwaktu tertentu. Embun tidak merasa ada yang salah dengan itu semua, menurutnya di dalam dirinya yang saat itu berbadan dua, ya wajar saja mungkin memang itu bawaan anaknya.
Sejak kecil, Ardhi memang anak yang pendiam, tidak terlalu suka bergaul, tapi itu di rumah lain halnya dengan di lingkungan luar. Ia tumbuh menjadi anak yang dikenal oleh beberapa orang, Hampir setengah dari eskrakulikuler di sekolahnya ia ikuti, dari basket, voli, bahkan debat sekali pun. Ardhi memang merencanakan segala sesuatunya untuk tidak cepat pulang ke rumah. Karena di rumah, ia tidak memilki siapa pun, tidak memiliki orang yang bisa dekat dengannya, orang yang bisa ia manfaatkan sesuka hati. Ardhi, mungkin bisa dibilang orang yang bermuka dua, namun hanya untuk kepentingan yang mendesak.
"Dhi, nanti pas pulsek, tolong ajarin gue ini dong yang soal logaritma itu loh. Gue masih belum ngerti nih" Ardhi menatap orang yang sedang berbicara padanya, lalu tersenyum, "Iya nanti gue bantu, kalau ga sempet, kita telponan aja ya." Lalu Ardhi mengeluarkan buku catatan hariannya sambil tetap tersenyum penuh makna.
Ardhi kembali mengingat sedikit tentang kisahnya di SMA. Waktu itu, kalau tidak salah Vina meminta bantuannya untuk mengerjakan soal logaritma, tanpa disangka Vina bisa ia manfaatkan untuk kepuasannya tersendiri. Vina, anak yang baik, malah terbilang hampir mendekati kata suci, tapi karena ia terlalu baik, Ardhi jadi berpikir dua kali. Di dunia ini, tidak ada yang namanya orang suci, sekalipun bayi yang baru dilahirkan. Maka, orang-orang yang hampir menyentuh kata suci harus ditiadakan, begitu kata Felix, teman Ardhi. Ardhi tidak setuju dengannya, walaupun akhirnya seorang Vina tetap ia manfaatkan untuk mengerjakan tugasnya yang lain
Ardhi, tidak pernah mau untuk memusnahkan seseorang, menurutnya manusia itu butuh belas kasih, manusia itu perlu dikasihani. Yah walaupun bisa berguna sedikit sih, dimanfaatkan tapi bukan untuk dimusnahkan. Tapi, yah begitulah Felix, ia tidak pernah setuju dengan Ardhi, menurutnya Ardhi itu terlalu penakut untuk menunjukkan jati diri seorang manusia yang penuh dengan dosa. Ardhi hanyalah seorang pengecut yang akan terus hidup dalam bayang bayang. Ardhi mungkin orang yang friendly tapi itu untuk orang yang ia sudah kenal saja. Bukan orang asing yang ia temui diujung jalan. Tidak, Ardhi terlalu takut untuk memulai sebuah obrolan yang akan berlanjut untuk keesokan harinya.
Ardhi bukanlah Felix yang akan mendapatkan teman ditiap tikungan jalan, entah itu di usia yang setara, lebih muda, bahkan lebih tua. Menurutnya Felix itu orang yang istimewa, apa pun yang tidak bisa dilakukan oleh Ardhi, pasti Felix dapat melakukannya. Lagi, Felix selalu muncul disaat yang tepat, saat Ardhi dalam keadaan susah dan darurat.
"Mas Ardhi, ini laporan yang kemarin mas Ardhi minta," ucap Ningsih, asistennya. "Taruh aja di meja saya, makasih ya" sambil tersenyum lalu Ardhi kembali berkutik dengan laptopnya. Menyelesaikan beberapa proyek yang belum ia periksa sejak kemarin. Ardhi adalah seorang manager dari salah satu perusahaan swasta yang bergerak dibidang jasa ekspedisi. Perusahaan yang ia naungi ini bergerak di jasa pengiriman mobil dan motor. Hampir tiap minggu omzetnya naik. Tapi, walaupun begitu masih saja ia sering ditegur oleh bosnya karena dirasa masih kurang, masih tidak memuaskan.
Tiba-tiba ada notif dari handphonenya, itu dari Bayu, orang yang tidak ingin ditemui Ardhi, orang yang sudah Ardhi hapus selama bertahun-tahun. Mungkin kalau dibilang siapa orang terbrengsek yang pernah ada, Ardhi akan menjawab orang itu adalah Bayu, Bayu Pratama. Bocah tengil yang dulu hampir membuat Ardhi terbunuh. Melihat namanya terpampang di ponselnya saja Ardhi ingin muntah. Ingin melempar jauh-jauh handphonenya. Akhirnya dengan berat hati, ia membuka notif itu. Bayu, hanya basa basi, mungkin ingin meminjam uang, bisa juga meminta kerjaan.
Begitulah manusia, tidak ada yang benar benar baik. Tidak ada juga yang benar-benar mau menolong tanpa imbalan. Semuanya itu ada harga dan ada kualitas. Ardhi tidak pernah mempercayai yang namanya manusia, karena menurutnya manusia itu sama saja, sama-sama brengsek. Baik kalau ada butuhnya saja maka dari itu ia melakukan hal yang sama kepada orang lain.