Setiap hari gue semakin sering di dalam kamar, nggak subuh, pagi, siang, sore atau malam. Di waktu-waktu itulah gue selalu menyempatkan mengetik alias menulis naskah novel kedua, walaupun gue belum mendapat jawaban dari naskah pertama yang gue kirim ke Penerbit. Gue pikir gue nggak mau menyia-nyiakan waktu, gue harus bisa menulis naskah novel dan gue pingin naskah gue terbit. Sekarang gue lagi ngetik naskah novel kedua, tapi mendadak tangan gue berhenti bergerak di atas papan notebook. Pelan kening gue berkerut rapat, sementara sorot mata gue tertuju pada langit melalui jendela kamar. Mendadak gue merasa bingung sama diri gue, trus hati gue ngomong duluan “Kenapa gue jadi ikutan si Aldo? Tapi...masak gue mau jadi Penulis kayak si Aldo yang ujung-ujungnya cuma pelarian doang. Menulis karena udah kepepet nggak dapat kerja, karena sering ditolak dan bosen ditolak calon pekerjaan.”
Tapi...jarang ada Penulis yang sengaja pingin jadi Penulis. Kebanyakan mereka yang jadi Penulis cuma menjadikan menulis sebagai pelarian, untuk batu loncatan, atau...cuma sekedar hobi aja, daripada nggak ada kerjaan, mending nulis-nulis, buat cerita.
Lagi-lagi gue terpaku tiba-tiba dengan kening merapat, bahkan kayaknya semakin rapat nih. Setelah itu kedua sorot mata gue bergerak, hingga akhirnya gue tersenyum bersamaan kening gue lebih mengendor. Kalo gue pikir-pikir lagi nih sebenarnya nggak salah juga sih mereka, karena menulis itu ternyata gampang banget. Gue aja sekarang udah hampir selesai menulis naskah kedua. Ya...walaupun naskah pertama gue masih di Penerbit dan belum tahu kabarnya, dan walaupun gue belum tahu bentuk naskah yang dikirim ke Penerbit seperti apa. Gue juga nggak tahu apa tema dalam naskah gue cocok sama Penerbit. Soalnya yang gue tahu, setiap Penerbit pasti punya kriteria sendiri. Gue juga belum punya pengalaman dalam tulis menulis.
Gue menghela nafas panjang, lalu menyandarkan tubuh di punggung kursi. Kalo emang menulis itu cuma pelarian bagi gue, pasti gue nggak akan seserius ini. Naskah pertama belum ada kabarnya gue udah menulis naskah kedua. Yang kedua belum selesai ditulis gue udah menyipkan tema untuk naskah yang ketiga. Yang ketiga belum ditulis gue udah mikir judul naskah yang keempat. Dan yang keempat masih dalam pikiran gue udah mikir yang kelima, keenam, ketujuh dan tema-tema lain banyak yang udah ngantri di otak gue. Haaa...tapi gue harus sabar, gue harus bisa menyelesaikan satu persatu naskah-naskah gue, dan gue bakal tahu tulisan gue udah enak dibaca atau enggak dari naskah yang ditolak Penerbit.
“Ayo Deni lo harus semangat.” Suara gue keras. Setelah itu gue melanjutkan mengetik naskah kedua yang ceritanya naskah remaja dewasa.
Gue sengaja menulis naskah berdasarkan genre dan kategori pembaca secara bergantian. Setelah gue menulis naskah dewasa, berikutnya gue menulis naskah remaja dewasa, trus naskah remaja atau setelah naskah ber-genre romance, trus petualangan, trus humor atau komedi. Bahasanya bisa dibedakan, kalo naskah dewasa lebih formal dan masih menjujung tinggi bahasa resmi Indonesia, walaupun kadang ada beberapa dialog gue tulis menggunakan bahasa sehari-hari. Kalo naskah dewasa remaja, lebih ke anak muda, jadi gue juga menggunakan bahasa yang umum dipakai sekarang dan dicampur sama bahasa resmi, jadi imbanglah. Kalo yang naskah remaja, bahasa anak mudanya lebih banyak, tapi tetap dicampur sama bahasa resmi sehari-hari. Dan yang paling penting temanya juga pasti beda. Trus untuk halaman juga menentukan ternyata. Setiap Penerbit menentukan batas maksimal dan minimal untuk halaman naskah dewasa, dewasa remaja, remaja dan anak-anak. Tapi gue nggak mengerti masalah kayak gitu, yang penting gue menulis naskah dan sesuai sama ketentuan Penerbit. Kalo ternyata masih ada beberapa yang nggak sesuai sama Penerbit, itu karena gue masih pemula. Jadi gue nggak akan menyerah, sampai gue mendapat tempat di deretan buku yang diterbitkan dan gue jodoh jadi Penulis.
