Tidak seperti yang kuperkirakan, malam ini kami telah sampai di kamar hotel beberapa menit setelah matahari terbenam. Bahkan dengan secepat kilat, Vivian lari ke dalam kamar mandi dan keluar tiga puluh menit kemudian. Kini ia merebahkan diri di atas kasur dengan ponsel di tangannya. Tak lupa bibirnya yang masih menyunggingkan senyum. Entah apa yang aku lewatkan selama aku bersama Rio tadi di Pantai Pandawa hingga cowok itu kembali bersamaku saat kami berkunjung ke GWK, tak jauh dari Pantai Pandawa.
“Aditya ganteng banget ya? Pas dia nggak sengaja nyenggol kamu dan masang wajah super aneh aja tetep ganteng.” Gumam Vivian yang masih memusatkan perhatiannya pada layar ponsel ketika aku keluar dari kamar mandi. Entah ia bergumam pada dirinya sendiri atau mengajakku berbicara, “Liat nih, Ra.” Vivian bangkit dari posisi tidurnya dan memperlihatkan kepadaku layar ponselnya, “Ganteng, kan?”
“Ooh, jadi aku jatuh sampe nginjek kaki Rio itu gara-gara Aditya, tho?” Aku menyambar ponsel Vivian yang menunjukkan foto Aditya yang dengan sengaja menampakkan wajah jeleknya. Sepertinya saat itu Rio sedang memotret wajah bloonku, “Jadi selama nggak sama aku, kamu jadi paparazzi?” tanyaku sembari mengembalikan ponsel Vivian. Gadis itu hanya tersenyum memamerkan deretan gigi rapinya, “Kelakuan.” Aku menggelengkan kepala setelah menyampirkan handuk, “Melu ra? Aku mau jalan-jalan di sekitar sini. Jek sore ki.”
“Moh ah. Capek. Mau bobo.” Vivian menolak ajakanku dan memilih untuk kembali memusatkan perhatian pada ponselnya.
Tidak sesepi kemarin malam, beberapa siswa dari sekolahku malam ini memilih untuk jalan-jalan keluar hotel. Sepertinya pihak panitia memang sengaja untuk mengembalikan kami lebih cepat ke hotel agar kami memiliki waktu sendiri untuk mengeksplor Bali, khususnya wilayah Pantai Kuta. Mungkin saja Rio juga melakukan hal yang sama. Ah, kemungkinan besar Aditya juga berada di luar. Sayang sekali Vivian lebih memilih melihat cowok itu lewat layar ponselnya.
Dari hotelku, aku hanya perlu berjalan menyusuri trotoar tanpa berbelok arah. Itu yang dikatakan security jika aku ingin menuju Pantai Kuta. Memang tidak dekat, memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit atau lebih dengan berjalan kaki untuk sampai ke sana. Namun hal itu tidak terasa berkat toko pernak-pernik yang tersebar di sepanjang jalan. Sambil menikmati udara yang tercampur dengan wangi sedap makanan dari restoran-restoran, aku mencuci mata dengan melihat warna-warni pernak-pernik yang sengaja dipajang di luar toko untuk menarik perhatian pengunjung.
Hingga akhirnya aku menangkap sosok Rio dengan pakaiannya yang lebih santai sedang memotret di luar toko. Sepertinya ia sedang menunggu teman-teman sekelasnya yang tampak asyik bercanda di dalam toko dengan bergaya mengenakan pernak-pernik yang ada. Aku hendak melangkah untuk menyapa cowok itu ketika seseorang menahan lenganku dengan gerakan tiba-tiba dan membuatku berbalik menghadapnya.
Bahuku mengendur tidak semangat melihat orang itu. Dia Aditya dengan tatapan datar namun mengintimidasi. Seolah menagih utang jet ski tadi siang. Namun bukannya memikirkan berapa uang yang harus aku berikan kepada Aditya, kurasakan pipiku memanas mengingat rahang dan jakun cowok itu saat aku menoleh tak sengaja untuk menatapnya di atas jet ski tadi, “Berapa?” Tanyaku yang berusaha terdengar mantap untuk menghapus ingatan terlarang di otakku. Namun yang terdengar justru seperti cicitan tikus yang terjepit.
Dahi Aditya mengerut mendengar pertanyaanku, “Apanya?”
Aku mengedipkan mata beberapa kali yang diikuti dengan kerutan dahi pula, “Kamu narik tanganku karena nagih utang bayar jet ski tadi siang kan?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, dengan cepat cowok itu melihat tangannya yang masih menahan lenganku. Seolah-olah baru sadar ia baru saja menarikku, membuatku menunda untuk menyapa Rio. Ia melepaskan tangannya dariku dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana pendek santai yang ia kenakan. Kemudian menolehkan kepalanya sedikit ke arah kanan untuk menghindari tatapanku.
