Chapter 1 – Genius
“Aku seorang pria aneh yang pikirannya juga sedikit aneh. Aku tak pernah mengibarkan bendera pembangkangan,,, Menurutku. Tapi aku melakukannya. Sampai beberapa orang menyadarkanku.”
“Tapi Anda tak pernah mau mengalah, bukan?”
“Aku bukan orang yang mudah dikalahkan. Tidak oleh mereka.”
“Lalu siapa?”
“Kau tahu kau genius.”
***
Aku bukan orang yang pandai memuji orang. Aku juga tidak pandai menanggapi pujian orang. Begitu pula dia. Tapi adakalanya dia tersenyum. Aku tulus mengatakan itu kepadanya. Jadi sepertinya dia menyukainya. Tangannya masih menggenggam pena antiknya dengan cara yang unik. Kurasa itu sedikit merayuku.
“Apa kau suka minum teh?”
“Tidak, terima kasih.” Ucapnya sembari tersenyum lebar. Lehernya memanjang saat dia menjawab. Jadi aku memilih untuk memberinya minum.
“Pilih susu atau teh?” kataku membuatnya gugup.
Dia menggelengkan kepalanya. Seperti orang yang sedang diminta memilih antara bunuh diri atau dipenjara seumur hidup. Begitu sulit rupanya untuk memilih antara susu dan teh.
“Sayang, bisakah kau mengantarkan minuman dan sedikit roti ke sini?”
“Oh tidak, tuan! Jangan!” ucapnya memohon seperti orang yang akan dibunuh.
“Aku tidak sedang meracuni mu.” Jawabku santai. “Ini bukan wawancara pertamamu, bukan?”
Dia menggeleng. Wajahnya Tampak bersemu menahan malu. Entah seberapa besar makna diriku baginya. “Tapi ini wawancara pertamaku dengan orang seperti anda.” Tuturnya akhirnya membuka mulut.
Aku hanya bisa tersenyum. Kurasa memang cukup hanya dengan itu. Jika aku tak ingin membuatnya merasa buruk, maka aku tak harus membuat diriku merasa baik.
“Silahkan di minum.”
“Terima kasih, nyonya!” ujarnya sedikit berhambur menerima kudapan dan minuman yang dibawakan oleh isteriku.
“Tidak perlu sungkan. Anggap saja rumah sendiri.”
“Baiklah.” Jawabnya sembari mengangguk pelan.
Aku mempersilahkannya untuk minum. Kuharap minumannya bisa segera membawa ketenangan untuknya. Seteguk-dua teguk, akhirnya dengan sedikit canggung, dia berhasil meminum beberapa teguk teh hangat buatan isteriku.
“Bagaimana?”
“Sangat nikmat, tuan. Anda pasti senang tinggal bersama isteri anda di sini.”
“Tentu. Dan kau juga akan merasakannya kelak.”
Ia diam. Ia tak menjawab. Tapi ia tersenyum lagi. Seperti tidak ada henti-hentinya ia tersenyum. Mungkin terlalu sulit baginya untuk menyembunyikan perasaannya kepadaku.
“Lalu, bagaimana dengan ceritamu, nak? Apa aku boleh mendengar dongeng sebelum tidurku?”
Matanya membulat besar. Pupilnya melebar. Seakan udara di dunia ini masih terasa kurang untuk dihirupnya. Laki-laki muda ini, seorang genius. Ia akan menceritakan sejarahnya hingga ia bisa duduk di hadapanku saat ini.
***
“Permisi, berapa harga untuk 7 bungkus roti itu?”
“Ini? Kau hanya perlu mengeluarkan 90 ribu rupiah untuk ini.” Kata si ibu penjual mengangkat 2 buah roti berukuran besar.
“Tidak. Maksudku 7.” Kata si pria lagi dengan suara yang lebih keras.
“Aku tidak tuli, Nak. Ini yang kamu minta. 90 ribu rupiah.” Balas si ibu dengan menyodorkan 2 buah roti.
Jimmy tidak mengerti. Kenapa ibu ini? Kenapa dia begitu percaya diri dengan kesalahannya? Dia tidak tuli. Tidak juga buta. Namun mungkin dia sudah agak pikun. Hingga kesadarannya membawa Jimmy ke tenda lain.
Pasar itu sangat ramai. Pasar tradisional yang cukup baik jika dibandingkan dengan pasar tradisional dalam buku. Di sana ada berbagai jenis suara yang bertebaran membentuk gelombang-gelombang unik yang berwarana-warni. Dengan tebal dan warna yang berbeda, suara-suara itu memiliki ciri yang menunjukkan identitas pemiliknya masing-masing.
Dan di sana ada Jimmy. Pria muda berusia 18 tahun yang baru saja pindah ke pulau nan ramah itu. Tepatnya melarikan dirinya ke sana. Atau terbuang. Atau tersesat. Atau memang sudah direncanakan. Yang pasti Jimmy di sana. Seorang diri dalam keramaian yang menyesatkan.
“Pak, berapa harga untuk 5 buah apel ini?”
“Apel?” kata si bapak agak bingung.
“Iya, pak. Yang ini.” Ucap pria berdarah tiongkok itu sembari menunjuk sebuah apel merah yang mulus mengkilap.
“Oh, itu namanya buah Galahana.”
“Galahana? Itu bahasa daerah ini yah, Pak?”
“Iya.” Jawab si bapak agak berteriak.
Suasana sedikit riuh dan bising. Di tengahnya berdiri seorang Jimmy yang bersyukur karena bapak ini tidak berulah seperti ibu tadi. Mungkin ia memang benar. Ibu penjual roti tadi memang sudah menua. Harusnya beliau sudah tidak berjualan lagi agar tidak rugi.