Minggu pagi ini Bokap udah siap dengan kaos sama celana trening dan sedang pemanasan di depan rumah. Bokap mengajak gue sama Vita jogging keliling jalan di kompleks ini. Hmm! Seperti biasa si Vita emang Adik yang nggak mau kalah, soalnya dia udah siap di samping Bokap.
“Kak Deni...cepetan...keburu siang nih!” Suara Vita keras dari depan rumah.
Selesai ngetik dan ngedit naskah, gue buru-buru mengganti baju sama celana olahraga pendek hingga batas lutut. Trus gue turun ke lantai satu dan cepat mencari sepatu, trus gue pakai. Sementara Bokap sama Vita udah keringetan, gue baru bergabung.
“Deni, gara-gara kamu nih! Kita jadi kesiangan.” Suara Bokap tinggi.
“Iya nih, emang Kak Deni males.” Vita keras sambil melototi gue.
“Ya udah...kalo gitu Deni nggak ikut jogging, Bapak sama Vita aja yang keliling komplek.” Di ujung perkataan gue balik badan dan masuk ke rumah.
“Deni...kamu harus ikut jogging! Olahraga.” Teriak Bokap.
Mendadak Nyokap udah berdiri di depan pintu dan menatap gue tajam. Tegas Nyokap tanya “Deni, mau ke mana?”
“Ehmm Deni....” Gue nggak melanjutkan perkataan, soalnya gue bingung mau jawab apa, trus gue melihat ke bawah. Ha! Ternyata gue lupa nggak pakai kaos kaki.
“Deni mau ngambil kaos kaki Bu. Deni lupa, nggak pake kaos kaki.” Di ujung perkataan suara gue pelan dan nyengir.
Nyokap cepat menunjukkan kaos kaki milik gue dan bilang tegas “Ini kaos kakinya. Cepat pakai, trus ikut jogging sama Bapak dan Vita. Selama ini kan kamu nggak pernah olahraga. Dan mulai sekarang setiap hari minggu kamu harus olahraga, supaya kamu lebih sehat dan jantung kamu juga. Itu yang Ibu tahu dari Dokter Meyda.”
Gue cepat menatap Nyokap dengan kedua mata terbuka lebar, saat Nyokap menyebut nama Dokter Meyda. Kenapa Nyokap bisa tahu Dokter Meyda? Apa semua Ibu-Ibu itu selalu tahu semuanya? Tapi hati gue seneng banget dan senyum di wajah gue pun mengembang, tapi senyum di wajah gue hilang tiba-tiba saat...gue ingat, kalo Dokter Meyda udah punya pacar. Wajah gue pun mendadak lemas dan hati gue sedih banget. Lemas gue menghela nafas panjang, trus tangan kanan gue mengambil kaos kaki dari tangan Nyokap. Gue duduk lemas di kursi teras, trus gue memakai kaos kaki, tapi selesai memakai kaos kaki gue bertambah lemas dan nggak segera bangkit.
“Deni. Kok malah bengong! Ayo cepat jogging. Tuh tuh tuh Bapak sama Vita udah nggak kelihatan.” Suara Nyokap keras.
“Iya...Deni jogging sekarang.” Ucap gue lemas sambil bangkit berdiri, trus keluar pagar. Sejenak gue menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Bokap sama Vita yang udah nggak kelihatan. Kayaknya mereka kesel, kesel menanti gue.
“Deni....cepat lari-lari kecil.” Seru Nyokap dari teras rumah.
