Chapter 6 – Teman Baru
Di dalam sana, ada segerombolan manusia yang sedang berdiri berkumpul. Tiga orang tampak mengenakan seragam seperti Yosua. Satu orang mengenakan seragam seperti sopir bis tadi dan sisanya mengenakan pakaian bebas mereka masing-masing. Yosua berlari kecil ketika semakin dekat dengan gerombolan itu. Ia meloncat-loncat dengan semangat ke arah mereka.
“Haloo!” Sahutnya saat mendekati jarak satu meter dengan mereka. Wajah dan tatapan muda-mudi di sana mengguratkan hal yang masing-masing berbeda ketika melihatnya. Yosua tersenyum lebar, ia begitu menikmati pemandangan dari Laskar Muda ini.
“Nah, akhirnya mereka datang juga,” sahut Satria. Salah satu dari ketiga orang yang memakai seragam seperti Yosua.
“Maaf kak, Sat! Apa kalian sudah lama menunggu?”
“Tidak, kami baru sampai juga.” Jawab Lion mendahului Satria. Satria hanya menatapnya dengan tidak suka. Lion menciut menyadari hal itu, sementara Yosua hanya cengengesan menertawai Lion.
“Ok, jadi dimana tiga orang itu?” meski Satria berkata “Mereka telah datang” sebelumnya, tapi ia masih belum menemukan sosok ketiga orang itu.
Yosua menunjuk jauh ke arah ia datang tadi, “Mereka pasti tertinggal oleh lariku yang cepat ini,” katanya. Semua orang pun mulai paham, orang sesupel apa pria yang sedang bicara ini.
Jimmy, Rama dan Bayu datang dengan santainya. Mereka agak terkejut, namun langsung membiasakan diri ketika melihat lebih dari sepuluh orang tengah menunggu mereka di sana. Satu demi satu wajah orang-orang itu mereka sapu dengan pandangan selidik mereka sambil berjalan untuk mendekat.
“Kemarilah, dan kita akan memulainya.” Sahut Satria. Satu orang lagi dengan seragam yang sama dengannya masih betah membungkam suara, Dewita.
“Baik, karena semuanya sudah berkumpul. Kita akan memulai penyambutan kedatangan kalian dari sekarang. Meski kalian akan tetap diberikan pesta sambutan di dalam sana, tapi langkah pertama kalian memasuki labirin ini adalah hal yang lebih penting untuk dirayakan. Jadi, silahkan lepaskan pakaian kalian!” hampir semua pasang mata selain lima orang yang tampak lebih tua itu saling bertautan dengan heran. Mereka tak ingin mendapatkan perlakuan seperti ini. Tapi, siapa yang berani angkat bicara? Mereka masih saling menatap, memikirkan maksud dari perintah itu. Apakah sebuah perintah mutlak, gurauan, atau sebuah ujian? Tidak, itu sebuah tantangan.
Seorang gadis mengangkat tangannya. Semua mata tertuju padanya. Gadis itu mengenakan kaos polos berbintik ungu dengan lengan pendek yang membuat lengan putih rampingnya tampak cantik terumbar. Kalungnya yang berbentuk salib menyilau tersorot kilauan matahari. Rambut kuncirnya yang berwarna indigo keunguan tampak senada dengan jeans navi yang ia kenakan. Ia menatap tak sabar ke arah Satria, ingin segera diberi kesempatan untuk mengeluarkan suaranya. Sementara satria hanya tersenyum meremehkannya. Ia tak jua menanggapinya dan justru mulai melarikan pandangannya ke orang lain.
“Apa begitu caramu memperlakukan orang yang ingin berbicara?” Suara itu meninggi. Milik gadis berambut indigo.
