Chapter 3 – Aturan
Langit gelap menyusut. Mentari mulai tinggi terseret waktu. Kamar tamu di rumah Andy yang semalam ditinggali Jimmy sudah kembali rapi seperti sedia kala. Seakan tak pernah ditempati. Karena disana memang sudah tak ada orang lagi. Jimmy sudah beranjak. Pergi mendekati pasar dan pelabuhan tempat ia tiba kemarin.
“Pak?” pelan suara itu terdengar di tenda kecil yang penghuninya masih sibuk menata barang dagangannya.
“Oh, kamu yang kemarin, bukan?” sahut sang bapak mendapat wajah lemas Jimmy.
“Iya.”
“Mau beli apa?”
“Saya mau beli Apel.”
“Ah, Galahana ya? Berapa?”
“Setengah kilo,” jawabnya lemah.
Jimmy masih kaku. Ia masih teringat yang kemarin. Hari yang aneh di tempat yang baru. Dan sekarang ia sedang mencoba membeli sesuatu dengan angka dan harga yang aneh. Hari yang melelahkan.
“Apa kau punya uang?”
“75 ribu, bukan?” Jimmy mengeluarkan uangnya. Tidak sebanyak yang ia pikirkan. Tapi sebanyak yang ia butuhkan. Lima lembar 5 ribu-an.
“Aku kira kau tak punya uang.”
“Bagaimana kalau kuberi yang ini?” Jimmy menarik kembali tangannya dan mengeluarkan uang baru berwarna hijau dari dompetnya. Ya, itu uang 20 ribu-an. “Satu lembar kurasa cukup.”
“Kau mungkin anak orang kaya, Nak. Tapi jangan mempermainkanku.”
“Tentu, Pak. Dia hanya sedang belajar.” Kali ini suara Andy. Ia selalu menjadi penengah antara Jimmy dan pedagang itu.
“Ah, Pak Guru. Jadi apakah dia murid baru Anda?”
“Ya. Dia baru tiba kemarin.”
Tentu saja Jimmy tak begitu terbiasa. Tapi dia harus menerimanya. Menerima bahwa dia sudah memilih untuk menjadi muridnya. Murid genius dari orang genius. Calon jenderal yang disediakan oleh jenderal terdahulu.
***
“Jadi angka-angka yang Anda ajarkan disini hanya berbeda sedikit dengan yang ada di luar sana?”
Jimmy mulai menyimpulkan pelajaran pertamanya hari ini. Tapi selalu tak sama dengan yang Andy inginkan. Selalu. “Hanya menukar 1 dengan 6, 2 dengan 7, 3 dengan 8, 4 dengan 9, tapi,,, 5 dan 0 tetap di tempatnya.”
“Itu tidak sesederhana yang kita simpulkan, Nak! Masih banyak yang harus kita pelajari.”
“Apalagi? Saya sudah mengerti aturannya.”
“Tapi tak semua orang mengerti, Nak. Dan kau belum menanyakan satu pertanyaan pun hari ini.”
“Anda mau pertanyaan?”
“Untuk memahami suatu aturan, tentu saja.”
Jimmy memutar otaknya. Harus selalu begitu jika gurumu adalah seorang genius. Tapi tak akan lama jika kau juga genius.
“Jadi apa yang saya pelajari?”
“Apa yang aku ajari.”
“Dan apa tepatnya itu?”
“Jika aku ingin mengajarimu seperti itu, aku tak perlu orang sepertimu, Nak. Kau akan menjadi orang sepertiku. Bahkan lebih dariku ke depannya.”
Jimmy tak membantah. Ia berhasil menyerapnya dengan baik. Itu berarti,,,
“Kau harus mengerti dengan caramu sendiri. Pahami aturannya, cari kelemahannya, lengkapi. Lihat akibatnya, ubah dengan caramu. Buatlah aturan baru. Yang mudah kau ajarkan. Yang mudah diterima. Yang mudah kau kendalikan.”