“Iya iya.” Gue mulai lari-lari kecil di tempat, trus lari ke kanan gue.
“Anginnya masih dingin, lampu-lampu rumah juga masih sebagian menyala. Kenapa Bokap sama Vita mulai jogging jam segini? Dan Nyokap lagi cerewetnya sama gue, cuma nyuruh gue jogging.” Ucap gue pelan sambil lari-lari.
Gue terus lari kecil sampai ketemu perempatan jalan kompleks. Sejenak gue berhenti, trus mengerutkan dahi. Gue bingung mau ke mana, lurus, belok kiri, atau belok kanan. Kalo gue lurus jalannya sepi banget, lampunya juga udah mati semua. Kalo gue belok kiri di ujung jalan sana ada pos satpam dan ada anjingnya, galak lagi. Kalo gue belok kanan gue sampai...kuburan, tapi masih jauh sih. Haaa sebenernya gue pingin banget lewat depan rumahnya Dokter Meyda, udah lama gue nggak lihat dia.
Mmm tapi...apa gue masih pantas melihat Dokter Meyda. Dia kan...udah ada punya kekasih hati, dan mungkin laki-laki yang pernah gue lihat sama Dokter Meyda itu calon suaminya. Pasti bentar lagi gue dapat surat undangan, undangan pernikahan Dokter Meyda sama laki-laki itu. Hancur banget hati gue.
“Kak Deni.” Suara seseorang keras sambil menepuk punggung gue dari belakang. Gue kaget menoleh, ternyata Bokap sama Vita berdiri di belakang gue dan menatap gue tajam. Sejenak gue mengelus-ngelus dada, soalnya gue masih kaget banget.
“Kamu ini kemana saja! Pasti kamu nggak lari.” Kata Bokap agak keras.
“Deni lari kok, cuma ketinggalan aja. Bapak sama Vita kan ninggalin Deni.”
“Ehmm Kak Deni aja yang lambat larinya, masak kalah sama Vita.” Celetuk Vita.
“Ya sudah, ayo lari lagi.” Bokap mulai berlari. Sementara Vita masih berdiri di samping gue yang masih terpaku.
“Ayo lari juga sana.” Kata gue tegas sambil melirik si Vita.
“Vita mau lari di samping Kak Deni. Vita nggak percaya Kak Deni lari, jadi Kak Deni lari duluan.” Vita tegas. Gue menghela nafas panjang karena kesal. Mendadak Bokap yang udah jauh di depan berhenti, trus menoleh dan tegas melihat gue sama Vita.
“Deni, Vita ayo lari!” Suara Bokap keras.
“Iya...”
Gue mulai lari dan si Vita juga lari di samping gue. Haaa si Vita emang Adik yang paling resek. Gue tahu dia mau nguntitin gue, jadi dia lari di samping gue. Gue kan mau lari lewat depan rumah Dokter Meyda, cuma mau lihat rumahnya aja, syukur-syukur kalo Dokter Meyda juga olahraga pagi. Tapi...apa boleh gue berharap terus sama Dokter Meyda, dia kan udah mau nikah. Ehmm...tapi kayaknya...nggak apa-apa janur kuning kan belum melengkung, jadi...mungkin gue masih bisa berharap dan berdoa, semoga Dokter Meyda jodoh gue.
Gue terus lari-lari kecil dan si Vita masih di samping gue. Gue mencoba nggak perduli sama si Vita, jadi gue nggak berhenti nengok ke kiri jalan sambil melewati deretan blok demi blok di jalan ini. Senyum gue pun berkembang saat membaca tulisan “Blok K” jauh di belakang Bokap yang berlari di depan dan udah melewati blok K. Di pertengahan jalan menuju blok K mendadak langkah gue belok ke blok K. Subhanallah...kayaknya gue udah terhipnotis sama cinta gue, semoga Allah nggak marah. Lagian...Dokter Meyda kan belum nikah, jadi gue pikir gue masih punya harapan. Bismillahirohmannirrohhim ajalah.
“Kak Deni...jalannya salah...” Suara Vita keras.