Teman-temannya yang lain hanya bisa menatap penuh ketegangan, tapi tak semua, hanya sebagian. Yosua tersenyum remeh. Dewita tersenyum sinis menikmati adegan itu. Lion memasang wajah datar dan Satria memasang wajah marah yang menantang. Alisnya naik, dagunya terangkat membuat jakunnya tampak semakin kasar. Ia menunggu keberanian gadis itu untuk mengatakannya lagi.
“Aku bertanya kepadamu, kenapa tidak menjawab?” sahut gadis itu lagi dengan suara yang meninggi. Satria mengeratkan rahangnya.
“Apa hanya gadis ini yang ingin bicara? Apa tak ada lagi yang lain?” sahutnya dengan suara yang tak kalah tinggi.
Jimmy di sana, mengangkat tangannya.
“Saya tak ingin bicara banyak, saya akan dengan senang hati melepas pakaian saya bila itu diperlukan. Tapi saya tidak mau bila harus tampil bugil di sini. Itu rendahan,” katanya mengedipkan mata kirinya ke arah Satria yang menatapnya balik dengan tatapan yang kian nanar. Merah matanya bagai terbakar.
“Siapa yang mengizinkanmu berkata seperti itu, Hah?” Satria menyalang lagi. Rama mulai tak bisa diam. Dia maju menghadang laki-laki yang tengah menunjuk temannya itu.
“Tak perlu ada yang memberi izin. Kami di sini karena kehendak kami sendiri.” Satria menggeleng, ia nampak tak percaya dengan kata-kata dan penolakan tersebut. Rama mendongak menatapnya. Pria itu memang sedikit lebih tinggi darinya.
“Apa hanya itu yang bisa kau katakan?” kali ini suaranya melemah. Tapi tetap, ia menyalang penuh tantangan.
Kali ini giliran seorang Dion, satu-satunya pria yang memakai baseball cap di situ. Dion melangkahkan dirinya lebih dekat dengan kedua orang yang kini tengah mengadu pandangan mereka.
“Kami memang tak perlu mendapat izin. Kami berhak atas pilihan kami sendiri. Kalian tak perlu memaksa bila kami ingin melakukannya.” Henry yang berdiri di belakangnya memicingkan mata, ada tatapan kengerian dan juga cemas.
Kristina, gadis kecoklatan yang tengah berdiri mendekap tangannya di dada itu tersenyum mengerti dalam anggukan, ia menyeringai seakan telah memenangkan pertarungan itu. Bayu menatap lakon itu seperti sebuah drama, dan ia bahkan tak sempat ambil bagian di dalamnya. Erma, seorang gadis dengan kerudung menutupi kepalanya, nampak acuh, berdiri sambil mengetik-ngetik layar ponselnya dan memiringkan kepalanya ke kanan mengikuti arah ponselnya. Gadis lain di sana yakni Syasha hanya membenarkan kacamatanya sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang bertikai itu. Sementara Larissa masih tegang meremas-remas tangannya sendiri. Dan Humairah yang tampak tergelitik oleh semua itu. Henry dan yang lainnya menyimak dengan begitu seksama.
Tak tunggu berapa lama, kata-kata kami setuju dari teman-teman yang lain pun mencuat dan membanjiri hutan yang tenang itu. Satria mendengus pedas, wajahnya tersenyum sinis dan perlahan melebur menjadi senyum bangga. Begitu pula dengan keempat orang lainnya yang sedari tadi mencoba menegangkan suasana.
“Baiklah, kalian menang. Komandan memang telah mengatakannya kepada kami, bahwa kalian akan melewati tantangan itu dengan baik,” katanya dengan senyum puas nan bersahaja. Ia sedikit membungkuk memberikan rasa hormat. Sontak wajah para Laskar Muda pun berubah kesan, mereka menyeringai sekaligus terkejut. Dan tebak, siapa yang sudah memprediksikan hal ini sebelumnya. Mereka hanya tersenyum sedari awal.
“Tapi, karena menyadari hal itu, beliau memberikan kami surat ini.” Satria mengeluarkan selembar kertas. Ia menunjukkannya kepada para calon anggota Laskar Muda.