“Harganya berapa, Pak?”
“Sekilo 50 ribu. Mau beli berapa?”
“Setengah kilo aja Pak, kalau begitu.”
Si bapak kemudian dengan telaten memilih-milih apel yang akan ia bungkuskan untuk Jimmy. Tangannya beberapa kali menukar-nukar apel besar dan apel kecil demi menyamakan berat anak timbangan dengan buah dagangannya. Hingga kedua sisi terlihat seimbang, si bapak kemudian membungkuskan beberapa buah apel untuk Jimmy.
“75 ribu.” Katanya menyodorkan apel tersebut kepada Jimmy.
Jimmy diam dan terkejut. Dia yakin tidak salah dengar. Tapi dia harus menanyakannya lagi.
“Ini setengah kilo kan, Pak?”
“Iya, ini setengah kilo.”
“Harganya kok jadi 75 ribu, pak?”
“Sekilo kan 50 ribu, nak. Berarti kalau setengah kilo 75 ribu.” Jelas bapak itu.
Jimmy sekali lagi diam dan terkejut. Dia kebingungan ingin berkata apa.
“Pak, ini biar saya yang bayarkan.” Ucap seorang pria dewasa yang tiba-tiba muncul kepada bapak tadi.
“Eh, tidak usah, tidak usah.. Kalau untuk pak guru, tidak apa-apa. Saya akan senang jika bapak mau menerimanya.”
“Ah, saya jadi tidak enak, Pak.”
“Ah tidak apa-apa Pak. Justru saya yang akan merasa tidak enak jika bapak menolak.”
“Baiklah. Saya akan menerimanya. Tapi lain kali, bapak tidak boleh menolak uang saya yah.” Ucap pria tersebut dengan senyuman bersahajanya.
Siapa pria ini? Apa dia seorang guru? Kenapa orang ini begitu dihormati? Uangnya? Dia tidak mengeluarkan uang sebanyak yang bapak itu minta. Pria ini memang tidak bermaksud membeli sebanyak yang bapak itu mintai kepada Jimmy.
“Apa yang kau pikirkan, Jimmy?”
Jimmy terkejut. Pria ini tahu namanya.
“Bagaimana Anda bisa tahu nama saya?”
“Tidak perlu bingung, kau datang ke sini karena rekomendasi temanku.” Kata pria itu semakin memperrumit pikirannya.
“Rekomendasi teman?” Jimmy memutar matanya sekejap. “Maksud anda,, Pak Ben?”
“Iya. Dia teman saya. Makanlah dulu, kita akan ke rumah saya. Sepertinya kamu harus sedikit bersih-bersih.”
Jimmy berhambur. Ia bergerak pelan menciumi lengan atas kemejanya. Sepertinya orang di sampingnya saat ini memiliki penciuman yang sedikit lebih sensitif. Ia mendapati aroma tubuhnya yang sudah tak bersahaja lagi keluar melalui saringan bahan kemejanya.
GENIUS
“Fenomena yang kau lihat tadi adalah tujuan kami memanggil mu ke sini.”
“Fenomena, Tujuan, Kami, dan Memanggil mu.. bisakah anda menjelaskannya secara berurutan?”
“Khe khe khe..”
“Kenapa Anda tertawa?” protes Jimmy tidak terima.
“Maaf. Aku terlalu mengagumi mu.” Balas pria itu menambah belokan dalam syaraf Jimmy.
Jimmy bukannya manusia es yang kepalanya selalu dingin. Namun ia juga bukan manusia api yang bisa dengan mudah melepaskan api dan memuaskan amarahnya. Dia hanya kurang sabar untuk mendengar jawaban dari pria ini.
“Fenomena angka. Dimana pemahaman kamu berbeda dengan mereka. Angka yang kamu sebutkan bukanlah angka yang mereka serap.”
“Ada apa dengan mereka?”
“Bukan mereka. Tapi kamu.”
Jimmy sedikit tersinggung. Tangan jenjang pria dihadapannya itu kini menyodorkan selembar kertas dan sebuah pena antik. Di sana tertulis banyak kata. Pada ujung bawah bagian kanan kertas tersebut memuat form tanda tangan yang bertuliskan nama Jimmy. Jelaslah bahwa itu adalah surat persetujuan.
Jimmy memicingkan matanya. Ia menatap sadis kepada pria yang sedang asik meneguk susu di hadapannya saat ini. Pria yang begitu santai ketika dia harus memutar otaknya.
Apapun teka-teki di balik semua ini, Jimmy yakin pada satu hal. Sesulit apapun teka-teki itu, akan tetap mudah bagi si pembuatnya. Tentu saja.
“Kami yang ada di sini, butuh seorang genius seperti mu.”
“Dan untuk apa tepatnya itu?”
“Kau akan tahu jika kau menanda tangani surat itu, Nak.”
“Dengan 1 syarat.” Usul Jimmy sedikit menantang. Pria di depannya dengan tenang menunggu lanjutan kata-katanya. “Anda tahu tentang saya, bukan?”
“Tentu.” Balas pria itu tersenyum ringan. “Sekarang bersiaplah genius, karena kita akan berjalan-jalan sebentar.”
Meski masih sedikit kesal, Jimmy tetap mematuhi pria ini. Sebelum benar-benar mengalahkannya, ia harus bersedia mematuhi permintaan pria ini.
@kei07 Terima kasih kembali sudah berkomentar di sini. Wah, iya nih.. Kayaknya masih kurang 'trigger'nya kalau cuma keunikan idenya aja. Saran yang bagus. Hehehe
Comment on chapter Prologue