“Jadi berapa?” Aku memiringkan kepala untuk kembali menatapnya.
“Gue nggak menganggap itu sebagai utang.” Ia kembali menatapku masih dengan tatapan yang sama.
“Loh, terus kamu narik aku buat apa? Bukan nagih utang?” Sejenak, cowok itu tidak merespon pertanyaanku. Ia justru berjalan melewatiku tanpa berkata apapun. Meninggalkanku dengan tanda tanya yang melayang di atas kepala. Aku mengangkat bahu tak peduli. Mungkin cowok itu sedang berada di masa sensitifnya. Ada kemungkinan pula laki-laki bisa sensitif seperti perempuan kan?
Aku berbalik untuk melanjutkan niatku tadi untuk menyapa Rio. Namun ketika tubuhku berputar, lagi-lagi aku dikejutkan dengan tubuh jangkung Aditya yang berdiri tepat di belakangku tadi. Membuatku mundur beberapa langkah dan hampir melempar ponsel di tanganku, “Dit! Kamu ngapain, sih?”
“Besok jalan sama Rio lagi?” Tanyanya tegas. Masih dengan tatapan yang seolah-olah mengintimidasi tersangka pelaku koruptor. Kali ini aku yang tidak kunjung menjawab dan justru memberikannya tatapan melongo, “Maksudnya?” Melihat tatapan dan pertanyaanku, Aditya melengos dan membuang napas. Sekali lagi meninggalkanku tanpa berkata apapun serta wangi minyak esensi mint yang mengudara. Tanpa mempedulikan kepergian Aditya, dengan cepat aku kembali memusatkan perhatianku ke tempat Rio berdiri tadi. Namun cowok itu sudah tergantikan oleh rombongan bule yang memenuhi toko. Membuatku gantian melengos dan membuang napas, kehilangan mood dan kembali ke arah hotel.
***
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku sama-sama laki-laki. Si sulung sudah menikah dan kini tinggal di Jakarta bekerja sebagai pilot salah satu maskapai penerbangan kebanggaan negeri ini. Sedangkan kakak tengahku saat ini masih menempuh pendidikan di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Berbeda dengan kedua kakakku yang memiliki prestasi segemilang ayah dan ibuku, aku terlahir dengan prestasi biasa-biasa saja, malu-malu untuk akrab dengan orang yang baru kutemui untuk pertama kalinya, dan cenderung dimanja. Untuk yang terakhir ini mungkin karena faktor aku adalah satu-satunya anak perempuan, bungsu pula. Meski begitu, aku mencoba untuk mandiri yang terkadang tidak dipercayai sepenuhnya oleh kedua orang tuaku. Seperti contohnya saja kemarin malam saat aku keluar hotel tanpa membawa uang dan ponsel, lima panggilan tak terjawab, tiga panggilan video tak terjawab, dan tujuh pesan dikirimkan oleh ibuku. Menanyakan apakah aku baik-baik saja, seolah aku pergi sendiri tanpa didampingi guru-guruku.
Bahkan sekarang, ketika waktu belum menunjukkan pukul sembilan malam dan aku sedang asyik mengembalikan mood dengan berselancar internet di salah satu komputer yang disediakan di lobby hotel, ibuku kembali menelepon lewat video. Memakai daster andalannya dan rambut yang disanggul, ibuku masih terlihat cantik di masa tuanya. Ia bukan lagi wanita karier seperti dulu, kini ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anaknya. Aku ingin seperti ibu, yang berprestasi di masa muda dan menjadi istri yang baik ketika saatnya tiba.
“Piye kabarmu, Nduk?” Ia tersenyum anggun meski terlihat kecemasan di raut wajahnya yang keriput.
“Apik, Bu. Ini lagi main internet di lobby hotel.” Aku tidak mungkin menceritakan bahwa aku keluar hotel dan berjalan-jalan sendirian. Hal itu akan membuat ibuku khawatir dan berspekulasi aneh-aneh.
“Kok dewekan? Lha Vivian?” Sendirian di lobby hotel saja sudah membuat ibuku bertanya khawatir.
“Vivian di kamar, Bu. Bobo. Capek katanya.”
“Halo, Tante. Asmara nggak sendirian kok. Ada saya.” Suara berat khas seorang cowok tiba-tiba menyapa telingaku yang membuatku terlonjak. Wajahnya terpampang jelas menggeser diriku agar cukup di layar ponsel. Aku menoleh cepat secara refleks. Lagi-lagi menemukan rahang dan jakun yang membuatku membelalakkan mata.
“Itu siapa, Nduk? Pacar?”
“Hah?!” Pertanyaan ibuku membuatku kembali menatap layar ponsel dengan semu merah yang memanas di sekitar pipiku.
Cepat lanjut, Aditya kenapa sih?????
Comment on chapter 4