“Ini adalah surat yang menyatakan bahwa kalian harus mematuhi persyaratan dari Laskar Biru selama kalian menempuh pelatihan di sini. Bila tidak, kalian boleh memilih pulang dan kami akan menelpon kembali para sopir itu untuk mengantar kalian.”
TEMAN BARU
Semua mata kembali menegang, tapi tak setegang sebelumnya. Ketegangan itu hanya digunakan agar mereka dapat berkonsentrasi menatap surat itu. Ujang, pak tua dengan seragam yang sama dengan sopir tadi, mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari dalam koper yang ia tenteng. Di sampingnya juga terdapat sebuah peti kayu berwarna coklat tembaga. Kayu itu mengeluarkan aroma yang cukup nikmat dengan panjang sekitar dua meter dan lebar delapan puluh sentimeter serta tinggi tiga puluh sentimeter.
Dewita, gadis yang sejak tadi diam itu mengambil kertas yang dikeluarkan pak Ujang dan membagikannya kepada para Laskar Muda. Senyumnya kini tampak lebih lebar dari sebelumnya. Wajah putih dengan bibir merah, mata hitam kelam tertindih lensa kontak. Pipinya tidak tirus, namun dagunya runcing, poninya sengaja diikat ke atas memamerkan dahi beningnya yang cukup menarik.
Satria kembali bersuara, ia membacakan isi surat itu kepada para Laskar Muda setelah mereka masing-masing telah menerima lembar salinan surat itu.
“Kepada, tunas hijau nan menyegarkan, Laskar Biru muda, para calon penerus, dengan ini saya mewajibkan Anda untuk mengikuti peraturan-peraturan yang akan ditetapkan oleh Laskar Biru sejak Anda berniat untuk berproses dengan Laskar Biru hingga Anda dan Laskar Biru tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Tertanda, Andrew.” Satria menarik senyumnya dengan lebar dan penuh kemenangan. Ia menyorot semua ekspresi muda-mudi di depannya itu.
Jimmy mengangguk diiringi senyum santai, Rama tak ingin berekspresi lebih dari datar, Bayu memegang dagu memikirkan sesuatu, sementara yang lainnya, rata-rata hanya membuat sebuah ekspresi yang bermakna pasrah dan mau bagaimana lagi. Mereka hanya menebak-nebak dalam hati, apa yang akan menjadi konsekuensi bila mereka menyetujui hal tersebut.
“Tentunya, dengan catatan bahwa kami akan tetap menghargai karakter kalian.” Sahutan itu kembali masuk setelah lama manusia di sana hening. Itu milik Lion yang kemudian mendapat tatapan lagi dari Satria. Kebiasaan Lion yang seperti ini membuatnya merasa direndahkan dalam posisinya sebagai pembicara utama. Menyadari hal itu, Lion dengan cepat mengulum bibirnya sendiri dan menatap ke bawah. Memang semua orang punya karakter masing-masing dan perlu dihargai, tapi Lion sendiri tak mau bila ia membuat Satria merasa tidak nyaman. Satria sendiri, ia perlahan tersenyum dengan rasa menghargai bahwa ia mengerti apa yang Lion pikirkan dan kenapa ia selalu seperti itu. Itu adalah Lion, apa yang membuatnya menjadi Lion adalah keunikannya itu.
Kini sudah saatnya mereka diberitahu, peraturan apa yang sudah menanti mereka.
“Dan, peraturan pertama yang harus kalian ikuti adalah, mengganti pakaian kalian.” Satri kembali berulah, senyum jahatnya muncul seketika di hadapan para Laskar Muda.
“Di sini?” sahut salah seorang dari Laskar Muda perempuan.