Gue nggak membalas dan tetap berlari kecil-kecil santai sambil tersenyum. Semoga hari ini gue bisa melihat Dokter Meyda. Gue nggak akan berhenti berharap dan berdoa, sebelum Dokter Meyda resmi menikah, dan itu sah-sah aja menurut gue. Tiba-tiba Vita berlari cepat, menyalip gue dan berdiri di depan gue. Membuat gue kaget dan berhenti mendadak.
“Eh minggir-minggir! Kak Deni kan mau lari! Mau jogging.” Suara gue tegas.
Sambil menyedekapkan kedua tangan di dada Vita menatap gue tajam. “Vita nggak percaya! Pasti Kak Deni mau kabur lagi dan mau santai-santai, nggak olahraga.” Suara Vita tegas.
Gue yang kesel menghela nafas dengan berat, trus bilang tegas “Santai-santai gimana? Kamu nggak lihat, dari tadi Kak Deni lari, Bukan jalan.”
“Trus kenapa lewat sini? Pasti Kak Deni mau curi-curi waktu lari.” Vita tegas sambil melotot.
Si Vita emang Adik yang paling resek, nggak punya kerjaan aja selain nguntitin gue. Jelas-jelas gue lari dari tadi, eh malah dibilang mau santai. Haaa...sejenak pandangan gue meneliti ke depan. Ternyata gue melihat Nilam keluar dari pagar rumahnya memakai baju olahraga, trus Nilam berhenti sejenak di depan rumah Dokter Meyda. Nggak lama kemudian Dokter Meyda keluar rumah dan menghampiri Nilam. Kayaknya nih Dokter Meyda sama Nilam mau jogging juga, membuat senyum gue semakin lebar, subhannallah. Setelah itu Dokter Meyda sama Nilam berlari ke Timur, gue cepat mengikuti dan menubruk si Vita resek.
“Aduuuuh Kak Deni...sakit nih...eeeh Kak Deni mau kemana?” Suara Vita keras. Gue nggak membalas dan terus berlari meninggalkan si Vita. Sementara pandangan gue masih mengikuti Dokter Meyda yang berlari jauh di depan gue.
“Nggak dandan pun Dokter Meyda masih kelihatan cantik. Subhannallah...” Ucap Gue pelan sambil tersenyum.
“Deni...berhenti!” Suara Bokap keras dari belakang.
Mendadak gue berhenti melangkah dan langsung berdiri terpaku. Mendadak juga wajah gue mengkerut nih alias meringis. Trus gue bilang pelan “Adduuuh kayaknya Bokap marah banget.”
Pelan gue balik badan dan melihat Bokap berdiri di ujung jalan blok K, memandang gue tajam dengan kedua tangannya di pinggang. Saat ini Bokap kayak komandan perang yang mau menghukum prajuritnya, dan si Vita resek malah senyum-senyum.
“Deni cepat ke sini.” Kata Bokap tegas. Mendadak gue jadi lemas dan cuma bisa menghela nafas sambil menundukan kepala saat berdiri terpaku.
“Deni...cepat sini! Ayo lari sama Bapak! Dan Vita juga. Kalian ini mau coba-coba curi waktu olahraga ya!” Bokap tegas dan bertambah keras.
“Eh Vita enggak Pak. Vita justru jagain Kak Deni, supaya Kak Deni nggak kabur.” Kata Vita.
“Pokoknya kalian berdua ayo ikuti Bapak! Deni cepat sini! Vita ayo.”
Mendadak wajah gue bertambah lemas. Sejenak gue menoleh ke belakang, melihat Dokter Meyda yang udah nggak kelihatan. Mungkin dia sama Nilam udah lari ke tempat yang gue nggak tahu.
“Kak Deni...ayo lari.” Suara Vita keras dan udah berdiri di samping Bokap.
Terpaksa deh gue lari bareng Bokap sama Vita lagi. Seperti tadi Bokap masih lari-lari kecil di depan gue dan Vita juga masih di samping gue. Kalau kayak gini, gue kayak tahanan perang. Nggak boleh ke sini, nggak boleh ke sana, nggak boleh ini dan itu. Gue harus selalu lari di belakang Bokap dan di samping Adik gue yang resek, Vita.