“Apa lagi, Dik?”
“Ini Mas, roti Itali. Apa ya?” tanya Salma.
“Roti Itali? Mungkin… pizza,” jawab Azam.
“Aku juga mikirnya pizza sih, tapi kalau buat besok emang masih enak ya, Mas?”
“Emm…. terus apa dong?” Azam berpikir sebentar. “Kenapa nggak tanya si Adi aja sih? Kata kamu dia ikut OSIS,”
“Ck… Mas Azam gimana sih? Anggota OSIS kan nggak boleh kasih tahu. Apalagi nih ya, kalau nggak ada yang kena hukuman, nggak akan seru Mas, buat mereka.” Jawab Salma sok tahu.
“Halah, kayak kamu perna ikut OSIS aja. Ya udah, roti Italinya di skip dulu, lainnya apa? Buah malam minggu gitu, ada nggak?”
Salma terdiam. Buah malam minggu? Buah, malam, minggu. Malam, minggu, o… iya, iya.
Ia menjentikkan jarinya kemudian menunjuk ke arah Azam. “Apel kan?” seru Salma penuh kemenangan. “Nggak, nggak, nggak ada. Kalau itu, termasuknya gampang, Mas. Ini nih, minuman mencium matahari. Apa coba?”
“Minuman apa, Dik?” tanya Adam yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya. Adam adalah kakak pertama Salma, sedangkan Azam adalah kakak keduanya.
“Minuman mencium matahari.”
Sejenak suasana berubah hening, hanya suara televisi yang terdengar. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya Adam membuka pembicaraan. “Kalau mencium, bahasa inggrisnya kiss, sedangkan matahari itu sun, iya nggak?” Azam dan Salma mengangguk, masih mencerna penjelasan dari Adam. “Kiss sun, tapi kalau dibalik jadinya sun kiss,” jelasnya dengan penuh senyuman.
“Iya, ya, kok aku nggak kepikiran,” ucap Salma.
“Emangnya ada ya, Mas, minuman sun kiss?” tanya Azam.
“Sebentar, Mas cariin,” kemudian ia mulai mengetikkan sesuatu di laptopnya.
“Mikir begini bikin laper.”
Salma yang duduk disebelahnya mengangguk setuju. “Heem, Mas Zam, padahal aku udah makan lho, sebelum magrib.”
“Ah, kamu mah emang sukanya makan,” sahut Azam.
“Alhamdulillah… ada nih,” seru Adam. Ia menggeser laptopnya menghadap Azam dan Salma.
“Oh… tulisannya Sunkist, baru tahu ada yang beginian.”
“Buat kita penggemar es teh, es jeruk sih wajar, Zam, nggak tahu. Nah, ini, si penggemar jajan kok sampai nggak tahu juga, aduh…” Azam pun tertawa mendengar ucapan kakaknya, sedangkan Salma hanya cekikikan tidak jelas. Dari ketiganya, Salma lah yang memiliki referensi tempat penjual makanan paling lengkap. Mulai dari yang dorongan sampai ke rumah makan ia tahu tempatnya. Salma termasuk orang yang rela menabung uang jajannya demi membeli sesuatu yang ia inginkan termasuk untuk makanan.
“Oke, berarti yang ini ketemu. Terus yang belum apa?” tanya Adam.
Salma mengambil buku catatannya. Ia terlihat meneliti tugas mana yang belum terjawab “Emm…. Ini, Mas, roti Itali.”
“Roti Itali? Apa, ya?”
“Di google cuma ada roti begini, nih,” ujar Azam sembari memperlihatkan hasil pencariannya.
“Kalau Itali biasanya pizza,”
“Tadi juga pizza kita mikirnya, tapi kan itu buat besok. Kalau beli sekarang emang besok masih enak?”
“Coba tanya Bunda, mungkin Bunda tahu.”
“Bunda juga nggak tahu, Mas, tadi aku udah tanya,” sahut Salma dengan wajah memelas.
Sebenarnya Adam juga tidak tahu apa jawabannya, tetapi melihat adik kecilnya seperti itu ia merasa tidak tega juga. “Temen kamu gimana?”
“Mereka juga nggak tahu. Tapi, ada yang mau bawa pizza sih,”
“Oh, kalau nggak, pizzanya dimasukin kulkas, terus pas besok mau berangkat diangetin pakai teflon.” Usul Azam.
“Bisa juga sih, Zam, gimana, Dik?”
Salma masih berpikir. Jujur saja, ia merasa tidak yakin dengan jawaban itu. Salma menunduk memperhatikan karpet yang didudukinya. Tidak lama kemudian ia beralih pada Adam dan Azam, keduanya juga tengah memperhatikannya. Ia pun kembali menunduk. Melirik lagi kakaknya dan kembali lagi menunduk. Hal tersebut justru membuat Adam dan Azam cekikikan dibuatnya.
“Kok pada ketawa sih?”
“Habisnya kamu lirik-lirik terus sih, baru nyadar ya, kalau kita itu ganteng? Hahaha…” Pecahlah tawa keduanya disusul lemparan bantal yang mengenai Azam. Bukannya berhenti, tawa mereka justru semakin parah saat melihat wajah cemberut Salma.
Adam lupa, kapan terakhir kali ia tertawa seperti ini. Rasanya menyenangkan juga, apalagi ini adalah momen yang jarang ia dapatkan bersama kedua adiknya. Perlu beberapa saat baginya untuk menghentikan tawa. “Oke…, oke, cukup ya, ketawanya,” ucapnya sambil menyeka sisa air mata yang keluar. “Emm… ada yang mau nasi goreng?”
Tanpa berpikir lama Azam dan Salma langsung menjawab. “Akuu…” Lucu sekali kedua adiknya, disaat tidak akur pun mereka bisa kompak gara-gara makanan.