“I’m in. Saya yakin kami tidak harus mengganti pakaian kami di sini. Kami hanya perlu mengganti pakaian dan untuk mengganti pakaian, kami perlu pakaian ganti.” Jimmy menelusup lagi. Ia berdiri di hadapan lebih dekat dengan Satria dan kemudian melirik ke arah peti kayu di samping pak Ujang. Pak Ujang hanya tersenyum memandanginya. Jimmy yang merasa mendapat senyuman itu, mengangguk kecil untuk memberi salam hormat. Pria tua itu bahkan sudah sedikit beruban. Mungkin umurnya sekitar 50 tahun-an.
“Ternyata kau banyak bicara juga yah.” Jimmy tersengal, wajahnya buruk tertimpa keterkejutan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Satria yang telah membuat semua orang tertawa dengan kata-katanya itu. Hampir saja Jimmy menjawabnya lagi, tapi ia tak mau sampai dirinya lebih menguatkan bukti bahwa dirinya memang seorang yang banyak bicara. Kepalannya diturunkan dan niatnya diurungkan. Nafasnya menghembus menenangkan diri.
Satria tersenyum, ia merasa menang.
“Baiklah, seperti yang kalian dengar. Kami tak akan memaksa kalian mengganti pakaian kalian di sini. Kalian punya waktu sepuluh menit untuk mengganti pakaian di balik semak itu. Laki-laki di sana dan perempuan di sana.” Satria menunjuk-nunjuk dua arah yang cukup berjauhan. Tentu saja ia perlu memastikan tidak ada privasi yang terganggu. Lalu sebuah tangan mengacung. Gadis berambut indigo lagi.
“Saya tidak ingin mengganti pakaian bersama orang lain. Saya ingin ke sana.” Katanya menunjuk sebuah semak. Itu bukan sebuah permintaan izin, itu sebuah pemberitahuan. Tanpa menunggu izin dari mereka, ia langsung berjalan menuju semak itu. Jimmy memiringkan kepalanya, memicingkan matanya, menatap heran dalam balutan pikiran yang penasaran. Teman-temannya yang lain tak jauh beda dengannya. Terutama para gadis, mereka tak tahu apa yang membuat gadis itu tak ingin bersama mereka.
Kini, empat belas pria muda tengah bersempit-sempitan mengganti pakaiannya di balik semak yang memang tinggi dan lebat seperti dinding berbentuk ‘L’ itu. Mereka menenteng masing-masing satu koper yang dikeluarkan dari peti kayu yang dilirik oleh Jimmy tadi. Koper-koper hitam kecil itu ditempeli nama-nama mereka, sehingga ukuran dan jenis pakaiannya tak tertukar.
Sementara di bilik lawan, para gadis saling bersemu merasa diri mereka harus mengganti pakaian di depan satu sama lain. Mereka memeluk koper itu di dada sebelum akhirnya mereka saling tertawa dan bersiap mengganti bajunya. Siapa yang sangka kalau mereka akan berdesakan untuk mengganti pakaian di balik semak. Hanya satu orang dari mereka yang tak seceria mereka. Dia hanya menatap kosong tanpa semangat ketika telah membuka pakaiannya dan menarik lembar-lembar kain dari dalam koper hitam kecil itu.
Tapi, ketika ia melihat isi koper itu dan mencocokkannya dengan dirinya, ia menyeringai takjub. Batinnya tak habis pikir bagaimana Laskar biru bisa sebaik itu. Ekspresinya itu membuat para gadis lain ikut memandang dengan takjub. Begitu pula para pria yang kini saling menukar tatap di bilik sebelah itu. Sementara Zee, gadis berambut indigo itu, ia menarik garis senyum yang tidak biasa. Tidak seperti senyum biasanya yang selalu sinis atau meremehkan, kali ini ia takjub, seperti teman-temannya yang lain.
@kei07 Terima kasih kembali sudah berkomentar di sini. Wah, iya nih.. Kayaknya masih kurang 'trigger'nya kalau cuma keunikan idenya aja. Saran yang bagus. Hehehe
Comment on chapter Prologue