Pulau ini pulau Biru. Nama baru yang Laskar Biru berikan kepada masyarakat pribumi yang jumlahnya bahkan tak sampai 100 kepala. Sisanya, semua kaum marginal yang dipilih khusus. Kaum yang membutuhkan. Butuh untuk diselamatkan, diajarkan, dan dibekali. Agar mereka bisa menjadi manusia baru. Yang mengerti aturan ini. Yang akan menjadi populasi besar dengan aturan hidup baru. Populasi yang dianggap. Populasi elit. Darah biru di atas tanah biru. Laskar Biru dari pulau Biru. Membawa aturan baru. Aturan baru…
ATURAN
Aturan bukanlah hal yang mudah untuk dibuat. Selalu ada pelanggar. Selalu ada celah. Dan selalu ada pro-contra. Begitu pula dengan yang akan Jimmy lihat. Bahkan aturan kecil yang ia buat untuk dirinya sendiri. Pelanggarnya adalah dirinya sendiri. Celahnya adalah pikirannya sendiri. Dan pro-contranya adalah hatinya sendiri.
“Jadi apa kau, sudah mengalah, Tuan Jimmy?”
Rama memulainya dengan baik. Seperti biasa. Dan akan ia biasakan. Mengganggu hingga yang diganggu menunjukkan dirinya yang asli. Sementara di seberang sana, Jimmy masih menatap kosong ke arah tembok. Tembok yang menjadi pemisah antara kamarnya dengan kamar murid yang lain.
“Apa kau sudah tidur?” Jimmy berhambur. Ia berbalik untuk menyimak wajah pemilik suara yang mengganggunya itu.
“Apa kau,,,” kata-katanya terpotong. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Kenapa diam? Aku tidak suka permainan tebak kata, Tuan Bermata Sipit!”
“Apa kau juga genius? Maksudku, kenapa kita bisa sekamar? Atau,,, bagaimana kau bisa datang kesini?”
Rama menyimak. Tak sedikitpun kata-kata Jimmy yang ingin ia lewatkan. Tampak seperti peduli. Tapi tak sejauh itu, ia hanya ingin mengalahkan Jimmy. Gengsi untuk hari yang lalu adalah alasannya.
“Aku?,,, Aku bukan genius. Bahkan mereka bilang aku orang bodoh. Mereka sering menertawaiku. Tapi tidak dengan guru. Guru menghargaiku sampai aku merasa akulah yang paling ia sukai. Tapi,,,”
Rama berhenti. Jimmy masih menunggunya. Matanya berputar melihat ekspresi Jimmy. Kenapa Jimmy begitu serius.
“Kenapa kau begitu penasaran?”
“Kenapa? Apa aku salah untuk penasaran?”
“Tidak.. hanya saja,, kemarin,,,” sebenarnya Rama agak segan untuk mengatakannya. Tapi dia lebih memilih untuk menjadi lebih berani dari Jimmy. Dia sudah berniat untuk mengalahkannya. “Bukannya kemarin kau sendiri yang mengatakannya? Cukup hanya dengan nama,” lanjutnya mendadak berubah.
“Apa-apaan? Kenapa kau tiba-tiba berubah?”
“Aku baru saja melanggar aturan.” Mata Jimmy menyipit. Apa maksud Rama? Aturan apa yang dia maksud? “Aku sudah berkata pada diriku sendiri untuk selalu menang darimu. Kata-kataku adalah aturan bagiku. Bukankah kau juga merasakannya? Saat kau mengatakannya kemarin?”
Perbincangan ini semakin tak jelas. Tapi tunggu. Ada sesuatu yang Jimmy sadari. Kata-katanya kemarin saat berkenalan. Rama mungkin menganggapnya sebagai sumpah Jimmy untuk dirinya sendiri. Dan apapun itu, Rama sudah membuat sumpahnya sendiri. Tidak akan mengalah pada Jimmy. Apakah itu berarti…
“Jadi, menurutmu aku hampir melanggar aturan yang aku buat sendiri?”
“Jika kau sadar, kau sudah melakukannya. Sekarang aku tahu bahwa kau penasaran padaku.”
Jadi dia memang berharga. Rama memang berharga bagi Andy. Dan mungkin tempatnya memang tepat untuk tidur sekamar dengan Jimmy. Meskipun ia masih merasa dirinya bodoh.
“Aku sudah mengerti sedikit tentangmu. Dan kau mengerti sedikit tentangku. Kurasa kita mungkin impas.”
“Hah?” Rama tak percaya. “Apa yang kau sadari tentangku?”
“Aku tidak akan memberitahumu. Kau akan memikirkannya dan akulah yang akan menang.”
Jimmy,,, dia hebat. Seorang genius. Rama,, entah apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia sudah menyadarinya.
“Aku baru saja menyadari sesuatu tentangmu juga.”
“Dan aku tahu itu. Aku ini dipanggil genius. Jadi berbaring dan tidurlah. Karena ranjang kita terpisah, aku pikir kita tidak diminta untuk bersentuhan.”
“Maka kita tak akan pernah bersentuhan.”
Itulah aturannya aturan baru yang mereka buat sendiri. Malam itu, entah ada yang sadar atau tidak. Tapi mereka sudah memiliki pondasi yang kuat. Dasar yang kokoh sebagai anggota dari Laskar Biru. Para penerus laskar. Para pembuat aturan.
***
“Selamat pagi! Bagaimana malam kalian?”
Satu pertanyaan dan semua riuh. Memang tak ada aturan yang meminta mereka tenang saat belajar. Berbicara dan berdiskusi sesuka hati mereka. Tapi Jimmy belum tahu itu. Ia tak suka mendengar suara mereka yang terlalu ramai.
“Apa kalian tidak bisa diam?” teriak Jimmy tiba-tiba.
“Tentu saja kami bisa. Tapi kami sedang ingin berbicara.” kata salah seorang dari mereka yang terentak oleh teriakan Jimmy.
Andy dengan santainya malah tersenyum dan menonton pertengkaran itu seperti menonton film.
“Oh ya? Apa karena kalian sedang ingin bicara, kalian bisa begitu ribut?”
“Tentu saja. Tapi tunggu,, apa kau tadi tak punya teman bicara?” balas anak itu lagi. Kata-katanya membuat semua mata manarik diri mencari sosok Rama. Itu membuat Jimmy menjadi semakin bingung. Apa pulau ini masih waras? Bagaimana bisa orang-orang di dalam sini bisa begitu aneh? Apa mereka dicuci otaknya? “Ya, sepertinya dia tak punya teman bicara.” Lanjut anak itu lagi.
Ada maksud lain di sana. Ada tujuan berbeda dengan kata-kata itu. Kini sasarannya bukan lagi Jimmy, tapi Rama. Jimmy menyadarinya, sekejap ia melihat cahaya di mata Rama. Kelihatan pudar. Ini pasti tentang yang semalam ia katakan. Tentang ia bukan genius. Tentang tawa yang sering terdengar untuknya.
Andy tak tertinggal. Ia dengan asyik menyimak polah murid-muridnya. Rama yang terhina. Dengan redup tak membalas. Jimmy yang perlahan mengerti keadaan di sekitarnya. Dan Bayu, murid paling genius sebelum Jimmy. Pria yang selalu keheranan dengan penghormatan Andy kepada Rama. Murid yang sedang mencoba mencari tahu, tentang apa yang ada pada diri Rama dan Jimmy. Tentang apa yang bisa ia pahami dari mereka.
“Kami sudah selesai. Kami tak perlu membahas sesuatu yang sudah kami selesaikan bersama, bukan?”
“Apa? Maksudmu, kalian berdua tinggal bersama?”
“Ya. Kamar yang tak pernah bisa kalian dapatkan. Kamar yang hanya akan ditempati oleh orang yang tepat. Dia bersamaku di kamar itu.”
Andy tersenyum. Rama mulai angkat bicara. Aturan yang semalam sejenak terlupakan. Demi harga diri. Jimmy? Ia tak bisa menahan rasa puasnya. Kata-kata Rama terlalu pedas untuk dilewati. Dan Bayu mengalah. Ia tak lagi punya kata-kata.
“Baik. Terima kasih atas jawaban kalian. Sebelum saya melanjutkan, saya akan membacakan kembali aturan kelas ini.” Dan dimulailah kisah-kisah itu…
@kei07 Terima kasih kembali sudah berkomentar di sini. Wah, iya nih.. Kayaknya masih kurang 'trigger'nya kalau cuma keunikan idenya aja. Saran yang bagus. Hehehe
Comment on chapter Prologue